Sejarah dan Visi Islam Masa Depan
Cak Yo
Robert Heinlein (w. 1988), penulis paling
berpengaruh dan kontroversial dalam genre fiksi ilmiah di abad ini pernah
menulis, “A generation which ignores
history has no past and no fiture” (“Generasi yang mengabaikan sejarah
tidak memiliki masa lalu dan masa depan”). Ungkapan ini menunjukkan pentingnya
sejarah, bukan hanya untuk mengetahui kehidupan masa lalu, namun untuk menjadi
tonggak bagi masa depan. Karena itu, di kalangan kaum Muslim, sejarah sangat
berarti, mengingat Islam bukan saja sebagai kumpulan ajaran (doktrin) melainkan
juga Islam sebagai sejarah. Mengutif term Amin Abdullah, islam itu ada Islam
normatif dan Islam historis, atau dalam term M. Atha’ Mudzhar, Islam sebagai
wahyu dan Islam sebagai produk sejarah (lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 dan M. Atha’ Mudzhar, Pendekatan
Studi Islam dalam teori dan Praktek ((Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Dalam konteks Islam sebagai sejarah, kaum
Muslim telah membuktikan arti pentingnya sejarah Islam dengan banyak literatur
sejarah Islam yang disusun oleh para sejarawan Muslim sejak masa klasik Islam. Untuk
menyebut sekedar dua contoh, Kita>b
Ta>rikh al-Umam wa al-Mulu>k, yang lebih dikenal sebagai Ta>ri>kh al-T}abari> (Beirut:
Da>r al-Fikr, 1979, 8 vol.) karya Abu> Ja’far Muhammad ibn Jari>r
al-T}abari> (w. 310 H./923 M.) dan Ta>ri>kh
ibn Khaldu>n yang lebih dikenal sebagai Kita>b al-Iba>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 8
vol.) karya ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n (w. 808 H./1406
M.). Dari delapan volume kitab al-Ibar
ini yang paling terkenal adalah volume pertamanya yang termashur sebagai kitab Muqaddimah ibn Khaldu>n (Beirut:
Da>r al-Kita>b al-Arabi>, 2001). Sejarawan Inggris dengan karyanya
yang terkenal A Study of History (1955, 12 vol.) Arnold J. Toynbee(w. 1975)
menyebut kitab Muqaddimah ibn Khaldu>n
sebaagi “sebuah buku filsafat sejarah yang tidak diragukan lagi merupakan karya
terbesar dari jenisnya yang pernah diciptakan oleh pikiran manapun kapanpun
atau di manapun”. Dalam Muqaddimah-nya,
Ibn Khaldu>n menjelaskan pengertian sejarah sebagai catatan mengenai
masyarakat umat manusia atau peradaban dunia serta
perubahan-peruabahn-perubahan yang terjadi terhadap watak masyarakat tersebut
(Ibn Khaldu>n, 2001).
Di masa modern, ribuan buku sejarah Islam
ditulis bukan saja oleh para sarjana Muslim, tetapi juga sarjana Barat yang
tertarik menulis sejarah Islam. Bahkan tidak sedikit para sejarawan Barat yang
menempatkan sejarah Islam sebagai bagian dari sejarah dunia. Di antara mereka
adalah Edward Gibbon (w. 1794) dengan karyanya The
Decline and Fall of the Roman Empire,
8 Volume (New York: Harper & Brothers,
1841.); H.G.
Wells (w. 1946) dengan
karyanya A Short History of the World (New York:
J.J. Little & Ives Company,
1922); Arnold Toynbee (w. 1975) dengan karyanya Mankind and
Mother Earth: A Narative
History of the World (New Yorks and London: Oxford
University Press, 1976.); Will Durant (w. 1981) dengan
karyanya The Story of Civilization,
11 vol. (New York: Simon and Schuster, 1942); Beberapa literatur sejarah Islam yang ditulis sarjana Barat yang khusus tentang sejarah Islam antara lain Norman Daniel,
Islam, Europe, and Empire (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1966); Hichem Djait, Europe and
Islam (Berkeley: University of California Press,
1985); Philip K. Hitti, History of
the Arab (New York: Palgrave
MacMillan, 2002); T.W. Arnold,
The Preaching of Islam (London: Constable, 1913); R.W. Bulliet, Conversion
to Islam in the Medieval Period (Cambridge: Harvard University Press,
1979); H.A.R. Gibb, Mohammedanism: A Historical
Survey (London, Oxford, New York: Oxford University Press); Christiaan Snouck Hurgronje, Mohamedanism: Lectures
on Its Origin, Its Religious
and Political Growth, and Its Present State (Leiden: BiblioBazaar, 2008.) Untuk studi sejarah Islam modern antara lain H.A.R. Gibb (ed.),
Wither Islam? A Survey
of Modern Movemenets in the Muslim World (London:
Victor Gollancz, 1932); H.A.R.
Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1947); dan W.C. Smith, Islam in Modern History
(Princeton: Princeton University Press, 1957) dan
Albert Hourani, A History of the Arab
Peoples. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press
of Harvard University Press,
2002) (lihat Yoyo Hambali, “Sejarah Sosial dan Intelektual Masyarakat
Muslim Andalusia dan Kontribusinya bagi Peradaban Dunia, Jurnal
Ilmu Ushuluddin UIN Jakarta, vol. 3, no. 1, 2016).
Upaya para sejarawan Barat itu merupakan
wujud pengakuan mereka atas
eksistensi
sejarah Islam sebagai bagian dari sejarah
dunia, walaupun banyak yang menilai sejarah
Islam dalam perspektif Barat itu ditempatkan pada wilayah periferal dan terkadang mengandung bias serta
distorsi. Dalam beberapa dekade belakangan ini, minat dan antusiasme terhadap
Islam dan sejarahnya semakin meningkat dibuktikan dengan semakin banyak literatur sejarah Islam yang
ditulis oleh para sarjana secara
lebih obyektif dan jujur. Hal itu dapat dinilai
sebagai bagian dari upaya memahami
Islam (understanding Islam), meminjam
sebuah judul buku Frithjof Schuon (w.
1998.) (lihat Frithjof Schuon, Understanding Islam (London: George Allen & Unwinm
1979).
Dalam kaitannya dengan penulisan sejarah Islam Syed Ameer Ali dalam karya monumentalnya mengatakan, “Sumbangan besar
Islam khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan umat manusia
telah diterima secara luas. Namun sayangnya, sumbangan besar Islam dalam mengangkat derajat umat manusia
ini seringkali sengaja
diabaikan atau tidak dihargai;
begitu pula dasar-dasar pemikirannya, ide-ide idealnya, maupun cita- citanya
tidak dipahami dengan
baik” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: (London: Chistophers, t.th. dalam Yoyo Hambali, Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 3, no. 1,
2016).
Problem lain dalam literatur sejarah Islam tidak sedikit literatur sejarah Islam yang
diwarnai sejarah konflik tentang peperangan (al-maghāzī), konflik-konflik kekuasaan, konflik aliran (sekte),
bangun dan jatuh dinasti. Sejarah Islam
penuh dengan intrik politik,
konflik, dan peperangan sepeninggal Rasulullah. bahkan konflik itu terjadi
di antara para sahabat, dan berlanjut dari satu generasi ke
generasi Muslim kemudian.
Persoalan yang menjadi pangkal perselisihan umat adalah suksesi kepemimpinan, sejak pembaiatan Abū Bakr sebagai khalifah
pertama di Tsaqīfah Banū Sa‘īdah,
dan berekor panjang bahkan hingga sepanjang masa mewarnai politik
Islam dan berimbas
kepada aspek doktrin
iman dalam Islam dengan muncul sekte-sekte dalam Islam yang kerap kali saling mendakwa kafir terhadap sekte di luar
kelompoknya. Gambaran sejarah
konflik itu memenuhi kitab-kitab tarikh Islam klasik, seolah-olah para sejarawan Muslim adalah para juru lapor, para
pewarta berita- berita dari medan perang.
Sering terjadi, seperti
yang dikeluhkan Ibn Khaldūn, para sejarawan, para penafsir al-Qur’ān, dan
perawi terkenal menerima berita-berita disampaikan kepada mereka tanpa melihat
kebenaran itu dan tidak membandingkannya dengan laporan
lain yang serupa.
Mereka tidak mengukur
laporan itu berdasarkan pertimbangan akal,
ilmu dan wawasan sejarah sehingga mereka tersesat
dari kebenaran, dan hilang dalam padang pasir
perkiraan dan kesalahan-kesalahan yang tidak
dapat dipertahankan. Untuk rujukan sejarah perang yang dimulai pada masa kenabian
dapat dilihat pada Kitāb al-Maghāzī karya al-Wāqidī. Untuk rujukan
awal terjadi perselisihan umat dan generasi selanjutnya
yang berpangkal dari persoalan suksesi kepemimpinan (imamah
atau khilafah) (lihat O. Hashem,
Saqifah Suksesi Sepeninggal Rasulullah saw.: Awal Perselisihan Umat (Depok: YAPI,
1989.) . Ibn Jarīr al-Ṭabarī dalam Tārīkh al-Rusul
wa al- Muluk juga
membahas persoalan ini. Konflik politik yang
besar yang disebut oleh para sejarawan Muslim
sebagai fitnah al-kubrā adalah ujian paling besar bagi kaum Muslim, yang melebihi ujian kemurtadan orang-orang
Arab pasca wafat Rasulullah, dan ini ditulis
oleh penulis sejarah nabi (sīrah
nabawiyyah) Ibn Hisyām dan Ibn Isḥāq (Lih.
Ibn Isḥāq al-Sīrah al-Nabawiyyah (Maktabah Misykāt al-Islāmiyyah, t.th.).
Rasul Ja‘farian juga mencatat
sejarah Islam yang diwarnai konflik dalam bukunya History of the Caliphs:
From the Death of the
Messenger(s) to the Decline of the Umayyad
Dynasty 11-132 H., Politica: History of Islam (Qum:
Ansariyan Publication, 2003).
Konflik-konflik dalam tubuh umat Islam dari
dinasti ke dinasti membuat kejayaan Islam, mengikuti hukum perkembangan
masyarakat, tidak bertahan abadi. Bagaimanapun sejarah setiap umat, mengikuti
teori siklus Ibn Khaldu>n: lahir dan tumbuh
lalu mati, dan digantikan masyarakat lain, yang juga tumbuh dan mati, seperti pendahulunya. Hal itu berlaku bagi umat
Islam, setelah lahir pada masa periode kenabian, tumbuh dan berkembang dan
mencapai puncak kejayaan pada masa Abad Pertengahan, lalu mengalami keruntuhan.
Kerajaan islam di Spanyol (Andalusia), misalnya setelah mengalami kejayaannya
selama berates-ratus tahun kemudian runtuh, yang salah satu penyebabnya yang
paling dominan adalah konflik politik atau kekuasaan. Adam Lebor dalam bukunya A Heart Turned East: Among the Muslims of Europe and America (New
York: St. Martin’s Press,
1998) menggambarkan drama kejatuhan
Andalusia Muslim, “Akan tetapi seiring meluas kekaisaran ‘Utsmānī di Balkan dan ke dalam Eropa
tengah, tanah Islam paling Barat, tempat kelahiran prestasi puncak sebagian
besar dunia Muslim di bidang
sains, budaya, dan arsitektur, sedang
runtuh dengan cepat di bawah serangan
hebat Katolik. Gawang terakhir
Islam di Spanyol, Granada, jatuh pada
1492 ke tangan tentara Ferdinand dan Isabella, yang membukakan jalan keluar yang aman dari kota itu bagi kaum Muslim yang tidak bisa hidup di bawah kekuasaan salib. Legenda mengisahkan bahwa pada punggung bukit terakhir yang menghadap Granada, Boabdil, raja Muslim terakhir di kota itu, berbalik
untuk melihat terakhir
kalinya tanah yang telah direbut darinya. “Engkau menangis seperti
seorang anak perempuan untuk tanah yang tak dapat kau pertahankan sebagai seorang laki-laki,” ibunya mencemooh saat dia berdiri di atas celah tanah yang sekarang dikenal sebagai El Ultimo Suspiro del Moro (Desah Terakhir Seorang Moor.”
Akhir Muslim Spanyol itu juga digambarkan oleh Hamka dalam
bukunya Sejarah
Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, 2002, 306),
“Muhammad XII (kedua kali) sampai 897 H. bertepatan
dengan1486-1492 M. Beliaulah yang bergelar
Abū ‘Abdullāh dan dialah yang telah menyerahkan kunci pintu kota Granada
ke tangan kedua raja suami-istri (Ferdinand dan Isabella—YH), dan meninggalkan tanah tumpah darah dan kerajaan
yang didirikan oleh nenek moyangnya
dengan susah payah itu dengan
air mata berlinang, berangkat ke
Afrika dan hidup melarat di sana sampai tuanya. Bukit ketinggian tempat
dia menatap yang penghabisan seketika
akan meninggalkan negeri itu sampai sekarang
dinamai “Air mata orang Arab yang
akhir”.
K. Ali dalam
A Study of Islamic History (New
Delhi: Idarah-i-Adabyat, 1980,
301) menyebutkan beebrapa sebab runtuh pemerintahan Islam di Spanyol
berhubungan dengan kecakapan penguasa yang memerintah, krisis politik dalam negeri disebabkan konflik internal,
fanatisme kesukuan dan aliran yang sangat besar serta krisis ekonomi yang
parah, akibatnya imperium
ini terpecah menjadi
sejumlah kelompok
yang saling bertentangan sehingga memercepat kehancuran pemerintahan Muslim di Spanyol.
Bagaimana dengan Masa Depan Islam?
Salah satu manfaat
sejarah adalah untuk mengambil pelajaran di masa lalu. Allah berfirman dalam
Q.s. Al-Qamar [54]: 5, “Hikmatum bāligatun fa mā tugnin-nużur” (“Itulah suatu hikmah yang
sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka)”. Dan
firman-Nya dalam Q.s. Muhammad [47]: 10, “Afa lam
yasīrụ fil-arḍi fa yanẓurụ kaifa kāna 'āqibatullażīna ming qablihim,
dammarallāhu 'alaihim wa lil-kāfirīna amṡāluhā” (Maka apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan
orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu”. Allah juga
berfirman dalam Q.s. Yusuf [12]: 111, ''Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal.''
Ayat-ayat
di atas menjelaskan agar manusia mengambil pelajaran dari kisah masa lalu
(sejarah). Sejarah Islam di satu sisi, adalah sejarah yang diwarnai kisah
kejayaan yang gilang gemilang. Di sisi lain, sejarah Islam juga adalah sejarah
yang diwarnai intrik politik dan kekuasaan, fanatisme kesukuan, aliran dan
mazhab bahkan menimbulkan pertumpahan darah yang menjadi salah satu sebab
kemunduran Islam dari medan peradaban dunia.
Islam
di masa kini dan masa depan adalah Islam yang penuh tantangan sekaligus
harapan. Umat Islam tak dapat disangkal adalah bagian dari masyarakat global
yang saat ini dan ke depan berada dalam era globalisasi. Tidak sedikit
tantangan yang dihadapi Islam sekaligus harapan bahwa Islam akan kembali
memainkan perannya dalam membangun peradaban yang dapat memberikan kontribusi
kepada dunia. Apakah Islam sebagai agama terbesar kedua yang dipeluk umat
manusia di muka bumi ini memiliki masa depan yang cerah atau muram? Jawabannya
tergantung kepada apakah Islam dan umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman
atau tidak? Apakah Islam bisa membuktikan sebagai agama yang dapat senantiasa mengikuti
perkembangan zaman dan tempat (s}a>lih
likulli zamanin wa maka>nin)?
John L. Esposito, salah satu otoritas terkemuka Amerika tentang
Islam dan yang menggunakan pemikiran dan penelitian seumur
hidup untuk menghapus stereotif negatif tentang Islam khususnya untuk para
kolega Baratnya dalam bukunya The Future
of Islam (Oxford University Press, 2013) mengeksplorasi pertanyaan dan isu
utama yang dihadapi Islam di abad ke-21 dan yang akan sangat mempengaruhi
politik global: Apakah Islam kompatibel dengan gagasan modern tentang
demokrasi, supremasi hukum, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia? Seberapa
representatif dan luas fundamentalisme Islam dan ancaman terorisme global?
Bisakah komunitas minoritas Muslim menjadi warga negara yang setia di Amerika
dan Eropa? Di tengah pertanyaan-pertanyaan ini, Esposito memberikan penekanan
penting pada isu Islamofobia, ancaman yang ditimbulkannya, dan dampaknya yang luas
terhadap politik dan masyarakat di AS dan Eropa. Dia juga membuat cermin di AS
dan Eropa dan melukiskan potret yang mengungkapkan bagaimana kita terlihat oleh
Muslim.
Menurut Esposito, dalam beberapa dekade
terakhir telah membawa perubahan luar biasa di dunia Muslim, dan dalam
menangani masalah ini. Ia juga melukiskan gambaran kompleks tentang Islam dalam
semua keragamannya―sebuah gambaran
yang sangat penting saat kita menghadapi tantangan abad mendatang.Menurut John
L. Esposito, berbeda dengan reformasi Kristen yang tumbuh dan dipengaruhi
terutama oleh kondisi di Barat selama beberapa abad, Islam dan Muslim hanya
dalam beberapa dekade, bukan abad, untuk membuat kemajuan yang signifikan dalam
dunia global di tengah-tengah dominasi politik, militer, dan hegemoni ekonomi
Barat. Banyak Muslim saat ini mengejar reformasi bukan dari posisi
kekuasaan dan kekuatan tetapi dari salah satu kelemahan relatif, berjuang untuk
perubahan dalam menghadapi otoritarianisme dan represi, kebebasan berbicara dan
pers yang terbatas, dan dalam beberapa kasus perang dan teror. Pasca
9/11, seruan untuk mereformasi Islam, untuk memperkuat relevansinya secara
cepat mengubah dunia abad ke-21 telah meningkat. Jika ada yang mengatakan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna yang tidak membutuhkan untuk berubah
atau beradaptasi, banyak orang lain menekankan bahwa Islam secara inheren
dinamis dan bahwa reinterpretasi dan reformasi sangat penting dalam perjuangan
untuk menanggapi tuntutan zaman kita, untuk meminggirkan para ekstremis, dan
untuk mempromosikan kesetaraan gender, pluralisme agama, dan hak asasi
manusia. Kelompok yang berpengaruh intelektual Muslim dan pemimpin agama
yang bersemangat, dari Afrika hingga Asia, dari Eropa hingga Amerika, telah
berbicara tentang peran Islam dalam masyarakat kontemporer: Bagaimana agama dan
hukum Islam berkontribusi pada negara-bangsa modern? Di mana apakah
nilai-nilai Islam berlaku untuk isu-isu kunci hari ini, seperti demokrasi,
sekularisme, kesetaraan gender, hak asasi manusia, pasar bebas ekonomi, dan perbankan
modern? Apa peran ulama (ulama); apakah mereka suara otoritatif
terkemuka yang berbicara untuk Islam?
Esposito menganalisis praktik Islam saat ini
dan masa depan dalam volume yang singkat namun penuh wawasan ini. Dia
mensurvei sejumlah topik, termasuk masalah identitas bagi umat Islam yang
tinggal di Barat. Esposito menyoroti pandangan dunia Muslim modern pemikir,
seperti Tariq Ramadan, Amina Wadud dan lainnya. Esposito juga menegaskan bahwa
ketakutan Barat terhadap Islam terlalu berlebihan. Islam dan Muslim adalah
jauh lebih beragam daripada yang dibayangkan oleh ketakutan itu, bahwa hanya
sekelompik kecil dari umat Islam yang mempromosikan dan terlibat dalam
kekerasan. Mayoritas Muslim mendampakan Islam dan dunia yang damai tanpa
kekerasan. Ketika kebenaran tentang arus utama Islam modern diketahui,
Esposito menyarankan, kerjasama bisa menggantikan konflik antara Barat dan
Islam.
Dalam konteks Islam dan Keindonesian, tak
jauh berbeda dengan tantangan global, kini dan ke depan perlu visi Islam yang
lebih dapat memberikan solusi bagi problem-problem dan isu-isu nyata yang
dihadapi umat dan bangsa seperti kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan atas
nama agama, kesetaraan gender dan hak asasi manusia, serta konflik antar dan
intra agama. Dalam artikelnya yang
dimuat Asia-Pacific Review, vol. 9,
Issue 2 (2002), “Islam in Indonesia: Its History, Development and Future
Challeges,” Yusuf Wanandi menjelaskan bahwa dalam sejarah Indonesia, kelompok
Islam selalu memainkan peran politik yang penting. Ia menyatakan bahwa sebagian
besar kelompok ini moderat, toleran, dan demokratis. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir, kelompok-kelompok Muslim radikal dan ekstrem telah muncul dan
sampai taraf tertentu telah mengatur agenda di negara ini dengan interpretasi
politik ekstrem mereka tentang Islam. Kedalaman krisis politik dan ekonomi,
serta lemahnya pemerintah nasional untuk menyelesaikan krisis telah memperumit
perkembangan positif Islam di Indonesia. Inilah tantangan terbesar yang
dihadapi para pemimpin muda Muslim. Jika mereka berhasil, yang sangat mungkin,
Islam Indonesia bisa menjadi model Islam politik di seluruh dunia. Ia
menyimpulkan bahwa ini akan menjadi kontribusi terbesar Indonesia melawan
terorisme global.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut,
kita perlu menegaskan sisi normatif dan historis sebagai agama yang dinamis,
Islam yang berkemajuan dan agama yang penuh kedamaian (rah}matan lil ‘a>lami>n). Hal ini mengingat, dalam
perkembangannya, Islam Indonesia adalah fenomena agama yang sangat menarik dalam
sejarah Indonesia, mengutip Fachry
Ali dan Bahtiar Effendy dalam bukunya Merambah
Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1986: 39), Islam
di Indonesia tumbuh dari fakta sejarah, penetrasi Islam di Indonesia
terintegrasi secara damai dengan penduduk asli, dan sampai Islam abad
kesembilan belas adalah agama yang dominan.
Jumlah pendudukan Indonesia yang lebih dari
dua ratus lima puluh juta dengan mayoritas Muslim dapat menjadi modal demografi
dan sosial apabila Islam yang dibangun adalah Islam yang damai dan berkemajuan
di mana umat Islam dan bangsa Indonesia dapat memfokuskan dirinya pada upaya
meningkatkan kualitas hidupnya dalam berbagai aspek terutama pendidikan (ilmu
pengetahuan). Kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah umat Islam bahwa
dengan pencapaian yang luhur pada aspek ilmu pengetahuan, maka umat Islam
mencapai kejayaan peradaban. Nelson Mandela mengatakan "Pendidikan adalah senjata paling
ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia." Ketika Nabi Muhammad
Saw. bersabda, “Carilah ilmu walaupun
hingga ke negeri Cina”, maka umat Islam mengambil hadis itu sebagai spirit
untuk mencintai ilmu pengetahuan; dan umat Islam mencapai kejayaannya dalam
peradaban yang hingga kini kontribusinya diakui dunia. Mari kita simak pengakuan George
Sarton dalam The History of Science
"Umat Islam merupakan bangsa yang jenius di wilayah Timur pada abad
pertengahan dan memberikan kontribusi terbesar bagi umat manusia." Seorang profesor Amerika Graham E Fuller juga pernah
mengatakan dalam A World Without Islam,
"Kalau bukan karena Islam, dunia ini miskin peradaban, kebudayaan dan
intelektual..." [lihat Ahmad
Fuad Basya, Sumbangan Keilmuan Islam Pada
Dunia (Pustaka Al Kautsar, 2015)].
Komentar
Posting Komentar