Lampu Penerang dalam Salat Tarawih



Cak Yo

Pengantar

Dalam tradisi Islam, terdapat konsensus di antara para ulama bahwa shalat malam pada bulan Ramadan yang disebut shalat Tarawih adalah sunnah yang telah diamalkan sejak masa Rasulullah dan para sahabat. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaatnya, ada yang 11 rakaat (berikut witir), ada yang 23 rakaat, bahkan ada yang lebih dari 23 rakaat. Berbagai pendapat ini tentu masing-masing memiliki dalilnya, dan tidak perlu dipertentangkan. Bagi yang 11 rakaat karena ada riwayat bahwa Rasulullah salat qiyam Ramadan sebanyak 11 rakaat. Saya sendiri sering mengikuti jamaah di mana saya shalat Tarawih, ada yang 11 rakaat dan ada pula yang 23 rakaat. 

Imam al-Suyuti yang kitabnya akan dibahas di sini, berpendapat, mayoritas ulama bersepakat bahwa shalat Tarawih dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. Menurut al-Sututi, pandangan ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Dawud Al-Zahiri, sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fiqh. Al-Kasani dalam Al-Bada’i menegaskan bahwa pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama. Bahkan, Imam Malik pernah menolak permintaan seorang pemimpin untuk mengurangi jumlah rakaat shalat Tarawih, dengan alasan bahwa inilah yang menjadi kebiasaan masyarakat sejak dahulu. Pendapat ini juga ditegaskan dalam kitab Awjaz al-Masalik, yang mencatat bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara empat imam mazhab mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih yang mencapai dua puluh rakaat.

Imam Al-Sya’rani dalam Kashf al-Ghummah juga menyatakan bahwa dua puluh rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir telah ditetapkan sebagai suatu amalan yang mapan. Beliau menegaskan bahwa siapa pun yang mengubah jumlah rakaat ini telah menyimpang dari kesepakatan para ulama. Pandangan ini diperkuat dengan riwayat yang menyebutkan bahwa dua puluh rakaat Tarawih telah diamalkan sejak masa sahabat, termasuk oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar, dan Muhammad juga mendukung pandangan ini, sebagaimana dicatat dalam kitab-kitab mereka.

Imam Malik sendiri meriwayatkan bahwa penduduk Madinah pada masanya melaksanakan shalat Tarawih sebanyak tiga puluh enam rakaat. Hal ini disebabkan karena mereka tidak melakukan tawaf di antara rakaat-rakaat tersebut, berbeda dengan penduduk Makkah yang menambahkan tawaf di antara dua rakaat Tarawih. Dalam sejarahnya, Al-Hafiz Al-Iraqi ketika diangkat sebagai imam di Masjid Nabawi menghidupkan kembali tradisi shalat tiga puluh enam rakaat ini. Namun, jumlah dua puluh rakaat tetap menjadi praktik utama di berbagai wilayah Muslim.

Dalam kitab Al-Mughni, disebutkan bahwa shalat malam di bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat merupakan kebiasaan yang diawali oleh Rasulullah. Beberapa riwayat juga menyebutkan bahwa para sahabat dan ulama besar, termasuk Imam Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Al-Syafi’i, dan Malik, memandang dua puluh rakaat sebagai jumlah yang paling sesuai dengan sunnah.

Selain itu, para ulama juga menjelaskan berbagai manfaat dan hikmah dari shalat Tarawih. Rasulullah SAW bersabda bahwa barang siapa yang melaksanakan shalat malam di bulan Ramadan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dengan melaksanakan dua puluh rakaat, seorang Muslim memperoleh pahala yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit. Selain itu, shalat Tarawih juga menjadi sarana untuk menyatukan umat Islam dalam ibadah bersama di masjid, yang merupakan bagian dari tujuan syariat Islam yang mendorong kebersamaan dan persaudaraan.

Sejumlah ulama seperti Al-Halimi, Ibnu Allan, dan Al-Zayn Al-Iraqi menjelaskan bahwa shalat di bulan Ramadan memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan dengan bulan lainnya. Diriwayatkan bahwa satu shalat wajib di bulan Ramadan setara dengan tujuh puluh kali shalat wajib di luar bulan tersebut, dan satu shalat sunnah di bulan Ramadan nilainya setara dengan satu shalat wajib.

Sejarah mencatat bahwa shalat malam di bulan Ramadan telah dilakukan sejak zaman Rasulullah. Hadits-hadits menunjukkan bahwa beliau beberapa kali melaksanakan shalat malam secara berjamaah, tetapi kemudian menghentikan kebiasaan tersebut karena khawatir akan diwajibkan atas umatnya. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar menyebutkan bahwa Nabi SAW pernah shalat malam hingga kepalanya terbentur tembok karena lamanya berdiri dalam shalat. Hadits lain dari Hudzaifah bin Al-Yaman menggambarkan bahwa Rasulullah membaca surat Al-Baqarah dalam satu rakaat, dan ruku’ serta sujud beliau hampir sepanjang berdirinya.

Hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan bahwa Rasulullah SAW biasa shalat malam dengan sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan. Beliau shalat empat rakaat dengan bacaan yang panjang, kemudian empat rakaat lagi, dan ditutup dengan tiga rakaat Witir. Hadits ini sering digunakan sebagai dasar bagi mereka yang berpendapat bahwa shalat Tarawih hanya berjumlah sebelas rakaat. Namun, mayoritas ulama menafsirkan bahwa jumlah ini adalah kebiasaan pribadi Rasulullah dalam shalat malamnya, sedangkan praktik Tarawih berjamaah di masjid yang dilakukan sejak masa Umar bin Khattab menunjukkan bahwa dua puluh rakaat adalah jumlah yang disepakati oleh para sahabat dan ulama setelahnya.

Dengan demikian, shalat Tarawih dua puluh rakaat telah menjadi bagian dari tradisi Islam yang kuat, didukung oleh berbagai riwayat sahabat dan pendapat ulama. Meskipun terdapat pendapat lain yang membolehkan jumlah yang lebih sedikit, praktik yang paling banyak diamalkan adalah dua puluh rakaat, sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam dari generasi ke generasi.

Perdebatan tentang Jumlah Rakaat Tarawih

Banyak kitab yang membahas mengenai rakaat salat Tarawih ini. Salah satunya adalah Kitab al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih yang merupakan karya Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As-Suyuti, seorang ulama besar Mesir yang juga menjabat sebagai mufti dan dikenal dengan banyak karyanya dalam berbagai disiplin ilmu Islam. Kitab ini berisi pembahasan mendalam tentang shalat Tarawih, termasuk jumlah rakaat yang dilakukan pada masa Rasulullah saw. serta perbedaan pendapat ulama mengenai praktiknya. Dalam kitab ini, al-Suyuti menegaskan bahwa shalat Tarawih merupakan bagian dari syiar Islam dan memiliki landasan dalam hadis-hadis sahih.

Kitab al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih ini disertai dengan komentar dari Syekh Muhammad Mustafa Abi Al-Malla, seorang ulama terkemuka yang aktif dalam bidang dakwah di Al-Azhar. Dalam komentarnya, ia menyoroti perdebatan yang sering muncul setiap Ramadan terkait jumlah rakaat shalat Tarawih, serta menekankan pentingnya bersikap adil dan menjauhi hawa nafsu dalam memahami perbedaan pendapat. Kitab ini diterbitkan oleh Maktabah Al-Mujandi, beralamat di 91 Shari' Jawhar Al-Qaid, Sayyidna Al-Husain, Mesir, dan hak cetaknya dilindungi oleh pemilik komentarnya. Sebagai salah satu referensi klasik, kitab ini menjadi rujukan penting dalam memahami sejarah dan hukum shalat Tarawih dalam Islam.

Shalat Tarawih merupakan salah satu ibadah sunnah yang memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Bagian pengantar membahas pentingnya adab dalam shalat, yang dapat membantu seorang hamba mencapai derajat tertinggi di sisi Allah SWT. Seorang muslim dianjurkan untuk fokus pada bacaan doa, dzikir, serta gerakan shalat seperti ruku’, sujud, berdiri, dan duduk agar memperoleh manfaat spiritual dari ibadahnya. Bagian selanjutnya menjelaskan tentang definisi shalat Tarawih, asal-usul penamaannya, tata cara, niat, dan waktunya.

Dalam pembahasan hadits, dikaji berbagai riwayat mengenai shalat Tarawih, termasuk pernyataan hadits shahih, hasan, dan dha’if. Bagian ini juga mencakup kritik terhadap hadits Abu Shaybah yang dianggap tidak bisa dijadikan dalil, serta hadits-hadits palsu yang berkaitan dengan bulan Ramadan.

Pembahasan lebih lanjut menyoroti konsekuensi berbohong atas nama Rasulullah saw., serta status hadits yang ditolak dalam pandangan para ulama hadis. Bagian berikutnya membahas jumlah rakaat shalat Tarawih pada masa Umar bin Khattab r.a., serta bukti konsensus (ijmâ') para sahabat dan ulama mengenai praktik ini. Pernyataan Rasulullah saw. tentang Umar juga menjadi poin penting dalam memahami kebijakan Umar yang mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah. Di samping itu, disebutkan pula bagaimana para ulama salaf memperbanyak bacaan dalam shalat Tarawih, serta dorongan untuk menjalankan ibadah ini secara rutin.

Dalam kajian lebih lanjut, terdapat penelitian tentang bid'ah, termasuk pernyataan Imam Syafi’i mengenai inovasi (bid'ah) dalam ibadah. Dibahas pula monastisisme dalam Islam, baik yang diperbolehkan maupun yang dilarang. Pada akhirnya, kesimpulan oleh komentator menyoroti pentingnya memperindah dan menyempurnakan shalat Tarawih, serta memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam melaksanakannya. Sebagai tambahan, disebutkan keutamaan bulan Ramadan, termasuk penghapusan dosa bagi orang yang berpuasa, serta adab dalam shalat yang dapat menjadi sarana mi’raj menuju Allah Swt.

Al-Suyuti membuka karyanya dengan memuji Allah dan mengucapkan shalawat serta salam kepada para hamba-Nya yang terpilih. Setelah itu, ia menjelaskan alasan di balik penulisan kitabnya yang membahas shalat Tarawih. Al-Suyuti mengungkapkan bahwa dirinya beberapa kali ditanya mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Apakah benar beliau melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat seperti yang umum dilakukan saat ini? Menjawab pertanyaan tersebut, al-Suyuti menyatakan bahwa ia tidak yakin akan hal itu. Oleh karena itu, ia merasa perlu menyusun kitab ini untuk membahas hadis-hadis yang berkaitan dengan shalat Tarawih, baik yang berstatus shahih, hasan, maupun dla’if.

Syekh Muhammad Mustafa Abi Al-Malla, sebagai komentator kitab ini, menyoroti perbedaan pendapat terkait jumlah rakaat shalat Tarawih. Perbedaan ini menjadi perdebatan yang kerap muncul setiap bulan Ramadhan. Menurutnya, kitab karya al-Suyuti ini dapat membantu meredakan perdebatan tersebut dengan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dasar-dasar hukum shalat Tarawih. Ia pun berharap agar Allah memberikan manfaat dari kitab ini, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi seluruh umat Islam. Dalam komentarnya, Syekh Abi Al-Malla mendefinisikan shalat Tarawih sebagai salah satu ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, termasuk syiar Islam yang jelas. Para sahabat Nabi dan generasi setelah mereka senantiasa menjalankan ibadah ini. Ia juga menegaskan bahwa terdapat berbagai riwayat mengenai shalat Tarawih, termasuk hadis-hadis yang shahih, yaitu hadis yang sanadnya bersambung dan para perawinya terpercaya.

Dalam kitabnya, al-Suyuti menyebutkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa anjuran untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tidak disertai dengan ketentuan jumlah rakaat tertentu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat. Al-Suyuti sendiri menegaskan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Nabi melaksanakan shalat Tarawih dengan jumlah rakaat tersebut. Yang diketahui dengan pasti adalah bahwa Nabi pernah melakukan shalat malam tanpa menentukan jumlah rakaatnya. Kemudian, beliau menghentikan shalat tersebut pada malam keempat karena khawatir shalat itu akan diwajibkan bagi umatnya, sehingga mereka tidak akan mampu melaksanakannya secara terus-menerus.

Sebagian pihak yang meyakini bahwa Nabi melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat berpegang pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaybah dalam Musnad-nya. Hadis tersebut berbunyi bahwa Rasulullah Saw. biasa melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan diakhiri dengan witir. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abd bin Hamid dalam Musnad-nya, serta oleh Al-Baghawi dalam Mu’jam-nya melalui jalur periwayatan yang sama. Namun, menurut al-Suyuti, hadis ini memiliki kelemahan yang sangat serius sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dasar hukum.

Al-Dzahabi dalam kitab Al-Mizan juga menyoroti kelemahan hadis ini dengan mengkritik salah satu perawinya, yaitu Ibrahim bin Othman Abu Shaiba al-Kufi. Ia adalah hakim di Wasit yang meriwayatkan hadis dari suami ibunya, Al-Hakam bin Uyaynah. Shu’bah, seorang perawi hadis ternama, bahkan menuduhnya sebagai pembohong. Selain itu, para ahli hadis lainnya seperti Ibnu Ma’in, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Bukhari juga menyatakan bahwa ia tidak dapat dipercaya. An-Nasa’i bahkan secara tegas menolak hadis-hadis yang diriwayatkannya.

Lebih lanjut, al-Muzani dalam kitab Tahdzib-nya juga menegaskan bahwa Ibrahim bin Othman memiliki banyak hadis yang dianggap aneh atau janggal, termasuk hadis mengenai shalat Tarawih 20 rakaat ini. Beberapa ahli hadis lain seperti Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu ‘Adi pun menyatakan bahwa ia adalah seorang perawi yang lemah. Sebagian ulama bahkan menilai bahwa hadis yang ia riwayatkan tidak boleh ditulis ataupun dijadikan rujukan. Oleh karena itu, jika mayoritas ulama hadis telah sepakat bahwa seorang perawi itu lemah, maka hadis yang diriwayatkannya pun tidak dapat dijadikan hujjah.

Selain aspek kelemahan perawi, terdapat pula faktor lain yang menunjukkan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan dasar hukum. Dalam Shahih Bukhari, Aisyah pernah ditanya mengenai jumlah rakaat shalat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan. Ia menjawab bahwa Nabi tidak pernah melaksanakan shalat malam, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat. Pernyataan ini tentu bertentangan dengan hadis yang menyebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat.

Selain itu, dalam Shahih Bukhari juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengomentari pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di masjid sebagai "bid’ah yang baik." Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa pada masa Rasulullah Saw., shalat Tarawih berjamaah dalam jumlah rakaat tertentu belumlah ditetapkan sebagai suatu kebiasaan yang baku.

Para ulama kemudian memiliki pandangan yang berbeda terkait jumlah rakaat shalat Tarawih. Imam Syafi’i, misalnya, membagi bid’ah menjadi dua jenis: bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat. Shalat Tarawih berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu, menurutnya, termasuk dalam kategori bid’ah yang baik karena memiliki dasar dalam syariat dan memberikan manfaat bagi umat Islam. Pendapat ini juga diperkuat oleh Imam Nawawi yang mengutip pernyataan Imam Izzuddin bin Abdul Salam bahwa bid’ah dapat diklasifikasikan ke dalam lima hukum: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, tergantung pada kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Dalam konteks sejarah, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, kaum Muslimin melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat Nabi, yang mengatakan bahwa pada zaman Umar, umat Islam biasa melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah tersebut. Namun, jika memang jumlah ini sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah Saw., tentu akan ada riwayat yang lebih jelas dari masa beliau.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih dan Witir yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat setelahnya. Dalam sejarahnya, shalat malam pada bulan Ramadan telah dilakukan oleh Nabi, para sahabat, dan generasi setelahnya dengan jumlah rakaat yang beragam. Diriwayatkan bahwa ada yang mengerjakannya sebanyak delapan rakaat, sementara riwayat lain menyebutkan dua puluh rakaat, ditambah witir.

Menurut Imam Malik, penduduk Madinah dahulu melaksanakan shalat Tarawih sebanyak tiga puluh enam rakaat, tidak termasuk witir, sebagaimana disebutkan oleh Nafi’ yang mengatakan bahwa ia mendapati orang-orang Madinah melaksanakan shalat Ramadan sebanyak tiga puluh sembilan rakaat, yang terdiri atas tiga puluh enam rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini berbeda dengan penduduk Mekkah yang di sela-sela shalat mereka juga melakukan tawaf. Karena penduduk Madinah ingin menyamakan jumlah ibadah dengan penduduk Mekkah, mereka mengganti setiap tawaf dengan empat rakaat tambahan dalam shalat Tarawih.

Dalam kitab-kitab fikih berbagai mazhab, termasuk Syarah al-Muhadhdhab, terdapat berbagai penjelasan mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih yang didasarkan pada riwayat dari para sahabat dan kesepakatan ulama. Jika ada riwayat yang kuat dari Nabi Muhammad Saw. mengenai jumlah tertentu, tentu riwayat tersebut dijadikan sebagai pedoman utama. Namun, banyak riwayat yang menunjukkan bahwa jumlah rakaat yang dilakukan oleh Nabi tidak disebutkan secara pasti, dan dalam beberapa riwayat hanya disebutkan bahwa beliau shalat malam tanpa menentukan jumlahnya.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab adalah orang pertama yang mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam. Dalam sebuah riwayat dari Al-Baihaqi disebutkan bahwa Umar mengumpulkan orang-orang di belakang Ubay bin Ka‘b untuk melaksanakan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Ini menjadi dasar bagi sebagian besar ulama yang menetapkan jumlah rakaat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana yang dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam hingga kini.

Namun, ada juga riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Bukhari yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah menambah jumlah rakaat shalat malamnya, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, lebih dari sebelas rakaat, yaitu delapan rakaat dan tiga rakaat witir. Riwayat ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih yang paling sesuai dengan sunnah adalah sebelas rakaat.

Dalam kitab-kitab fikih, disebutkan bahwa shalat Tarawih merupakan bagian dari ibadah sunah yang tidak memiliki batasan jumlah rakaat yang kaku. Imam Syafi’i, misalnya, berpendapat bahwa shalat Tarawih adalah ibadah yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan, sehingga tidak ada batasan jumlah rakaat yang baku. Oleh karena itu, umat Islam diberikan kebebasan untuk memilih jumlah rakaat yang mereka yakini sesuai dengan sunnah atau yang lebih mereka mampu lakukan.

Dari berbagai pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa shalat Tarawih adalah ibadah sunah yang dianjurkan, dengan jumlah rakaat yang fleksibel. Bagi yang ingin mengikuti sunnah Nabi Saw. berdasarkan riwayat Aisyah, mereka dapat melaksanakan sebelas rakaat. Namun, bagi yang mengikuti praktik para sahabat, terutama yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan diteruskan oleh mayoritas ulama, mereka bisa melaksanakan dua puluh rakaat. Demikian pula, di beberapa tempat, seperti Madinah pada masa tertentu, jumlahnya mencapai tiga puluh enam rakaat.

Yang terpenting dalam shalat Tarawih bukanlah jumlah rakaatnya, tetapi konsistensi dalam menjalankan ibadah tersebut dengan khusyuk dan penuh keikhlasan. Sebab, tujuan utama dari shalat malam di bulan Ramadan adalah untuk meraih keberkahan, mendapatkan ampunan dari Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: Barang siapa yang melaksanakan qiyam Ramadan dengan iman dan penuh keikhlasan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, baik yang memilih shalat delapan, sebelas, dua puluh, atau lebih dari itu, semuanya tetap dalam koridor ibadah yang benar selama dilakukan dengan niat yang tulus dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Kesimpulan

Shalat Tarawih adalah ibadah yang memiliki dasar dalam syariat Islam, namun jumlah rakaatnya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Yang terpenting adalah menjalankan ibadah ini dengan niat yang ikhlas dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, dalam perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat, hendaknya umat Islam saling menghormati dan tidak menjadikannya sebagai sumber perpecahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam