Perjalanan Intelektual Sarjana Muslim: Sekilas tentang Kitab Rihlah Ibn Khaldûn
Cak Yo
Pengantar
Nampaknya, para ulama atau sarjana zaman dahulu kerap melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh sekali, bahkan melintasi benua. Perjalanan itu bukanlah sekadar untuk piknik atau wisata mencari hiburan yang hanya memberikan kesenangan fisik, melainkan sebuah perjalanan intelektual bahkan spiritual.
Sejarah intelektual Islam mencatat bahwa Imam al-Bukhârî (w. 870 M), kolektor hadis yang paling otoritatif, melakukan perjalanan mencari hadis ke berbagai negara dan bertemu dengan 80.000 perawi hadis.
Ibn 'Arabî (w. 1240) juga melakukan perjalanan dari tanah kelahirannya di Andalusia, lalu ke Afrika, Mekah, dan banyak negara lainnya, hingga akhirnya menetap di Damaskus sampai akhir hayatnya. Karya-karyanya seperti Ruhul Qudus dan al-Durrah al-Fakhirah (lihat R.W.J. Austin, Sufis of Andalusia, 1988), serta beberapa kitab lainnya, menggambarkan hidupnya yang dipenuhi perjalanan, baik secara fisik maupun spiritual (lihat Angela Jaffray, The Secrets of Voyaging: Kitab al-Isfar 'an Nata'ij al-Asfar, Anqa' Publishing, 2015).
Perjalanan yang paling legendaris dilakukan oleh musafir termasyhur asal Maroko, Ibn Batutah. Ia menempuh perjalanan sejauh 73.000 mil atau 117.000 km. Kitab tentang riwayat perjalanannya keliling dunia yang menakjubkan, yang juga paling masyhur, adalah Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār, atau lebih dikenal sebagai Rihlah Ibn Batutah, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Riwayat Perjalanan Ibn Khaldûn
Dalam dua hari terakhir ini, saya membaca riwayat perjalanan seorang sarjana dan ulama yang tak kalah masyhurnya dari al-Bukhârî, Ibn 'Arabî, dan Ibn Batutah. Dia adalah Ibn Khaldûn, yang menulis kitab perjalanan berjudul Rihlah Ibn Khaldûn. Kitab ini diterbitkan di Beirut, Lebanon, oleh penerbit Dâr al-Kutub al-'Ilmîyah pada tahun 1425 H./2004 M dengan ketebalan 302 halaman.
Kitab Rihlah Ibn Khaldun membahas perjalanan hidup dan pemikiran Ibn Khaldûn, seorang sejarawan dan filsuf besar dalam peradaban Islam. Dimulai dengan pengantar yang memperkenalkan sosoknya serta perjalanan intelektual dan politiknya di dunia Islam, kitab ini mengupas jejak pendahulunya di Andalusia dan Afrika yang turut membentuk pandangan serta keilmuannya. Selanjutnya, dibahas masa asuhannya, usia tua, dan kondisi kehidupannya, termasuk keterlibatannya dalam urusan pemerintahan dan interaksinya dengan berbagai penguasa, seperti Sultan Abu Annan dan Sultan Abu Salem. Kitab ini juga menggambarkan berbagai perjalanannya dari Andalusia ke Bejaia, Tlemcen, dan Maroko, serta bagaimana ia terlibat dalam politik kekuasaan, baik sebagai penasihat maupun perantara perdamaian.
Bagian lain dari kitab ini menyoroti perjalanannya ke Timur, di mana ia mendapat posisi dalam sistem peradilan di Mesir serta menunaikan ibadah haji. Selain itu, kitab ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa besar yang dialaminya, termasuk situasi politik di Khanqah Baibars dan berbagai intrik di sekitarnya. Tidak hanya itu, interaksinya dengan penguasa besar seperti Tamerlane juga dibahas secara mendalam, memberikan wawasan tentang dinamika geopolitik pada masanya. Di bagian akhir, kitab ini menguraikan pencariannya akan perdamaian antara penguasa Maroko dan Raja al-Zahir, masa jabatan keduanya sebagai hakim di Mesir, serta keterlibatannya dalam berbagai peristiwa besar yang membentuk sejarah dunia Islam. Dengan demikian, kitab ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga refleksi mendalam tentang peradaban, kekuasaan, dan pemikiran yang terus relevan hingga kini.
Pengantar Kitab Rihlah Ibn Khaldûn
Saya akan menuliskan bagian pengantar kitab ini yang saya terjemahkan dari Rihlah Ibn Khaldûn edisi Arab, sebagai berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab Rihlah Ibn Khaldûn (“Perjalanan Ibn Khaldûn”) ini merupakan catatan harian pribadi yang ditulisnya hari demi hari, dan dia menyebutnya Ta'rifât bi Ibni Khaldûn. Kitab ini berisi riwayat hidupnya, silsilahnya, dan sejarah nenek moyangnya. Dalam memoar ini, ia menjelaskan apa yang dialaminya dalam hidup serta perjalanannya di Timur dan Maroko, termasuk korespondensi dan puisi-puisi yang dikarangnya. Peristiwa-peristiwa dalam memoar ini berakhir pada tahun 807 H, satu tahun sebelum kematiannya.
Kitab ini selama berabad-abad tetap menjadi lampiran dari Kitab al-'Ibar dan tidak muncul secara independen sampai tahun 1951 M, melalui upaya sarjana Maroko, Muhammad Ibn Tâwît al-Tanjî (w. 1963 M). Ia menghabiskan beberapa tahun untuk meneliti, membandingkan berbagai manuskrip, serta menyesuaikannya dengan sumber-sumber kontemporer dan sebelumnya, termasuk catatan kakinya.
Ibnu Khaldun (732 H - 808 H), dia adalah 'Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Khaldûn. Beliau lahir di Tunisia pada tahun 732 H, tempat ia dibesarkan dan menerima ilmu yang berkembang pada masanya. Sejak muda, ia telah berkelana ke banyak negara, hingga akhirnya bertemu dengan Sultan Abu Anan al-Marini, penguasa Tlemcen, pada tahun 755 H. Namun, karena fitnah dari orang-orang di sekitarnya, ia justru ditangkap dan dipenjara.
Setelah kematian Sultan Abu Anan, Menteri Ibnu Umar membebaskannya dan memberinya kompensasi yang layak. Pada tahun 764 H, Ibn Khaldûn melakukan perjalanan ke Andalusia dan bertemu Sultan Abu Abdullah al-Ahmar di Granada. Setahun kemudian, ia berangkat ke Kastilia, tinggal di sana sebentar, lalu kembali ke Granada. Sultan Abu Abdullah memberinya jabatan tinggi, tetapi ia hanya bertahan sebentar sebelum kembali ke Bejaia dan kemudian menetap di Tlemcen bersama keluarganya.
Di Kastil Beni Salama, ia mulai menulis Kitab al-Târikh, menyelesaikan Muqaddimahnya, dan menulis beberapa bagian sejarahnya yang terkenal, yaitu kitab al-Ibar atau Târikh Ibn Khaldûn. Pada tahun 780 H, ia kembali ke Tunisia, kemudian pada 784 H, ia pindah ke Kairo dan menjadi pengajar di Al-Azhar. Ia diangkat sebagai kepala peradilan Maliki (Qadi) pada tahun 786 H. Namun, tragedi menimpanya ketika keluarganya yang berangkat dari Tunisia tenggelam di laut, membuatnya memilih mengundurkan diri dan fokus menyelesaikan kitabnya hingga tahun 797 H. Ia menetap di Mesir hingga wafat pada tahun 808 H dalam usia 76 tahun.
Karya-karya dan Pemikiran Ibn Khaldûn
Dalam Kashf al-Zunun, Hajji Khalifah mencatat beberapa karya Ibn Khaldun sebagai berikut: Telkhis al-Muhassil oleh Fakhr al-Din al-Razi, Rihlah, Sharh al-Rajaz oleh Ibn al-Khatib dalam bidang ushul, Sharh Qasidah Ibn Eidun, Sharh Qasidah al-Burda, Tabiat al-‘Umran, dan Kitab al-Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajm wa al-Barbar (sejarah). Pada akhir buku ini terdapat Kitab al-Ta’rifat bi Ibn Khaldun, yang merupakan karya yang kita miliki saat ini.
Ibn Khaldun dikenal luas di kalangan filsuf, ilmuwan, dan pemikir dengan satu buku utamanya, yaitu Kitab al-'Ibar, khususnya dengan bagian pembukanya yang terkenal, yang disebut sebagai al-Muqaddimah. Dalam karya ini, Ibn Khaldun menyajikan inti dari pemikiran dan filosofi sosialnya. Ia memperkenalkan kajian yang sangat baru pada masanya, yang kini dikenal sebagai ilmu sosial dan politik, ekonomi politik, ekonomi sosial, filsafat sejarah, dan hukum umum. Ibn Khaldun mendahului banyak penulis Eropa dalam bidang ini, sehingga banyak yang menganggap Hegel (Jerman), Machiavelli (Italia), Montesquieu (Prancis), dan Gibbon (Inggris) sebagai pengikutnya.
Ibn Khaldun membagi al-Muqaddimah menjadi enam bab, yaitu: Bab Pertama membahas tentang bagian dari ‘umran di bumi, pengaruh udara terhadap warna kulit manusia dan karakter mereka, serta perbedaan kondisi ‘umran seperti kelimpahan dan kelaparan serta dampaknya pada tindakan dan perilaku manusia. Bab Kedua membahas tentang ‘umran badawi (gembala) dan masyarakat primitif serta suku-suku, yang mencakup kajian tentang sifat kehidupan nomaden dan perbedaan antara kebudayaan dan kebadanan, serta perbedaan dalam garis keturunan, solidaritas, kepemimpinan, status, pemerintahan, dan politik.
Bab Ketiga mengenai negara-negara besar, kekuasaan, khilafah, kedudukan kerajaan, alasan kemajuan sebuah negara, serta cara menjaga kekuasaan, syarat-syarat pemerintah, arti baiat, penunjukan ahli waris, struktur pemerintahan, pasukan negara, armada, simbol-simbolnya, serta prinsip-prinsip militer dan perang. Bab Keempat membahas tentang kota-kota, negara, struktur dan pengaruhnya terhadap negara, serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendirian kota, baik yang terletak di daratan maupun di pesisir, serta pembangunan masjid, rumah, dan hubungannya dengan negara Islam. Bab Kelima mengenai cara hidup dan sumber penghidupan, termasuk industri dan ekonomi, serta masalah penghidupan dan pendapatan yang merupakan nilai dari kegiatan manusia. Bab ini juga membahas berbagai sektor industri seperti pertanian, pembangunan, tekstil, pembuatan obat, percetakan, musik, dan lainnya.
Bab Keenam mengenai ilmu pengetahuan dan berbagai cabangnya, serta metode pendidikan dan proses pengajaran. Bab ini mengkaji hubungan antara pendidikan dan peradaban serta memberikan penjelasan tentang setiap disiplin ilmu, sejarahnya, serta syarat-syarat ilmu tersebut, seperti ilmu bahasa, ilmu alam, matematika, kedokteran, sastra, sejarah, teologi, psikologi, ilmu bintang, dan ilmu gaib. Dengan pembagian yang sistematis ini, Ibn Khaldun tidak hanya memetakan berbagai aspek kehidupan sosial dan politik, tetapi juga menggali secara mendalam prinsip-prinsip yang mendasari peradaban manusia dan perkembangan masyarakat.
Filsafat sosial dan politik Ibn Khaldun membagi fenomena peradaban menjadi dua jenis, yaitu fenomena yang berada di luar aspek sosial, seperti fenomena alamiah seperti keyakinan agama, iklim, dan lingkungan, serta fenomena yang berada dalam ruang lingkup sosial yang muncul dalam masyarakat dan memengaruhi kekuatan masyarakat tersebut. Menurut Ibn Khaldun, manusia secara alami cenderung untuk hidup dalam kelompok, dan kelompok tersebut merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan individu. Ia membedakan antara kelompok manusia dan kelompok hewan, dengan menyatakan bahwa dorongan untuk berkumpul dalam kelompok hewan hanya berdasarkan pada naluri dan insting, sementara dalam kelompok manusia, dorongan untuk berkumpul dipengaruhi oleh naluri, akal, dan pemikiran.
Ibn Khaldun juga berpendapat bahwa agama-agama wahyu tidak diperlukan untuk mendirikan kerajaan atau negara, karena banyak kerajaan yang tidak memiliki agama wahyu dan tetap memiliki wilayah yang luas, kekuasaan, sistem pemerintahan, serta kota-kota yang berkembang. Namun demikian, meskipun agama wahyu tidak diperlukan untuk mendirikan negara, agama tersebut penting untuk membangun negara yang maju dan hampir sempurna, karena negara yang didirikan berdasarkan agama wahyu dapat menggabungkan keuntungan dunia dan akhirat.
Elemen kedua dari fenomena peradaban yang berada di luar aspek sosial adalah iklim. Ibn Khaldun berpendapat bahwa penduduk yang tinggal di daerah yang sangat dingin atau sangat panas tidak akan dapat berkembang dalam peradaban. Iklim yang paling cocok untuk peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan adalah iklim yang sedang, seperti yang ditemukan di wilayah Syria dan Irak.
Elemen ketiga yang mempengaruhi peradaban adalah lingkungan geografis. Lingkungan yang subur membuat individu tidak perlu bekerja keras untuk mencari nafkah, yang dapat mengarah pada kelalaian dan pengaruh buruk terhadap sifat-sifat kepahlawanan dan perjuangan. Sebaliknya, wilayah yang gersang mendorong individu untuk berusaha lebih keras dan menumbuhkan semangat perjuangan dan persaingan demi kehidupan.
Sedangkan fenomena sosial yang berasal dari dalam masyarakat, Ibn Khaldun menyatakan bahwa setiap kelompok manusia melewati tiga tahap perkembangan: pertama adalah tahap kehidupan badawi (nomaden), kedua adalah tahap ekspansi dan pendirian negara, dan ketiga adalah tahap peradaban kota.
Kehidupan badawi adalah tahap awal bagi setiap kelompok atau suku, dan kehidupan ini tidak bertentangan dengan sifat alami manusia. Para penggembala memiliki mobilitas yang tinggi, dan solidaritas adalah kekuatan utama suku, yang mendorong mereka untuk bersatu dan mempertahankan kepentingan bersama. Tanpa solidaritas ini, suku tidak akan mampu bertahan hidup atau melawan musuh. Setelah itu, suku memasuki tahap kedua, yaitu tahap ekspansi dan pendirian negara, di mana mereka menyerang dan menaklukkan bangsa yang lebih lemah dan lebih maju. Kemudian mereka pun berkembang dan mendirikan kota, menulis hukum, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memproduksi seni. Namun, setelah mencapai kemajuan ini, mereka mulai melupakan perjuangan dan pertempuran, sehingga mereka menjadi lemah dan akhirnya dikalahkan oleh suku yang lebih kuat, yang memasuki tahap ketiga.
Ibn Khaldun juga menyebutkan tiga penyebab utama keruntuhan negara besar, yaitu lemahnya pengawasan terhadap pemerintah, kekuatan tentara bayaran, dan kehancuran kehormatan. Ia berpendapat bahwa masa kejayaan suatu negara hanya berlangsung sekitar tiga generasi, layaknya siklus kehidupan individu yang terdiri dari masa kanak-kanak, dewasa, dan usia lanjut.
Ibn Khaldûn dan Machiavelli
Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal pemerintahan dan penaklukan sangat mirip dengan teori-teori yang dikemukakan oleh Machiavelli dalam bukunya Il Principe. Meskipun ada perbedaan waktu antara keduanya, dengan Ibn Khaldun meninggal pada tahun 1406 M dan Machiavelli pada tahun 1527 M, keduanya memiliki banyak kesamaan dalam pengamatan terhadap kondisi kehidupan pada masa mereka. Sebab Machiavelli menulis Il Principe untuk mencatat aturan-aturan politik yang ia temui di Eropa, akibat kekacauan yang terjadi, serta pengalaman pribadi yang ia hadapi dalam urusan negara dan peperangan.
Machiavelli, dalam karyanya Il Principe, berpendapat bahwa seorang pemimpin harus menguasai seni untuk menjaga kekuasaan, baik melalui cara-cara kasar maupun halus. Ia mengamati dan menganalisis berbagai aspek kehidupan politik di Eropa, serta mencatat bagaimana penguasa dapat mempertahankan kekuasaan mereka dengan menimbulkan rasa takut dan kekaguman di hati rakyatnya. Machiavelli berpendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki karakteristik tertentu, seperti keberanian dan kecerdikan, untuk bisa bertahan lama di atas takhta. Menurutnya, seorang pemimpin harus mampu menggunakan kebaikan atau keburukan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Selain itu, ia juga menyarankan agar seorang pemimpin lebih baik menjadi seorang yang pelit daripada boros, karena sifat pelit lebih memudahkan pemimpin untuk mempertahankan kekuasaannya tanpa mengorbankan stabilitas finansial negara.
Namun, Ibn Khaldun memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini.
Ibn Khaldun, yang telah berpengalaman dalam berbagai posisi politik di wilayah Maghreb dan memiliki wawasan mendalam tentang dinamika masyarakat dan politik, mengemukakan bahwa kekuasaan seorang pemimpin tidak dapat dipertahankan melalui kekerasan dan penganiayaan, melainkan dengan kelembutan dan kebijaksanaan. Menurut Ibn Khaldun, seorang penguasa yang terlalu keras akan menciptakan ketakutan dan kebencian dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan merusak persatuan dan ketahanan negara. Sebaliknya, seorang penguasa yang lemah lembut akan membangun cinta dan loyalitas rakyatnya, serta menciptakan stabilitas yang lebih tahan lama. Ia juga berpendapat bahwa penguasa harus menghindari memerintah dengan kekerasan dan lebih memilih untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat, yang pada gilirannya akan memperkuat kekuasaannya.
Perbedaan utama antara Machiavelli dan Ibn Khaldun terletak pada pendekatan mereka terhadap kepemimpinan dan pengelolaan negara. Machiavelli lebih menekankan pada pentingnya rasa takut dan kekuasaan otoriter dalam mempertahankan pemerintahan, sementara Ibn Khaldun berpendapat bahwa penguasa yang bijaksana dan penuh kasih akan lebih berhasil dalam membangun negara yang kuat dan tahan lama. Ibn Khaldun juga menekankan pentingnya memperhatikan aspek moralitas dan etika dalam pemerintahan, sementara Machiavelli lebih pragmatis dalam pendekatannya, mengutamakan efektivitas kekuasaan di atas segalanya.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa salah satu tanda kedudukan raja adalah persaingan dalam sifat-sifat yang baik. Beliau bersabda: “Melalui kebaikan yang sesuai dengan politik dan kedudukan sebagai raja, karena kemuliaan mempunyai akar yang mendasarinya dan melalui itulah realitasnya tercapai, yaitu marga dan marga, serta cabang yang melengkapi keberadaannya dan melengkapinya, yaitu akhlak.
Kerajaan adalah tujuan dari fanatisme, maka tujuan dari cabang-cabangnya dan pelengkap-pelengkapnya yaitu moralitas, karena keberadaannya tanpa pelengkapnya ibarat kehadiran seseorang yang anggota tubuhnya terpotong atau penampilannya yang telanjang di tengah masyarakat adanya fanatisme saja, selain peniruan sifat-sifat yang baik, merupakan suatu kekurangan pada orang-orang rumah tangga dan orang-orang yang mulia, lalu bagaimana pendapat anda tentang orang-orang raja yang menjadi tujuan segala kemuliaan dan akhir dari segala sesuatu? Selain itu, politik dan kedudukan sebagai raja merupakan jaminan terciptanya dan suksesi Tuhan di antara hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya atas mereka. Keputusan Allah terhadap ciptaan-Nya dan hamba-hamba-Nya adalah baik dan memperhatikan kepentingan.
Manuskrip Kitab Rihlah Ibn Khaldûn
Saya (editor) tidak akan menyia-nyiakan pembacaan kitab ini, yang merupakan kunci utama untuk memahami kepribadian Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, saya memohon pertolongan Tuhan agar dapat mewujudkannya secara utuh. Saya mulai membayangkan metode yang harus saya ikuti dalam penyelidikan dan penyebaran informasi ini di kalangan masyarakat. Tak lama kemudian, ciri-cirinya dijelaskan secara umum: agar teks tersebut dapat disampaikan sesuai dengan keinginan penulisnya.
Kata-kata dalam teks ini mungkin tampak ringan bagi sebagian orang, namun jika ditimbang, beratnya laksana gunung. Langkah awal dalam pendekatan ini adalah mencari asal-usul manuskrip tersebut serta hubungannya dengan penulisnya. Yang dimaksud dengan "hubungan" di sini adalah memastikan bahwa salinan yang ada merupakan naskah asli dari penulisnya, atau setidaknya telah dibacakan kepadanya, sehingga dapat dipastikan keasliannya melalui pembacaan dan penulisan ulang dari salinan tersebut.
Pandangan Ibnu Khaldun terhadap dirinya sendiri, serta pendapat orang-orang sezamannya di Mesir tentang dirinya, hampir sama. Namun, pembahasan mengenai siapa di antara mereka yang paling mendekati kebenaran terlalu luas untuk dikupas dalam kesempatan ini. Sebagian besar kitab ini telah dicetak dua kali: pertama, ketika Kitab al-Ibar selesai pada tahun 1284 H di Bulaq, dan kedua, dengan catatan kaki pendahuluan di Charitable di Mesir pada tahun 1322 H. Mengungkap keterkaitan antara manuskrip ini bukanlah tugas yang mudah. Seiring berjalannya waktu, warisan Islam ini telah mengalami berbagai bentuk fitnah dan fatwa yang sering kali tidak kita sadari. Namun, Tuhan Yang Maha Esa telah menghendaki agar saya tidak kehilangan arah dalam penelitian ini. Sungguh menakjubkan bahwa terdapat dua salinan utama dari buku ini yang merupakan salinan asli dari penulisnya. Selain itu, berbagai perpustakaan juga menyimpan banyak salinan yang berbeda, yang memungkinkan saya merekonstruksi teks ini dengan mengandalkan sumber-sumber yang tersedia.
Kitab ini terletak di bagian akhir Kitab al-Ibar. Ibnu Khaldun diketahui sering menerbitkan salinan kitabnya, terkadang memberikannya kepada raja dan menteri, sementara di waktu lain, para muridnya mengambilnya langsung darinya. Saat berada di Maroko, ia mendedikasikan salinan pertama bukunya kepada Abu Abbas al-Hafsi, Raja Tunisia. Ketika ia melakukan perjalanan ke Mesir, ia menyerahkan salinan lainnya kepada Raja Al-Zahir Barquq antara tahun 784 dan 791 H. Salinan inilah yang kemudian dikenal sebagai Kitab al-Zahiri, yang ditempatkan di rak buku Masjid Al-Qarawiyyin di Fez sebagai wakaf bagi para pelajar. Pada saat itu, raja yang berkuasa adalah Abu Faris Abd al-Aziz al-Marini (796–799 H), sehingga kitab ini disajikan atas namanya. Setiap salinan memiliki perbedaan dibandingkan dengan yang sebelumnya, meskipun semuanya berasal dari penulisnya sendiri. Beberapa salinan kitab ini masih tersimpan di Masjid Al-Qarawiyyin di Fez. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan dalam pengantar Ibnu Khaldun di edisi ke-7 yang dicetak di Bulaq, serta dalam Majalah Asia, khususnya edisi Juli–September 1923, halaman 161–186. Ibnu Khaldun menandatangani sendiri beberapa versi teks ini sebagai bentuk persetujuan atas keakuratan salinan tersebut. Ada tiga raja yang berhubungan dengan salinan ini: dua berasal dari Dinasti Bani Marin, dan satu dari Dinasti Hafsi di Tunisia. Perbedaan nama dan keturunan inilah yang menyebabkan beberapa sejarawan, seperti Syekh Nasr al-Huriti, kebingungan dalam mengidentifikasi penerima sebenarnya dari kitab ini.
Ibnu Khaldun terus melakukan revisi dan menambahkan lampiran pada kitabnya, memperbaiki serta memperluas isinya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, semakin lama suatu salinan dibuat, semakin banyak peristiwa dan pembaruan yang dicatat oleh penulisnya. Saya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak salinan kitab ini yang diterbitkan langsung oleh Ibnu Khaldun. Namun, berdasarkan salinan yang sampai kepada kita, dapat disimpulkan bahwa ada tiga versi utama: Versi pertama, yang lebih ringkas, diterbitkan langsung oleh Ibnu Khaldun. Versi kedua, dengan tambahan sedikit lebih banyak dibanding yang pertama, tetapi masih belum selengkap yang berikutnya. Versi ketiga, yang lebih baru dan berisi lebih banyak informasi, dengan berbagai modifikasi, tambahan, serta revisi yang terus dilakukan oleh Ibnu Khaldun hingga bulan-bulan terakhir sebelum kematiannya. Dasar dari semua salinan ini adalah naskah pertama yang diberikan oleh Ibnu Khaldun kepada Abu Abbas al-Hafsi di Tunisia. Dari salinan inilah berbagai cabang lainnya berasal.
Kantor kami di Hagia Sophia dan Perpustakaan Ahmed III di Istanbul menyimpan dua salinan berharga dari kitab ini. Kedua salinan ini merupakan hasil tulisan tangan langsung dari penulisnya, sehingga menjadi referensi utama dalam penelitian ini. Salinan Hagia Sophia: Nomor katalog: 3200 83, ukuran 185 x 259 mm. Terdiri dari dua bagian, dengan tulisan tangan yang indah dan jumlah baris per halaman berkisar antara 25 hingga 28. Teksnya disusun dengan sangat cermat oleh penyalinnya, dengan beberapa bagian yang diberi tanda koreksi langsung oleh Ibnu Khaldun. Salinan Ahmed III: Nomor katalog: 3042, ukuran 320 x 515 mm, dengan 35 baris per halaman. Merupakan versi revisi yang lebih baru dibandingkan salinan Hagia Sophia. Salinan ini berada dalam koleksi pribadi Ibnu Khaldun hingga akhir hayatnya, dan ia secara aktif melakukan koreksi serta menambahkan catatan di dalamnya. Kedua salinan ini sangat penting dalam memahami evolusi teks Kitab al-Ibar, karena memperlihatkan bagaimana Ibnu Khaldun terus menyempurnakan karyanya seiring waktu.
Mengenali prinsip-prinsip terbaru dalam revisi Ibnu Khaldun merupakan langkah utama dalam menerbitkan kembali kitab ini. Prinsip-prinsip lama dan menengah, meskipun masih relevan, telah diperbarui oleh prinsip-prinsip yang datang kemudian. Oleh karena itu, pendekatan yang paling valid adalah dengan merujuk pada naskah yang paling akhir, yang telah disempurnakan oleh penulisnya sendiri. Saya tidak mengetahui secara pasti bagaimana salinan asli pertama yang diberikan kepada Abu Abbas al-Hafsi, kecuali satu catatan yang disebutkan oleh almarhum Nasr Al-Hourini dalam pengantar edisi Bulaq tahun 1274 H. Oleh sebab itu, saya mencoba merekonstruksi keterkaitan antara salinan lama dengan induknya berdasarkan informasi yang tersedia. Dengan adanya dua salinan utama di Istanbul, kita dapat menyusun kembali teks Ibnu Khaldun secara lebih akurat, sebagaimana yang diinginkan oleh penulisnya sendiri.
Kesimpulan
Kitab Rihlah Ibn Khaldûn membahas perjalanan hidup dan pemikiran Ibn Khaldûn. Kitab ini dimulai dengan pengantar yang memperkenalkan sosoknya serta perjalanan intelektual dan politiknya di dunia Islam. Selanjutnya, dibahas masa asuhannya, usia tua, dan kondisi kehidupannya, termasuk keterlibatannya dalam urusan pemerintahan dan interaksinya dengan berbagai penguasa, seperti Sultan Abu Annan dan Sultan Abu Salem. Kitab ini juga menggambarkan berbagai perjalanannya dari Andalusia ke Bejaia, Tlemcen, dan Maroko, serta bagaimana ia terlibat dalam politik kekuasaan, baik sebagai penasihat maupun perantara perdamaian.
Bagian lain dari kitab ini menyoroti perjalanannya ke Timur, di mana ia mendapat posisi dalam sistem peradilan di Mesir serta menunaikan ibadah haji. Selain itu, kitab ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa besar yang dialaminya, termasuk situasi politik di Khanqah Baibars dan berbagai intrik di sekitarnya. Tidak hanya itu, interaksinya dengan penguasa besar seperti Tamerlane juga dibahas secara mendalam, memberikan wawasan tentang dinamika geopolitik pada masanya.
Di bagian akhir, kitab ini menguraikan pencariannya akan perdamaian antara penguasa Maroko dan Raja al-Zahir, masa jabatan keduanya sebagai hakim di Mesir, serta keterlibatannya dalam berbagai peristiwa besar yang membentuk sejarah dunia Islam. Dengan demikian, kitab ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga refleksi mendalam tentang peradaban, kekuasaan, dan pemikiran yang terus relevan hingga kini.
*Cikarang, 31-01-2025
Komentar
Posting Komentar