Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner
Cak Yo
Abstrak
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi hukum serta hikmah sosial dan spiritual yang mendalam. Kajian tentang zakat dalam literatur Islam terbagi ke dalam dua pendekatan utama: fikih dan tasawuf. Kajian ini mengkomparasikan tiga kitab fikih utama, yaitu Bidâyah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd (Mazhab Maliki), Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (Mazhab Hanbali), dan Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi (Mazhab Syafi’i). Ketiga kitab ini memberikan penjelasan rinci mengenai hukum zakat, ketentuan nisab, serta distribusinya sesuai dengan perspektif masing-masing mazhab.
Selain itu, kajian ini juga mengomparasikan pendekatan fikih tersebut dengan pemahaman zakat dalam tiga kitab tasawuf dan filsafat hukum Islam, yaitu Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu karya Ali Ahmad al-Jurjawi, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, dan Sirr al-Asrar karya Abdul Qadir al-Jilani. Kitab-kitab tasawuf ini menyoroti aspek batin dan spiritual zakat, menggarisbawahi perannya dalam penyucian jiwa dan pendekatan kepada Allah. Hasil kajian menunjukkan bahwa kitab-kitab fikih lebih menekankan aspek hukum dan ketentuan zakat sebagai kewajiban syariat, sementara kitab-kitab tasawuf lebih menyoroti esensi dan manfaat spiritual zakat sebagai alat pembersihan hati dan pelepasan dari kecintaan duniawi. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, dapat diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang zakat, tidak hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi juga sebagai sarana transformasi sosial dan spiritual bagi umat Islam.
Kata Kunci:
Zakat, Fikih, Tasawuf, Hikmah dan Rahasia Zakat
Pendahuluan
Sejak lama, fikih dan tasawuf menjadi dua disiplin ilmu yang saya sukai. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang dalam studi Islam: fikih menghadirkan struktur hukum yang mengatur kehidupan zahir (żãhir) atau eksoterik (outward), sementara tasawuf menyelami kedalaman batin (bâțin) atau aspek esoterik (inward) dan hakikat spiritual. Membaca kitab-kitab klasik dari dua bidang ini selalu menghadirkan pengalaman intelektual yang mengasyikkan.
Fikih, dengan kekayaan literaturnya, membentang luas dari teks-teks tipis yang diajarkan di madrasah hingga ensiklopedia berjilid-jilid yang menjadi rujukan para ulama. Ribuan kitab telah ditulis dalam berbagai mazhab, menjadikannya salah satu khazanah keilmuan Islam yang paling kaya dibandingkan dengan tradisi hukum agama mana pun. Dari karya para mujtahid klasik hingga elaborasi kontemporer, setiap halaman menghadirkan kejelian dalam memahami hukum Islam yang terus berkembang.
Tasawuf pun demikian. Disiplin ini hadir sebagai jalan penyucian diri, mendalami makna terdalam dari setiap ibadah, termasuk zakat. Para sufi, melalui berbagai tarekat dan ajaran mereka, menjelaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban finansial, melainkan jalan menuju penyucian jiwa dan kedekatan dengan Allah. Kitab-kitab tasawuf menggali hikmah di balik hukum, mengungkap dimensi batin yang sering luput dari pembahasan fikih.
Di bulan Ramadan ini, saya tertarik mengkaji zakat dari dua perspektif ini melalui beberapa kitab besar: tiga dari ranah fikih dan tiga dari tasawuf. Dari fikih, saya memilih Bidâyah al-Mujtahid, al-Mughnî, dan Majmu' Sharh al-Muhadzzab—tiga mahakarya yang mewakili pendekatan komparatif dan ensiklopedis. Dari tasawuf, saya menyelami Hikmah al-Tashri' wa Falsafatuhu, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, dan Sirr al-Asrâr—tiga karya yang menjelaskan makna zakat dari sudut pandang kebijaksanaan hukum, etika spiritual, dan esoterisme Islam.
Melalui kajian ini, saya ingin melihat bagaimana fikih dan tasawuf bertemu dalam memahami zakat. Apakah zakat hanya sekadar kewajiban hukum, atau ada hikmah mendalam yang dapat menggugah kesadaran spiritual? Bagaimana para ulama klasik membangun argumen mereka, dan sejauh mana pemikiran mereka masih relevan dalam konteks masyarakat modern?
Perjalanan ini bukan sekadar akademik, tetapi juga refleksi personal. Ramadan adalah bulan penyucian, dan zakat adalah simbol kedermawanan yang menyucikan harta serta hati. Saya berharap kajian ini tidak hanya memperkaya pemahaman intelektual, tetapi juga memperdalam makna zakat dalam kehidupan spiritual.
Seperti diketahui, zakat adalah salah satu rukun Islam yang memiliki fungsi ganda: sebagai bentuk kewajiban finansial dalam Islam dan sebagai sarana penyucian jiwa. Dalam tradisi keilmuan Islam, kajian tentang zakat berkembang dalam dua pendekatan utama, yaitu pendekatan fikih yang membahas hukum dan teknis pelaksanaannya, serta pendekatan tasawuf yang menyoroti hikmah dan dimensi spiritualnya.
Kajian fikih tentang zakat telah diulas secara mendalam dalam berbagai kitab klasik. Tiga di antaranya yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dan Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi. Ketiga kitab ini berasal dari tiga mazhab yang berbeda—Maliki, Hanbali, dan Syafi’i—dan memberikan wawasan luas mengenai perbedaan serta kesamaan dalam hukum zakat. Pembahasan dalam kitab-kitab ini mencakup nisab, jenis harta yang dikenai zakat, mekanisme pendistribusiannya, serta berbagai perbedaan pandangan di antara para ulama mengenai beberapa aspek zakat.
Di sisi lain, literatur tasawuf dan filsafat hukum Islam memandang zakat lebih dari sekadar kewajiban hukum; zakat juga dianggap sebagai sarana transformasi spiritual yang mendekatkan seseorang kepada Allah. Tiga kitab utama yang mewakili perspektif ini adalah Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu karya Ali Ahmad al-Jurjawi, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, dan Sirr al-Asrar karya Abdul Qadir al-Jilani. Kitab Hikmah al-Tasyri’ menyoroti peran zakat dalam membangun keadilan sosial dan ekonomi. Ihya Ulumuddin membahas bagaimana zakat dapat menjadi alat penyucian jiwa dan pelepasan dari ketergantungan duniawi. Sementara Sirr al-Asrar menekankan aspek mistik dari zakat sebagai jalan menuju ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah).
Kajian ini bertujuan untuk mengkomparasikan pendekatan fikih dan tasawuf dalam memahami zakat. Dengan mengkaji bagaimana zakat dipahami dalam literatur fikih serta bagaimana ia diletakkan dalam perspektif tasawuf, penelitian ini mencoba memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang peran zakat dalam Islam, baik dalam ranah sosial maupun spiritual. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk menjelaskan perbedaan antara pendekatan fikih dan tasawuf terhadap zakat, tetapi juga untuk menemukan titik temu yang dapat mengharmoniskan kedua pendekatan tersebut dalam praktik kehidupan Muslim.
Kitab Bidâyah al-Mujtahid
Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid ditulis oleh Ibn Rusyd al-Hafîd (1126–1198 M), seorang faqih mazhab Maliki, filsuf, dan dokter asal Andalusia. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rushd, yang juga dikenal di dunia Barat sebagai Averroes. Ia terkenal karena kontribusinya dalam filsafat Aristotelian serta perbandingan fikih. Bidâyah al-Mujtahid adalah salah satu karya penting dalam fikih perbandingan, membahas berbagai pendapat mazhab Sunni dengan pendekatan rasional dan argumentatif. Kitab ini terdiri dari 2 volume dalam edisi Arabnya. Salah satu edisi yang banyak dirujuk adalah terbitan Dâr al-Hadîts, Kairo, tahun 1997.
Dalam volume 1 kitab ini dijelaskan bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nishab dan telah berlalu satu tahun (haul). Para ulama sepakat bahwa zakat wajib bagi Muslim yang merdeka, baligh, berakal, dan memiliki kepemilikan penuh atas harta. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban zakat bagi anak kecil dan orang gila.
Mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa zakat tetap wajib atas harta mereka karena zakat merupakan kewajiban atas harta, bukan atas individu. Sebaliknya, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa zakat hanya wajib bagi mereka yang memiliki akal dan telah baligh.
Selain itu, ada perbedaan pandangan mengenai apakah orang yang memiliki utang tetap wajib membayar zakat, di mana sebagian ulama berpendapat bahwa utang dapat mengurangi atau bahkan menghapus kewajiban zakat, terutama jika jumlah utangnya lebih besar dari hartanya.
Dalam Bidayatul Mujtahid, dijelaskan bahwa jenis harta yang wajib dizakati meliputi emas dan perak, hasil pertanian, hewan ternak, barang dagangan, serta barang tambang dan harta karun. Zakat emas dan perak wajib dikeluarkan jika mencapai nishab, yaitu 20 dinar (sekitar 85 gram emas) dan 200 dirham (sekitar 595 gram perak), dengan kadar zakat sebesar 2,5%. Terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah perhiasan emas dan perak wajib dizakati, di mana sebagian ulama berpendapat bahwa jika digunakan sebagai perhiasan, maka tidak wajib dizakati, kecuali dalam jumlah berlebihan.
Untuk hasil pertanian, nishab zakatnya adalah 5 wasq (sekitar 653 kg), dengan kadar zakat 10% jika diairi dengan air hujan atau mata air alami, dan 5% jika diairi dengan sistem irigasi buatan yang membutuhkan biaya. Mazhab Hanafi dan Syafi’i mewajibkan zakat hanya pada tanaman yang menjadi makanan pokok seperti gandum, kurma, anggur, dan jelai, sementara Mazhab Maliki menyatakan bahwa semua hasil pertanian yang dapat disimpan dalam waktu lama wajib dizakati.
Hewan ternak yang wajib dizakati meliputi unta, sapi, dan kambing dengan nishab yang berbeda-beda. Unta wajib dizakati jika mencapai minimal lima ekor, sapi jika mencapai tiga puluh ekor, dan kambing jika mencapai empat puluh ekor. Sebagian ulama berpendapat bahwa hanya hewan yang digembalakan secara liar yang wajib dizakati, sementara hewan yang diberi pakan oleh pemiliknya tidak wajib dizakati. Sementara itu, zakat perdagangan diwajibkan atas barang dagangan dengan kadar 2,5% dari total nilai barang yang dimiliki selama satu tahun.
Sebagian ulama membolehkan pembayaran zakat perdagangan dalam bentuk uang, sementara lainnya berpendapat bahwa zakat harus dibayar dengan barang dagangan itu sendiri. Adapun zakat barang tambang seperti emas dan perak, zakatnya wajib dikeluarkan saat ditemukan, tanpa perlu menunggu haul, dengan kadar 20%. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah zakat ini berlaku juga untuk barang yang ditemukan di tanah milik seseorang.
Penerima zakat dibagi menjadi delapan golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah [9]: 60, yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf, riqab (budak yang ingin merdeka), gharimin (orang yang berutang), fi sabilillah (pejuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal). Dalam pembagiannya, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus diberikan kepada semua golongan yang berhak menerima, sementara Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan zakat diberikan hanya kepada satu golongan yang paling membutuhkan. Salah satu isu yang juga sering diperdebatkan adalah apakah zakat boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibayarkan dalam bentuk barang yang telah ditentukan, sedangkan Abu Hanifah membolehkan pembayaran dalam bentuk uang.
Selain zakat mal, ada pula zakat fitrah yang diwajibkan bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, sebagai bentuk penyucian diri di akhir Ramadan. Besaran zakat fitrah adalah satu sha’ (sekitar 2,5–3 kg) makanan pokok, yang harus dibayarkan sebelum shalat Idul Fitri. Sebagian ulama membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, sementara yang lain bersikeras bahwa zakat fitrah harus berupa makanan.
Terdapat juga perbedaan pendapat mengenai beberapa isu dalam hukum zakat, seperti batasan penerima zakat, zakat untuk muallaf, dan apakah menunda pembayaran zakat diperbolehkan. Abu Hanifah tidak setuju jika seorang miskin menerima zakat dalam jumlah besar hingga mencapai nishab karena dikhawatirkan ia menjadi kaya secara tiba-tiba, sementara Malik dan Syafi’i tidak membatasi jumlah zakat yang bisa diterima oleh seseorang. Dalam hal zakat muallaf, Malik berpendapat bahwa golongan ini tidak lagi berhak menerima zakat karena Islam sudah kuat, sementara Syafi’i dan Abu Hanifah tetap menganggapnya berlaku. Mengenai pembayaran zakat yang ditunda, sebagian ulama membolehkan jika ada alasan kuat, sementara lainnya menyatakan bahwa zakat harus segera dikeluarkan setelah mencapai haul.
Secara keseluruhan, Bidayatul Mujtahid memberikan pembahasan yang luas tentang zakat dengan menyoroti berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini menunjukkan bahwa hukum zakat dalam Islam memiliki fleksibilitas yang dapat disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi umat Islam di berbagai tempat dan zaman. Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa aspek, inti dari zakat tetap sebagai bentuk kepedulian sosial dalam Islam yang bertujuan untuk menyeimbangkan kesejahteraan ekonomi umat dan mencegah kesenjangan sosial.
Selain tentang zakat, dalam Bidayatul Mujtahid dibahas pula mengenai infak, sedekah, dan wakaf berkaitan erat dengan konsep harta dalam Islam dan bagaimana penggunaannya dalam berbagai bentuk kebaikan.
Infak merujuk pada pengeluaran harta untuk kepentingan yang dianjurkan dalam Islam, baik yang bersifat wajib seperti zakat maupun yang bersifat sunnah seperti sumbangan untuk kepentingan sosial. Dalam buku ini disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kadar infak yang dianjurkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika seseorang ingin menginfakkan seluruh hartanya, maka hal itu diperbolehkan, tetapi ada pula yang membatasi maksimal sepertiga dari total harta, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa sepertiga harta sudah cukup.
Perbedaan pendapat ini timbul dari dua prinsip utama. Pertama, ada pandangan yang menyatakan bahwa seseorang bebas menafkahkan seluruh hartanya selama tidak menyebabkan dirinya jatuh dalam kesulitan ekonomi. Kedua, ada prinsip kehati-hatian agar infak yang diberikan tidak sampai merugikan pemberi infak sendiri. Oleh karena itu, sebagian ulama menetapkan batas infak agar tetap ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial.
Adapun mengenai sedekah dikatakan bahwa sedekah adalah bentuk pemberian harta yang bersifat sukarela dan tidak terbatas pada jumlah tertentu. Dalam Bidayatul Mujtahid, dijelaskan bahwa ada perbedaan pandangan mengenai apakah sedekah bisa mencakup seluruh harta seseorang atau hanya sebagian saja. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menolak seseorang yang ingin menyedekahkan seluruh hartanya, sementara dalam riwayat lain, ada sahabat yang menyedekahkan sebagian besar hartanya dan diperbolehkan.
Dalam diskusi ini, para ulama mempertimbangkan beberapa faktor, seperti kemampuan seseorang untuk tetap bertahan hidup setelah bersedekah dan potensi manfaat dari sedekah itu sendiri. Beberapa ulama berpendapat bahwa jika seseorang memiliki tanggungan keluarga, maka lebih baik tidak mengeluarkan seluruh hartanya untuk sedekah. Sementara itu, bagi mereka yang tidak memiliki tanggungan dan yakin bahwa mereka dapat tetap bertahan hidup, maka sedekah dalam jumlah besar bisa menjadi bentuk ketakwaan yang tinggi.
Ibn Rushd juga membahas tentang wakaf yang menurutnya, wakaf merupakan bentuk infak yang paling berkelanjutan karena bersifat tetap dan manfaatnya terus mengalir. Dalam Bidayatul Mujtahid, wakaf tidak dibahas secara mendalam seperti zakat, tetapi prinsipnya sejalan dengan konsep infak dan sedekah. Wakaf adalah pemberian harta yang tidak bisa diwariskan atau dijual, melainkan digunakan untuk kepentingan umum seperti masjid, sekolah, atau fasilitas sosial lainnya.
Perbedaan pendapat mengenai wakaf muncul dalam hal apakah seseorang boleh menarik kembali harta yang sudah diwakafkan atau tidak. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa wakaf bersifat permanen, dan tidak boleh dibatalkan setelah diserahkan. Namun, ada diskusi mengenai apakah wakaf bisa dialihkan kepada tujuan lain jika ternyata tujuan awalnya tidak bisa lagi dijalankan.
Dengan demikian dalam Bidayatul Mujtahid, pembahasan mengenai infak, sedekah, dan wakaf lebih banyak terkait dengan prinsip umum dalam penggunaan harta. Terdapat perbedaan pendapat dalam berbagai aspek, terutama dalam batasan jumlah yang boleh diberikan dan ketentuan mengenai apakah seseorang boleh menginfakkan seluruh hartanya. Namun, secara keseluruhan, konsep-konsep ini ditekankan sebagai bagian dari ajaran Islam dalam menyeimbangkan antara kebutuhan pribadi dan kepentingan sosial.
Kitab al-Mughnî
Al-Mughnî disusun oleh Ibn Qudâmah al-Maqdisî (1147–1223 M), seorang ulama mazhab Hanbali yang lahir di Jamma’il, Palestina, dan kemudian menetap di Damaskus. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdisî. Ia dikenal sebagai salah satu otoritas fikih Hanbali terbesar, selain juga memiliki kedalaman spiritual sebagai seorang sufi. Al-Mughnî merupakan ensiklopedia fikih yang tidak hanya membahas hukum dalam mazhab Hanbali tetapi juga membandingkan pendapat ulama lain. Kitab ini terdiri dari 12 volume dalam edisi Arabnya dan menjadi rujukan utama dalam studi fikih Islam. Salah satu edisi terbitannya adalah Dâr 'Âlam al-Kutub, Riyadh, tahun 1997.
Dalam al-Mughni, zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf dibahas sebagai bagian dari syariat Islam yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan menegakkan keadilan ekonomi. Masing-masing memiliki aturan yang jelas mengenai kewajiban, keutamaan, dan mekanisme distribusinya.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan haul. Al-Mughni menegaskan bahwa zakat fitrah diwajibkan bagi semua Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau budak, selama mereka memiliki harta yang cukup untuk membayarnya. Allah SWT berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (QS. At-Taubah [9]: 103). Rasulullah SAW juga bersabda, "Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Al-Mughni, zakat terbagi menjadi dua jenis utama: (1) Zakat Fitrah – Zakat yang wajib dikeluarkan setiap Muslim pada akhir bulan Ramadhan sebelum shalat Id. Disebutkan bahwa zakat fitrah bisa berupa makanan pokok seperti kurma, gandum, atau keju. (2) Zakat Mal – Zakat yang dikenakan pada harta tertentu seperti emas, perak, hasil pertanian, hewan ternak, dan perdagangan.
Sedangkan infaq berarti pengeluaran harta di jalan Allah tanpa adanya ketentuan nisab atau haul. Berbeda dengan zakat yang wajib, infaq bersifat sukarela namun sangat dianjurkan dalam Islam. Allah SWT berfirman, "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakannya dengan lipat ganda yang banyak." (QS. Al-Baqarah [2]: 245).
Hadis Rasulullah SAW, "Infaqkanlah hartamu, janganlah kamu menahannya, karena jika kamu menahannya, Allah pun akan menahan rezekimu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jenis-Jenis Infaq terdiri dari: (1) Infaq wajib – Termasuk di dalamnya adalah nafkah kepada keluarga dan jihad di jalan Allah dan (2) Infaq sunnah – Seperti memberi makan fakir miskin, membantu pembangunan masjid, dan menyokong pendidikan Islam.
Mengenai sadaqah didefisinikan bahwa sadaqah adalah pemberian sukarela yang diberikan tanpa batasan jumlah atau syarat. Al-Mughni menyebutkan bahwa sedekah sangat dianjurkan setiap waktu, terutama jika dilakukan secara rahasia. Firman Allah SWT, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 271)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa bersedekah dengan sebiji kurma dari usaha yang halal, maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia akan mengembangkannya sebagaimana seseorang membesarkan anak kudanya, hingga sedekah itu menjadi sebesar gunung." (HR. Bukhari dan Muslim).
Beberapa keutamaan sadaqah disebutkan dalam al-Mughni: (1) Menghapus dosa – Rasulullah SAW bersabda: "Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR. Tirmidzi) dan (2) Menolak bala – Dalam hadis lain disebutkan bahwa sedekah secara diam-diam dapat memadamkan murka Allah.
Kitab al-Mughni juga membahas tentang wakaf, yaitu bentuk sedekah jariyah yang manfaatnya terus berlanjut, seperti tanah untuk masjid atau sekolah. Hadis Rasulullah SAW, "Jika manusia meninggal, amalnya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Menurut Al-Mughni, wakaf harus dikelola dengan baik agar manfaatnya terus berlanjut dan diberikan kepada penerima yang benar.
Singkatnya, dalam Al-Mughni, zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi dalam Islam. Zakat bersifat wajib, infaq dan sadaqah dianjurkan, sedangkan wakaf menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Semua ibadah ini mengajarkan umat Islam untuk berbagi, membantu sesama, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab
Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab adalah karya Imam An-Nawawi (1233–1277 M), seorang ulama besar mazhab Syafi'i yang lahir di Nawa, Suriah. Nama lengkapnya adalah Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi. Ia dikenal sebagai seorang faqih, ahli hadis, dan sufi yang sangat produktif dalam menulis. Al-Majmû‘nadalah syarah (penjelasan) atas kitab Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, yang membahas fikih Syafi'i secara mendalam serta membandingkannya dengan mazhab lain. Kitab ini terdiri dari 20 volume dalam edisi Arabnya, meskipun belum selesai sepenuhnya ditulis oleh An-Nawawi. Salah satu edisi yang banyak digunakan adalah terbitan Maktabah al-Irsyad, Jeddah, tahun 1980.
Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi adalah salah satu kitab fikih terpenting dalam mazhab Syafi'i. Kitab ini mengomentari Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi dan memberikan pembahasan mendalam tentang zakat, termasuk berbagai pendapat ulama mengenai aspek-aspek tertentu dari kewajiban zakat.
Dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, dikatakan bahwa Imam Al-Wahidi menjelaskan bahwa zakat memiliki beberapa makna, di antaranya penyucian harta, peningkatan, serta pemeliharaan dan pengembangannya. Dalam konteks bahasa, istilah zakat memiliki akar kata yang berarti "bertambah", sebagaimana dalam ungkapan zakaa yazkuu zakaa’an yang mengindikasikan pertumbuhan atau peningkatan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang mengalami pertumbuhan dapat dikatakan sebagai zakat.
Selain itu, zakat juga bermakna penyempurnaan dan kebaikan, sebagaimana terlihat dalam istilah rajulun zakiyyun, yang berarti seseorang yang memiliki keutamaan yang terus bertambah.
Dalam terminologi syariat, zakat merujuk pada harta yang dikeluarkan secara khusus sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, untuk diberikan kepada golongan yang telah ditetapkan dalam Islam. Pengarang Al-Hawi menjelaskan bahwa zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dikeluarkan dengan ketentuan tertentu untuk kelompok tertentu. Menariknya, ada perbedaan pandangan mengenai asal kata zakat dalam bahasa Arab. Beberapa ulama, seperti Daud Azh-Zhahiri, berpendapat bahwa istilah zakat tidak memiliki akar dalam bahasa Arab dan baru diperkenalkan dalam Islam. Namun, pendapat ini ditolak karena kata zakat telah lama digunakan dalam puisi-puisi Arab sebelum kedatangan Islam dan memiliki makna yang sudah dikenal luas.
Asy-Syirazi dalam Al-Majmu’ menegaskan bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam dan menjadi bagian dari kewajiban utama dalam agama. Dalil utama kewajibannya berasal dari firman Allah dalam Al-Qur’an: "Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat." (QS. Al-Baqarah [2]: 43). Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga menguatkan hal ini, ketika Rasulullah menjelaskan bahwa Islam terdiri dari keyakinan kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya, melaksanakan shalat wajib, menunaikan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadan. Hadis ini kemudian dikonfirmasi oleh Rasulullah sebagai pengajaran yang diberikan oleh Malaikat Jibril kepada umat Islam mengenai dasar-dasar agama mereka.
Dalam menafsirkan ayat tentang zakat, para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat mengenai apakah kata "zakat" dalam ayat tersebut bersifat mujmal (memerlukan penjelasan lebih lanjut) atau tidak. Menurut Abu Ishaq Al-Marwazi dan sebagian ulama Syafi’i lainnya, kata tersebut bersifat mujmal, karena Al-Qur'an tidak secara eksplisit merinci jenis harta yang wajib dizakati, nisabnya, dan kadar zakatnya. Oleh karena itu, ketentuan rinci mengenai zakat dijelaskan lebih lanjut dalam hadis Rasulullah. Namun, Imam Al-Bandaniji berpendapat bahwa kata zakat dalam ayat tersebut tidak bersifat mujmal, melainkan bersifat umum, sehingga kewajiban zakat untuk semua jenis harta yang telah ditentukan sudah terkandung dalam ayat tersebut, sementara perinciannya diambil dari sunnah.
Perbedaan pandangan ini memiliki dampak dalam penetapan hukum. Jika kata zakat dianggap mujmal, maka ayat tersebut hanya menjadi dalil umum kewajiban zakat, sementara rincian hukumnya tidak bisa disimpulkan langsung dari ayat tersebut. Sebaliknya, jika kata zakat dianggap bersifat umum, maka ayat tersebut tidak hanya menunjukkan kewajiban zakat tetapi juga dapat digunakan sebagai dalil dalam persoalan-persoalan zakat yang masih diperdebatkan.
Selain itu, perbedaan redaksi antara perintah menunaikan shalat dan zakat dalam Al-Qur'an juga menarik perhatian para ulama. Dalam banyak ayat, shalat sering kali diungkapkan dengan tambahan kata maktubah (yang telah diwajibkan), sebagaimana dalam hadis yang menyebutkan lima waktu shalat wajib. Sementara itu, zakat sering disebutkan dalam bentuk perintah tanpa keterangan tambahan, yang menunjukkan bahwa rincian ketentuannya membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari sunnah Nabi.
Dari pembahasan ini, terlihat bahwa zakat tidak hanya sekadar kewajiban keuangan dalam Islam, tetapi juga memiliki dimensi penyucian harta dan jiwa. Selain itu, kajian mengenai terminologi dan dasar hukum zakat dalam Islam menunjukkan bagaimana para ulama berupaya memahami dan merinci hukum-hukum Islam dengan metodologi yang ketat, baik melalui analisis bahasa, tafsir ayat Al-Qur'an, maupun kajian hadis.
Dijelaskan pula dalsm al-Majmu', menurut mazhab Syafi'i, harta yang dimiliki oleh budak mukatab (budak yang diberi kesempatan untuk menebus dirinya dengan membayar sejumlah uang) tidak wajib dizakati. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Ibn al-Mundzir menegaskan bahwa semua ulama sepakat dengan pendapat ini, kecuali Abu Tsaur yang mewajibkan zakat atas harta budak mukatab, karena ia menyamakannya dengan orang merdeka dalam kewajiban zakat. Namun, terdapat perbedaan dalam mazhab Hanafi, di mana Abu Hanifah berpendapat bahwa hasil pertanian budak mukatab wajib dizakati sebesar sepersepuluh, sedangkan hartanya yang lain tidak dikenai zakat.
Kitab al-Majmu' juga menjelaskan beberapa jenis zakat hewan Dalam mazhab Syafi'i, kuda tidak dikenai zakat, kecuali jika diperjualbelikan sebagai barang dagangan. Pendapat ini didukung oleh banyak ulama, termasuk Imam Ali, Ibn Umar, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Atha', Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Al-Hakim, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Ahmad, Ishaq, dan lainnya. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika seseorang memiliki kuda jantan dan betina, maka kuda tersebut wajib dizakati. Beberapa ulama lain, seperti Imam Malik, membedakan antara jenis kelamin kuda dalam penetapan zakatnya.
Dalam mazhab Syafi'i, juga dijelaskan hewan yang terlahir dari persilangan antara kambing dan kijang tidak dikenai zakat, karena bukan termasuk kategori hewan ternak yang wajib dizakati, seperti unta, sapi, dan kambing. Namun, Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa jika induknya adalah kambing, maka hewan tersebut wajib dizakati.
Pengarang al-Majmu', Imam Asy-Syirazi dalam kitab ini menjelaskan bahwa menjual harta yang sudah terkena zakat tidak menggugurkan kewajiban zakatnya. Jika seseorang memiliki unta yang wajib dizakati, lalu ia menjualnya sebelum membayar zakatnya, maka zakat tetap harus dikeluarkan. Pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ulama dalam mazhab Syafi'i.
Mengenai zakat onta dan nisabnya, para ulama sepakat bahwa dalam setiap 24 ekor unta atau kurang dari itu, zakat yang harus dikeluarkan adalah kambing. Namun, jika jumlah unta mencapai 25 ekor, maka zakatnya berupa satu ekor unta betina bintu makhadh (usia satu tahun). Jika jumlahnya bertambah, maka jenis dan jumlah zakatnya juga berubah sesuai dengan ketentuan dalam syariat.
Kitab ini juga membahas zakat sapi secara rinci, termasuk jumlah nisab dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Dalam mazhab Syafi'i, sapi dikenakan zakat jika telah mencapai nisab, dengan ketentuan sebagai berikut:
30 ekor sapi → zakatnya 1 ekor sapi usia satu tahun.
40 ekor sapi → zakatnya 1 ekor sapi usia dua tahun. Bertambahnya jumlah sapi akan mempengaruhi kadar zakatnya.
Adapun zakat kambing, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa nisab zakat kambing dimulai dari 40 ekor. Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, maka ia wajib mengeluarkan 1 ekor kambing sebagai zakat. Ketentuan ini berlaku hingga jumlah kambing mencapai 120 ekor. Jika jumlahnya mencapai 121 hingga 200 ekor, zakatnya menjadi 2 ekor kambing. Jika jumlahnya mencapai 201 hingga 300 ekor, zakatnya adalah 3 ekor kambing. Setelah itu, dalam setiap pertambahan 100 ekor, zakat yang dikeluarkan tetap 1 ekor kambing.
Dalam Al-Majmū‘, An-Nawawi juga menjelaskan konsep khalthah (pencampuran harta) dalam zakat. Jika dua orang atau lebih memiliki kambing yang digembalakan di tempat yang sama, maka hewan-hewan tersebut dianggap sebagai satu kepemilikan dalam perhitungan zakat. Syarat utama agar zakat tetap dikenakan dalam sistem khalthah adalah: (1) Pemilik hewan harus memenuhi kriteria wajib zakat; (2) Gabungan harta tersebut harus mencapai nisab; (3) Hewan yang digabung memiliki tempat merumput dan minum yang sama dan (4) Hewan-hewan itu digembalakan bersama dan tidak dibedakan berdasarkan pemiliknya.
Tentang zakat buah-Buahan dan tanaman, dalam mazhab Syafi'i, zakat hanya diwajibkan pada tanaman yang menjadi makanan pokok dan dapat disimpan dalam jangka panjang, seperti gandum, kurma, dan anggur kering. Sayur mayur, bawang, dan semangka tidak terkena zakat. Namun, ada perbedaan pendapat di antara ulama. Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil pertanian dikenai zakat, kecuali kayu bakar dan tanaman liar.
Sedangkan mengenai emas dan perak, nisab zakat emas adalah 20 mitqal (sekitar 85 gram emas), dan nisab zakat perak adalah 200 dirham (sekitar 595 gram perak). Zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5% dari total emas atau perak yang dimiliki setelah mencapai nisab dan telah berlalu satu tahun (haul). Imam An-Nawawi menegaskan bahwa barang-barang mulia seperti permata, intan, dan batu mulia tidak dikenai zakat, kecuali jika diperjualbelikan sebagai barang dagangan.
Dalam kitab ini jufa dijelaskan bahwa harta yang diperdagangkan wajib dikenai zakat jika mencapai nisab yang dihitung berdasarkan nilai emas atau perak. Zakatnya adalah 2,5% dari keuntungan yang diperoleh setelah satu tahun berjalan.
Adapun zakat pertambangan (ma'din) wajib dikeluarkan langsung sebesar 2,5% dari hasil tambang setelah diperoleh, tanpa harus menunggu haul. Sedangkan zakat rikaz (barang temuan peninggalan masa lalu) dikenakan sebesar 20% dan harus dikeluarkan segera setelah ditemukan.
Perihal zakat fitrah diwajibkan kepada setiap Muslim yang mampu dan harus dikeluarkan sebelum shalat Idulfitri. Ukuran zakat fitrah yang disebutkan dalam kitab ini adalah satu sha' (sekitar 2,5-3 kg) makanan pokok yang biasa dikonsumsi masyarakat setempat.
Dalam al-Majmū‘, An-Nawawi juga membahas keutamaan sedekah sunnah. Sedekah sunnah tidak terbatas pada harta, tetapi mencakup amal baik lainnya seperti senyuman, membantu orang lain, dan ucapan yang baik. Sedekah sunnah dianjurkan karena dapat menghapus dosa, mendatangkan keberkahan, serta meningkatkan kesejahteraan sosial.
Ringkasnya, kitab al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab memberikan pembahasan zakat yang sangat mendetail, mencakup berbagai jenis harta yang wajib dizakati, ketentuan nisab, serta perbedaan pendapat di antara para ulama. Dalam banyak kasus, mazhab Syafi'i cenderung tidak mewajibkan zakat atas harta yang kepemilikannya tidak sempurna, seperti harta budak mukatab dan hewan ternak yang tidak termasuk kategori wajib zakat. Namun, dalam kasus tertentu seperti penjualan harta yang sudah terkena zakat, mazhab ini tetap mewajibkan pembayarannya. Kitab ini juga menguraikan berbagai pandangan ulama lain seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, yang menunjukkan keluasan perspektif dalam fikih zakat Islam.
Komparasi Pembahasan Zakat dalam Bidayah al-Mujtahid, Al-Mughni, dan Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab
Ketiga kitab ini—Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dan Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi—merupakan rujukan utama dalam fikih Islam dari perspektif mazhab yang berbeda. Perbandingan ini akan menyoroti bagaimana masing-masing kitab membahas hukum zakat, khususnya terkait jenis harta yang dikenai zakat, ketentuan nisab, serta distribusinya.
1. Pendekatan dan Metodologi
Bidayah al-Mujtahid: Ibnu Rusyd menulis kitab ini dengan pendekatan komparatif dan analitis. Ia menyajikan berbagai pendapat mazhab tentang zakat dan alasan di balik perbedaan tersebut, tanpa berpihak pada satu mazhab tertentu.
Al-Mughni: Ibnu Qudamah membahas zakat dengan pendekatan fikih mazhab Hanbali, tetapi juga menyebutkan pendapat mazhab lain. Kitab ini berfungsi sebagai ensiklopedia hukum Islam dengan argumentasi dalil yang kuat.
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab: Imam An-Nawawi menulis kitab ini sebagai syarah atas Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirazi dalam mazhab Syafi’i. Kitab ini sangat rinci dalam membahas setiap aspek zakat dan mengutip berbagai pendapat ulama dalam mazhab Syafi’i serta mazhab lain.
2. Zakat Hewan Ternak
Ibnu Rusyd (Bidayah al-Mujtahid): Membahas zakat hewan ternak (unta, sapi, kambing) berdasarkan nisab dan kadar yang telah disepakati ulama, tetapi juga mengemukakan perbedaan pendapat terkait kuda. Ia menyebutkan bahwa mazhab Hanafi mewajibkan zakat atas kuda jika digunakan untuk perdagangan. Ibnu Qudamah (Al-Mughni): Berpendapat bahwa kuda tidak dikenai zakat kecuali jika diperjualbelikan. Ia merujuk pada hadis yang menyebutkan bahwa kuda adalah kendaraan jihad dan tidak termasuk dalam harta yang wajib dizakati. Imam An-Nawawi (Al-Majmu’): Menegaskan bahwa dalam mazhab Syafi’i, kuda tidak dikenai zakat, kecuali jika dijadikan barang dagangan.
3. Zakat Emas dan Perak
Ibnu Rusyd: Menyatakan bahwa emas dan perak wajib dizakati jika mencapai nisab (85 gram emas atau 595 gram perak) dan telah berlalu satu tahun (haul). Ibnu Qudamah: Sejalan dengan pendapat mayoritas ulama bahwa emas dan perak wajib dizakati, dengan perbedaan pendapat tentang apakah perhiasan wanita dikenai zakat atau tidak. Imam An-Nawawi: Berpendapat bahwa emas dan perak wajib dizakati jika mencapai nisab. Namun, ia menegaskan bahwa dalam mazhab Syafi’i, perhiasan yang digunakan sehari-hari tidak dikenai zakat.
4. Zakat Perdagangan
Ibnu Rusyd: Menjelaskan bahwa barang dagangan wajib dizakati jika mencapai nisab dan haul, tetapi ada perbedaan dalam cara menilai barang tersebut, apakah berdasarkan harga beli atau harga jual. Ibnu Qudamah: Menyatakan bahwa barang dagangan harus dihitung nilainya setiap tahun dan dizakati sebesar 2,5% dari nilai pasar saat itu. Imam An-Nawawi: Menegaskan bahwa barang dagangan wajib dizakati jika mencapai nisab dan haul, dan penilaiannya dilakukan berdasarkan harga pasar.
5. Zakat Hasil Pertanian
Ibnu Rusyd: Menyebutkan bahwa ada perbedaan pendapat tentang jenis tanaman yang wajib dizakati. Mazhab Hanafi mewajibkan zakat pada semua hasil pertanian, sementara mazhab lain hanya pada tanaman pokok yang bisa disimpan. Ibnu Qudamah: Berpendapat bahwa zakat wajib pada tanaman yang menjadi makanan pokok dan dapat disimpan, seperti gandum dan kurma. Imam An-Nawawi: Mengikuti pendapat mazhab Syafi’i bahwa zakat wajib pada tanaman yang menjadi makanan pokok dan dapat disimpan, dengan kadar 10% jika diairi dengan air hujan dan 5% jika diairi dengan biaya.
6. Zakat Fitrah
Ibnu Rusyd: Menyatakan bahwa zakat fitrah wajib bagi setiap Muslim yang mampu dan harus dikeluarkan sebelum shalat Idulfitri, dengan ukuran satu sha’ (sekitar 2,5-3 kg) makanan pokok. Ibnu Qudamah menegaskan bahwa zakat fitrah harus diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya sesuai dengan delapan asnaf dalam Al-Qur’an. Imam An-Nawawi: Menjelaskan bahwa dalam mazhab Syafi’i, zakat fitrah hanya boleh diberikan kepada fakir dan miskin, tidak boleh diberikan kepada selain mereka.
7. Zakat Barang Tambang dan Rikaz
Ibnu Rusyd: Menjelaskan bahwa hasil tambang dan rikaz (barang temuan) memiliki aturan zakat yang berbeda. Rikaz dikenai zakat 20% tanpa syarat haul, sedangkan hasil tambang ada perbedaan pendapat. Ibnu Qudamah: Berpendapat bahwa zakat rikaz adalah 20%, sementara zakat hasil tambang disamakan dengan emas dan perak, yaitu 2,5%. Imam An-Nawawi: Menyatakan bahwa dalam mazhab Syafi’i, rikaz dikenai zakat 20%, sedangkan hasil tambang dikenai zakat 2,5% tanpa syarat haul.
Dengan demikian, ketiga kitab ini memberikan perspektif yang berbeda mengenai zakat sesuai dengan mazhab masing-masing:
Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid menyajikan perbandingan berbagai mazhab secara analitis tanpa berpihak pada salah satu mazhab tertentu. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menjelaskan hukum zakat dari perspektif mazhab Hanbali, tetapi tetap menyebutkan pendapat mazhab lain dengan dalil yang kuat. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab memberikan uraian mendalam sesuai dengan mazhab Syafi’i, dengan referensi luas dari berbagai ulama Syafi’iyah serta mazhab lainnya.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam ketentuan zakat, ketiga kitab ini sepakat bahwa zakat merupakan kewajiban utama dalam Islam dan memiliki aturan yang jelas dalam syariat.
Hikmah dan Rahasia Zakat
Kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu
Kitab Ḥikmat al-Tashrīʿ wa Falsafatuhu (Kebijaksanaan dan Filsafat di Balik Syariat Islam) merupakan karya ʿAlī Aḥmad al-Jurjāwī, seorang ulama Mesir abad ke-20. Kitab ini menjelaskan hikmah di balik hukum-hukum Islam, memberikan perspektif rasional tentang mengapa suatu ibadah atau aturan syariat ditetapkan. Pembahasannya mencakup berbagai aspek syariat, mulai dari ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat, hingga hukum sosial seperti pernikahan dan ekonomi Islam. Dengan pendekatan filosofis dan maqāṣid al-sharīʿah (tujuan syariat), kitab ini membantu pembaca memahami bahwa hukum Islam tidak hanya bersifat normatif tetapi juga memiliki tujuan yang logis dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kitab ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Arab oleh Dār al-Fikr, Beirut, 1921, dan telah mengalami berbagai cetakan ulang oleh penerbit seperti Dār al-Maʿrifah, Cairo, 2005.
Dalam kitab ini disebutkan hikmah dan falsafah zakat, yaitu:
1. Mencegah Kekikiran dan Menanamkan Sifat Dermawan. Zakat mengajarkan seorang Muslim untuk tidak cinta berlebihan terhadap harta dan melatihnya berbagi dengan orang lain. Dengan menunaikan zakat, seseorang dapat membersihkan diri dari sifat kikir dan tamak.
2. Menegakkan Prinsip Keadilan dalam Distribusi Kekayaan. Harta dalam Islam dipandang sebagai amanah, bukan milik mutlak individu. Dengan adanya zakat, Islam memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya, tetapi juga mengalir kepada mereka yang membutuhkan.
3. Sebagai Bentuk Syukur kepada Allah SWT. Harta yang dimiliki oleh seseorang sejatinya adalah pemberian Allah. Dengan menunaikan zakat, seorang Muslim menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya.
4. Melanggengkan Nikmat dan Keberkahan. Zakat bukanlah pengurangan harta, melainkan justru menjadi sebab bertambahnya keberkahan. Allah menjanjikan bahwa harta yang dikeluarkan untuk zakat tidak akan berkurang, tetapi sebaliknya akan mendatangkan rezeki yang lebih luas.
5. Menjaga Keamanan Sosial dan Mencegah Konflik Kelas. Dengan adanya zakat, ketimpangan sosial dapat dikurangi. Orang miskin mendapatkan haknya, sehingga mengurangi potensi kecemburuan sosial, kejahatan, dan pemberontakan akibat ketimpangan ekonomi.
6. Membantu Kelompok yang Berhak Menerima (Mustahik). Zakat didistribusikan kepada delapan golongan yang berhak menerimanya (faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fisabilillah, dan ibnu sabil). Hal ini membantu mereka untuk meningkatkan taraf hidup dan mengurangi kemiskinan.
7. Membersihkan Hati dan Harta. Zakat membersihkan harta dari hak-hak orang lain yang ada di dalamnya dan membersihkan jiwa dari kesombongan serta kecintaan berlebihan terhadap dunia.
8. Menjadikan Harta Lebih Produktif. Dengan zakat, harta yang dikeluarkan tidak hanya diam dalam simpanan individu, tetapi berputar dalam perekonomian masyarakat. Hal ini memperkuat sektor ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan umat.
9. Memperkuat Solidaritas Umat Islam. Zakat mempererat hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan adanya kewajiban ini, kaum Muslimin diajarkan untuk saling peduli dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.
10. Menunjukkan Kasih Sayang dalam Masyarakat. Zakat adalah bukti kasih sayang seorang Muslim terhadap sesama. Ketika seseorang memberikan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan, hal itu menunjukkan kepedulian dan rasa empati yang tinggi.
Itulah beberapa hikmah zakat yang dijelaskan dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu. Islam tidak hanya menjadikan zakat sebagai ibadah finansial, tetapi juga sebagai instrumen sosial untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat.
Kitab Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn
Kitab Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), 4 jilid (volume) adalah karya monumental Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M), seorang ulama besar dalam bidang fikih, tasawuf, dan filsafat. Kitab ini membahas aspek utama kehidupan seorang Muslim dalam empat bagian besar: ibadah (Rubʿ al-ʿIbādāt), adat dan kebiasaan (Rubʿ al-ʿĀdāt), penyakit hati yang membinasakan (Rubʿ al-Muhlikāt), serta sifat-sifat yang menyelamatkan (Rubʿ al-Munjiyāt). Iḥyāʾ menjadi salah satu kitab tasawuf terpenting dalam sejarah Islam, yang mengintegrasikan aspek lahiriah dan batiniah dalam beragama.
Edisi cetak kitab ini telah diterbitkan oleh berbagai penerbit di dunia Islam, termasuk Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah (Beirut, 2004) dan Dār al-Minhāj (Jeddah, 2011). Selain itu, terdapat banyak edisi lain yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr dan Dār al-Maktabah al-Islāmiyyah. Beberapa terjemahan bahasa Inggris yang terkenal antara lain The Revival of the Religious Sciences, yang diterjemahkan oleh Muhammad Abul Quasem dan diterbitkan oleh Islamic Texts Society (ITS), Cambridge, 2010.
Dalam kitab Rahasia Puasa dan Zakat karya Imam Al-Ghazali, hikmah zakat dijelaskan dalam berbagai aspek yang mencakup makna spiritual, sosial, dan ekonomi. Berikut adalah uraian panjang mengenai hikmah zakat berdasarkan kitab ini:
1. Zakat sebagai Penyucian Diri. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi merupakan sarana penyucian diri bagi individu. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa zakat bertujuan untuk "membersihkan dan menyucikan" harta serta jiwa orang yang menunaikannya. Dengan mengeluarkan zakat, seseorang membersihkan hartanya dari hak orang lain dan menghindari ketamakan yang merusak hati.
2. Menghubungkan Harta dengan Tanggung Jawab Sosial. Menurut Al-Ghazali, zakat adalah bentuk pengakuan bahwa harta yang dimiliki bukanlah milik pribadi semata, tetapi ada hak orang lain di dalamnya. Islam menanamkan kesadaran bahwa kepemilikan harta harus disertai dengan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, zakat berfungsi sebagai mekanisme untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih adil di masyarakat.
3. Membantu Kaum Lemah dan Mencegah Ketimpangan Sosial. Salah satu tujuan utama zakat adalah untuk mengurangi ketimpangan sosial. Al-Ghazali menyoroti bahwa dalam masyarakat selalu ada orang-orang yang kekurangan, seperti fakir, miskin, dan mereka yang terlilit utang. Zakat berfungsi untuk membantu mereka agar dapat memenuhi kebutuhan dasar dan hidup dengan lebih layak.
4. Menjaga Stabilitas Ekonomi dan Menggerakkan Perekonomian. Dalam perspektif ekonomi, zakat memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas keuangan masyarakat. Al-Ghazali menjelaskan bahwa harta yang hanya disimpan tanpa digunakan akan kehilangan manfaatnya. Dengan mengeluarkan zakat, harta tersebut menjadi lebih produktif karena disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, sehingga dapat meningkatkan daya beli dan memperkuat ekonomi umat.
5. Menghindarkan Siksa bagi Mereka yang Tidak Menunaikan Zakat. Imam Al-Ghazali mengutip berbagai hadis dan ayat Al-Qur’an yang menegaskan ancaman bagi mereka yang menahan zakat. Salah satu ayat yang sering dikaitkan dengan ini adalah QS. At-Taubah:34 yang memperingatkan bahwa mereka yang menimbun emas dan perak tanpa menafkahkannya di jalan Allah akan mendapatkan siksa yang pedih. Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW juga menggambarkan bagaimana harta yang tidak dizakati akan berubah menjadi alat penyiksaan di hari kiamat.
6. Mempererat Hubungan Antar Manusia. Zakat bukan hanya bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga menciptakan ikatan yang kuat antara sesama manusia. Dengan zakat, hubungan antara si kaya dan si miskin menjadi lebih harmonis. Orang miskin tidak merasa terabaikan, sementara orang kaya merasa bahagia karena dapat berbagi dan membantu mereka yang membutuhkan.
7. Menghindari Keserakahan dan Menumbuhkan Rasa Syukur. Al-Ghazali menjelaskan bahwa harta duniawi sering kali membuat manusia lalai dan tenggelam dalam keserakahan. Zakat adalah latihan spiritual yang mengajarkan manusia untuk tidak terlalu mencintai dunia dan mengingat bahwa segala sesuatu yang dimiliki hanyalah titipan Allah. Dengan menunaikan zakat, seseorang belajar untuk lebih bersyukur atas nikmat yang diberikan.
8. Sebagai Bentuk Penghambaan kepada Allah. Menurut Al-Ghazali, ibadah zakat memiliki kesamaan dengan ibadah lainnya seperti shalat dan puasa, yakni sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Dengan menunaikan zakat, seorang Muslim menunjukkan keimanannya dan kesadarannya bahwa segala harta yang dimilikinya berasal dari Allah.
9. Mencegah Fitnah dan Hasad dalam Masyarakat. Zakat juga memiliki hikmah dalam meredam kecemburuan sosial. Al-Ghazali mengingatkan bahwa dalam masyarakat yang timpang, sering kali terjadi konflik akibat rasa iri dari mereka yang miskin terhadap yang kaya. Zakat membantu mengurangi jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan damai.
10. Mengokohkan Struktur Sosial Islam. Dalam Islam, zakat bukan hanya sekadar bantuan individual, tetapi juga bagian dari sistem ekonomi Islam yang lebih besar. Al-Ghazali mengingatkan bahwa Islam bukan hanya agama yang mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga memiliki aturan dalam aspek sosial dan ekonomi. Zakat adalah salah satu instrumen yang memperkuat sistem sosial Islam dengan memastikan keseimbangan dalam distribusi kekayaan.
Dari uraian Al-Ghazali, dalam Rahasia Puasa dan Zakat, jelas bahwa zakat memiliki banyak hikmah yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan ekonomi. Zakat bukan hanya tentang mengeluarkan sebagian harta, tetapi merupakan bagian dari sistem Islam yang lebih luas dalam menjaga keseimbangan sosial, membersihkan jiwa, dan mengokohkan ukhuwah Islamiyah. Dengan memahami hikmah zakat secara mendalam, seorang Muslim akan semakin terdorong untuk menunaikannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Kitab Sirr al-Asrār
Kitan Sirr al-Asrâr adalah karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani seorang ulama dan sufi terkemuka abad ke-12. Kitab ini membahas berbagai aspek syariat dan hakikat dalam Islam, termasuk rahasia zakat sebagai bentuk penyucian diri dan pendekatan kepada Allah. Salah satu edisi cetaknya diterbitkan oleh Dar al-Ansari) dengan tahqiq oleh 'Abd al-Razzaq al-Muqri dan diterbitkan dalam berbagai edisi dan tahun. Kitab ini diterjemahka ke bahasa Inggris berjudul The Secret of Secrets, tahun 1992.
Kitab Sirr al-Asrar (Rahasia Segala Rahasia) karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani merupakan salah satu karya sufi yang membahas berbagai aspek syariat dan hakikat dalam Islam. Dalam kitab ini, zakat tidak hanya dipandang sebagai kewajiban syariat, tetapi juga memiliki dimensi batin yang lebih dalam sebagai sarana penyucian diri dan pendekatan kepada Allah.
1. Makna Zakat dalam Syariat dan Hakikat. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa zakat bukan sekadar ibadah finansial, melainkan sarana penyucian harta dan jiwa. Dalam dimensi syariat, zakat adalah kewajiban yang ditentukan dalam Islam, dengan ketentuan nisab dan kadar tertentu. Namun, dalam hakikat, zakat adalah cara untuk membersihkan hati dari sifat tamak dan keterikatan pada dunia.
2. Zakat sebagai Penyucian Diri. Dalam kitab ini, zakat dipandang sebagai bentuk tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Harta yang tidak dizakati dianggap sebagai sumber penyakit hati, seperti keserakahan dan kecintaan berlebihan terhadap dunia. Oleh karena itu, zakat adalah sarana untuk menundukkan hawa nafsu dan mengajarkan sikap dermawan.
3. Zakat dan Kedekatan dengan Allah. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menekankan bahwa orang yang ikhlas dalam berzakat akan mendapatkan kedekatan dengan Allah. Harta yang diberikan dalam zakat akan menjadi cahaya yang menerangi hati dan menjauhkan seseorang dari siksa akhirat.
4. Zakat sebagai Ujian Keimanan. Menurut al-Jilani, zakat adalah ujian bagi hamba Allah: Apakah ia lebih mencintai harta atau ridha Allah? Apakah ia rela melepaskan sebagian hartanya untuk orang lain? Dengan membayar zakat, seseorang membuktikan bahwa hartanya bukanlah tujuan utama hidup, melainkan hanya sarana untuk mencapai keberkahan dan kebahagiaan sejati.
5. Zakat sebagai Jalan menuju Ma’rifat. Dalam perspektif tasawuf, zakat adalah salah satu langkah menuju ma’rifatullah (pengenalan kepada Allah). Seorang sufi yang telah memahami hakikat zakat akan melihat bahwa seluruh kepemilikan sejatinya adalah milik Allah, dan manusia hanyalah pengelola (khalifah). Dengan demikian, zakat bukan lagi beban, tetapi menjadi kesenangan karena ia sadar bahwa memberikan harta adalah bagian dari penghambaan kepada Allah.
Dalam Sirr al-Asrar, zakat tidak hanya dianggap sebagai kewajiban syariat, tetapi juga sebagai bagian dari perjalanan spiritual seseorang menuju Allah. Hakikat zakat adalah pembersihan hati, pelepasan dari ketergantungan dunia, dan bentuk penghambaan yang lebih dalam.
Dalam kitab Sirr al-Asrãr yang dikaitkan, zakat tidak hanya dipandang sebagai kewajiban finansial, tetapi juga sebagai sarana penyucian jiwa dan harta. Terdapat dua jenis amal yang disebutkan dalam kitab ini, yaitu zakat yang diwajibkan oleh agama dan amal spiritual yang lebih luas. Zakat yang diwajibkan mencakup bagian dari harta yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan sesuai dengan ketentuan syariat, sedangkan amal spiritual melibatkan pemberian yang lebih dalam, termasuk kontribusi non-material yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ajaran sufistik yang disampaikan dalam kitab ini, zakat dan sedekah tidak hanya memiliki manfaat sosial, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembersihan hati dan peningkatan spiritualitas. Amal yang diberikan dengan niat tulus akan diterima oleh Allah, membersihkan jiwa pemberinya, dan mengangkat derajatnya di sisi-Nya. Pahala dari amal kebaikan ini tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga menjadi sarana pengampunan dosa bagi pemberinya. Kitab ini mengajarkan bahwa memberi dengan sepenuh hati dan tanpa mengharapkan balasan duniawi merupakan esensi dari ibadah yang sejati.
Kitab The Secret of Secrets diterbitkan oleh The Islamic Texts Society di Cambridge pada tahun 1992. Buku ini menjadi salah satu referensi utama dalam tasawuf. Pada halaman 66-67, pembahasan mengenai zakat dan sedekah dijelaskan dengan pendekatan sufistik yang menekankan dimensi spiritual di balik praktik ibadah tersebut.
Dalam ini Syekh Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan zakat tidak hanya sebagai kewajiban hukum Islam, tetapi juga sebagai sarana penyucian diri dan pendekatan spiritual kepada Allah. Kitab ini membedakan antara zakat sebagai ibadah wajib yang berkaitan dengan harta dan amal spiritual yang lebih luas.
Dalam ajaran Islam, zakat diwajibkan atas harta tertentu yang telah mencapai nisab dan haul. Sebagian dari kekayaan seorang Muslim disisihkan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, seperti fakir, miskin, dan pihak lain yang disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. At-Taubah: 60). Dalam kitab ini, dijelaskan bahwa zakat tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga menumbuhkan keberkahan di dalamnya.
Menurut pemaparan Syekh Abdul Qadir al-Jilani, zakat bukan hanya tentang memberikan sebagian harta, tetapi juga sebuah latihan spiritual dalam melepaskan diri dari keterikatan duniawi. Ia menekankan bahwa hakikat zakat bukan sekadar membantu orang miskin, melainkan sebagai sarana bagi pemberi zakat untuk memperoleh penyucian jiwa. Amal yang diberikan dengan niat ikhlas akan diterima oleh Allah, sementara sedekah yang diberikan dengan harapan pujian atau keuntungan duniawi akan kehilangan nilainya di sisi Allah.
Dalam dimensi sufistiknya, zakat berfungsi sebagai bentuk pengorbanan yang menumbuhkan kepekaan terhadap sesama serta meningkatkan kesadaran akan kebesaran Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengutip bahwa sedekah yang diberikan akan melewati "bank Allah" sebelum sampai kepada penerima. Artinya, setiap kebaikan yang dilakukan akan mendapatkan balasan berlipat ganda dari Allah, bukan hanya dalam bentuk materi tetapi juga ketenangan batin dan derajat yang lebih tinggi di akhirat.
Dengan demikian kitab ini mengajarkan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga sebuah proses spiritual yang memperkuat hubungan manusia dengan Tuhannya. Dengan memberi, seorang Muslim tidak hanya membantu mereka yang membutuhkan, tetapi juga menyucikan dirinya dari keserakahan, mendekatkan diri kepada Allah, dan memperoleh kedamaian batin.
Komparasi Pembahasan Zakat dalam Kitab-Kitab Fikih dan Tasawuf
Pembahasan tentang zakat dalam literatur Islam terbagi ke dalam dua pendekatan utama: pendekatan fikih yang menekankan aspek hukum dan teknis pelaksanaannya, serta pendekatan tasawuf yang menggali makna batin dan hikmahnya. Kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dan Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi mewakili pendekatan fikih, sementara Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali, dan Sirr al-Asrar karya Abdul Qadir al-Jilani merepresentasikan pendekatan tasawuf.
Dalam kitab-kitab fikih, zakat dipahami sebagai kewajiban syariat dengan aturan yang rinci. Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, misalnya, menyajikan analisis perbandingan antar mazhab tentang zakat, menjelaskan alasan di balik perbedaan pendapat mereka tanpa berpihak pada satu mazhab tertentu. Sebaliknya, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah lebih menekankan fikih Hanbali sambil tetap mengakomodasi pendapat mazhab lain dengan argumentasi dalil yang kuat. Sementara itu, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawi menjadi rujukan utama dalam mazhab Syafi’i, mengulas zakat secara sangat rinci dengan mengutip berbagai pendapat ulama Syafi’iyah serta mazhab lain. Ketiga kitab ini membahas aspek-aspek teknis zakat, seperti nisab, kadar yang harus dikeluarkan, dan siapa saja yang berhak menerima zakat.
Sebaliknya, kitab-kitab tasawuf memandang zakat tidak hanya sebagai kewajiban finansial, tetapi juga sebagai sarana penyucian diri dan pendekatan kepada Allah. Dalam Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, zakat dijelaskan sebagai mekanisme sosial untuk menyeimbangkan distribusi kekayaan dan menjaga stabilitas ekonomi serta keadilan. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin lebih jauh menyoroti aspek batin zakat, menjelaskan bagaimana zakat dapat melindungi seseorang dari sifat kikir dan ketergantungan terhadap dunia. Bagi Al-Ghazali, zakat bukan hanya tentang berbagi harta, tetapi juga sebuah latihan spiritual untuk mengikis kecintaan terhadap duniawi.
Pendekatan yang lebih mistis ditemukan dalam Sirr al-Asrar karya Abdul Qadir al-Jilani. Dalam kitab ini, zakat tidak hanya dianggap sebagai sarana berbagi dengan sesama, tetapi juga sebagai cara mencapai ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah). Abdul Qadir al-Jilani menekankan bahwa hakikat zakat adalah pelepasan dari keterikatan dunia, sehingga seseorang dapat lebih fokus dalam perjalanan spiritualnya. Zakat menjadi cara untuk mengasah kepekaan hati, membersihkan diri dari penyakit batin seperti tamak, serta membuka jalan menuju kesempurnaan rohani.
Jika kitab-kitab fikih berusaha menetapkan batasan hukum zakat dengan dalil-dalil syar’i, maka kitab-kitab tasawuf lebih menyoroti dimensi spiritualnya. Fikih memastikan bahwa zakat ditunaikan dengan benar sesuai syariat, sementara tasawuf mengajarkan bahwa zakat harus dilakukan dengan niat yang ikhlas agar memberikan manfaat tidak hanya bagi penerima, tetapi juga bagi pemberinya dalam bentuk penyucian jiwa.
Kesimpulan
Zakat dalam perspektif fikih adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan hukum syariat, sementara dalam perspektif tasawuf, zakat adalah sarana penyucian jiwa dan pendekatan kepada Allah. Kombinasi antara pemahaman fikih dan tasawuf memberikan pandangan yang lebih luas tentang zakat, bukan hanya sebagai bentuk kewajiban keuangan, tetapi juga sebagai jalan menuju ketakwaan dan kesempurnaan spiritual.
Dari komparasi pembahasan zakat dalam Bidayah al-Mujtahid, Al-Mughni, dan Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menunjukkan bahwa ketiga kitab ini merepresentasikan pendekatan fikih yang khas sesuai dengan mazhab masing-masing.
Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid mengadopsi pendekatan komparatif dan analitis, membandingkan berbagai pendapat mazhab tanpa berpihak. Ini menjadikan kitabnya sebagai sumber penting bagi pemahaman perbedaan pandangan ulama dalam zakat.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menjelaskan hukum zakat dari perspektif mazhab Hanbali dengan dalil yang kuat, tetapi tetap mencantumkan pendapat mazhab lain. Pendekatan ini membuat Al-Mughni menjadi ensiklopedia fikih yang komprehensif.
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ memberikan uraian mendalam sesuai dengan mazhab Syafi’i, dengan referensi luas dari berbagai ulama Syafi’iyah serta mazhab lainnya. Kitab ini sangat rinci dalam membahas setiap aspek zakat, termasuk aspek teknis seperti nisab, jenis harta, dan distribusinya.
Meskipun terdapat perbedaan dalam ketentuan zakat, ketiga kitab ini sepakat bahwa zakat merupakan kewajiban utama dalam Islam yang memiliki aturan yang jelas dalam syariat.
Dari perspektif tasawuf, zakat tidak hanya dipahami sebagai kewajiban hukum, tetapi juga sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyat an-nafs) dan pelepasan keterikatan duniawi. Dalam hal ini, pemikiran Al-Jurjawi, Al-Ghazali, dan Abdul Qadir Al-Jilani menambahkan dimensi batiniah dalam pemahaman zakat.
Al-Jurjawi dalam Hikmat al-Tasyri‘ wa Falsafatuhu menjelaskan bahwa zakat bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga memiliki hikmah spiritual dalam membentuk keadilan sosial dan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. Ia menegaskan bahwa tanpa memahami hikmah ini, seseorang bisa terjebak dalam formalitas syariat tanpa merasakan manfaat ruhaniahnya.
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din melihat zakat sebagai latihan spiritual untuk melembutkan hati dan membebaskan diri dari sifat kikir (bukhl). Ia mengajarkan bahwa keutamaan zakat terletak pada keikhlasan dalam memberi, bukan sekadar memenuhi kewajiban syariat. Jika dalam tiga kitab fikih zakat dibahas dalam kerangka hukum, Al-Ghazali menambahkan bahwa zakat sejati adalah ketika seseorang memberi dengan penuh cinta kepada Allah.
Abdul Qadir Al-Jilani dalam Sirr al-Asrâr menekankan bahwa zakat adalah jalan untuk mencapai maqam tawakal dan zuhud. Ia mengajarkan bahwa seorang sufi sejati tidak terikat pada harta dunia, dan zakat adalah latihan untuk mengendalikan nafsu kepemilikan. Dalam konteks ini, zakat bukan hanya penyucian harta tetapi juga penyucian diri dari keterikatan duniawi.
Jika ketiga kitab fikih menyoroti aspek normatif dan yuridis zakat sesuai dengan mazhab masing-masing, maka perspektif tasawuf memberikan pemahaman lebih dalam tentang makna zakat sebagai sarana penyucian diri dan penghapusan sifat duniawi. Zakat dalam tasawuf bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual menuju Allah. Dengan demikian, kajian zakat idealnya tidak hanya terbatas pada aspek hukum fikih, tetapi juga diperkaya dengan dimensi batiniah sebagaimana dijelaskan oleh para sufi.
*Cikarang, 20 Ramadhan 1446 H.
Komentar
Posting Komentar