Peringatan bagi Orang-orang yang Lalai: Mengaji Kitab Tanbîh al-Ghâfilîn

Cak Yo

Prawacana

Setiap malam Senin dan Kamis, di masjid seberang rumah saya, masjid Al-Muttaqin-Pagaulan, kecuali di bulan Ramadhan, diadakan pengajian rutin ba'da salat Isya. Salah satu kitab yang dikaji adalah Tanbîh al-Ghâfilîn karya Fâqih Abû Lays Samarqandî, yang berisi nasihat dan peringatan bagi mereka yang lalai dalam beragama.  

Materi yang disampaikan dari kitab ini secara keseluruhan dapat memakan waktu berbulan-bulan karena satu kali pengajian biasanya hanya membahas satu sampai dua materi dari kitab yang cukup tebal ini. Jamaah mendengarkan dengan penuh perhatian. 

Setelah kajian selesai, suasana semakin hangat ketika para jamaah diajak menikmati nasi uduk prasmanan yang telah disiapkan. Kebiasaan ini memang tidak selalu ada, tetapi ketika ada nasi uduk, suasana kebersamaan semakin terasa. Sambil menikmati hidangan sederhana, para jamaah melanjutkan obrolan ringan, sekadar bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari.  

Dipilihnya kitab Tanbîh al-Ghâfilîn sebagai bahan pengajian, barangkali karena kitab ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan keimanan (aqidah), pendidikan akhlak dan spiritual dengan gaya penyampaian yang relatif ringan disertai kisah-kisah inspiratif. Adapun gambaran isi keseluruhannya berdasarkan bab-bab yang terdapat dalam kitab ini:  

1. Keimanan dan Akidah

Kitab ini menekankan pentingnya ikhlas dalam beramal (Bab 1), serta mengingatkan tentang kematian dan penderitaannya (Bab 2), siksa kubur (Bab 3), dan kedahsyatan hari kiamat (Bab 4). Terdapat pula pembahasan mengenai sifat dan penghuni neraka (Bab 5) serta sifat dan penghuni surga (Bab 6), yang memberikan motivasi bagi umat Islam untuk meningkatkan keimanan dan amal saleh.  

2. Ibadah dan Ketaatan kepada Allah

Beberapa bab dalam kitab ini mengupas tentang keutamaan wudu (Bab 29), salat lima waktu (Bab 30), keutamaan azan dan iqamah (Bab 31), serta pentingnya menjaga kebersihan dan kesucian (Bab 32). Selain itu, ada pembahasan mengenai keutamaan hari Jumat (Bab 33), keagungan masjid (Bab 34), serta keutamaan ibadah di bulan Ramadan (Bab 37) dan sepuluh hari awal Dzulhijjah (Bab 38). Ibadah lain seperti sedekah (Bab 35-36), puasa sunnah (Bab 40), serta haji (Bab 68) juga mendapat perhatian dalam kitab ini.  

3. Akhlak dan Hubungan Sosial

Kitab ini mengajarkan berbagai nilai akhlak, seperti amar ma’ruf nahi munkar (Bab 8), kewajiban anak kepada orang tua (Bab 10), kewajiban orang tua kepada anak (Bab 11), serta pentingnya silaturahmi (Bab 12). Ada pula pembahasan tentang hak dan kewajiban tetangga (Bab 13), larangan berdusta (Bab 15), membicarakan keburukan orang (Bab 16), adu domba (Bab 17), serta bahaya iri dan dengki (Bab 18). Kitab ini juga menekankan pentingnya kesabaran dalam menghadapi ujian hidup (Bab 27-28) dan tawakal kepada Allah (Bab 63).  

4. Larangan dan Perilaku yang Harus Dihindari

Beberapa bab mengingatkan tentang larangan meminum arak (Bab 14), sikap sombong (Bab 19), penimbunan barang demi keuntungan (Bab 20), serta sifat rakus dan berkhayal (Bab 24). Ada juga pembahasan tentang bahaya riba (Bab 45), penganiayaan (Bab 47), serta mendekati penguasa yang zalim (Bab 77).  

5. Dzikir, Doa, dan Ilmu  

Kitab ini menjelaskan keutamaan berzikir kepada Allah (Bab 50), doa (Bab 51), bacaan tasbih (Bab 52), serta shalawat kepada Nabi (Bab 53). Selain itu, pentingnya menuntut ilmu (Bab 56), mengamalkan ilmu (Bab 57), dan menghadiri majelis ilmu (Bab 58) juga menjadi pembahasan utama dalam kitab ini.  

6. Perjuangan dan Jihad 

Beberapa bab dalam kitab ini membahas keutamaan jihad (Bab 69), bertahan di garis depan dalam peperangan (Bab 70), serta keutamaan memanah dan berkuda (Bab 71). Ada pula penjelasan mengenai strategi perang dalam Islam (Bab 72).  

7. Kisah-kisah Inspiratif 

Kitab ini juga memuat banyak kisah yang memberikan pelajaran berharga, seperti cerita seorang Yahudi yang masuk Islam setelah menemukan kebenaran dalam Taurat, serta kisah-kisah lainnya yang menggambarkan keutamaan ibadah dan ketakwaan.  

Kitab Tanbih al-Ghafilin telah menjadi salah satu referensi penting dalam kurikulum pesantren, mengajarkan nilai-nilai akhlak, tasawuf, dan peringatan bagi mereka yang lalai dalam beragama. Kitab ini tersedia versi terjemahannya yang ditulis dalam Arab-Pegon (bahasa Melayu tulisan Arab) atau  bahasa Melayu lama dengan tulisan Jawi. Kitab ini disusun oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Mubin al-Fathani al-Syafi’i. Dalam perkembangannya, Tanbihul Ghafilin telah diterbitkan dalam tulisan Rumi oleh beberapa penerbit bagi memudahkan generasi kini membacanya sebagai bahan rujukan. Namun, berdasarkan kajian Haji Wan Mohd Shaghir Abdullah, kitab versi Jawi ini hanya ringkasan saja dari Tanbih al-Ghafilin bi Ahaditsi Sayyidil Anbiya’ wal Mursalin, karya al-Imam Abu Al-Laith as-Samarqandi al-Hanafi (375H). 

Dalam jilid kitab terjemahan Syekh al-Fattani ini ditulis sebagai berikut: Inilah kitab yang dinanakan Tanbih al-Ghafilin pada menyatakan  Ilmu Hadis Nabi ṣallā Allāh ‘alayhi wa sallam dan dalamnya dua belas bab . Dan kitab yang yakin dan ilmu tasawuf ialah nama kandungan Uns al-Muttaqīn li-Llāh Rabb al-‘Ālamīn, dan di dalamnya lima bab. Ketahuilah bahwa yang pertama adalah ikhwan yang senang dengan kitab Tanbih al-Ghafilin, sehingga banyak manfaat bagi orang awam karena terdapat dua belas bab, semuanya saat yang menakjubkan. Setiap bab sudah dimuatkan hari kiamat (adapun) permulaan kitab yang kedua adalah bernama Uns al-Muttaqīn li-Llāh Rabb al-‘Ālamīn, banyak manfaat bagi setiap orang yang berilmu, dan di dalamnya lima bab semuanya.  Mā shā’a Allāhu kān, wa mā lam yasha’ lam yakun, wa lā ḥawla wa lā quwwata illā bi-Llāh al-‘Aliyy al-‘Aẓīm. Allāhumma ṣalli ‘alā Sayyidinā Muḥammad al-Fātiḥ limā ughliqa wa al-Khātim limā sabaqa, nāṣir al-ḥaqq bi al-ḥaqq wa al-hādī ilā ṣirāṭika al-mustaqīm, wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi ḥaqqa qadrihi wa miqdārihi al-‘aẓīm.  Allāhumma ighfir lī wa li-wālidayya wa li-aṣḥāb al-ḥuqūq ‘alayya wa li-jamī‘ al-muslimīn wa al-muslimāt wa al-mu’minīn wa al-mu’mināt, al-aḥyā’ minhum wa al-amwāt. Āmīn, yā Rabb al-‘Ālamīn.  Cetakan ini memiliki keistimewaan dalam ketepatan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.  Maktabah Bin Halabi, Patani - Thailand, Telepon: 332927-12, Faks: 0720224862  

Seiring dengan meningkatnya minat pembaca Barat terhadap tradisi keilmuan pesantren, kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, memungkinkan akses yang lebih luas bagi mereka yang ingin memahami ajaran moral dan spiritual dalam Islam.  

Dalam versi bahasa Inggrisnya, kitab ini berjudul Admonition for the Neglectful, diterjemahkan dan disunting oleh Mufti A.H. Elias, sehingga dapat diakses oleh pembaca berbahasa Inggris yang ingin memahami ajaran moral dan spiritual dalam Islam. Edisi Inggris kitab ini tetap mempertahankan esensi aslinya, menyampaikan peringatan tentang pentingnya ketulusan dalam ibadah, kesadaran akan kematian, serta kehidupan setelah mati. Pembahasan mengenai siksa kubur, hari kiamat, surga dan neraka, serta kewajiban seorang Muslim dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dijelaskan secara mendalam, memberikan perspektif yang lebih luas bagi pembaca non-Muslim atau mereka yang tidak memiliki akses ke literatur klasik Islam dalam bahasa Arab.  

Dengan diterjemahkannya kitab ini, tradisi pesantren yang selama ini banyak dikenal di dunia Islam dapat dipelajari lebih luas oleh akademisi, peneliti, serta siapa saja yang tertarik pada warisan keilmuan Islam klasik. Ini juga menjadi salah satu langkah penting dalam memperkenalkan nilai-nilai pendidikan Islam tradisional kepada dunia global.

Sedangkan dalam edisi aslinya, bahasa Arab Tanbih al-Ghafilin  diterbitkan oleh Maktabah al-Iman di Manshurah, yang nerupakan edisi yang telah diteliti dan disunting oleh As-Sayyid al-‘Arabi. Kitab ini pertama kali diterbitkan dalam edisi cetak pada tahun 1415 H/1994 M.  

Saya akan menguraikan isi kitab ini dengan menggunakan edisi Inggrisnya dalam 3 volume.

Deskripsi Tanbîh al-Ghâfilîn Vol. 1-3

Volume 1

Buku Admonition for the Neglectful (Tambihul Ghafileen) karya Faqih Abu Lais Samarqandi merupakan sebuah kitab nasihat yang membahas berbagai aspek kehidupan spiritual dan moral dalam Islam. Buku ini memberikan peringatan kepada mereka yang lalai dalam menjalani kehidupan beragama serta memberikan dorongan untuk bertakwa dan meningkatkan amal ibadah. Melalui kisah-kisah, nasihat para ulama, serta dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis, buku ini menuntun pembaca untuk memahami pentingnya hidup dengan penuh kesadaran akan akhirat.

Salah satu tema utama dalam buku ini adalah keikhlasan. Keikhlasan merupakan inti dari amal yang diterima oleh Allah. Sebaliknya, pamer atau riya dianggap sebagai syirik kecil yang dapat menghapus pahala seseorang. Rasulullah Saw. pernah bersabda bahwa beliau sangat mengkhawatirkan riya di antara umatnya, karena perbuatan ini menjadikan ibadah yang dilakukan sia-sia di hadapan Allah. Orang yang beramal dengan niat ingin dipuji oleh manusia, kelak pada hari kiamat akan diperintahkan untuk meminta pahala kepada orang-orang yang dulu mereka harapkan pujiannya, namun tentu saja mereka tidak akan mendapatkan apa pun. Keikhlasan dapat dilatih dengan menyembunyikan amal sebagaimana seseorang menyembunyikan dosa-dosanya dan dengan tidak mengharapkan pujian dari manusia.

Selain itu, buku ini juga membahas tentang kematian dan kesulitannya. Sakaratul maut digambarkan sebagai pengalaman yang sangat menyakitkan, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda bahwa penderitaan saat kematian setara dengan ditikam oleh 300 pedang. Oleh karena itu, setiap Muslim diingatkan untuk selalu mengingat kematian sebagai bentuk persiapan menghadapi kehidupan setelah dunia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menasihati agar manusia menghargai lima hal sebelum lima hal lainnya hilang, yaitu masa muda sebelum tua, kesehatan sebelum sakit, waktu luang sebelum sibuk, kekayaan sebelum miskin, dan kehidupan sebelum kematian. Pengingat ini bertujuan agar setiap Muslim tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk beribadah dan berbuat kebaikan.

Kematian juga diikuti dengan siksa kubur bagi mereka yang lalai dalam menjalankan perintah Allah. Dalam buku ini dijelaskan bahwa siksa kubur adalah kenyataan yang akan dihadapi oleh setiap manusia setelah kematian. Terdapat delapan hal yang dapat menyelamatkan seseorang dari siksa kubur, di antaranya adalah menjaga shalat, banyak bersedekah, membaca Al-Qur'an, dan berdzikir. Sebaliknya, ada empat kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan seseorang disiksa di dalam kuburnya, yaitu kebiasaan berbohong, berkhianat, mengadu domba, dan tidak menjaga kebersihan dari najis. Rasulullah Saw. pernah bersabda bahwa kebanyakan manusia disiksa dalam kubur karena mereka tidak menjaga kebersihan dari air kencing. Oleh karena itu, menjaga kebersihan dan menjauhi dosa-dosa kecil yang sering dianggap remeh sangatlah penting.

Lebih lanjut, buku ini menguraikan keadaan yang akan terjadi di hari kiamat. Hari kiamat akan diawali dengan tiupan sangkakala oleh Malaikat Israfil. Pada saat itu, manusia akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang dan dikumpulkan di padang Mahsyar. Semua amal akan diperhitungkan, dan tidak ada yang dapat menolong seseorang kecuali amal baik yang telah mereka lakukan di dunia. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas hidupnya, termasuk bagaimana ia menghabiskan masa mudanya, bagaimana ia menggunakan ilmunya, dan dari mana ia mendapatkan serta membelanjakan hartanya. Mereka yang banyak berbuat kebaikan akan mendapatkan perlindungan Allah di bawah naungan-Nya, sedangkan mereka yang lalai akan mengalami kesulitan dan ketakutan yang luar biasa.

Meskipun demikian, rahmat Allah sangat luas, dan setiap Muslim dianjurkan untuk selalu berharap kepada-Nya. Buku ini menekankan bahwa Allah Maha Pengampun dan akan mengampuni dosa-dosa orang yang bertaubat dengan tulus. Terdapat berbagai doa yang diajarkan oleh para ulama untuk membantu seorang Muslim meraih rahmat Allah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda bahwa ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, di antaranya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah, orang yang hatinya selalu terpaut pada masjid, serta orang yang bersedekah dengan tangan kanan tanpa diketahui oleh tangan kirinya. Ini menunjukkan bahwa siapa pun yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan amal yang ikhlas akan mendapatkan balasan yang besar.

Selain menekankan pentingnya hubungan antara manusia dan Allah, buku ini juga membahas kewajiban sosial seorang Muslim, khususnya dalam hal amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa apabila umat Islam meninggalkan tugas ini, maka mereka akan ditimpa musibah berupa kepemimpinan yang zalim. Oleh karena itu, setiap Muslim harus memiliki kesadaran untuk saling menasihati dan membimbing sesama dalam kebaikan. Namun, dalam melaksanakan tugas ini, ada teknik dan etika yang harus diperhatikan, agar dakwah tidak menimbulkan permusuhan atau perlawanan.

Taubat juga menjadi salah satu tema utama dalam buku ini. Taubat harus dilakukan sebelum ajal tiba, karena setelah kematian, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri. Ada tiga tanda taubat yang tulus, yaitu adanya penyesalan yang mendalam, tekad yang kuat untuk tidak mengulangi dosa, serta usaha nyata untuk memperbaiki diri dan mengganti keburukan dengan kebaikan. Keutamaan bagi orang yang bertaubat sangat besar, termasuk dihapuskannya dosa-dosa mereka dan diberikannya kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah bahkan mengganti dosa-dosa orang yang bertaubat dengan kebaikan, sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap hamba-hamba yang kembali kepada-Nya.

Selain itu, buku ini juga menekankan pentingnya menjalin hubungan baik dengan sesama, baik dengan keluarga, tetangga, maupun masyarakat luas. Ada sepuluh manfaat dari menjaga hubungan kekeluargaan, termasuk bertambahnya keberkahan dalam rezeki dan dipanjangkan umur oleh Allah. Rasulullah Saw. juga mengajarkan bahwa tiga kelompok manusia akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat, salah satunya adalah mereka yang menjaga silaturahmi. Dalam kehidupan sosial, hak-hak tetangga juga menjadi perhatian utama dalam Islam. Ada sembilan hak tetangga yang harus dipenuhi oleh seorang Muslim, di antaranya adalah tidak menyakiti mereka, membantu mereka saat membutuhkan, dan menjaga hubungan baik dengan mereka. Rasulullah Saw. bersabda bahwa seorang Muslim yang tidak menjaga hak-hak tetangganya tidak akan masuk surga.

Buku ini juga memperingatkan tentang bahaya lisan. Berbohong, ghibah, dan fitnah adalah dosa besar yang dapat merusak amal seseorang. Rasulullah Saw. bersabda bahwa kebanyakan manusia masuk neraka karena lisan mereka. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berhati-hati dalam berbicara dan selalu menjaga lisannya agar tidak menyakiti orang lain. Ada tiga tanda orang yang bertakwa, yaitu menjaga lisan, menepati janji, dan menjauhi perbuatan sia-sia. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa seorang Muslim sebaiknya berbicara hal yang baik atau diam, karena setiap kata yang diucapkan akan dipertanggungjawab-kan di hadapan Allah.

Secara keseluruhan, buku ini memberikan peringatan tentang berbagai bentuk kelalaian yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam siksa dunia dan akhirat. Melalui kisah-kisah dan nasihat dari para ulama, pembaca diajak untuk meningkatkan keimanan, memperbaiki akhlak, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Buku ini juga menekankan pentingnya amal ibadah, taubat, serta menjalin hubungan baik dengan sesama. Dengan membaca dan mengamalkan ajaran dalam buku ini, seorang Muslim dapat memperbaiki diri dan meraih keselamatan di dunia serta akhirat.

Volume 2

Buku Admonition for the Neglectful (Tanbih al-Ghafilin) Volume 2  adalah bagian dari seri tiga volume yang membahas peringatan bagi orang-orang yang lalai dalam menjalankan ajaran Islam. Dalam volume kedua ini, penulis melanjutkan pembahasannya mengenai berbagai aspek kehidupan beragama, akhlak, serta konsekuensi dari kelalaian terhadap perintah Allah Swt.  

Volume kedua dari buku ini menyoroti pentingnya taubat, ibadah, serta hubungan manusia dengan Allah dan sesama. Salah satu tema utama yang ditekankan adalah sifat sabar dan syukur dalam menjalani kehidupan. Penulis menjelaskan bahwa kesabaran dalam menghadapi cobaan adalah tanda keimanan yang kuat, sementara syukur atas nikmat yang diberikan Allah akan memperkuat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa seseorang yang bersabar atas musibah akan mendapatkan pahala yang besar, sedangkan orang yang bersyukur akan ditambahkan nikmatnya oleh Allah Swt.  

Selain itu, buku ini juga membahas mengenai bahaya dari sifat sombong dan angkuh. Abu Lais Samarqandi mengingatkan bahwa kesombongan adalah salah satu sifat yang menyebabkan Iblis diusir dari surga. Orang yang sombong cenderung merendahkan orang lain dan merasa dirinya lebih baik, padahal dalam pandangan Allah, kemuliaan seseorang diukur berdasarkan ketakwaannya, bukan harta, keturunan, atau kedudukannya di dunia. Dalam hadis disebutkan bahwa seseorang yang memiliki kesombongan dalam hatinya, meskipun hanya sebesar biji sawi, tidak akan masuk surga. Oleh karena itu, setiap Muslim dianjurkan untuk senantiasa bersikap rendah hati dan menghindari sifat yang dapat merusak amal ibadah mereka.  

Tema lain yang dibahas dalam volume ini adalah pentingnya menjaga amanah dan menjauhi pengkhianatan. Abu Lais Samarqandi menekankan bahwa amanah bukan hanya dalam bentuk harta, tetapi juga dalam tanggung jawab terhadap keluarga, pekerjaan, dan agama. Seorang pemimpin yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, seorang pedagang yang menipu dalam timbangan, atau seseorang yang mengkhianati janji termasuk dalam golongan yang merusak amanah. Dalam Al-Qur'an, Allah Swt. berulang kali memperingatkan tentang konsekuensi bagi mereka yang tidak dapat menjaga amanahnya.  

Selain pembahasan mengenai akhlak dan ibadah, buku ini juga menyoroti pentingnya menghindari dosa-dosa lisan seperti ghibah (menggunjing), fitnah, dan perkataan dusta. Rasulullah Saw. pernah bersabda bahwa kebanyakan manusia masuk neraka karena lisan mereka. Oleh sebab itu, seorang Muslim harus menjaga ucapannya dan memastikan bahwa setiap kata yang diucapkan membawa manfaat, bukan keburukan. Penulis juga menguraikan beberapa kisah yang menggambarkan betapa besar dampak dari perkataan yang tidak dijaga, baik dalam kehidupan dunia maupun di akhirat.  

Di akhir volume ini, Abu Lais Samarqandi memberikan berbagai nasihat tentang cara memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah. Salah satunya adalah dengan selalu mengingat kematian dan hari akhir. Kesadaran akan kematian akan mencegah seseorang dari perbuatan dosa dan mendorongnya untuk lebih giat beribadah. Selain itu, memperbanyak membaca Al-Qur'an, berzikir, serta menjauhi lingkungan yang dapat menjerumuskan kepada kemaksiatan juga menjadi bagian dari cara untuk menjaga keimanan.  

Buku Admonition for the Neglectful Vol. 2 ini merupakan sumber ilmu yang sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan gaya penyampaian yang penuh hikmah dan disertai dengan kisah-kisah inspiratif, buku ini memberikan pencerahan bagi pembaca agar senantiasa sadar akan pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia.

Volume 3

Buku Admonition for the Neglectful (Tanbih al-Ghafilin) Volume 3 melanjutkan pembahasan mengenai berbagai aspek kehidupan spiritual, akhlak, serta konsekuensi dari kelalaian terhadap perintah Allah Swt. Volume ini berfokus pada tiga tema utama, yaitu keutamaan ilmu, sifat wara’ (kehati-hatian dalam agama), dan berbagai kisah serta nasihat yang dapat menjadi pelajaran bagi setiap Muslim.

Pada bagian awal buku ini, Abu Lais Samarqandi menekankan pentingnya ilmu sebagai jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia mengutip perkataan para sahabat dan ulama terdahulu tentang keutamaan ilmu, di antaranya bahwa ilmu adalah cahaya yang membimbing manusia ke jalan yang benar. Abdullah bin Mas’ud r.a. mengatakan bahwa Al-Qur’an akan menjadi pembela bagi orang yang membaca dan mengamalkan isinya, serta menjadi lawan bagi mereka yang mengabaikannya. Dalam salah satu riwayat, disebutkan bahwa pada hari kiamat, orang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya akan memperoleh syafaat dari kitab suci ini. Namun, bagi mereka yang meninggalkannya, Al-Qur’an akan menjadi saksi yang menuntut mereka di hadapan Allah Swt.

Penulis juga menyoroti hubungan antara ilmu dan amal. Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon tanpa buah, tidak memberikan manfaat bagi pemiliknya maupun orang lain. Seorang alim yang tidak mempraktikkan ilmunya akan mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan orang awam yang berbuat dosa karena kebodohannya. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa seorang ulama yang tidak mengamalkan ilmunya akan lebih dulu masuk neraka dibandingkan orang awam yang berdosa. Oleh karena itu, Abu Lais Samarqandi menekankan bahwa ilmu harus dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan duniawi.

Selain itu, buku ini membahas tentang sifat wara’ atau kehati-hatian dalam agama. Wara’ berarti menjaga diri dari hal-hal yang syubhat dan berusaha menghindari segala sesuatu yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Salah satu tanda orang yang wara’ adalah ia lebih memilih makanan, harta, dan perbuatan yang benar-benar halal serta tidak meragukan. Dalam kitab ini, disebutkan bahwa ada lima tanda orang yang baik dan lima tanda orang yang buruk. Orang yang baik selalu menjaga lisannya, berhati-hati dalam perbuatan, berteman dengan orang-orang saleh, selalu mengingat akhirat, dan senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, orang yang buruk adalah mereka yang suka berbohong, berkhianat, bergaul dengan orang fasik, melupakan akhirat, dan lebih mencintai dunia dibandingkan Allah Swt.

Buku ini juga membahas kisah-kisah yang mengandung pelajaran berharga, termasuk tentang hari Asyura, kisah tentang kematian Iblis, serta berbagai kisah mengenai para ulama dan orang-orang saleh. Salah satu kisah yang menarik adalah tentang seseorang yang sangat takut kepada Allah hingga ia senantiasa menangis setiap kali mengingat dosa-dosanya. Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa Allah Swt. mencintai seorang hamba yang sering menangis karena takut kepada-Nya, dan air matanya akan menjadi penyelamat baginya di hari kiamat.

Di bagian akhir, Abu Lais Samarqandi memberikan nasihat tentang pentingnya menjaga niat dalam setiap amal. Ia mengutip hadis yang menyebutkan bahwa Allah tidak melihat bentuk fisik seseorang, melainkan melihat isi hatinya. Oleh karena itu, setiap Muslim harus memastikan bahwa amal yang dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian manusia. Buku ini juga menekankan bahwa seseorang yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya akan selalu berusaha menjalankan sunnah dan menjauhi segala bentuk bid’ah.

Secara keseluruhan, Admonition for the Neglectful Volume 3 ini merupakan kitab yang sangat kaya akan nasihat spiritual dan bimbingan praktis bagi setiap Muslim yang ingin meningkatkan kualitas iman dan amalnya. Dengan menggabungkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadis, serta kisah-kisah inspiratif, buku ini memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani hidupnya agar selamat di dunia dan akhirat.

Tanbîh al-Ghâfilîn Kitab Referensi Pesantren

Kitab Tanbih al-Ghafilin merupakan salah satu kitab klasik yang sangat layak dijadikan referensi utama bagi para santri, kyai, dan jamaah di pesantren, masjid, serta majelis taklim. Kitab ini berisi kumpulan nasihat yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis serta dikemas dengan gaya penyampaian yang mudah dipahami. Dengan pembahasan yang mendalam tentang akhlak, ibadah, dan konsekuensi kelalaian terhadap perintah Allah Swt., kitab ini memiliki nilai edukatif dan spiritual yang tinggi bagi umat Islam, khususnya dalam membimbing kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam.

Kitab ini sangat relevan bagi lingkungan pesantren karena memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya ilmu dan amal. Dalam dunia pesantren, santri tidak hanya diajarkan ilmu syariat tetapi juga dididik untuk mengamalkannya. Salah satu poin utama dalam kitab ini adalah pentingnya ilmu yang diamalkan, sebagaimana disebutkan oleh Abu Lais Samarqandi bahwa ilmu tanpa amal ibarat pohon yang tidak berbuah. Pesan ini menjadi pengingat bagi para santri agar ilmu yang mereka pelajari tidak hanya sebatas hafalan, tetapi juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, kitab ini juga sangat cocok untuk diajarkan dalam majelis taklim dan masjid karena berisi nasihat-nasihat yang membangkitkan kesadaran keagamaan. Dalam kitab ini, terdapat berbagai kisah para sahabat, ulama, dan orang saleh yang menunjukkan pentingnya keikhlasan, kesabaran, dan ketakwaan kepada Allah Swt. Kisah-kisah ini sangat efektif dalam memberikan inspirasi kepada jamaah di masjid dan majelis taklim, terutama bagi mereka yang baru mulai mendalami agama.

Di pesantren, kitab Tanbih al-Ghafilin dapat dijadikan sebagai bagian dari kurikulum kajian akhlak dan tasawuf. Santri yang mendalami kitab ini akan mendapatkan pemahaman tentang pentingnya sifat wara’ (kehati-hatian dalam agama), menjaga amanah, menjauhi sifat sombong, dan selalu mengutamakan amal saleh. Dalam kajian kitab kuning, kitab ini bisa menjadi pelengkap dalam mata pelajaran akhlak atau tasawuf dasar yang diajarkan di berbagai pesantren tradisional.

Selain itu, kitab ini juga mengandung pelajaran tentang amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), yang merupakan salah satu prinsip utama dalam dakwah Islam. Santri yang ingin menjadi da’i atau kyai di masa depan dapat mengambil banyak hikmah dari kitab ini untuk diaplikasikan dalam metode dakwah mereka.

Kitab ini sangat cocok dibahas dalam majelis taklim yang dihadiri oleh berbagai kalangan, baik orang awam maupun mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Salah satu keunggulan kitab ini adalah bahasanya yang mudah dipahami dan pembahasannya yang sistematis, sehingga sangat cocok untuk dikaji secara berkelanjutan dalam majelis ilmu di masjid-masjid.

Dalam tradisi pesantren, kitab ini dapat diajarkan dengan metode sorogan (santri membaca di hadapan kyai), bandongan (kyai membacakan dan menjelaskan), atau wetonan (pengajian rutin mingguan). Dengan metode ini, santri dapat memahami isi kitab secara bertahap dan mendalam.

Di majelis taklim dan masjid, kitab ini dapat diajarkan dalam bentuk ceramah atau kajian kitab secara berkala, misalnya setiap pekan atau setiap bulan. Kyai atau ustaz dapat menguraikan isi kitab dengan memberikan contoh-contoh yang relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini, sehingga materi kitab menjadi lebih hidup dan aplikatif.

Sebuah Refleksi

Refleksi atas Kelalaian dalam Beragama

Dalam hidup ini, sering kali saya merasa terhanyut dalam kesibukan dunia, hingga lalai dalam menunaikan hak-hak Allah dan melupakan akhirat. Kitab Tanbîh al-Ghâfilîn karya Abû al-Layts as-Samarqandî seakan menjadi cermin bagi diri saya, mengingatkan betapa kelalaian adalah penyakit yang dapat menggerogoti hati dan menghalangi jalan menuju Allah.

Dalam salah satu babnya, as-Samarqandî mengingatkan tentang orang-orang yang tertipu oleh dunia (al-maghtrûn bi ad-dunyâ). Mereka sibuk mengejar materi, jabatan, dan kesenangan duniawi, hingga melupakan tujuan akhir kehidupan. Saya merasa sering terjerumus dalam hal ini—mengesampingkan ibadah karena alasan kesibukan, menunda-nunda taubat, atau bahkan menganggap sepele dosa-dosa kecil. Padahal, sebagaimana diingatkan dalam kitab ini, dosa kecil yang terus-menerus dilakukan tanpa istighfar akan menumpuk dan mengeraskan hati.

Selain itu, dalam Tanbîh al-Ghâfilîn, disebutkan bahwa tanda hati yang lalai adalah hilangnya rasa takut kepada Allah dan kurangnya rasa syukur atas nikmat-Nya. Saya menyadari bahwa terkadang saya beribadah hanya sebatas rutinitas tanpa kekhusyukan, membaca Al-Qur’an tanpa merenungi maknanya, atau berdoa dengan hati yang hampa. Seolah-olah ibadah menjadi kewajiban yang harus diselesaikan, bukan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.

Namun, kitab ini juga memberikan harapan—bahwa selama seseorang masih hidup, pintu taubat selalu terbuka. Salah satu hadits yang dikutip dalam kitab ini menyebutkan bahwa Allah lebih gembira menerima taubat hamba-Nya daripada seseorang yang menemukan kembali barang berharganya yang hilang di padang pasir. Ini mengingatkan saya bahwa meskipun sering lalai, saya tidak boleh berputus asa. Saya harus berusaha memperbaiki diri, memperbanyak dzikir agar hati tidak kering, serta mendekat kepada orang-orang saleh agar tidak terjerumus dalam kelalaian yang lebih dalam.

Kelalaian dalam beragama adalah ujian yang harus saya lawan dengan mujahadah (kesungguhan) dalam ibadah dan perenungan terhadap akhirat. Semoga Allah membimbing kita agar senantiasa sadar dan tidak tergolong dalam orang-orang yang disebut dalam Tanbîh al-Ghâfilîn sebagai mereka yang menyesal di hari kiamat karena menyia-nyiakan hidup mereka dalam kelalaian.

Kesimpulan

Kitab karya Abu Lais Samarqandi adalah kitab yang sangat berharga untuk dijadikan referensi dalam pendidikan agama, baik di pesantren, masjid, maupun majelis taklim. Dengan isinya yang kaya akan nasihat, kisah inspiratif, dan panduan moral, kitab ini mampu membentuk karakter santri, kyai, dan jamaah agar lebih dekat dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu, kitab ini sangat layak untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren serta menjadi bacaan utama dalam kajian Islam di berbagai majelis ilmu. Kitab dapat menjadi nasihat dan peringatan bagi orang-orang yang lalai dalam menjalankan ajaran Islam. Khususnya bagi saya, barangkali sangat berharga dijadikan panduan untuk menata diri. Wallâhu yahdi al-sabîl, Allah yang membimbing menuju jalan-Nya. *Pagaulan, malam 17 Ramadan 1446 H.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam