Internasionalisasi PTKIS: Upaya Mewujudkan Perguruan Tinggi Berdaya Saing Global
![]() |
Animasi International University of Global Mulia (IU-GM) |
"Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal..." (Q.S. Al-Hujurat/49:13)
"Carilah ilmu, walau ke negeri China” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, No. 1612).
Pengantar
Kemarin siang, 11 Maret 2025, saya mengikuti kegiatan Rapat Koordinasi Penguatan Institusi PTKIS yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI melalui platform Zoom. Acara ini bertujuan untuk membahas strategi pencapaian akreditasi program studi dan institusi di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS).
Salah satu narasumber yang merupakan Guru Besar dalam bidang Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Asesor BAN-PT, Profesor Thib Raya, dalam kegiatan ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi PTKIS dalam memperoleh akreditasi Unggul dari Lembaga Akreditasi Mandiri Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi (LAMEMBA). Menurutnya, standar internasionalisasi yang ditetapkan LAMEMBA cukup berat, terutama bagi PTKIS yang memiliki keterbatasan dalam sumber daya, baik dalam hal keuangan, SDM, maupun jaringan internasional. Beberapa persyaratan seperti pengajaran dalam bahasa Inggris, kehadiran mahasiswa asing, serta kolaborasi riset dengan universitas luar negeri menjadi kendala utama bagi banyak PTKIS.
Dalam diskusi tersebut, narasumber juga menegaskan perlunya pendirian Lembaga Akreditasi Rumpun Ilmu Agama (LAM-GAMA) yang lebih sesuai dengan karakteristik PTKIS. Selain menyesuaikan standar akreditasi dengan kondisi nyata PTKIS, LAM-GAMA juga diharapkan dapat menawarkan biaya akreditasi yang lebih terjangkau dibandingkan LAMEMBA. Dengan demikian, PTKIS dapat lebih fokus pada penguatan mutu akademik dan pengembangan kurikulum berbasis keislaman, tanpa terbebani oleh persyaratan internasionalisasi yang kurang relevan dengan konteks keilmuan agama. Diskusi ini menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih realistis dalam penjaminan mutu PTKIS, sehingga standar unggul yang diterapkan tidak hanya mengacu pada model internasionalisasi yang bersifat universal, tetapi juga mempertimbangkan kekhasan dan kebutuhan akademik dalam rumpun ilmu-ilmu agama.
Pernyataan narasumber, Prof. Thib Raya, mengenai beratnya persyaratan internasionalisasi dalam akreditasi LAMEMBA bagi PTKIS barangkali memiliki dasar yang kuat bila melihat kondisi PTKIS saat ini, bahkan masih banyak yang tidak terakreditasi. Internasionalisasi, yang disyaratkan untuk predikat Unggul LAMEMBA seperti pengajaran dalam bahasa Inggris, penerimaan mahasiswa asing, dan kolaborasi riset internasional, lebih mudah dipenuhi oleh perguruan tinggi besar dengan sumber daya yang luas. Sebaliknya, banyak PTKIS masih menghadapi tantangan dalam pendanaan, kualifikasi dosen, dan jaringan global, sehingga persyaratan tersebut menjadi hambatan dalam meraih predikat Unggul.
Namun, internasionalisasi tetap perlu menjadi bagian dari pengembangan PTKIS, meskipun dengan pendekatan yang lebih fleksibel, seperti integrasi perspektif global dalam kurikulum, penguatan literatur internasional dalam pembelajaran, dan kolaborasi akademik dengan lembaga Islam internasional yang lebih relevan.
Dalam konteks ini, gagasan untuk mendirikan Lembaga Akreditasi Rumpun Ilmu Agama (LAM-GAMA) sebagai alternatif akreditasi bagi PTKIS menjadi langkah yang patut didukung. LAM-GAMA diharapkan dapat menyusun standar yang lebih sesuai dengan karakteristik ilmu agama, yang memiliki metodologi dan epistemologi khas. Selain itu, jika LAM-GAMA dapat menawarkan biaya akreditasi yang lebih terjangkau dibandingkan LAMEMBA, ini akan sangat membantu PTKIS yang sering kali menghadapi banyak kendala. Dengan adanya LAM-GAMA, penilaian mutu akademik PTKIS juga bisa lebih kontekstual dan tidak sekadar mengikuti standar internasionalisasi yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, pendirian LAM-GAMA menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan PTKIS tetap berkembang dengan standar yang adil dan realistis.
Bagi saya sendiri, internasionalisasi perguruan tinggi merupakan hal yang menarik sekaligus menjadi tantangan. Spirit salah satu Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Suwito (semoga Allah merahmatinya di alam barzakh), yang terkenal melahirkan motto Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN Jakarta yang dipasang di tembok kampus SPS, "Membaca Dunia dan Dibaca Dunia" memberikan spirit sekaligus membuka wawasan agar memperluas dan memperdalam literasi berupa karya-karya yang diakui dunia, sekaligus berkarya yang dibaca bahkan diakui dunia. Untuk yang kedua ini, menghasilkan karya yang mendapatkan pengakuan (recognition) dunia tentu bukan sesuatu yang mudah. Namun, motto itu, barangkali relevan dengan upaya internasionalisasi perguruan tinggi dan sivitas akademika yang ada di dalamnya.
Dalam hal literatur, barangkali saya terbiasa membaca buku-buku bermutu, yaitu buku-buku teks berbahasa asing, terutama yang diterbitkan universitas ternama di luar negeri seperti buku-buku terbitan Oxford University, Cambridge University, Chicago University, Penerbit Springer, dan lainnya. Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit terkemuka dan diakui dunia itu, khususnya oleh kalangan akademisi, dapat lebih memberikan kepuasan intelektual karena bobotnya. Sebagai bagian dari manajemen perguruan tinggi saya juga berusaha menambah wawasan tentang pengelolaan perguruan tinggi untuk menemukan gagasan dan menerapkannya, tentu sesuai dengan kondisi perguruan tinggi di mana saya berada.
Salah satu buku pavorit saya adalah buku Becoming a World-Class University: The Case of King Abdulaziz University (Spinger, 2016). Buku ini menarik bagi siapa pun yang tertarik pada strategi internasionalisasi dan pengelolaan perguruan tinggi. Disunting oleh Osama Tayeb, Adnan Zahed, dan Jozef Ritzen, buku ini mengupas perjalanan King Abdulaziz University (KAU) dalam upayanya menjadi universitas kelas dunia. Dengan pendekatan berbasis pengalaman nyata, buku ini tidak hanya menawarkan wawasan tentang bagaimana KAU meningkatkan kualitas pendidikan, riset, dan kerja sama internasional, tetapi juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam mencapai standar global. Buku ini relevan dalam diskusi akademik tentang masa depan pendidikan tinggi, terutama bagi PTKIS yang ingin memahami strategi penguatan institusi di tengah persaingan global.
Buku Becoming a World-Class University memberikan Peta Jalan (Roadmap) menuju perguruan tinggi kelas dunia, mencakup serangkaian strategi transformatif yang melibatkan reformasi kebijakan, peningkatan kapasitas akademik, serta penguatan tata kelola institusi. Perguruan tinggi harus berinvestasi dalam sumber daya manusia berkualitas dengan menarik dan mempertahankan akademisi terbaik, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Selain itu, perguruan tinggi perlu meningkatkan kualitas penelitian dengan mengembangkan pusat-pusat riset unggulan, memperluas kolaborasi internasional, serta mendorong publikasi di jurnal bereputasi global. Dalam aspek tata kelola, otonomi institusi dan sistem pendanaan yang berkelanjutan menjadi faktor kunci untuk meningkatkan daya saing. Digitalisasi, internasionalisasi kurikulum, serta penguatan jejaring global juga menjadi elemen penting dalam proses ini. Dengan strategi yang terencana dan komitmen jangka panjang, perguruan tinggi dapat berkembang menjadi institusi akademik yang diakui secara internasional, berkontribusi terhadap peradaban global, dan menghasilkan lulusan yang kompetitif di tingkat dunia.
Buku yang cukup bagus lainnya tentang internasionalisasi perguruan tinggi juga disusun oleh Hans de Wit – Trends, Issues and Challenges in Internationalisation of Higher Education (2011). Buku ini membahas tren, isu, dan tantangan dalam internasionalisasi pendidikan tinggi. Buku ini diterbitkan oleh Centre for Applied Research on Economics & Management di Hogeschool van Amsterdam dan mencakup berbagai aspek internasionalisasi dalam konteks global, dengan fokus pada Eropa, Australia, dan Amerika Latin.
Pembahasannya meliputi konsep dasar internasionalisasi universitas ilmu terapan, perbandingan kebijakan dan praktik internasionalisasi di berbagai negara, serta mobilitas mahasiswa dan isu imigrasi. Selain itu, buku ini juga mengeksplorasi hubungan antara internasionalisasi dengan kewarganegaraan global dan studi di luar negeri. Di bagian akhir, Hans de Wit dan David Urias memberikan tinjauan terhadap penelitian dan sumber daya yang terkait dengan pendidikan internasional, termasuk publikasi yang telah diterbitkan antara tahun 1993 hingga 2011.
Buku ini merupakan kontribusi penting dalam kajian internasionalisasi pendidikan tinggi, khususnya bagi akademisi dan pembuat kebijakan yang ingin memahami dinamika globalisasi dalam dunia akademik. Hans de Wit memberikan analisis yang mendalam tentang bagaimana universitas menghadapi tantangan seperti persaingan global, regulasi imigrasi mahasiswa internasional, dan relevansi jaringan kelembagaan dalam memperkuat kolaborasi internasional.
Salah satu keunggulan buku ini adalah pendekatannya yang berbasis data empiris dan studi kasus dari berbagai wilayah, yang memberikan perspektif luas terhadap kebijakan dan praktik internasionalisasi. Namun, buku ini terbit pada tahun 2011, sehingga beberapa tren yang dibahas mungkin telah berkembang secara signifikan, terutama dalam konteks digitalisasi pendidikan dan dampak pandemi terhadap mobilitas mahasiswa.
Secara keseluruhan, buku Trends, Issues and Challenges in Internationalisation of Higher Education adalah bacaan yang sangat relevan bagi akademisi, peneliti, dan pengelola perguruan tinggi yang ingin memahami kompleksitas internasionalisasi dan merancang strategi yang lebih adaptif di era globalisasi.
Buku lainnya yang saya baca adalah buku berjudul "Internationalization of Higher Education: Opportunities and Challenges" disunting oleh Prof. Bholanath Dutta, Presiden MTC Global, dan Dr. Paramita Chaudhuri, Kepala Sekolah LVES, Bangalore. Buku ini diterbitkan oleh MTC Global pada tahun 2019, bertepatan dengan peringatan 10 tahun mereka (2009-2019).
Dalam bab "Pentingnya Pengembangan Strategi Internasional bagi Institusi Pendidikan Tinggi di India," Gautam Rajkhowa, Dosen Senior dan Pemimpin Program MBA di Newman University, Inggris, membahas pedoman bagi institusi pendidikan tinggi dalam merumuskan strategi internasionalisasi mereka. Ia memulai dengan menetapkan konteks global dan meninjau perspektif India terhadap internasionalisasi, menyoroti manfaat seperti diplomasi lunak dan peningkatan peluang. Rajkhowa juga membahas tantangan dalam internasionalisasi pendidikan tinggi dan menyarankan pedoman bagi universitas untuk mengembangkan strategi internasional yang efektif.
Lanskap global pendidikan tinggi telah mengalami transformasi signifikan selama 25 tahun terakhir, terutama karena peningkatan internasionalisasi. Perubahan ini didorong oleh faktor-faktor seperti meningkatnya mobilitas mahasiswa global, ekspansi kampus cabang di luar negeri, peningkatan program gelar yang divalidasi dan diwaralabakan, serta kualifikasi bersama. UNESCO menafsirkan internasionalisasi sebagai respons pendidikan tinggi terhadap peluang dan tantangan yang ditawarkan oleh globalisasi, mencakup elemen-elemen seperti pengembangan kurikulum, pengajaran dan pembelajaran, kolaborasi penelitian, perjanjian institusional, mobilitas mahasiswa dan staf, serta kerjasama pembangunan.
Dari perspektif India, fokusnya harus pada pemanfaatan sumber daya global untuk meningkatkan akses, kualitas, dan keberagaman, bukan semata-mata pada peluang komersial di pasar pendidikan tinggi global yang berkembang pesat. Untuk membangun kapasitas dan meningkatkan standar kualitas, India memerlukan institusi pendidikan yang terhubung secara global. Keterlibatan dalam kemitraan internasional yang kuat dapat meningkatkan produktivitas dan relevansi global institusi pendidikan tinggi India. Kolaborasi semacam itu tidak hanya membantu memenuhi permintaan mahasiswa tetapi juga menumbuhkan kesadaran yang lebih besar tentang isu-isu global di kalangan mahasiswa, mempersiapkan mereka untuk berpartisipasi dalam ekonomi global yang kompetitif.
Mahasiswa internasional memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi suatu negara melalui biaya pendidikan dan pengeluaran hidup. Selain manfaat ekonomi, mereka memainkan peran penting dalam diplomasi lunak, membangun hubungan internasional, dan meningkatkan modal manusia. Mahasiswa ini berfungsi sebagai perantara untuk pertukaran pengetahuan lintas batas dan mewujudkan budaya kosmopolitan, menjadikan mereka elemen vital dalam sistem pengetahuan global.
Internasionalisasi menawarkan berbagai peluang, termasuk peningkatan kapasitas, akses mahasiswa yang lebih luas, pengembangan kurikulum bersama, diversifikasi program, paparan terhadap berbagai metode pengajaran dan pembelajaran, peningkatan kesetaraan kualifikasi, dan kolaborasi penelitian yang lebih kaya. Namun, tantangan seperti jaminan kualitas, biaya tinggi yang menyebabkan ketidaksetaraan akses, serta isu-isu terkait pengakuan gelar dan transfer kredit harus diatasi. Institusi harus menavigasi tantangan ini untuk memastikan bahwa upaya internasionalisasi efektif dan adil.
Untuk mengembangkan strategi internasionalisasi yang sukses, institusi pendidikan tinggi sebaiknya:
1. Memformalkan proses strategis: Membangun pendekatan sistematis terhadap manajemen strategis yang tetap fleksibel terhadap perubahan keadaan.
2. Fokus pada hasil yang disepakati: Menetapkan dengan jelas cakupan strategi dan tetap fokus pada hasil yang diinginkan, menghindari gangguan dari arah alternatif.
3. Menyelaraskan sumber daya dengan lingkungan eksternal: Mengidentifikasi proyek dan program utama yang dapat disorot saat mencari kolaborasi dan kemitraan.
4. Melibatkan semua kelompok pemangku kepentingan: Berkonsultasi dan mengumpulkan masukan dari seluruh komunitas universitas, termasuk fakultas, mahasiswa, alumni, staf pendukung, mitra perusahaan, dan mitra internasional yang ada.
5. Menetapkan dan menyempurnakan kemitraan strategis: Meninjau secara berkala kemitraan untuk menilai keterlibatan dan efektivitasnya, berfokus pada kolaborasi jangka panjang yang berkelanjutan.
6. Membentuk tim internasional dengan manajemen yang berdedikasi dan dukungan semua stakeholder: Memastikan bahwa semua stakeholder mendukung dan terlibat dalam upaya internasionalisasi.
7.Berkomunikasi secara efektif: Terlibat dalam komunikasi berkelanjutan tentang strategi baru dengan semua pemangku kepentingan, membuat poin-poin utama dapat diakses oleh mitra internasional potensial.
8. Memastikan strategi terus berkembang: Menerapkan sistem tinjauan untuk memantau kemajuan, mengevaluasi hasil, dan merevisi strategi sesuai kebutuhan, memastikan strategi tetap dinamis dan relevan. Strategi yang dirancang dengan baik harus selaras dengan sistem jaminan kualitas internasional untuk mengembangkan standar yang relevan secara lokal dan kompetitif secara global.
Buku "Internationalization of Higher Education: Opportunities and Challenges" yang disunting oleh Prof. Bholanath Dutta dan Dr. Paramita Chaudhuri, diterbitkan oleh MTC Global®, menawarkan pandangan komprehensif mengenai internasionalisasi pendidikan tinggi. Buku ini mengeksplorasi peluang, tantangan, serta strategi yang dapat diadopsi oleh institusi pendidikan tinggi dalam menghadapi globalisasi.
Buku ini menyoroti pentingnya internasionalisasi sebagai respons terhadap globalisasi, dengan fokus pada aspek-aspek seperti kurikulum, penelitian, mobilitas mahasiswa dan staf, serta kerja sama kelembagaan. Penulis menekankan bahwa internasionalisasi tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan tetapi juga berfungsi sebagai alat diplomasi lunak, memperkuat hubungan antarnegara melalui pertukaran akademik.
Meskipun buku ini disusun dalam konteks internasionalisasi di India, buku ini relevan untuk agenda yang sama di Indonesia. Upaya internasionalisasi pendidikan tinggi telah menjadi agenda penting bagi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengimplementasikan program pertukaran pelajar, kerja sama penelitian, dan inisiatif internasional lainnya untuk meningkatkan visibilitas dan reputasi global mereka. Selain itu, Universitas Negeri Malang (UM) aktif mendorong internasionalisasi melalui pelatihan dan program kolaborasi.
Pemerintah Indonesia, melalui program Kampus Merdeka, juga berupaya mendorong perguruan tinggi menuju status berkelas dunia dengan menyiapkan lulusan yang siap menjawab tantangan global, mendorong pelaksanaan riset, dan menciptakan inovasi.
Dengan demikian, buku ini memberikan panduan berharga bagi institusi pendidikan tinggi di Indonesia dalam merumuskan dan mengimplementasikan strategi internasionalisasi. Dengan memahami peluang dan tantangan yang ada, perguruan tinggi di Indonesia dapat meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas jaringan global, dan berkontribusi pada pembangunan nasional melalui pendidikan yang berdaya saing global.
Selain dua buku di atas, ada buku berjudul Internationalization of Higher Education: Teacher’s Handbook
yang ditulis Anna Zelenková & Dana Hanesová (Tribun EU, Brno,2021). Buku dengan 144 halaman ini, dapat menjadi panduan praktis bagi manajemen dan dosen yang terlibat dalam proses internasionalisasi pendidikan tinggi. Dengan fokus pada pengajaran dalam konteks multikultural dan multibahasa, buku ini membahas tantangan serta strategi untuk meningkatkan efektivitas pengajaran di lingkungan yang beragam.
Buku ini terdiri dari sepuluh bab yang secara sistematis mengupas berbagai aspek internasionalisasi universitas, mulai dari konsep dasar hingga strategi praktis bagi dosen. Bab pertama menjelaskan konsep internasionalisasi universitas dan tantangan yang dihadapi oleh institusi serta tenaga pengajar dalam menghadapi perubahan global ini. Pada Bab Lingkungan Pendidikan Internasional diuraikan bagaimana perguruan dapat menerapkan isu global dalam kurikulum serta membangun kompetensi pengajar yang mendukung lingkungan pembelajaran internasional.
Bab berikutnya, Perbedaan Budaya dalam Pengajaran dan Pembelajaran. Dalam bab ini, perbedaan budaya dalam sistem pendidikan Asia dan Eropa dibandingkan untuk menunjukkan pentingnya pemahaman lintas budaya dalam mengajar mahasiswa internasional. Lalu Bab "Keanekaragaman di Kelas". Fokus bab ini adalah pada keberagaman mahasiswa dalam aspek budaya, kemampuan, dan gaya belajar, serta bagaimana dosen dapat menyesuaikan metode pengajaran mereka. Dalam Bab "Hasil Pembelajaran" disoroti pentingnya pendekatan berbasis hasil belajar (learning outcomes), dengan mengacu pada Taksonomi Bloom sebagai alat untuk merancang capaian pembelajaran yang jelas. Adapun Bab, "Kejutan Budaya Selama Belajar di Luar Negeri" menjelaskan berbagai tahap cultural shock yang dialami mahasiswa internasional dan bagaimana dosen dapat membantu mereka beradaptasi.
Berikutnya Bab, "Pengajaran yang Relevan Secara Budaya berisi strategi pengajaran seperti kuliah interaktif, proyek kelompok, pembelajaran berbasis pengalaman, dan teknik lainnya yang membantu pengajaran dalam lingkungan internasional. Bab, "Penyediaan Kursus Bahasa Inggris" memberikan panduan dalam mengajarkan mata kuliah dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, dengan memperhatikan kendala linguistik mahasiswa serta peran komunikasi non-verbal dalam pengajaran. Terakhir Bab, "Kasus dan Insiden Kritis di Lingkungan Pendidikan Internasional" yang menyajikan studi kasus yang dapat membantu dosen memahami serta mengelola situasi kritis dalam lingkungan pendidikan lintas budaya.
Buku ini tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga menyajikan contoh konkret, studi kasus, dan teknik pengajaran yang dapat langsung diterapkan dalam kelas multikultural. Keunggulan lainnya, buku ini berbasis riset dan pengalaman praktis. Penulis menggunakan pengalaman mereka dalam pendidikan tinggi serta hasil penelitian untuk memberikan wawasan yang mendalam.
Buku ini juga relevan bagi pengelola perguruan tinggi dan dosen di Era Globalisasi. Dengan semakin meningkatnya mobilitas mahasiswa internasional, buku ini menjadi sumber referensi yang berharga bagi pengajar yang ingin meningkatkan kompetensi mereka dalam mengajar di lingkungan yang beragam.
Kekurangan buku ini, sebagian besar contoh dan referensi dalam buku ini berorientasi pada sistem pendidikan Eropa, sehingga mungkin kurang aplikatif bagi dosen di luar konteks tersebut. Kekurangan lainnya minimnya pembahasan tentang teknologi dalam pengajaran internasional. Meskipun membahas pembelajaran daring dan hibrida, buku ini bisa lebih dalam dalam mengeksplorasi peran teknologi digital dalam mendukung internasionalisasi pendidikan tinggi.
Relevansi Internasionalisasi bagi Perguruan Tinggi di Indonesia
Buku Internationalization of Higher Education: Teacher’s Handbook sangat relevan dalam konteks internasionalisasi perguruan tinggi di Indonesia, terutama dalam menghadapi persaingan global dan memenuhi standar mutu akademik yang lebih tinggi. Beberapa relevansi utama buku ini adalah: Pertama, mendukung kebijakan internasionalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia. Internasionalisasi merupakan salah satu kebijakan strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Buku ini memberikan wawasan bagi dosen tentang bagaimana membangun lingkungan belajar yang multikultural dan berorientasi global.
Kedua, meningkatkan kompetensi dosen dalam mengajar mahasiswa Internasional. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah mulai menerima mahasiswa asing, baik melalui program pertukaran maupun beasiswa. Dosen harus memahami tantangan pengajaran dalam lingkungan multibahasa dan multikultural, termasuk bagaimana menangani kejutan budaya (culture shock) yang dialami mahasiswa internasional.
Ketiga, mendorong Perguruan Tinggi untuk menyesuaikan kurikulum dengan standar internasional. Pengajaran yang relevan secara budaya dan penyediaan kursus dalam bahasa Inggris dapat menjadi pedoman bagi universitas di Indonesia dalam mengembangkan kurikulum berbasis internasional, termasuk program English-taught courses (ETC) yang menjadi syarat akreditasi Unggul.
Keempat, meningkatkan mobilitas mahasiswa dan dosen. Internasionalisasi penting untuk mendorong mobilitas akademik sebagai bagian dari internasionalisasi. Hal ini selaras dengan upaya Indonesia dalam meningkatkan partisipasi dosen dan mahasiswa dalam program pertukaran akademik seperti IISMA (Indonesian International Student Mobility Awards) dan LPDP.
Internasionalisasi sebagai Syarat Perlu Akreditasi Unggul LAMEMBA
LAMEMBA (Lembaga Akreditasi Mandiri Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi) menetapkan internasionalisasi sebagai salah satu indikator penting untuk memperoleh akreditasi Unggul. Beberapa aspek utama yang terkait dengan internasionalisasi dalam standar LAMEMBA adalah:
Pertama, Kurikulum Berorientasi Global. Program studi harus memiliki mata kuliah yang mendukung pemahaman global dan membangun kompetensi internasional mahasiswa. Kedua, Penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran menjadi nilai tambah. Ketiga, Mobilitas Internasional seperti program pertukaran mahasiswa dan dosen dengan universitas luar negeri. Keempat, Kolaborasi riset internasional dan publikasi di jurnal bereputasi global. Kelima, kehadiran Mahasiswa dan Dosen Asing yang mana perguruan tinggi diharapkan memiliki mahasiswa asing yang terdaftar. Keenam, Rmrekrutmen dosen asing sebagai bagian dari upaya internasionalisasi. Ketujuh, kemitraan dengan Institusi Internasional di mana Program studi dan institusi harus memiliki kerja sama akademik dan industri dengan mitra global.
Evaluasi terhadap persyaratan ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan bisnis, harus bertransformasi agar dapat memenuhi standar global. Namun, persyaratan ini menimbulkan tantangan bagi program studi yang berbasis pada keilmuan lokal atau keagamaan, yang memiliki karakteristik berbeda dengan disiplin ilmu ekonomi dan bisnis.
Menyoroti Internasionalisasi dalam Rumpun Keagamaan dan Urgensi LAM-GAMA
Dalam konteks program studi rumpun keagamaan, seperti Hukum Islam, Ekonomi Syariah, dan Studi Islam, penerapan standar internasionalisasi sebagaimana yang ditetapkan LAMEMBA perlu dievaluasi secara kritis. Beberapa poin utama yang menjadi tantangan adalah:
1. Konteks Keilmuan yang Berbasis Tradisi dan Kearifan Lokal. Program studi keagamaan memiliki basis keilmuan yang kuat dalam tradisi Islam, dengan sumber utama yang berasal dari kitab-kitab klasik (turats). Internasionalisasi dalam konteks ini tidak bisa disamakan dengan internasionalisasi dalam bidang ekonomi atau bisnis yang lebih universal sifatnya.
2. Kendala Bahasa dalam Internasionalisasi. Penggunaan bahasa Arab dalam studi Islam memiliki kedudukan yang lebih penting dibandingkan bahasa Inggris.
Internasionalisasi dalam disiplin keagamaan lebih relevan dengan kerja sama akademik dengan universitas di Timur Tengah atau negara Muslim lainnya, bukan hanya dengan universitas Barat.
3. Mobilitas Akademik yang Berbeda. Pertukaran mahasiswa dalam studi Islam sering kali lebih relevan dengan institusi pendidikan Islam di dunia Muslim.
4. Riset dalam ilmu keagamaan sering berorientasi pada kajian normatif yang tidak selalu cocok dengan standar publikasi internasional berbasis metode ilmiah positivistik.
Perlukah Lembaga Akreditasi Mandiri untuk Ilmu-ilmu Agama?
Mengingat perbedaan karakteristik keilmuan ini, saat ini tengah digagas Lembaga Akreditasi Mandiri untuk rumpun Ilmu-ilmu Agama (LAM-GAMA). LAM-GAMA diharapkan dapat menetapkan standar internasionalisasi yang lebih kontekstual dengan studi Islam dan keagamaan, dengan mempertimbangkan aspek seperti: Kolaborasi dengan universitas Islam global; internasionalisasi berbasis jejaring ulama dan institusi keagamaan; dan engakuan terhadap literatur Islam klasik dalam standar akademik.
Kesimpulan
Banyak referensi yang dapat memberikan wawasan untuk mendukung dan menerapkan internasionalisasi pendidikan tinggi di Indonesia, terutama bagi program studi yang ingin memperoleh akreditasi Unggul dari LAMEMBA. Namun, persyaratan internasionalisasi dalam akreditasi ini disorot oleh banyak pakar dalam konteks program studi rumpun keagamaan.
Internasionalisasi dalam ilmu ekonomi dan bisnis dapat berfokus pada standar global yang berbasis pada bahasa Inggris dan kerja sama dengan universitas di Barat. Sebaliknya, internasionalisasi dalam ilmu keagamaan harus mempertimbangkan jejaring keilmuan Islam, bahasa Arab, serta kerja sama dengan institusi di dunia Muslim.
Keberadaan LAM-GAMA menjadi penting untuk mengakomodasi karakteristik unik program studi keagamaan dan memastikan bahwa standar internasionalisasi yang diterapkan relevan dengan kebutuhan akademik dan tradisi keilmuan Islam. Namun, menurut hemat saya, akreditasi program studi melalui LAMEMBA, BAN-PT atau LAM-GAMA (bila sudah ada), yang paling penting adalah berupaya meningkatkan mutu perguruan tinggi yang salah satunya melalui program internasionalisasi.
*Cak Yo, 12 Ramadan 1446 H./11 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar