Menggali Tujuan dan Rahasia Puasa: Sebuah Perbandingan dan Refleksi Diri


Cak Yo

“Banyak sekali orang yang tidak mendapat apapun dari puasanya kecuali lapar. Dan banyak sekali orang salat malam tidak mendapatkan apapun dari salatnya kecuali bangun malam.” (H.R. al-Nasâ'î).

Malam ini, Jumat, 14 Ramadan 1446 H, setelah tarawih dan makan hidangan yang masih tersisa, rasa kantuk sempat datang seperti tamu yang sopan, mengetuk perlahan di pelupuk mata. Namun, saya menahannya. Kata orang, setelah makan sebaiknya jangan langsung tidur. Setidaknya tunggu dua jam agar tubuh punya waktu untuk mencerna. Tahan dulu! Demikian bisik di hati. "Sami'nâ wa atho'nâ" ("saya dengar dan patuh"). Saya menunggu dengan sabar, bahkan berharap kantuk tetap bertahan sampai tiba waktunya.  

Namun, entah bagaimana, dua jam berlalu, kantuk malah pergi. Yang datang justru keasyikan membaca Maqāṣid al-Ṣawm, karya ulama besar Imam ‘Izz al-Dīn bin ‘Abd al-Salām. Kitab ini membahas hakikat dan tujuan puasa, bukan sekadar kewajiban fisik, tetapi sebagai perjalanan spiritual yang membawa manusia lebih dekat kepada Allah. Tentu saja, hakikat dan tujuan puasa itu masih jauh saya capai. 

Waktu terus berjalan, jarum jam menunjukkan 22.52. Rasa kantuk yang tadi diharapkan kini terasa sirna. Setelah membaca kitab itu, seperti biasa, rasanya akan sia-sia bila tanpa menuliskannya. Apalagi, ini adalah Ramadan—bulan yang penuh hikmah dan refleksi. Siapa tahu malaikat pembawa rahmat dan magfirah datang mengingat puasa Ramadan ini sudah memasuki minggu kedua.

Maka, saya pun mulai menulis ulasan kitab Maqāṣid al-Ṣiyām sambil membaca catatan amal saya di bulan Ramadan ini, apa saja yang sudah dikerjakan seperti firman Allah, "Iqra’ kitābaka, kafā binafsika alyawma ‘alaika ḥasībā." ("Bacalah kitabmu! Cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung terhadapmu." ) -QS. Al-Isrā’: 14

Ayat ini mengingatkan bahwa hidup kita adalah sebuah kitab yang kita tulis sendiri—setiap perbuatan, ucapan, dan niat akan tercatat. Pada hari kiamat, tidak ada pembelaan lain selain diri kita sendiri yang membaca rekam jejak yang telah dituliskan. Ayat ini menegaskan bahwa di hari akhir, setiap manusia akan membaca sendiri rekam jejak kehidupannya. Hidup ini ibarat sebuah buku yang kita tulis setiap hari. Jika kita bayangkan kitab itu dibuka di hadapan kita hari ini, apakah kita akan bangga atau justru malu? Apakah isinya penuh dengan kebajikan atau dipenuhi dengan halaman-halaman kosong yang tak bermakna? Aduhai, jika membaca kitab amalku hari ini, akan terasa terasa menyesakkan, mungkin lebih banyak halaman yang ingin dihapus daripada yang ingin aku banggakan. Seperti doa sahabat, keponakan, dan menantu Nabi Saw., Imam Ali r.a. yang berisi ungkapan pengakuan dosa dan kelemahan diri di hadapan Allah Swt. 

Dalam rintihannya ia berdoa, "Zhalamtu nafsî wa tajarra’tu bijahlî wa sakantu ilâ qadîmi dzikrika lî wa mannika ‘alayya.  Allâhumma Mawlâya kam min qabîhin satartah wa kam min fâdihin minal balâi aqaltah wa kam min ‘itsariw waqaytah wa kam min makrûhin dafa‘tah wa kam min tsanâin jamîlin lastu ahlan lahu natsartah." ("Telah aku aniaya diriku, telah berani aku melanggar karena kebodohan, tetapi aku tenteram karena bersandar pada sebutan-Mu dan karunia-Mu padaku.  Ya Allah, Pelindungku, betapa banyak kejelekan telah Kaututupi, betapa banyak malapetaka telah Kauatasi, betapa banyak rintangan telah Kausingkirkan, betapa banyak bencana telah Kautolakkan, betapa banyak pujian baik yang tak layak bagiku telah Kausebarkan").

Ramadan adalah bulan di mana kita memiliki kesempatan emas untuk membaca kitab kita masing-masing dan mungkin memperbaiki dan mengisinya dengan catatan yang lebih baik. Melakukan refleksi dan muhasabah sebelum kelak dihisab pada Yawm al-Hisab. 

Pada hakikatnya itu pula makna puasa, melihat ke dalam diri karena yang sesungguhnya yang tahu apakah kita puasa atau tidak adalah diri kita yang lebih tahu. Yang mengetahui tercapainya tujuan puasa adalah diri kita, karena bila ada kesadaran dalam diri, kitalah yang merasakan, apakah puasa sudah mencapai tujuan atau tidak. Selebihnya, tentu Allah Yang Maha Tahu. 

Membaca kitab tentang puasa seperti karya Imam 'Izzuddin, sekalian mengakurkan apa yang sudah dilakukan ketika puasa dengan  menangkap makna yang telah dibaca. Barangkali, inilah berkah dari malam bulan Rsmadan yang sepi: kantuk yang tertunda, kitab yang mengisi, dan pena yang akhirnya menari. Maka kutuliskan sedikit isi kitab 

Maqâshid ash-Shiyâm Karya Syekh Izzuddin bin Abdussalam ini. Apa yang kulakukan ini, bila ada yang membaca, bukan bermaksud untuk mengajari tentang hakikat dan tujuan puasa, tetapi terutama posisi saya sebagai akademisi, yang terdorong menuliskan apa yang telah dibaca, yang belum tentu pula sudah mencapai tujuan-tujuan puasa. 

Prawacana

Kitab Maqâshid ash-Shiyâm adalah salah satu karya monumental dari Syekh Izzuddin bin Abdussalam, seorang ulama besar yang dijuluki Sulthân al-Ulamâ' karena keluasan ilmunya dalam bidang fikih, tasawuf, dan ijtihad. Kitab ini membahas tujuan dan hikmah di balik ibadah puasa, tidak hanya dari segi hukum-hukumnya, tetapi juga makna spiritual serta dampaknya terhadap kehidupan seorang Muslim. Sebagai seorang ulama yang dikenal dengan ketegasan dan keberaniannya dalam menegakkan kebenaran, Syekh Izzuddin menyusun kitab ini dengan pendekatan yang mendalam, menggabungkan dalil-dalil dari Alqur’an, hadis, serta pandangan para ulama terdahulu.

Dalam kitab ini, Syekh Izzuddin menekankan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi merupakan sarana penyucian diri dan peningkatan ketakwaan. Beliau membahas aspek-aspek utama puasa, mulai dari kewajibannya, keutamaannya, adab-adabnya, hingga amalan-amalan yang dianjurkan selama bulan Ramadan. Kitab ini juga menyoroti bagaimana puasa dapat membentuk karakter seorang Muslim, menjadikannya lebih disiplin, sabar, dan penuh empati terhadap sesama.

Siapa Syekh Izzuddin itu? 

Syekh Izzuddin bin Abdussalam (w. 660 H) adalah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i yang hidup di era Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk. Beliau dikenal sebagai sosok yang teguh dalam membela kebenaran. Dalam sejarahnya, beliau memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka, seperti Ibn Daqiq al-‘Id dan al-Dimyathi.

Sebagai seorang mujtahid, Syekh Izzuddin tidak hanya menulis tentang fikih, tetapi juga tasawuf dan maqâshid sharî'ah. Konsep maqâshid al-sharî'ah (tujuan-tujuan syariat) yang ia tekankan dalam berbagai karyanya menunjukkan bahwa hukum Islam tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga harus dipahami dalam konteks manfaat dan hikmah yang ingin dicapai.

Bagaimana Isi Kitab Maqâshid ash-Shiyâm

Kitab Maqâshid ash-Shiyâm tersusun secara sistematis, membahas berbagai aspek puasa dari dasar hingga praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Secara garis besar, kitab ini terdiri dari beberapa bagian utama:

Dalam kitab ini dibahas bahwa puasa merupakan salah satu kewajiban utama dalam Islam, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Alqur’an, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183).

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah meningkatkan ketakwaan kepada Allah serta menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat mengantarkan seseorang kepada siksa neraka. 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Islam dibangun di atas lima pilar utama: mengesakan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Puasa memiliki banyak manfaat spiritual dan sosial. Selain meningkatkan derajat keimanan, puasa juga menjadi sarana penghapusan dosa, mengendalikan hawa nafsu, serta mendorong umat Islam untuk memperbanyak sedekah dan ibadah lainnya. Rasulullah Saw. bersabda, "Ketika Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu." (HR. Bukhari & Muslim)

Allah Swt. juga memberikan keistimewaan kepada orang yang berpuasa dengan balasan pahala yang tidak terbatas. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman, "Setiap amal anak Adam dilipatgandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Ia meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku." (HR. Bukhari & Muslim)

Di dalam surga, terdapat pintu khusus bernama Ar-Rayyan yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang berpuasa. Rasulullah Saw. bersabda, "Di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa, dan mereka tidak akan pernah merasa haus selamanya." (HR. Bukhari & Muslim).

Puasa juga menjadi perisai yang melindungi seseorang dari perbuatan dosa dan siksa Allah. Selain itu, orang yang berpuasa mendapatkan doa dari para malaikat ketika ada yang makan di dekatnya, hingga mereka selesai makan.

Dengan demikian, puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, melatih kesabaran, serta meningkatkan ketakwaan dan kepedulian sosial.

Selanjutnya Imam Izzuddin juga menjelaskan tentang beberapa keutamaan puasa. Pertama, puasa dilakukan untuk menghindari kesalahan dan pertikaian. Allah berfirman: "Sungguh, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat dibandingkan wangi minyak misik." Dalam kalimat ini terdapat bagian yang dihilangkan, yang dapat diperkirakan sebagai: "Sungguh, pahala dari bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan wangi minyak misik."

Terdapat dua bentuk kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, yaitu kebahagiaan karena mendapat taufik untuk menunaikan ibadah dan kebahagiaan ketika menerima balasan dari Allah.

Dalam al-Ithaf (4/191), Az-Zabidi mengutip perbedaan pendapat antara Ibnu Shalah dan Al-Izz bin Abdus Salam mengenai keharuman bau mulut orang yang berpuasa. Ibn Shalah berpendapat bahwa keharuman itu berlaku di dunia dan akhirat, sedangkan Al-Izz bin Abdus Salam berpendapat bahwa keharuman itu hanya terjadi di akhirat.

Allah juga berfirman: "Dia meninggalkan syahwat dan makanan karena Aku." Ini berarti bahwa seorang hamba mengutamakan ketaatan kepada Allah di atas keinginan pribadinya. Karena itu, Allah sendiri yang akan memberikan balasan atas amalnya. Siapa yang lebih mendahulukan Allah, maka Allah pun akan mendahulukannya. Jika seseorang meninggalkan maksiat karena takut kepada Allah, maka Allah akan berfirman kepada malaikat pencatat amal, "Catatlah sebagai satu kebaikan karena ia meninggalkan syahwat hanya demi Aku."

Kedua, orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu Ar-Rayyan, yang dikhususkan bagi mereka yang menjalankan ibadah ini dengan penuh keikhlasan. Malaikat juga mendoakan orang yang berpuasa jika ada seseorang yang makan di dekatnya, karena ia tetap menahan diri meskipun melihat makanan di sekelilingnya. Doa para malaikat adalah permohonan agar ia diberikan rahmat dan ampunan.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Ramadhan ke Ramadhan menjadi penebus dosa di antara keduanya, selama dosa besar dijauhi." (HR. Bukhari & Muslim). Beliau juga bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Ahmad, Bukhari, & Muslim).

Ketiga, puasa memiliki manfaat besar dalam mengekang nafsu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw., "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika tidak mampu, maka berpuasalah, karena puasa adalah tameng baginya." (HR. Bukhari & Muslim).

Puasa dapat melemahkan godaan setan. Rasulullah  bersabda, "Setan mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana darah mengalir. Maka, persempitlah jalannya dengan lapar." (HR. Bukhari & Muslim).

Diceritakan bahwa Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf tidak makan sebelum semua orang yang berada dalam tanggungannya mendapatkan makanan. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, "Aku takut jika aku kenyang, aku akan melupakan mereka yang kelaparan."

Keempat, puasa juga memiliki manfaat kesehatan. Dalam sebuah hadis disebutkan sebagaimana sabdanya,"Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat."

Kelima, pada bulan Ramadan juga terdapat keutamaan memberi makan orang yang berbuka. Orang yang memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun." (HR. Tirmidzi, Ahmad, & Ibnu Majah). Jika seseorang memberikan makanan berbuka kepada 36 orang setiap tahun, maka seakan-akan ia berpuasa sepanjang tahun.

Selanjutnya, Syekh Izzuddin membahas mengenaib adab puasa. Syekh Izzuddin menekankan bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga harus disertai dengan menjaga perilaku. Enam adab yang harus diperhatikan dalam puasa adalah: (1) Menjaga lisan dan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak baik, seperti berbohong, menggunjing, atau bertengkar; (2) Tidak berkata dusta atau berdebat secara sia-sia; (3) Membaca doa berbuka yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Berbuka dengan kurma atau air, sebagaimana kebiasaan Nabi; (4) Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur; dan (5) Berdoa agar puasa diterima oleh Allah.

Syekh Izzuddin juga menjelaskan beberapa hal yang dapat mengurangi pahala puasa atau bahkan membatalkannya juga dibahas dalam kitab ini. Misalnya, menyambung puasa tanpa berbuka (wishal), mencium istri bagi yang tidak mampu mengendalikan syahwat, berbekam yang menyebabkan kelemahan fisik, serta berlebihan dalam berkumur saat berwudhu. Syekh Izzuddin juga menekankan pentingnya menghindari perbuatan riya dalam berpuasa, karena keikhlasan adalah kunci diterimanya ibadah ini.

Syekh Izzudin lalu menjelaskan mengenai Lailatul Qadar, yaitu, salah satu momen paling istimewa dalam Ramadan, yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Syekh Izzuddin menjelaskan pentingnya mencari malam ini di sepuluh hari terakhir Ramadan dengan memperbanyak ibadah, seperti salat malam, membaca Alqur’an, dan berdoa. Selain itu, beliau juga menekankan keutamaan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Kelebihan Kitab Maqâshid ash-Shiyâm 

Kitab Maqâshid ash-Shiyâm memiliki beberapa keistimewaan yang menjadikannya relevan bagi umat Islam hingga saat ini: (1) Pendekatan Fikih dan Tasawuf. Syekh Izzuddin tidak hanya membahas puasa dari sisi hukum-hukum fikih, tetapi juga dari sudut pandang tasawuf. Beliau menjelaskan bagaimana puasa dapat menjadi sarana untuk mencapai kebersihan hati dan kedekatan dengan Allah; (2) Bahasa yang Ringkas dan Jelas. Meskipun merupakan karya klasik, kitab ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, sehingga dapat diakses oleh berbagai kalangan Muslim, baik yang memiliki latar belakang keilmuan Islam maupun awam; (3) Kedalaman Ilmu. Sebagai seorang mujtahid, Syekh Izzuddin menyajikan berbagai dalil dari Al-Qur’an dan hadis, serta pandangan para ulama terdahulu untuk mendukung argumentasinya. Hal ini menjadikan kitab ini sebagai referensi yang kuat dalam memahami ibadah puasa secara komprehensif; dan (4) Relevansi dengan Kehidupan Modern. Meskipun ditulis pada abad ke-13, pembahasan dalam kitab ini tetap relevan bagi Muslim masa kini. Di era modern yang penuh dengan distraksi, puasa menjadi sarana untuk melatih disiplin diri, mengendalikan hawa nafsu, serta meningkatkan empati dan kepedulian sosial.

Perbandingan dan Refleksi

Buku Maqâshid al-Siyâm adalah salah satu kitab yang membahas tujuan-tujuan puasa, namun tidak membahas rahasia-rahasianya, yang sering dibahas oleh para Sufi seperti seperti yang dibahas Syekh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jilani dalam Sirr al-Asrâr dan Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi dalam Futuhât al-Makiyyah. Al-Ghazâlî juga membahas rahasia puasa dalam kitabnya Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn. Pembahasan rahasia puasa berarti pembahasan yang terjun ke samudera terdalam untuk menemukan mutiara yang tersembunyi dari ibadah puasa. 

Al-Ghazâlî membahas tentang rahasia puasa dalam Kitab Asrār al-Zakāt wa Kitab Asrār al-Ṣiyām, yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Mysteries of Charity and The Mysteries of Fasting yang merupakan terjemahan bagian dari karya monumental Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn karya Imam al-Ghazali. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh M. Abdurrahman Fitzgerald dan diterbitkan oleh Fons Vitae pada tahun 2018. Dalam buku ini, al-Ghazali mengupas secara mendalam tentang zakat dan puasa, termasuk dimensi spiritual dan hukum-hukumnya, serta bagaimana kedua ibadah ini berperan dalam membersihkan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam Kitab Asrār al-Ṣiyām (Rahasia Puasa), Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa puasa adalah ibadah yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan ibadah lainnya. Salah satu keistimewaan puasa adalah sifatnya yang tersembunyi; berbeda dengan shalat, zakat, atau haji yang memiliki manifestasi lahiriah yang jelas, puasa hanya diketahui oleh Allah dan orang yang menjalaninya. Inilah sebabnya mengapa Allah Swt. berfirman dalam hadis qudsi, "Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya"—menunjukkan bahwa pahala puasa tidak terbatas dan hanya Allah yang mengetahui keutamaannya. Selain itu, puasa juga disebut sebagai perisai yang melindungi manusia dari api neraka, karena ia melatih jiwa untuk menahan godaan dan hawa nafsu yang menjadi penyebab utama kesalahan dan dosa manusia.  

Al-Ghazali menguraikan bahwa puasa memiliki tiga tingkatan yang menggambarkan sejauh mana seseorang memahami dan menghayati hakikat ibadah ini. Tingkatan pertama adalah puasa awam, yang hanya terbatas pada menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri selama waktu berpuasa. Ini adalah bentuk puasa yang dijalankan oleh kebanyakan orang dan hanya memenuhi aspek lahiriah dari ibadah ini. Tingkatan kedua adalah puasa khusus (shaum al-khawāṣ), di mana seseorang tidak hanya menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa secara fisik, tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan dosa. Matanya dijaga agar tidak memandang hal-hal yang haram, lisannya ditahan dari berkata bohong, menggunjing, atau berbicara sia-sia, serta tangannya tidak digunakan untuk perbuatan zalim. Tingkatan yang paling tinggi adalah puasa khusus dari yang khusus (shaum al-khawāṣ al-khawāṣ), yaitu puasa yang dijalankan oleh para wali dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Dalam tingkatan ini, seseorang tidak hanya menjaga diri dari perbuatan dosa, tetapi juga memusatkan seluruh hatinya kepada Allah, menghindari pikiran duniawi, dan tidak memikirkan hal-hal selain keagungan-Nya.  

Salah satu aspek penting dari puasa yang dibahas oleh al-Ghazali adalah bagaimana ibadah ini dapat menjadi alat untuk menundukkan hawa nafsu dan melemahkan godaan setan. Dalam ajaran Islam, setan bergerak dalam aliran darah manusia dan memanfaatkan dorongan syahwat untuk menyesatkan mereka. Dengan berpuasa, seseorang mengurangi asupan makanan yang menjadi sumber energi bagi hawa nafsunya, sehingga ia lebih mudah mengendalikan dirinya dan lebih peka terhadap aspek spiritual kehidupannya. Hal ini juga berkaitan dengan cara Rasulullah SAW menganjurkan puasa sebagai sarana menekan dorongan biologis bagi mereka yang belum mampu menikah, karena dengan berpuasa, seseorang bisa menjaga kesucian diri dan menghindari perbuatan maksiat.  

Al-Ghazali juga menekankan pentingnya adab dalam berpuasa agar ibadah ini tidak hanya menjadi sekadar rutinitas menahan lapar dan dahaga. Salah satu kesalahan umum yang dilakukan oleh sebagian orang adalah berlebihan dalam makan saat berbuka puasa, yang justru menghilangkan hikmah dari puasa itu sendiri. Orang yang terlalu banyak makan setelah berpuasa akan kembali tunduk pada syahwatnya dan kehilangan kesempatan untuk merasakan kedekatan dengan Allah. Oleh karena itu, beliau menganjurkan agar berbuka dilakukan dengan sederhana, sekadar mengembalikan energi yang cukup untuk melanjutkan ibadah malam. Selain itu, orang yang berpuasa juga harus menjaga lisannya dari perkataan kotor dan hatinya dari penyakit batin seperti hasad, ria, dan sombong. Rasulullah SAW bersabda, "Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga," menunjukkan bahwa tanpa kesadaran spiritual, puasa bisa menjadi ibadah yang sia-sia.  

Keutamaan puasa sangatlah besar, sehingga Rasulullah SAW menggambarkan bahwa ada pintu khusus di surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu pintu Rayyan. Selain itu, dalam hadis disebutkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak misik, karena ia adalah tanda dari kesungguhan hamba dalam menahan diri demi Allah. Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa puasa adalah bagian dari kesabaran, dan kesabaran adalah separuh dari iman. Oleh karena itu, orang yang terbiasa berpuasa memiliki tingkat keimanan yang lebih kuat, karena ia telah melatih dirinya untuk bersabar dalam menghadapi ujian dan menahan godaan dunia.  

Dengan demikian, puasa menurut Imam al-Ghazali bukan hanya sekadar ibadah fisik, tetapi juga merupakan sarana untuk mencapai pencerahan spiritual. Ia adalah latihan untuk menyucikan jiwa, mengendalikan hawa nafsu, dan memperkuat hubungan dengan Allah. Rahasia terdalam dari puasa adalah bahwa ia mengajarkan seseorang untuk melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan mengarahkan seluruh perhatian serta cintanya kepada Sang Pencipta.

Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam Sirr al-Asrār yang merupakan salah satu karya klasik dalam dunia tasawuf yang membahas berbagai aspek ibadah, juga termasuk puasa, dari perspektif syariat dan hakikat. Dalam pembahasannya tentang puasa, Syekh Abdul Qadir al-Jilani menekankan bahwa ibadah ini bukan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri selama waktu yang ditentukan, tetapi juga merupakan sarana penyucian jiwa dan latihan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah.  

Beliau menjelaskan bahwa puasa memiliki dimensi lahir dan batin. Dari segi lahir, puasa berfungsi sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dan latihan disiplin diri dalam mengendalikan hawa nafsu. Sedangkan dari segi batin, puasa mengajarkan manusia untuk menjauhi segala bentuk dosa, baik yang bersifat fisik maupun yang terkait dengan hati, seperti iri, dengki, dan kesombongan. Dalam kitab ini, Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga menyoroti pentingnya menjaga anggota tubuh dari perbuatan yang dapat merusak nilai ibadah puasa, seperti lisan dari berkata dusta, mata dari melihat hal yang diharamkan, dan hati dari niat yang tidak tulus.  

Lebih lanjut, Syekh mengaitkan puasa dengan konsep maqāmāt (tingkatan spiritual) dalam perjalanan menuju Allah. Puasa yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan meningkatkan ketakwaan seseorang, membuka pintu-pintu hikmah, dan menjernihkan hati dari kotoran duniawi. Dalam konteks ini, beliau membandingkan puasa orang awam, yang hanya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan secara fisik, dengan puasa orang khusus (khawāṣ), yang tidak hanya menghindari makanan dan minuman tetapi juga mengendalikan pikiran dan perasaan agar selalu dalam keadaan berdzikir kepada Allah.  

Mengenai rahasia-rahasia puasa ini pembahasan yang paling mendalam dibanding pembahasan kitab lainnya, dilakukan Ibn 'Arabî dalam salah satu bagian dari Futuhat "Fi ma'rifah asrâr al-siyâm" yang diterjemahkan ke bahasa Inggris  On the Mysteries of Fasting from the Futühät al-Makkiyya (Meccan Revelations), oleh Aisha Bewley diedit oleh Laleh Bakhtiar, diterbitkan oleh Great Books of the Islamic World, Inc. (2009). Buku On the Mysteries of Fasting oleh Muhyiddin Ibn 'Arabi tidak hanya membahas hukum-hukum puasa secara zahir, tetapi juga menggali dimensi batin dan mistiknya. Ia menegaskan bahwa puasa adalah ibadah yang unik karena merupakan "non-aksi" yang mengosongkan diri dari segala sesuatu selain Tuhan. Dalam hal ini, puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari kesibukan duniawi yang dapat mengalihkan hati dari kesadaran akan kehadiran Ilahi. Dengan demikian, puasa menjadi jalan menuju makrifat, di mana seorang hamba dapat mengalami penyucian diri dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui kesadaran akan kelemahan dan ketergantungan totalnya kepada-Nya.

Ibn 'Arabi juga membahas simbolisme puasa dalam kaitannya dengan sifat-sifat ketuhanan. Ia menekankan bahwa puasa adalah bentuk keteladanan manusia terhadap sifat Allah yang tidak membutuhkan makan dan minum. Puasa juga digambarkan sebagai sarana bagi manusia untuk menundukkan nafsu dan melepaskan diri dari dominasi jasmani, sehingga hati dapat menjadi tempat turunnya cahaya Ilahi. Konsep ini berhubungan erat dengan ajaran tasawuf, di mana seorang sufi berusaha mencapai fana’ (kehilangan ego) dan baqa’ (keabadian dalam Tuhan). Dengan kata lain, puasa bukan sekadar amalan fisik, melainkan juga latihan rohani yang memungkinkan seseorang mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi.

Selain itu, buku ini juga membahas berbagai aspek hukum dan sosial dari puasa, termasuk puasa Ramadan, puasa sunnah, serta situasi di mana seseorang boleh berbuka atau menggantinya di kemudian hari. Ibn 'Arabi juga menyoroti makna di balik tradisi berbuka puasa, sahur, dan keutamaan malam-malam tertentu seperti Lailatul Qadar. Ia bahkan menjelaskan bagaimana puasa berkaitan dengan konsep kesempurnaan dalam Islam dan bagaimana orang yang berpuasa mendapatkan kedudukan istimewa di hadapan Tuhan. Dengan pendekatan yang menggabungkan hukum Islam, filsafat, dan tasawuf, buku ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang puasa sebagai sarana penyucian diri dan pendekatan kepada Tuhan.

Dari sekian banyaknya kitab yang membahas tentang puasa termasuk oleh ibn 'Arabi dalam Futuhat maupun oleh  Maqāṣid al-Ṣiyām karya Syekh ‘Izz al-Dīn bin ‘Abd al-Salām ditekankan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga sebuah latihan mengendalikan diri—sebuah pendidikan jiwa untuk menaklukkan hawa nafsu.

Mungkin kita bisa menahan lapar sejak subuh hingga magrib, tapi bagaimana dengan nafsu lainnya? Saya sendiri mungkin masih mudah tergoda untuk berbicara hal yang kurang bermanfaat, masih sesekali merasa malas dalam ibadah, bahkan masih sibuk menghitung waktu berbuka ketimbang merenungi hakikat puasa.

Jika memahami kitab Syekh ‘Izz saja terasa berat—karena  sadar betapa jauhnya diri ini dari maqāṣid puasa—apalagi jika saya membaca Futūḥāt al-Makkiyya karya Ibn ‘Arabi. Dalam Futūḥāt, puasa bukan hanya latihan mengendalikan diri, tetapi juga jalan menuju fana’, melebur dalam kehendak Ilahi, menahan bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga kesadaran akan diri sendiri. Itu level yang bahkan tidak berani saya bayangkan.

Saya teringat satu bagian dalam kitab Syekh ‘Izz yang mengatakan bahwa puasa adalah sarana untuk mendekat kepada Allah dengan cara yang paling mendasar: menundukkan keinginan. Dan saya pun sadar, saya masih berada di tingkat paling dasar itu—masih berjuang dengan hal-hal sederhana.

Mungkin untuk saat ini, cukup bagi saya untuk memahami Maqāṣid al-Ṣiyām saja dengan benar. Baru setelah itu, mungkin suatu hari nanti, saya bisa mencoba menapaki jalan Ibn ‘Arabi, meskipun jalannya tampak jauh dan berkabut.

Kesimpulan

Kitab Maqâshid ash-Shiyâm karya Syekh Izzuddin bin Abdussalam adalah salah satu rujukan penting bagi siapa saja yang ingin memahami esensi ibadah puasa secara lebih mendalam. Dengan pendekatan yang menggabungkan fikih dan tasawuf, kitab ini mengajarkan bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga merupakan jalan menuju ketakwaan dan kebersihan hati.

Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga latihan rohani yang mendalam untuk mengendalikan hawa nafsu dan mendekat kepada Allah. Dalam Maqāṣid al-Ṣiyām, Syekh ‘Izz al-Dīn bin ‘Abd al-Salām menekankan bahwa puasa memiliki tujuan moral dan spiritual, sementara al-Ghazâlî, 'Abd Qadir al-Jilani dan Ibn ‘Arabi menggali lebih dalam aspek mistiknya, melihat puasa sebagai sarana mencapai fana’—melebur dalam kehendak Ilahi.  

Ibn ‘Arabi dalam Futūḥāt al-Makkiyya menafsirkan puasa sebagai "non-aksi" yang mengosongkan diri dari segala selain Tuhan, sebuah jalan menuju makrifat dan penyucian batin. Ia juga mengaitkannya dengan sifat-sifat ketuhanan, di mana manusia meneladani Allah yang tidak membutuhkan makan dan minum.  

Refleksi pribadi dalam tulisan ini menunjukkan bahwa memahami tujuan-tujuan puasa saja sudah merupakan tantangan, apalagi menapaki jalan spiritual para Sufi seperti Ibn ‘Arabi yang penuh dengan tuntutan fana’ dan pelepasan ego. Namun, setiap orang memiliki tahapan dalam perjalanan spiritualnya. Mungkin saat ini cukup untuk memahami esensi dasar puasa sebagaimana dijelaskan dalam Maqāṣid al-Ṣiyām, sebelum berusaha menelusuri dimensi mistiknya yang lebih tinggi sebagaimana diajarkan dalam Futūḥāt al-Makkiyya. Wallâhu yahdi al-sabîl. *Pagaulan, 14 Ramadan 1446 H.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam