Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid



Cak Yo

Prolog

Betapa senangnya saya mendapat pesan whatsapp dari penerbit mengenai dua buku yang diproses terbit, "Untuk buku Ibn Arabî sebagai Mujtahid, sudah terbit ISBN-nya Pak. Sedangkan untuk Bunga Rampai TOT Lemhannas ada perbaikan di persyaratan." Maka, dengan rasa syukur yang mendalam, buku terbaru saya, Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid: Analisis Filsafat Sistem, Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani, serta Kontribusinya bagi Perkembangan Hukum Islam Modern, telah resmi terbit. Namun, mengingat keterbatasan dana yang ada, saya memutuskan untuk meminta penerbit agar hanya merilis buku ini dalam format ebook (pdf). Buku ini diterbitkan oleh Daar Al-Mutsaqqaf Ar-Rasyid, salah satu penerbit IKAPI, pada cetakan pertama bulan April 2025 dengan ketebalan 479 halaman. Buku ini hadir melanjutkan eksplorasi intelektual penulis dalam bidang filsafat hukum Islam yang sebelumnya dituangkan dalam buku Filsafat Hukum Ibn 'Arabî pada tahun 2020.

Buku ini merupakan penelitian lanjutan saya dari penelitian sebelumnya, Filsafat Hukum Ibn 'Arabî (Arsyada Yadaka Indonesia, 2020), yang menekankan pada landasan ontologis dan metafisis pemikiran Ibn 'Arabi, buku ini mengusung pendekatan interdisipliner yang komprehensif dengan menelaah pemikiran hukum Ibn 'Arabi melalui lensa filsafat sistem serta epistemologi klasik Islam: bayānī (tekstual), burhānī (rasional), dan ‘irfānī (intuisi spiritual). Pendekatan ini memungkinkan pembaca untuk memahami tidak hanya metode ijtihad Ibn 'Arabi secara lahiriah, tetapi juga menyelami kedalaman batiniah dan struktur epistemologis yang mendasari penarikan hukumnya. Dengan menelusuri hubungan Ibn 'Arabi dengan sumber-sumber hukum primer (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun sekunder (ijma’, qiyas, dan istishab), buku ini menegaskan posisi Ibn 'Arabi sebagai seorang mujtahid independen yang tidak terikat pada satu mazhab tertentu, tetapi justru menghadirkan satu pendekatan baru dalam ranah hukum Islam yang lebih holistik dan spiritual.

Melalui karya ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi penting bagi pemikiran hukum Islam modern, dengan menampilkan Ibn 'Arabi bukan hanya sebagai sufi agung atau tokoh metafisika, tetapi juga sebagai seorang mujtahid yang cemerlang. Buku ini menjadi referensi penting bagi akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang tertarik pada pengembangan hukum Islam dari perspektif tasawuf filosofis dan epistemologi integratif. Sebagai karya akademik lanjutan, buku ini diharapkan dapat memperkaya khazanah literatur hukum Islam dan membuka ruang baru bagi pembacaan kritis dan spiritual atas syariat dalam konteks zaman modern.

Gambaran Umum Isi Buku

Buku Ibn ʿArabī sebagai Mujtahid: Analisis Filsafat Sistem, Epistemologi Bayānī, Burhanī, dan ʿIrfānī, serta Kontribusinya bagi Perkembangan Hukum Islam Modern menawarkan kajian mendalam mengenai pemikiran hukum Ibn ʿArabī, dengan penekanan pada metodologi ijtihādnya yang unik. Dalam Bab 1, pendahuluan menguraikan konteks pentingnya mempelajari pemikiran hukum Ibn ʿArabī dan relevansinya dalam perkembangan hukum Islam modern. Bab 2 membahas definisi dan sejarah ijtihād, serta posisi Mujtahid dalam tradisi fikih, diikuti oleh pembahasan mendalam mengenai persyaratan, tingkatan, dan tanggung jawab Mujtahid dalam penerapan ijtihād. Bab 3 memperkenalkan sumber-sumber hukum utama dalam mazhab-mazhab fikih, sementara Bab 4 fokus pada pendekatan Ibn ʿArabī terhadap sumber hukum Islam, seperti al-Qurʾān, Sunnah, dan qiyās, serta posisi istishāb dalam kerangka pemikirannya.

Selanjutnya, Bab 5 menguraikan metode interpretasi hukum Ibn ʿArabī, yang mengintegrasikan aspek lahir dan batin, serta berbagai metode tafsīr seperti ishārah dan tattabīq. Bab 6 dan 7 memberikan analisis filsafat sistem dan epistemologi terhadap pemikiran hukum Ibn ʿArabī, menghubungkan teori filsafat sistem dengan konsep hukum yang diusungnya. Bab 8 menyelidiki afiliasi mazhab Ibn ʿArabī, termasuk hubungannya dengan mazhab Zāhirīyah, Ismāʿīlīyah-Batīniyyah, dan empat mazhab utama dalam Islam.

Bab 9 mengkaji peran Ibn ʿArabī sebagai Mujtahid, dengan fokus pada kriteria dan metode ijtihādnya yang independen. Bab 10 membahas ortodoksi pemikiran Ibn ʿArabī dan kontribusinya dalam mengatasi problematika hukum Islam masa kini. Bab 11 mengangkat kontribusi besar Ibn ʿArabī terhadap pengembangan hukum Islam modern, serta relevansi pemikirannya dalam konteks hukum dewasa ini. Buku ini ditutup dengan Bab 12 yang menyimpulkan temuan utama serta memberikan pandangan masa depan pemikiran hukum Ibn ʿArabī.

Dengan struktur yang komprehensif dan analisis yang mendalam, buku ini memberikan wawasan yang berharga tentang peran Ibn ʿArabī sebagai mujtahid dalam dunia hukum Islam, serta pengaruhnya dalam hukum Islam modern.

Pendahuluan

Tradisi hukum Islam merupakan salah satu warisan keilmuan yang paling kaya dalam sejarah intelektual umat manusia. Ribuan karya fiqh telah disusun sepanjang sejarah, memperlihatkan dinamika ijtihad dalam merespons perubahan sosial dan politik di berbagai era. Karya-karya monumental seperti al-Muwaṭṭa’ karya Imam Mālik ibn Anas, yang memadukan hadis dan praktik penduduk Madinah, menunjukkan metode hukum yang integratif antara teks dan tradisi lokal (Malik ibn Anas 1994). Sementara itu, al-Umm karya Imam al-Shāfiʿī menampilkan sistematika hukum dan metodologi ijtihad yang mendalam, menjadikannya sebagai pondasi utama dalam ilmu usul al-fiqh (al-Shāfiʿī 1991). Di sisi lain, al-Mabsūṭ karya al-Sarakhsī dalam mazhab Hanafi memberikan kedalaman argumentatif dalam menjelaskan persoalan-persoalan hukum secara komprehensif (al-Sarakhsī t.t.).

Meski demikian, pada titik tertentu muncul klaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak abad ke-10, sebuah pandangan yang banyak dikemukakan oleh sarjana orientalis seperti Joseph Schacht dan Noel Coulson (Schacht 1964; Coulson 1964). Namun, kritik terhadap pandangan ini datang dari akademisi kontemporer seperti Wael B. Hallaq yang menyebutnya sebagai mitos. Hallaq menegaskan bahwa ijtihad tetap berlangsung dalam bentuk fatwa, komentar, dan karya-karya hukum baru yang terus bermunculan, bahkan setelah periode klasik Islam (Hallaq 2001). Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak pernah statis, melainkan terus bergerak dan merespons tantangan zaman secara dinamis.

Hukum Islam sendiri bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari ajaran Islam yang menyatu dengan iman dan akhlak. Dalam pandangan Mahmud Shaltut, hukum Islam berfungsi untuk menciptakan hubungan harmonis antara manusia dan Allah serta antara sesama manusia (Shaltut 1958). Oleh karena itu, hukum tidak boleh dipahami sekadar sebagai teks legal-formal, melainkan sebagai ekspresi dari kehendak Ilahi yang transformatif dan spiritual.

Dalam konteks ini, figur Ibn 'Arabi menjadi menarik untuk dikaji. Ia lebih dikenal sebagai sufi besar dengan konsep metafisik waḥdat al-wujūd-nya, tetapi dalam karya-karyanya seperti al-Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ al-Ḥikam, Ibn 'Arabi juga membahas persoalan hukum dan syariat secara mendalam (Ibn 'Arabi 1999; Austin 1980). Pendekatannya yang memadukan aspek lahir dan batin dalam memahami teks-teks hukum mencerminkan model ijtihad yang khas: ijtihad yang bersifat spiritual dan filosofis sekaligus. Ia memandang bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur tindakan lahiriah, tetapi juga membentuk relasi spiritual antara manusia dan Tuhan.

Dengan pendekatan epistemologis yang mengintegrasikan bayānī (tekstual), burhānī (rasional), dan ‘irfānī (intuitif), Ibn 'Arabi menghadirkan model hukum yang holistik dan mendalam (Arabi 1999). Ia juga memberikan tekanan pada pentingnya memahami maqāṣid al-sharī‘ah seperti keadilan, kasih sayang, dan keseimbangan dalam penerapan hukum. Dalam kerangka ini, argumen bahwa Ibn 'Arabi dapat dikategorikan sebagai mujtahid independen memiliki dasar kuat, mengingat kapasitas intelektual dan spiritualnya dalam menafsirkan serta menyusun kerangka hukum Islam.

Konsep Ijtihâd dan Mujtahid

Dalam tradisi hukum Islam, istilah mujtahid berasal dari kata kerja ijtahada–yajtahidu–ijtihādan, yang secara etimologis berarti “bersungguh-sungguh.” Dengan demikian, seorang mujtahid adalah orang yang mengerahkan segenap kemampuannya dalam upaya intelektual yang menuntut beban berat. Al-Amidī, dalam al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, mendefinisikan ijtihad sebagai usaha keras yang dilakukan oleh seorang faqih untuk mencapai suatu hukum yang tidak mudah diketahui, karena terdapat kesulitan dan beban berat di dalamnya (al-Amidī 1996, 3:396). Pengertian ini juga ditegaskan oleh al-Ghazālī yang menyatakan bahwa ijtihad tidak berlaku untuk perkara ringan, melainkan hanya untuk persoalan yang sulit dan membutuhkan kapasitas intelektual yang tinggi, layaknya seseorang yang berusaha mengangkat batu besar, bukan sebutir gandum (al-Ghazālī 1993, 2:350; Hammad 1987, 263).

Definisi ijtihad secara terminologis juga dijelaskan oleh para ahli usul fiqh lainnya. Al-Shīrāzī menyebut bahwa ijtihad adalah pencurahan seluruh kemampuan seorang faqih untuk memperoleh hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil tertentu (al-Shīrāzī 1995, 254). Senada dengan itu, al-Amidī menambahkan bahwa seorang mujtahid tidak lagi merasa mampu menambahkan daya upaya lebih dari apa yang telah ia lakukan. Abu Zahrah, pakar usul fiqh modern, mendefinisikan ijtihad sebagai aktivitas seorang ahli hukum untuk menggali hukum-hukum praktis (ahkām ‘amaliyyah) dari dalil-dalil yang terperinci (Abu Zahrah 2002, 567).

Berdasarkan berbagai definisi tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa kriteria utama seorang mujtahid meliputi kedewasaan (bāligh), kecerdasan intelektual (faqīh al-nafs), akal sehat, dan kemampuan memahami teks-teks syariat. Ia juga harus memiliki pemahaman menengah dalam berbagai cabang ilmu bahasa Arab, seperti ilmu kosa kata (gharīb al-lughah), tata bahasa (naḥw), morfologi (ṣarf), dan ilmu balāghah seperti bayān. Selain itu, ia harus menguasai ilmu usul fiqh untuk dapat memahami metode istinbāṭ al-ḥukm, yakni teknik penarikan hukum dari dalil (al-Ansārī 2017, 644–647).

Taqī al-Dīn al-Subkī menekankan bahwa penguasaan atas ilmu-ilmu tersebut tidak cukup pada level dasar atau menengah, tetapi harus sampai pada tingkat yang memungkinkan seorang mujtahid untuk memahami maqāṣid al-sharī‘ah—tujuan-tujuan hukum yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga harus memahami permasalahan hukum seperti ijmā‘, nāsikh-mansūkh, asbāb al-nuzūl, serta mampu membedakan antara jenis hadis, seperti mutawātir, ahād, sahih, hasan, atau ḍa‘īf. Di samping itu, ia juga perlu mengetahui ilmu jarḥ wa ta‘dīl guna menilai kualitas para perawi hadis (al-Ghazālī 1993, 2:350–360; al-Ansārī 2017, 648–650).

Dalam karyanya al-Mankhūl, al-Ghazālī menjelaskan bahwa ijtihad tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab fatwa adalah bagian esensial dari syariat. Seorang mufti harus memiliki perangkat keilmuan yang lengkap, mulai dari kemampuan memahami teks Kitab dan Sunnah, hingga keterampilan untuk melakukan istinbāṭ melalui analogi dan pemahaman mendalam. Menurutnya, ijtihad membutuhkan bukan hanya hafalan teks, melainkan juga kemampuan logis dan linguistik, termasuk pemahaman konteks dan susunan kalimat dalam bahasa Arab yang tidak dapat dicapai hanya dengan membaca kamus atau buku-buku tafsir (al-Ghazālī 2000, 40).

Dengan demikian, kemampuan ijtihad adalah gabungan antara kematangan spiritual (seperti wara‘ dan taqwā) serta keluasan intelektual yang dibentuk oleh penguasaan atas dalil, bahasa, metodologi, dan sejarah hukum Islam. Ketika semua ini telah terpenuhi, seorang mujtahid layak untuk menafsirkan hukum syariat secara mandiri.

Wahbah Zuhaili menyampaikan pandangan tentang tingkatan mujtahid menurut al-Suyūṭī, Ibn al-Salah, dan al-Nawawī yang membagi mujtahid ke dalam lima tingkat. Tingkat pertama, al-Mujtahid al-Mustaqil, adalah mujtahid yang membangun fiqh berdasarkan kaidah dan metode yang ditetapkannya sendiri. Ia memiliki ushul fiqh dan fiqh yang independen dari yang lain, sebagaimana yang diterapkan oleh Imam empat mazhab. Kedua, al-Mujtahid al-Muthlaq ghayr al-Mustaqil, yakni mujtahid yang memenuhi syarat berijtihad tetapi metode yang digunakan bergantung pada mazhab yang diikuti. Walaupun ia mengikuti metode dari imamnya, ia memiliki pendapat sendiri dalam masalah cabang fiqh, seperti Abu Yusuf (113–183 H), Muhammad (132–189 H), dan Zufar (110–157 H) yang mengikuti Abu Hanīfah. Ketiga, al-Mujtahid al-Muqayyad atau al-Mujtahid at-Takhrīj, adalah mujtahid yang dapat menggali hukum berdasarkan metodologi yang ditetapkan oleh imam, meskipun tidak lepas dari pandangan imamnya. Keempat, Mutahid at-Tarjih adalah ulama yang mempertahankan mazhab imamnya dan mampu memilih pendapat yang lebih kuat dari berbagai pandangan dalam mazhab tersebut. Kelima, Mujtahid al-Fatwa, yakni pakar fiqh yang mampu memberikan fatwa sesuai dengan ketetapan imamnya namun tidak dapat melakukan ijtihad baru (Zuhaili, 1986, 1084).

Abu Zahrah mengklasifikasikan mujtahid dalam empat tingkatan yang mirip dengan yang diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili, yakni: pertama, al-Mujtahid fi al-Syar'i atau al-Mujtahid al-Mustaqil, mujtahid yang mandiri dalam ijtihad dan merumuskan metode sendiri, tidak terikat pada pendapat orang lain. Kedua, al-Mujtahid al-Muntasi, mujtahid yang meskipun terikat pada ushul fiqh imam mazhab, ia tetap memiliki perbedaan dalam pendapat cabang fiqh. Ketiga, al-Mujtahid fi al-Madhhab, mujtahid yang hanya bisa mengembangkan ijtihad dalam masalah yang belum ditetapkan oleh imam mazhabnya, tetapi tidak melakukan ijtihad terhadap hal yang sudah ada ketetapannya. Keempat, al-Mujtahid al-Murajih, yaitu mujtahid yang hanya dapat memilih pendapat terkuat dalam mazhabnya dengan menggunakan metode tarjih (Zuhaili, 1986, 1084).

Perdebatan tentang Afiliasi Mazhab Ibn 'Arabî

Perdebatan tentang afiliasi mazhab Ibn 'Arabi telah menjadi topik diskusi di kalangan para sarjana. Sebagian menganggapnya seorang skripturalis, berfokus pada makna literal (zahir) dari teks-teks suci, yang mengarah pada pandangan bahwa ia berafiliasi dengan mazhab Zahiri. Anggapan ini didukung oleh fakta bahwa Ibn 'Arabi mempelajari karya-karya tokoh Zahiri, Ibn Hazm, yang terkenal dengan penolakannya terhadap qiyas, serta meringkas karya fikh Ibn Hazm, al-Muhalla. Berdasarkan fakta ini, sarjana seperti Ignaz Goldziher menyatakan bahwa Ibn 'Arabi mungkin termasuk dalam tradisi Zahiri (Goldziher, 2008: 164-170). Namun, ada pula pandangan yang menyatakan Ibn 'Arabi lebih dekat dengan mazhab Batinīyah, yang mengutamakan dimensi esoterik (batin), terutama karena peranannya dalam tasawuf. Henry Corbin bahkan menempatkan Ibn 'Arabi dalam konteks Ismailiyah, mengingat ia pernah belajar dari tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan mazhab tersebut (Corbin, 1997: 3-77).

Gerald T. Elmore (1999: 42-43) mengutip pendapat Muhammad ibn Musdi yang menggambarkan Ibn 'Arabi sebagai seorang yang memadukan pendekatan literal (zahir) dan esoterik (batin), bahkan jika ia berafiliasi dengan mazhab Zahiri dalam aspek ritual praktis. Di sisi lain, Eric Winkel berpendapat bahwa Ibn 'Arabi bisa ditempatkan dalam tradisi hukum Sunni, mengingat ia mengembangkan hermeneutika literalis yang mendalam dalam konteks hukum Islam (Winkel, 1997: 19).

Ibn 'Arabi sendiri menegaskan bahwa ia tidak ingin dikaitkan dengan satu mazhab tertentu. Dalam sebuah syair, ia menolak klaim-klaim yang menyatakan dirinya berafiliasi dengan mazhab-mazhab besar seperti Maliki, Hanbali, Hanafi, atau Zahiri (Dajani, 1997: 97). Bahkan, Ibn Khalikan, dalam biografinya, menggambarkan Ibn 'Arabi sebagai seorang yang berijtihad mandiri tanpa terikat pada otoritas mazhab manapun (Dajani, 1997: 97). Penolakan terhadap afiliasi mazhab ini mencerminkan kesadaran Ibn 'Arabi akan otoritas dan kompetensinya sendiri, yang ia peroleh melalui sintesis antara pemahaman literal dan esoterik, baik dalam syariat maupun tasawuf.

Beberapa sarjana modern seperti Mahmūd al-Ghurab dan Michel Chodkiewicz menganggap Ibn 'Arabi sebagai seorang mujtahid independen, dengan beberapa mengusulkan istilah "Mazhab Hukum Akbarian" untuk merujuk pada pendekatan hukum yang dipraktikkannya (Chodkiewicz, 1993: 13; Ghurab, 1993: 11). Sejarawan seperti Ibn 'Imād al-Hanbali bahkan menyebutnya sebagai "mujtahid mutlak tanpa ragu" (Ibn 'Imād al-Hanbali, 1675: 200). Pendekatan hukum Ibn 'Arabi ini yang menggabungkan aspek lahiriah syariat dan dimensi batiniah menunjukkan perannya sebagai pemikir hukum yang unik dan berpengaruh dalam dunia Islam.

Penolakan Ibn 'Arabi untuk diidentifikasi dengan mazhab tertentu sejatinya bukan hal baru. Dalam salah satu syair terkenalnya, ia menyebutkan bahwa ia tidak berafiliasi dengan Imam Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad ibn Ḥanbal, Ibn Ḥazm, ataupun tokoh-tokoh mazhab besar lainnya. Penolakan ini diperkuat oleh penuturan Ibn Khalikān (w. 681/1282), seorang ulama Syafi'iyah dan penulis biografi, yang pernah bertemu langsung dengan Ibn 'Arabi. Ia menggambarkan Ibn 'Arabi sebagai seorang sarjana yang melakukan ijtihad secara independen, tanpa mengikuti otoritas hukum sebelumnya (Dajani 2017, 97).

Sumber-Sumber Hukum Ibn ‘Arabî

Dalam khazanah pemikiran hukum Islam klasik, Ibn ‘Arabi dikenal bukan hanya sebagai seorang sufi besar, tetapi juga sebagai seorang mujtahid yang memiliki kerangka epistemologis dan metodologis tersendiri dalam memahami dan merumuskan hukum Islam. Salah satu aspek penting dari pemikirannya adalah tentang sumber-sumber hukum Islam (uṣūl al-aḥkām), yang dibahas secara eksplisit dalam karya monumentalnya, al-Futūḥāt al-Makkiyyah. Dalam jilid ketiga karya tersebut, khususnya bab ke-88 yang berjudul Fī Ma‘rifah Asrār Uṣūl al-Aḥkām al-Shar‘ī, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa dasar hukum Islam menurutnya terdiri atas tiga pilar utama: Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijmā‘. Ia menyebut ketiganya sebagai sumber-sumber yang disepakati dalam syariat, sedangkan qiyās (analogi hukum) ia letakkan di posisi yang diperselisihkan karena tidak memiliki tingkat otoritas epistemik yang sama dengan tiga sumber pertama (al-Futūḥāt al-Makkiyyah, jilid 3, bab 88).

Untuk mempertegas pandangannya, Ibn ‘Arabi menuliskan syair yang secara eksplisit memuat klasifikasi ini: “Wa ammā aḥkāmuhā thalāthah: kitābun wa ijmā‘un wa sunnatun li-l-Muṣṭafā, warābi‘uhā minnā qiyāsun muḥaqqaqun, wa fīhi khilāfun baynahum marran wa inqaḍā” (Dīwān Ibn ‘Arabī, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H/1996 M, hlm. 61). Dalam syair tersebut, ia menyebut bahwa sumber hukum itu ada tiga: kitābullāh (Al-Qur’an), ijmā‘ (kesepakatan umat), dan sunnah Nabi. Adapun qiyās disebutnya sebagai hasil nalar yang masih mengundang perdebatan di kalangan para ulama. Syair ini tidak hanya menunjukkan kemampuan sastra Ibn ‘Arabi, tetapi juga memuat suatu pernyataan teologis-epistemologis yang penting dalam kerangka pemikiran hukum Islam.

Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi karena ia adalah wahyu yang langsung disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia mengutip sejumlah ayat yang menegaskan hubungan antara takwa dan pemberian ilmu dari Allah, seperti firman-Nya, “Wattaqū Allāh wa yu‘allimukum Allāh” (Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu) dan “Intattaqū Allāh yaj‘al lakum furqānan” (Jika kalian bertakwa, Allah akan memberikan kalian furqān atau kemampuan membedakan yang benar dan yang salah). Juga firman lain seperti “Ittaqū Allāh wa āminū birusulih” serta “Ātaynāhu raḥmatan min ‘indinā wa ‘allamnāhu min ladunnā ‘ilman”, yang kesemuanya menunjukkan bahwa pemberian ilmu dari sisi Tuhan (‘ilm ladunī) diturunkan kepada hamba yang memiliki ketakwaan dan bersandar pada wahyu (al-Futūḥāt al-Makkiyyah, jilid 3, bab 88).

Menurut Ibn ‘Arabi, takwa menjadi prasyarat epistemologis bagi seseorang untuk menerima pengetahuan syariat. Dalam hal ini, ia mengutip al-Junayd al-Baghdādī yang menegaskan bahwa ilmu harus dibatasi oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta bahwa seluruh amalan harus bersandar kepada dua sumber utama tersebut. Oleh karena itu, kriteria validitas suatu pengetahuan shar‘ī bagi Ibn ‘Arabi tidak bisa dilepaskan dari otoritas teks wahyu. Dalam sistem ini, Al-Qur’an menempati posisi pertama, diikuti oleh Sunnah Nabi yang ṣaḥīḥ dan mutawātir, serta ijmā‘ sahabat yang diakui (Mahmūd Maḥmūd al-Ghurāb, al-Fiqh ‘inda al-Shaykh al-Akbar Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī, hlm. 52–53). Ketiganya merupakan dasar hukum yang disepakati dan dijadikan sandaran oleh para ahli hukum Islam sejak generasi awal.

Sementara itu, mengenai qiyās, Ibn ‘Arabi mengambil posisi kritis. Ia tidak serta-merta menolak qiyās, namun menempatkannya pada posisi yang lebih rendah dibandingkan tiga sumber utama tersebut. Qiyās hanya dapat diterima sejauh tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijmā‘, serta tidak mengaburkan makna eksplisit wahyu. Sikap ini sejalan dengan pendekatan para sufi dan ahli kashf lainnya yang menekankan langsungnya hubungan spiritual dengan Tuhan sebagai sumber pengetahuan. Dalam pandangannya, sumber-sumber hukum tidak boleh didasarkan hanya pada spekulasi akal, tetapi harus berasal dari wahyu dan pengalaman batin yang tervalidasi oleh naṣṣ (dalil tekstual).

Pandangan Ibn ‘Arabi ini menunjukkan konsistensinya sebagai seorang sufi yang memadukan antara epistemologi spiritual (‘irfānī) dan tradisi hukum normatif Islam. Ia melihat bahwa Allah telah mensyariatkan hukum-hukum bagi kehidupan manusia yang mukallaf, dan hukum-hukum tersebut harus dicari pertama-tama melalui petunjuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, dan ijmā‘, bukan dari hasil rasionalitas semata. Dengan demikian, pendekatan Ibn ‘Arabi dalam memahami sumber hukum Islam bukan hanya bersifat tekstual, tetapi juga spiritual dan reflektif, karena ia memandang bahwa pengetahuan tentang hukum adalah bagian dari tajallī ilāhī (manifestasi ketuhanan) yang diturunkan kepada manusia melalui ketakwaan dan kedekatan kepada Allah (al-Futūḥāt al-Makkiyyah, jilid 3, bab 88).

Ibn ‘Arabi memiliki pandangan yang khas mengenai sumber-sumber hukum Islam. Ia tidak keluar dari konsensus dasar ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah dalam hal pengakuan terhadap tiga sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijmā‘ umat atau para sahabat. Ketiga sumber ini dipandang oleh Ibn ‘Arabi sebagai pilar utama bangunan syariat Islam yang wajib diikuti oleh setiap mukallaf. Ia menyusunnya dalam bentuk syair yang tidak hanya estetik tetapi juga sarat muatan metodologis. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam dirinya terkumpul dua unsur penting dalam keilmuan Islam klasik: antara estetika spiritualitas dan keilmuan normatif-hukum.

Dalam menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa pemahaman terhadap hukum harus diawali dari wahyu ilahi. Al-Qur’an baginya bukan sekadar teks hukum, tetapi juga sumber utama pengetahuan yang tidak akan pernah kering makna dan hikmahnya. Takwa dijadikan sebagai instrumen epistemologis untuk membuka pintu pemahaman terhadap wahyu. Dengan kata lain, Ibn ‘Arabi menyelaraskan antara keilmuan uṣūl al-fiqh dengan pendekatan spiritual tasawuf, sehingga hanya orang-orang yang memiliki maqām takwa-lah yang dapat menyerap rahasia hukum Tuhan.

Sunnah Nabi dan ijmā‘ dipandang sebagai ekstensi dari Al-Qur’an. Sunnah mengandung penjelasan kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan ijmā‘ merupakan manifestasi dari pemahaman kolektif komunitas Islam awal yang tercerahkan oleh kedekatan mereka dengan sumber wahyu. Ibn ‘Arabi sangat menghormati keduanya, tetapi tetap menekankan bahwa validitas hukum dari keduanya harus tetap bersandar pada prinsip wahyu dan petunjuk ilahi.

Adapun qiyās, walaupun tidak secara total ditolak, ditempatkan dalam posisi yang diperselisihkan. Ia dianggap sebagai hasil ijtihād akal yang terbatas, dan oleh karena itu tidak bisa disejajarkan dengan sumber-sumber yang bersifat yaqīnī (pasti) seperti Al-Qur’an dan Sunnah. Ibn ‘Arabi dengan jelas memprioritaskan wahyu atas rasio, dan menegaskan bahwa pencarian hukum seharusnya berpijak pada kashf, ilham, dan pemahaman ruhani yang sesuai dengan naṣṣ, bukan pada logika spekulatif semata.

Dengan demikian, pemikiran Ibn ‘Arabi tentang sumber hukum mencerminkan adanya integrasi antara dimensi ẓāhir dan bāṭin, antara teks dan intuisi, antara nalar normatif dan pengalaman spiritual. Pendekatannya ini tidak hanya memperkaya khazanah uṣūl al-fiqh, tetapi juga membuka jalan bagi rekonstruksi pemikiran hukum Islam yang lebih holistik, yang tidak hanya rasional dan tekstual, tetapi juga transendental dan spiritual.

Ibn 'Arabi tentang Hakikat Ijtihâd

Ibn 'Arabi, seorang tokoh besar dalam pemikiran Islam dan tasawuf, menawarkan pandangan yang sangat berbeda tentang konsep ijtihad dibandingkan dengan ulama lainnya dalam tradisi Islam. Baginya, ijtihad bukan semata-mata suatu upaya intelektual yang mengandalkan akal dan kemampuan untuk merumuskan hukum melalui qiyas (analogi) atau ijma' (konsensus), tetapi juga suatu perjalanan spiritual yang membutuhkan keterbukaan hati dan pencerahan batin. Ia memandang ijtihad sebagai sarana untuk menggali makna terdalam dari hukum ilahi yang hanya bisa dicapai melalui pengalaman mistis (kasyf), yang dalam pemahamannya, hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki kedekatan spiritual dengan Tuhan (Chodkiewicz, 1993, 101).

Bagi Ibn 'Arabi, ijtihad adalah proses berkelanjutan untuk memahami wahyu dalam kedalaman yang tidak dapat dicapai melalui analisis tekstual semata. Pengalaman batin yang mendalam menjadi kunci dalam menggali dan memahami makna wahyu Tuhan yang sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad menurut Ibn 'Arabi tidak hanya didasarkan pada kapasitas intelektual seorang mujtahid, tetapi juga pada tingkat spiritualitas dan kesucian hati yang dimiliki oleh individu tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Chodkiewicz, Ibn 'Arabi menekankan pentingnya keterbukaan hati untuk menerima petunjuk ilahi yang lebih dalam, yang tidak terhalang oleh prasangka atau pemahaman tekstual yang sempit (Chodkiewicz, 1993, 101).

Penolakan terhadap "Penutupan Pintu Ijtihad"

Salah satu pandangan Ibn 'Arabi yang menonjol dalam konteks ini adalah penolakannya terhadap gagasan "penutupan pintu ijtihad," yang banyak dianut oleh sebagian besar ulama setelah abad ketiga Hijriyah. Banyak ulama pada masa tersebut beranggapan bahwa ijtihad hanya dapat dilakukan oleh para imam mazhab tertentu, dan setelah itu tidak ada lagi ruang untuk pengembangan hukum melalui ijtihad. Ibn 'Arabi, sebaliknya, berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka bagi mereka yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual yang memadai. Hal ini mencerminkan pandangan Ibn 'Arabi yang lebih inklusif dan fleksibel dalam pemahaman hukum Islam, yang tidak terikat pada aturan-aturan yang kaku dan terbatas pada tradisi mazhab tertentu (Chodkiewicz, 1993, 131).

Bagi Ibn 'Arabi, proses ijtihad adalah hal yang dinamis dan terus berkembang. Ijtihad tidak terbatas hanya pada masa tertentu, dan selamanya dapat diterapkan selama seorang mujtahid memiliki kapasitas untuk memahami wahyu Tuhan dalam konteks yang relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini juga menunjukkan pemikiran Ibn 'Arabi yang sangat menghargai kebebasan intelektual dan pencarian pengetahuan yang tidak terbatas oleh konvensi-konvensi tradisional.

Prinsip-Prinsip Hukum Ibn 'Arabî

Beberapa prinsip dasar yang mendasari pemikiran hukum Ibn 'Arabi menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan fleksibilitas dan kasih sayang dalam hukum Islam. Prinsip pertama adalah Al-Ibāhah al-Asliyyah (Kebolehan Asli), yang menyatakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada larangan yang jelas dalam syariat. Prinsip ini membuka ruang bagi fleksibilitas dalam penerapan hukum, yang menghindari pembebanan yang berlebihan pada umat Islam. Hal ini juga mencerminkan pandangan Ibn 'Arabi yang tidak melihat syariat sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan manusia, tetapi lebih sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara yang penuh kasih sayang dan kelembutan.

Prinsip kedua adalah kasih sayang dalam hukum, di mana Ibn 'Arabi berpendapat bahwa tujuan utama syariat adalah menunjukkan kasih sayang Allah kepada umat-Nya. Dalam pandangannya, hukum tidak hanya mengatur perilaku manusia, tetapi juga berfungsi sebagai wahana untuk menyalurkan rahmat dan kasih sayang Tuhan yang tak terbatas kepada hamba-Nya (Chodkiewicz, 1993, 101).

Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap taqlid buta, yang dianggap oleh Ibn 'Arabi sebagai penghalang utama dalam pencarian makna yang lebih dalam dari wahyu. Ia berpendapat bahwa ketergantungan berlebihan pada pendapat imam mazhab atau otoritas eksternal dapat mengerdilkan potensi individu untuk memahami wahyu secara langsung. Dalam hal ini, Ibn 'Arabi menekankan pentingnya usaha pribadi dalam mencari pengetahuan dan memahami wahyu tanpa terikat oleh pandangan yang mapan atau dogmatis (Chodkiewicz, 1993, 101).

Metote Ijtihad Ibn 'Arabî: Integrasi Aspek Zahir dan Batin

Ketika Ibn 'Arabî berbicara tentang fiqh, dalam kerangka pemikiran Ibn ‘Arabī, istilah fiqh tidak hanya dipahami dalam pengertian normatif-eksternal sebagaimana yang umum digunakan oleh para fuqahā’, tetapi mencakup pula dimensi spiritual dan batiniah dari syariat Islam. Ia mengkritik dengan tajam para ‘ulamā’ al-rusūm—yakni para ahli fikih formalistik yang hanya berpegang pada bentuk-bentuk lahir syariat dan mengabaikan aspek batin dari hukum Ilahi. Bagi Ibn ‘Arabī, para fuqahā’ jenis ini telah menutup pintu hatinya terhadap hakikat Ilahi, karena hanya mendasarkan diri pada logika tekstual tanpa menyelami kedalaman makna batin dari ajaran agama. Mereka dituduh telah terjerat dalam pernyataan-pernyataan palsu, menolak pengalaman spiritual kaum ‘ārifīn, dan memalingkan diri dari pengetahuan yang hanya bisa diraih dengan keintiman kepada Allah (ma‘rifah). Bahkan, Ibn ‘Arabī menyatakan bahwa jika memang Allah tidak mungkin dikenal sebagaimana klaim para ‘ulamā’ al-rusūm itu, maka mustahil Allah menyatakan diri-Nya melalui para Rasul dan wahyu-Nya. Justru, para fuqahā’ seperti itu menghalangi turunnya rahmat Ilahi dengan menutup jalan kepada Kitab Allah dan memalingkan umat dari cinta kasih Tuhan yang hendak dilimpahkan kepada para hamba-Nya (Ibn ‘Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, jil. 3).

Pandangan ini menunjukkan ketegangan yang tajam antara para Sufi dan kalangan fuqahā’ konservatif yang menolak segala bentuk pengalaman spiritual di luar kerangka normatif syariah. Ibn ‘Arabī mengibaratkan para fuqahā’ ini seperti para raja yang menikmati kuasa, mencintai kedudukan, dan mempertahankan otoritas keilmuan mereka dengan menolak pengetahuan kaum sufi yang berdasarkan pada kashf dan ilhām. Ia juga menunjukkan bahwa sebagian besar kaum awam (al-‘āmmah) mengikuti pandangan fuqahā’ ini karena ketidaktahuan, meskipun ada sebagian kecil yang tetap bersikap kritis dan tidak menerima begitu saja pendapat mereka yang hanya mementingkan aspek lahiriah hukum (Ibn ‘Arabī, Futūḥāt, jil. 3; lihat juga Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 268).

William C. Chittick menegaskan bahwa Ibn ‘Arabī menggunakan istilah al-‘āmmah (orang awam) dalam tiga pengertian berbeda, tergantung pada konteks: pertama, al-‘āmmah bisa merujuk kepada para ahli fikih, teolog, dan filsuf Muslim; sedangkan al-khawāṣṣ (orang-orang pilihan) adalah para sufi, dan khawāṣṣ al-khawāṣṣ (orang-orang pilihan dari yang terpilih) adalah para wali yang telah mencapai maqam tertinggi dalam ma‘rifah. Kedua, al-‘āmmah diartikan sebagai umat Islam biasa, sementara al-khawāṣṣ adalah para ulama, dan khawāṣṣ al-khawāṣṣ adalah para sufi. Ketiga, bahkan sebagian sufi termasuk dalam kategori al-‘āmmah, sementara para guru sufi sebagai al-khawāṣṣ, dan yang paling unggul, yakni ahl al-ḥaqīqah, adalah khawāṣṣ al-khawāṣṣ (Chittick, The Sufi Path of Knowledge, 268, 387, cat. 17). Dalam hal ini, Ibn ‘Arabī menggunakan istilah ahl al-ḥaqīqah dan ahl Allāh secara sinonim, dan mengaitkannya dengan sabda Nabi: “Di antara manusia ada yang menjadi kekasih-Nya (ahl Allāh) dan orang-orang pilihan-Nya” (HR. Aḥmad, Musnad, 3:128, 242).

Ignaz Goldziher juga mencatat bahwa Ibn ‘Arabī menyesalkan permusuhan terbuka yang dilakukan oleh para fuqahā’ terhadap para sufi yang berusaha memahami dzāt Allah melalui jalan pengalaman mistik. Bagi Ibn ‘Arabī, para ‘ulamā’ al-rusūm adalah makhluk paling celaka karena mereka menghalangi manusia dari jalan hakikat. Posisi mereka dibandingkan dengan komunitas sufi seperti posisi Fir‘aun di hadapan para nabi—sebuah analogi yang menunjukkan bagaimana kerasnya Ibn ‘Arabī mengecam mereka yang menolak makna batin dari wahyu Ilahi (Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, 237).

Lebih lanjut, demi menghindari tekanan para ‘ulamā’ al-rusūm, kaum sufi sering kali menggunakan bahasa isyarat (ramz) dan simbolisme dalam menyampaikan pemahaman mereka tentang realitas spiritual. Ini bukan hanya untuk menjaga keselamatan mereka dari tuduhan bid‘ah atau kufur, tetapi juga karena hanya mereka yang memiliki hati yang tercerahkan yang mampu menangkap makna simbolik tersebut. Ibn ‘Arabī menyatakan bahwa para ahl Allāh, yakni wali-wali Allah, adalah makhluk yang dikaruniai pemahaman terhadap rahasia penciptaan, makna-makna kitab-Nya, dan isyarat-isyarat firman-Nya. Dalam pandangannya, mereka adalah komunitas spiritual yang sesungguhnya menjadi pewaris sejati ajaran Rasulullah (Ibn ‘Arabī, Futūḥāt, jil. 4).

Dengan demikian, pemikiran Ibn ‘Arabī mengenai relasi antara aspek lahiriah dan batiniah hukum sangat dipengaruhi oleh visi spiritualnya yang mendalam. Ia berusaha mengintegrasikan syariah dengan hakikat, hukum dengan cinta, serta lahir dengan batin. Kritiknya terhadap fuqahā’ bukanlah penolakan terhadap syariat, tetapi seruan untuk membuka kembali pintu-pintu ma‘rifah dalam memahami hukum Tuhan, agar tidak terjebak dalam kerangkeng formalitas hukum yang kering dari ruh Ilahi.

Ibn ‘Arabi, sebagai seorang sufi sekaligus faqih, mengembangkan pendekatan khas dalam memahami hukum Islam. Ia tidak membatasi diri pada telaah hukum normatif formal seperti yang umum ditemukan dalam kitab-kitab fiqh konvensional, melainkan mengintegrasikan pendekatan batiniah-metaforis yang dikenal dengan metode ishārah (isyarat), tatbīq (penjajaran simbolik), dan i‘tībār (pengambilan pelajaran ruhaniah). Ketiganya menjadi metode hermeneutika khas yang menandai gaya interpretatif Ibn ‘Arabi dalam karya utamanya al-Futūḥāt al-Makkiyyah.

Metode ishārah digunakan sebagai strategi untuk menyingkap makna batin dari teks-teks keagamaan tanpa menimbulkan polemik dengan para fuqaha eksoteris. Ishārah, menurut Ibn ‘Arabi, memungkinkan penyingkapan ayat-ayat Tuhan yang terpantul di alam dan di dalam diri manusia, sebagaimana termaktub dalam Q.S. 41:53. Dengan demikian, isyarat menjadi jalan pengamanan bagi para sufi dalam mengungkap makna ilahiah yang diperoleh melalui kasyf, tanpa menyebutnya sebagai tafsir agar tidak dituduh zindik atau sesat oleh ulama zahir.

Selanjutnya, metode tatbīq berfungsi sebagai jembatan antara makna literal dan simbolik. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabi melakukan dua tahap: pertama, membongkar lapisan dalam dari teks hukum; kedua, tetap menjaga makna tekstual secara proporsional. Contohnya, ia menafsirkan pembagian harta rampasan perang dalam surah al-Anfāl ayat 41 sebagai representasi lima rukun Islam. Tafsir ini tidak menggugurkan dimensi zahir ayat, melainkan mengembangkan makna batinnya tanpa menjerumuskan pada tafsir esoterik ekstrem seperti yang dilakukan oleh Ismailiyah-Bāṭiniyyah.

Adapun i‘tībār, merupakan metode reflektif yang mendorong pelampauan bentuk lahiriah menuju inti maknawi hukum. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, hukum-hukum syariat adalah pancaran bentuk zahir dari ruh maknawi yang lebih dalam. Karenanya, seseorang harus melampaui penampakan hukum dan mengakses pesan spiritual di baliknya. I‘tībār ini, misalnya, tampak dalam kewajiban menutup aurat: secara zahir itu perintah hukum, namun secara batin, itu peringatan untuk menutup rahasia Tuhan dari khalayak yang tidak layak menerimanya. Tafsir jenis ini disusun bukan untuk menggantikan makna zahir, tetapi untuk melengkapinya.

Dari sini dapat dipahami bahwa metode ijtihad Ibn 'Arabi sangat dipengaruhi oleh konsep kashf, yaitu penyingkapan spiritual yang memungkinkan seorang mujtahid untuk memperoleh pemahaman langsung dari Tuhan melalui pengalaman mistis. Ibn 'Arabi berpendapat bahwa pemahaman tentang hukum tidak bisa dicapai semata-mata melalui akal rasional atau analisis tekstual, tetapi harus melibatkan dimensi spiritual. Pemahaman yang hakiki hanya bisa diperoleh melalui penyaksian spiritual, yang melibatkan penyucian diri dan perjalanan menuju Tuhan.

Proses ijtihad menurut Ibn 'Arabi melibatkan serangkaian tahapan spiritual, seperti taubat (pertobatan), sabar (kesabaran), dan syukur (rasa syukur), yang semuanya merupakan aspek penting dalam proses penyucian diri. Dengan melalui tahapan ini, seorang mujtahid dapat mencapai maqam ma'rifat (pengetahuan hakiki), yaitu tahap pengetahuan yang diperoleh melalui cahaya ilahi. Dalam pandangan Ibn 'Arabi, pemahaman tentang hukum bukanlah semata-mata hasil dari analisis rasional, tetapi merupakan hasil dari pengalaman batin yang langsung diperoleh melalui pencerahan ilahi.

Dalam hal ini, ijtihad Ibn 'Arabi melampaui batasan formal dan dogmatis dalam hukum. Ia menekankan pentingnya pencarian kebenaran yang mendalam, yang hanya bisa dicapai melalui pengalaman mistis yang mendalam dan pencerahan dari Tuhan. Oleh karena itu, metode ijtihad Ibn 'Arabi lebih menekankan pada kualitas spiritual dan kesiapan batin seorang mujtahid untuk merasakan petunjuk ilahi, bukan hanya pada kecakapan intelektual semata (Chodkiewicz, 1993, 101).

Dengan demikian, pemikiran Ibn 'Arabi tentang ijtihad menawarkan perspektif yang sangat unik dan mendalam, yang menggabungkan aspek intelektual dan spiritual. Ia menekankan bahwa ijtihad bukan hanya tentang kemampuan untuk merumuskan hukum melalui qiyas atau ijma', tetapi juga tentang perjalanan spiritual yang memungkinkan seseorang untuk mencapai pencerahan batin dan pemahaman langsung tentang wahyu Tuhan. Melalui pandangannya ini, Ibn 'Arabi mengajak umat Islam untuk melihat hukum sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan penuh kasih sayang dan keterbukaan hati, dan tidak terbatas hanya pada aturan-aturan yang kaku dan dogmatis.

Ibn 'Arabi Sebagai Mujtahid Independen

Sebagai mujtahid, Ibn 'Arabi menempatkan dirinya di luar kerangka mazhab yang ada, dikenal sebagai pendiri mazhab "Akbari", yang menggabungkan hukum dengan spiritualitas dan mistisisme. Mazhab ini tidak hanya mengajarkan hukum dalam pengertian formal, tetapi lebih kepada upaya memahami maksud terdalam dari syariat melalui pengalaman mistis (Chodkiewicz, 1993, 169). Dengan kriteria yang ada, Ibn 'Arabi dapat dianggap sebagai mujtahid yang memenuhi semua persyaratan untuk ijtihad, meskipun pandangannya sangat berbeda dari mazhab-mazhab hukum yang ada, termasuk Zahiriyah dan empat mazhab Sunni (Chodkiewicz, 1993, 181).

Dengan pendekatan yang memadukan aspek literal dan spiritual melalui metode kashf—yakni intuisi spiritual dalam memahami makna hukum—beberapa sarjana kontemporer mengakui Ibn 'Arabi sebagai seorang mujtahid mustaqil. Ibn 'Imād al-Ḥanbalī (w. 1675) bahkan menyebutnya sebagai “mujtahid mutlak tanpa ragu” (Ibn ‘Imād al-Ḥanbalī dalam Chodkiewicz 1993, 13). Michel Chodkiewicz kemudian memperkenalkan istilah Mazhab Hukum Akbarian (Akbarian School of Law) untuk menyebut pendekatan hukum Ibn 'Arabi yang unik, karena menggabungkan fiqh, spiritualitas, dan penyingkapan makna batin dari wahyu (Chodkiewicz 1993, 13; al-Ghurāb 1993, 1).

Dengan demikian, afiliasi hukum Ibn 'Arabi tidak dapat dipakukan hanya pada satu mazhab tertentu. Pendekatannya mencerminkan keluasan intelektual yang melampaui batas-batas mazhab konvensional dan justru membentuk satu kerangka pemikiran hukum tersendiri yang integratif dan multidimensional.

Dalam membandingkan metode hukum Ibn ‘Arabi dengan para ulama fiqh lainnya, tampak perbedaan gaya dan pendekatan. Para fuqaha klasik seperti Ibn Rushd dalam Bidayah al-Mujtahid menyusun uraian hukum secara sistematis dan terperinci, lengkap dengan argumentasi dari masing-masing mazhab. Sebaliknya, Ibn ‘Arabi lebih ringkas dan tidak terlalu mendetailkan argumen-argumen mazhab. Meskipun demikian, pendekatan Ibn ‘Arabi tidak bisa diremehkan. Ia tetap memberikan ruang pembahasan hukum yang panjang dan mendalam, khususnya pada sisi simbolis dan spiritual (al-iʿtibār fī al-bāṭin) dari ibadah ritual. Dengan begitu, referensinya terhadap karya Ibn Rushd tampaknya bukan sebagai sandaran utama, tetapi sebagai pelengkap untuk memperkaya perspektif perbandingan mazhab (Edaibat 2017, 35–38).

Keunikan kontribusi Ibn ‘Arabi dalam hukum Islam terletak pada integrasi antara dimensi metafisika, ontologi, dan epistemologi gnostik. Ia mendefinisikan ijtihad sebagai proses spiritual yang sangat personal, bukan sekadar kerja intelektual analitik. Bagi Ibn ‘Arabi, Al-Qur’an adalah teks yang kaya makna dan polisemi, sehingga upaya memaknainya harus terbuka terhadap pluralitas penafsiran. Inilah yang menjadi dasar pluralisme dalam metodologi hukum (uṣūl) maupun dalam praktik hukum (furū‘). Pluralisme ini ia legitimasi melalui gagasan dua lapis kebenaran dalam ijtihad: pertama, kebenaran absolut yang terkait langsung dengan kehendak Ilahi dan menjamin pahala bagi mujtahid; kedua, kebenaran relatif yang mencerminkan daya tangkap individual terhadap maksud wahyu (Edaibat 2017, 40; Chodkiewicz 1993, 13).

Omar Edaibat menempatkan Ibn ‘Arabi dalam arus tradisionalisme teoretis yang berkembang sejak periode awal hukum Islam. Meskipun Ibn ‘Arabi sering diasosiasikan dengan mazhab Ẓāhiriyyah, Edaibat mengakui bahwa memang ada kesamaan metodologis antara Ibn ‘Arabi dan Ibn Ḥazm, khususnya dalam penolakan terhadap qiyās yang tidak memiliki dasar eksplisit dalam teks (Goldziher 2008, 165; Edaibat 2017, 42). Secara empiris, dalam 50 kasus hukum ibadah yang diteliti Al-Badri, sekitar 75% pandangan hukum Ibn ‘Arabi ternyata sejalan dengan mazhab Ẓāhirī. Meski begitu, orisinalitas Ibn ‘Arabi tetap menonjol karena ia tidak sekadar meniru atau mengadopsi secara pasif, tetapi memberikan pendekatan personal dan spiritual terhadap hukum.

Ibn ‘Arabi secara eksplisit menolak dikaitkan dengan mazhab atau tokoh manapun. Dalam salah satu syair terkenalnya, ia menyatakan bahwa ia tidak mengikuti Imam Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad ibn Ḥanbal, maupun Ibn Ḥazm (Chodkiewicz 1993, 13). Ibn Khalikān (w. 681/1282), dalam biografinya, menyebut Ibn ‘Arabi sebagai sosok yang berijtihad secara independen, tidak terikat pada otoritas ulama sebelumnya (Dajani 2017, 97). Ia menolak taqlīd dan mengkritik keterikatan mazhab yang, menurutnya, membatasi penyingkapan makna ilahi dalam teks suci.

Puncak kontribusi hukum Ibn ‘Arabi terletak pada kerangka teoritis dan hermeneutika Qur’annya yang metafisik. Ia mengembangkan teori hukum yang berakar dari proyek spiritual yang luas, dan berupaya melegitimasi keberagaman dalam hukum. Ia tidak melihat urgensi untuk membatasi hukum Islam pada empat mazhab Sunni. Pendekatan ini kelak dilanjutkan oleh ‘Abd al-Wahhāb al-Sha‘rānī (w. 973/1565) dalam al-Mīzān al-Kubrā, yang juga berupaya menampilkan perbedaan hukum antarmazhab sebagai bentuk rahmat dan keluwesan syariat (Sha‘rānī dalam Winkel 1997, 19; Edaibat 2017, 43).

Dengan demikian, Ibn ‘Arabi layak digolongkan sebagai mujtahid mustaqil bahkan mujtahid mutlak sebagaimana disebut Ibn ‘Imād al-Ḥanbalī (Ibn ‘Imād dalam al-Ghurāb 1993, 11). Ia tidak hanya memberikan fatwa, tetapi membangun satu paradigma hukum yang mengintegrasikan teks, intuisi, dan spiritualitas—sebuah warisan yang hingga kini masih sangat relevan bagi pengembangan hukum Islam yang lebih inklusif dan transformatif.

Epilog

Ibn 'Arabî memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan para ahli hukum (fuqahâ’) dan para sufi lainnya. Bila para ahli hukum terlalu fokus pada sisi lahir sharî‘ah dan cenderung memusatkan perhatian pada aspek eksoterik, sementara para sufi lebih tertarik pada aspek esoterik (haqîqah), maka Ibn 'Arabî berusaha memadukan keduanya melalui integrasi antara aspek sharî‘ah dan haqîqah.

Konsep integrasi pendekatan-pendekatan dalam merumuskan hukum dan produk hukumnya, yang memadukan dimensi eksoterik dan esoterik, dapat memberikan kontribusi penting bagi wacana dan pengembangan hukum Islam yang lebih integral, holistik, dan multidimensional. Dengan demikian, hukum Islam tidak hanya dipahami dan diterapkan secara tekstualis, normatif, dan legal-formal, melainkan juga secara kontekstual dan spiritual.

Dalam konteks kontemporer, pendekatan holistik dalam hukum Islam sebagaimana dikembangkan oleh Ibn 'Arabî memungkinkan para ahli hukum untuk memperluas cakrawala mereka, tidak hanya terpaku pada aspek formalistik-legalistik, tetapi juga menyentuh dimensi substantif. Sebagaimana ditawarkan oleh Ibn 'Arabî, pendekatan ‘ibrah-nya memungkinkan seorang ahli hukum untuk memulai dari interpretasi literal, lalu “menyeberang” ke makna-makna spiritual, sehingga dapat ditemukan tidak hanya makna-makna eksoterik, tetapi juga makna-makna esoterik atau rahasia terdalam dari hukum Islam.

Dalam konsep ijtihâd-nya, Ibn 'Arabî memiliki definisi yang berbeda dari yang biasa diuraikan oleh para fuqahâ’ maupun sarjana modern. Ia tidak mendefinisikan ijtihâd sebagai “upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum” (istinbâṭ al-ḥukm) sebagaimana lazimnya. Bagi Ibn 'Arabî, ijtihâd adalah upaya sungguh-sungguh atau optimal yang dilakukan seseorang untuk mencapai kapasitas batin (al-isti‘dâd al-bâṭin) guna menerima ilham ilahi ke dalam hati. Dalam kerangka ini, ia menetapkan kriteria mujtahid yang berbeda dari yang ditetapkan oleh para fuqahâ’, dengan menekankan bahwa mujtahid sejati adalah seseorang yang mencapai kesiapan batin untuk menerima inspirasi spiritual secara langsung.

Meski demikian, Ibn 'Arabî tidak menolak kriteria yang telah ditetapkan oleh para ahli hukum klasik, melainkan menambahkan elemen penting, yaitu keutuhan spiritual. Ia juga menyatakan bahwa setiap mujtahid bertanggung jawab hanya atas ijtihâd-nya sendiri. Artinya, hasil ijtihâd seorang mujtahid tidak bersifat mengikat bagi orang lain. Dalam pandangan Ibn 'Arabî, semua hasil ijtihâd bersifat relatif dan mengandung kebenaran menurut sudut pandang masing-masing mujtahid (al-ḥaqq al-nisbi), sedangkan kebenaran hakiki (al-ḥaqq al-ḥaqîqî) hanya milik Allah sebagai satu-satunya otoritas mutlak (al-ḥâkim al-muṭlaq).

Pengakuan atas keberagaman produk ijtihâd ini memiliki implikasi penting dalam mengurangi fanatisme dan sektarianisme mazhab, yang sering kali menimbulkan konflik di antara para pengikut mazhab yang berbeda.

Ibn 'Arabî juga menolak dengan tegas doktrin “penutupan pintu ijtihâd” dan praktik taqlîd membabi buta terhadap pendapat para faqîh pendiri mazhab. Ia mengkritik keras orang-orang yang lebih memilih pendapat imam mazhab mereka ketimbang ayat-ayat al-Qur’an. Dalam pandangan Ibn 'Arabî, orang-orang yang mengklaim menggunakan akal sehat sering kali sebenarnya hanya ber-taqlîd kepada ulama lain, padahal taqlîd semestinya hanya dilakukan kepada Tuhan.

Sejak masa hidupnya hingga kini, Ibn 'Arabî sering dikaitkan dengan mazhab tertentu. Namun, ia sendiri menolak afiliasi tersebut. Ia tidak menyandarkan dirinya kepada tokoh-tokoh mazhab besar seperti Mâlik ibn Anas, Aḥmad ibn Ḥanbal, al-Nu‘mân (Abû Ḥanîfah), Ibn Ḥazm, dan lain-lain. Sarjana modern, Samer M. K. Dajani, dalam disertasinya mencatat bahwa seorang penulis biografi dari kalangan Syâfi‘îyah, Ibn Khallikân (w. 681/1282), yang pernah bertemu langsung dengan Ibn 'Arabî, menggambarkannya sebagai seorang sarjana yang melakukan ijtihâd secara independen, tanpa meniru otoritas sebelumnya.

Penolakan Ibn 'Arabî terhadap afiliasi mazhab dan pengakuan atas otoritas serta kompetensinya yang unik dalam bidang hukum menjadikannya berbeda dari para fuqahâ’ lainnya. Ia memadukan pendekatan literal (ẓâhirî) dan spiritual (bâṭinî) melalui kashf, dan dalam hukum praktis (fiqh) ia memadukan sisi lahiriah sharî‘ah dan rahasia-rahasia batinnya. Karena itu, sejumlah sarjana mengategorikannya sebagai mujtahid. Sejarawan Ibn ‘Imâd al-Ḥanbalî (1675) bahkan menjulukinya sebagai “mujtahid mutlak tanpa keraguan.” Sarjana-sarjana modern seperti Maḥmûd al-Ghurâb dan Michel Chodkiewicz juga menyebut Ibn 'Arabî sebagai mujtahid independen.

Dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ditetapkan para ulama untuk seorang mujtahid, tidak diragukan bahwa Ibn 'Arabî memenuhinya. Baik dalam arti sebagai mujtahid otonom maupun sebagai mujtahid muṭlaq, banyak bukti yang menguatkan hal tersebut. Salah satunya adalah penolakannya terhadap mazhab Ẓâhirî secara umum, dan terhadap Ibn Ḥazm secara khusus. Maḥmûd al-Ghurâb berpendapat bahwa Ibn 'Arabî memiliki banyak pendapat hukum yang khas, sehingga ia harus diklasifikasikan sebagai mujtahid muṭlaq, bukan pengikut otoritas atau mazhab mana pun.

Ibn 'Arabî juga diakui sebagai mujtahid muṭlaq mengingat keluasan ilmu, produktivitas karya, dan kontribusinya dalam berbagai bidang keilmuan Islam, termasuk hukum. Muḥammad Fârûq al-Badrî menunjukkan bahwa metode ilmiah dan kontribusi keilmuan Ibn 'Arabî melampaui standar yang ditetapkan untuk gelar mujtahid muṭlaq. Selain itu, ia dikenal sebagai seorang ḥâfiẓ, yakni gelar kehormatan yang diberikan kepada mereka yang menghafal lebih dari 100.000 hadis.

Pemikiran Ibn 'Arabî mencakup bidang kosmologi, ontologi, metafisika, epistemologi, dan hukum, dengan orisinalitas yang luar biasa. Meskipun demikian, seperti dicatat Chodkiewicz, tidak ada bukti jelas bahwa Ibn 'Arabî memiliki niat sadar untuk mendirikan mazhab hukum sendiri, meskipun istilah "mazhab Akbariyyah" kadang-kadang dikaitkan dengannya dan para pengikutnya.

Ibn 'Arabî juga melarang taqlîd buta, dan menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas ijtihâd-nya sendiri. Ia mendekonstruksi kemapanan dalam hukum Islam dengan melarang taqlîd, yaitu mengikuti pendapat tanpa bukti (burhân) atau pengetahuan (ma‘rifah) yang memadai. Kritik keras Ibn 'Arabî justru diarahkan kepada para mujtahid yang berpengetahuan namun tetap ber-taqlîd, sebab mereka lebih layak disalahkan dibanding orang awam.

Akhirnya, perlu diingat bahwa teori hukum Ibn 'Arabî adalah bagian dari sistem mistiknya yang luas. Ia secara eksplisit menolak definisi umum ulama eksoteris (‘ulamâ’ al-rusûm) tentang ijtihâd, dan menawarkan konsep ijtihâd dalam cahaya spiritual-gnostik. Menurutnya, ijtihâd bukan hanya usaha intelektual untuk menyimpulkan hukum, melainkan sarana untuk mencapai kesiapan batin (isti‘dâd al-bâṭin) demi turunnya wahyu spiritual (al-tanazzul al-khâṣṣ), yang secara eksklusif hanya terjadi pada masa kenabian. Namun, hal ini tidak boleh melanggar hukum-hukum tetap (ḥukm thâbit) yang telah dikonfirmasi dalam syariat.

Catatan Biobliografi

Dalam mengkaji Ibn 'Arabi sebagai mujtahid, saya merujuk kepada karya-karya langsung yang ditulis oleh Ibn 'Arabi serta sumber-sumber sekunder yang membahas pemikirannya secara mendalam. Karya-karya utama yang saya gunakan adalah teks-teks yang memberikan wawasan tentang filsafat dan pemikiran hukum beliau, serta aspek tasawuf yang mendalam dalam ajaran-ajarannya. Di bawah ini adalah bibliografi lengkap dari karya-karya tersebut:

Ibn Arabi, Muhyi al-Din. Fuşüş al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyyah, 1424 H./2003 M. Kitab ini merupakan salah satu teks utama Ibn 'Arabi yang mengungkapkan ajaran-ajarannya mengenai hikmah dan simbolisme dalam kehidupan spiritual, memberikan wawasan tentang metodologi pemikirannya.

Ibn Arabi, Muhyi al-Din. al-Futūhat al-Makkiyah. 9 vol. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1420 H./1999 M. Ini adalah karya monumental Ibn 'Arabi yang terdiri dari sembilan volume. Al-Futūhat al-Makkiyah menyajikan pandangan filosofis dan tasawuf beliau, serta membahas berbagai topik termasuk prinsip-prinsip hukum dan kosmologi spiritual. Dalam terjemahan tersedia al-Futuhat al-Makkiyah. Terj. Cyrille Chodkiewicz & Denis Gril, editor Michel Chodkiewicz. The Meccan Revelation. New York: Pir Press, 2002. Terjemahan ini mengungkapkan esensi dari al-Futūhat al-Makkiyah, memberikan akses kepada pembaca non-Arab untuk memahami dimensi mendalam dari ajaran-ajaran Ibn 'Arabi; al-Futühat al-Makiyyah. Terj. Aisha Bewley, editor Laleh Bakhtiar dan S.H. Nasr. Ibn 'Arabi on the Mysteries of the Purification and the Formal Prayer: Futühat al-Makkiyya (Meccan Revelation). Chicago: Great Book of the Islamic World, Inc., 2009. Salah satu terjemahan yang berfokus pada aspek khusus dari ajaran Ibn 'Arabi mengenai penyucian jiwa dan doa formal dalam Islam; al-Futuhat al-Makkiyah. Terj. Aisha Bewley, editor Laleh Bakhtiar dan S.H. Nasr. Ibn 'Arabi on the Mysteries of the Purifying Alms of the Pilgrimage: Futūhat al-Makkiyya (Meccan Revelation). Chicago: Great Book of the Islamic World, Inc., 2009. Terjemahan ini mendalami topik tentang haji dan zakat dalam ajaran Ibn 'Arabi, memberi pemahaman yang lebih luas mengenai spiritualitas Islam.

Majmu'ah Rasail ibn 'Arabi. 3 vol. Beirut: Dar al-Muhajjah al-Bayda'i, 1421 H./2000 M. Kitab ini merupakan kumpulan risalah ini menyajikan beberapa tulisan penting Ibn 'Arabi yang membahas berbagai tema termasuk hukum, filsafat, dan tasawuf.

Diwan Ibn 'Arabi. Sharh Ahmad Hasan Subih. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1416 H./1996 M yang merupakan kumpulan puisi Ibn 'Arabi ini menunjukkan sisi puitis dan mistik dari ajaran-ajaran beliau, di mana aspek-aspek hukum dan spiritual sering kali dijalin bersama.

"Risalah fi Uşül al-Fiqh." Dalam Majmu'ah Rasail ibn 'Arabi. Beirut: Dar al-Muhajjah al-Bayda'i, 1421 H./2000 M. Sebuah risalah penting yang membahas dasar-dasar fiqh menurut Ibn 'Arabi, memberikan pandangan unik tentang bagaimana beliau mengintegrasikan tasawuf dengan hukum Islam.

Mishkat al-Anwar. Terj. Stephen Hirtenstein & Martin Notcutt. Divine Sayings: 101 Hadith Qudsi. Oxford: Anqa Publishing, 2004 & 2008. Karya ini mengumpulkan hadits-hadits qudsi yang juga dipengaruhi oleh ajaran tasawuf Ibn 'Arabi, mengungkapkan dimensi mistis dalam pemahaman beliau tentang wahyu.

Muhadarah al-Abrar. 2 vol. al-Qahirah, 1282 H. Karya ini menceritakan kisah-kisah spiritual yang menginspirasi, menggambarkan pengalaman mistik dan kedalaman pengetahuan yang dimiliki oleh Ibn 'Arabi.

Al-Tajaliyat al-Ilahiyyah. Ta'liq Ibn Sawdikin dan tahqiq 'Uthman Ismail Yahyä. Tehran: Markaz Nashr Dinshakahi, 1308 H./1998 M. Karya ini merupakan refleksi filosofis dan teologis mengenai pemahaman Tuhan dalam ajaran Ibn 'Arabi. 

Al-Isra ila al-Maqam al-Asra. Tahqiq dan sharh oleh Su'ad al-Hakim. Beirut: Nadhrah li al-Taba'ah wa al-Nashr, 1408 H./1988 M yang menyajikan penafsiran mendalam tentang perjalanan spiritual dalam ajaran Ibn 'Arabi.

Rüh al-Quds fi Mussahat al-Nafs. Kairo, 1989, sebuah karya yang menghubungkan konsep ruh dan jiwa dalam pemikiran Ibn 'Arabi, serta eksplorasi tentang kesatuan pengalaman spiritual.

Kitab-kitab tersebut memberikan wawasan yang kaya tentang metodologi dan pemikiran hukum Ibn 'Arabi, serta pendekatannya yang menggabungkan unsur tasawuf dalam penafsiran hukum Islam.

Referensi

Abu Zahrah, M. (2002). Uṣūl al-Fiqh (Saefullah Ma’shum, Trans.). Jakarta: Pustaka Firdaus.

al-Amidī, S. al-D. (1996). al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām (Vol. 3). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Ansārī, Z. (2017). Lubbu al-Uṣūl (Darul Arka & Nailul Huda, Trans.). Lirboyo: Santri Salaf Press.

al-Ghazālī, A. Ḥ. (t.t.). al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Ḥamzah Zāhir Ḥāfizh, Ed.). Madinah: al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah.


al-Ghazālī, A. Ḥ. (1905–1907). al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Mesir ed.). Kairo: al-Amīriyyah.

al-Ghazālī, A. Ḥ. (2000). al-Mankhūl fī Ta‘līqāt al-Uṣūl (Muḥammad Ḥ. Haytū, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.

al-Ghurāb, M. (1993). Fiqh wa al-Shaykh al-Akbar Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī. Damascus: Maṭba‘at Zayd ibn Thābit.

al-Sarakhsī. (n.d.). al-Mabsūṭ. Beirut: Dār al-Maʿrifah.

al-Shīrāzī, A. I. (1995). al-Luma‘ fī Uṣūl al-Fiqh. Damaskus–Beirut: Dār al-Kalim al-Ṭayyib & Dār Shu’bāh.

Chodkiewicz, M. (1993). An ocean without shore: Ibn ‘Arabi, the book, and the law (D. Streight, Trans.). Albany: State University of New York Press.

Corbin, H. (1997). Creative imagination in the Sufism of Ibn Arabi. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Coulson, N. (1964). A history of Islamic law. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Dajani, S. M. K. (2015). The conception of ijtihad of Ibn Arabi: Its origins and later reception (Doctoral dissertation, SOAS, University of London).

Dajani, S. M. K. (2017). Ibn 'Arabi’s conception of ijtihād: Its origins and later reception. Journal of Sufi Studies, 6(1), 1–46.

Dunne, J. (1972). Passing over: A conceptual shift in religious thought. Journal of Religious Studies.

Edaibat, O. (2017). Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī’s personalist theory of the Sharīʿa: An examination of his legal doctrine. Journal of Sufi Studies, 6, 30–47.

Elmore, G. T. (1999). Purity in the fall of time: The book of al-Stabis of Fabulina Gryphon. Leiden: Brill.

Goldziher, I. (2008). The Zahiris: Their doctrine and history (W. Behn, Trans. & Ed.). Leiden: Brill.

Hammad, A. Z. M. (1987). Abū Ḥāmid al-Ghazālī’s juristic doctrine in al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Doctoral dissertation). Chicago: University of Chicago.

Hallaq, W. B. (2001). Authority, continuity and change in Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

Ibn ‘Arabī. (1980). Fuṣūṣ al-Ḥikam (R. W. J. Austin, Trans.), The bezels of wisdom. New York: Paulist Press.

Ibn ‘Arabī. (1999). al-Futūḥāt al-Makkiyyah (A. Shams al-Dīn, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Janse van Rensberg, J. (2017). An assessment of the theology of religions. HTS Theological Studies.

Malik ibn Anas. (1994). al-Muwaṭṭa’ (M. F. ‘Abd al-Bāqī, Ed.). Beirut: Dār al-Fikr.

Muhammad ibn Idrīs al-Shāfiʿī. (1991). al-Umm (A. al-Sarakhsī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Schacht, J. (1964). An introduction to Islamic law. Oxford: Clarendon Press.

Shaltut, M. (1958). Islamic belief and code of laws. In K. W. Morgan (Ed.), Islam: The straight path (pp. xx–xx). New York: Ronald Press.

Winkel, E. (1997). Islam and the living law: Ten approaches to al-‘Arabī. Oxford: Oxford University Press.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam