Sejarah dan Visi Islam Masa Depan

 Cak Yo


Robert Heinlein (w. 1988), penulis paling berpengaruh dan kontroversial dalam genre fiksi ilmiah di abad ini pernah menulis, “A generation which ignores history has no past and no fiture” (“Generasi yang mengabaikan sejarah tidak memiliki masa lalu dan masa depan”). Ungkapan ini menunjukkan pentingnya sejarah, bukan hanya untuk mengetahui kehidupan masa lalu, namun untuk menjadi tonggak bagi masa depan. Karena itu, di kalangan kaum Muslim, sejarah sangat berarti, mengingat Islam bukan saja sebagai kumpulan ajaran (doktrin) melainkan juga Islam sebagai sejarah. Mengutif term Amin Abdullah, islam itu ada Islam normatif dan Islam historis, atau dalam term M. Atha’ Mudzhar, Islam sebagai wahyu dan Islam sebagai produk sejarah (lihat M. Amin Abdullah, Studi  Agama  Normativitas  atau  Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 dan M. Atha’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek ((Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Dalam konteks Islam sebagai sejarah, kaum Muslim telah membuktikan arti pentingnya sejarah Islam dengan banyak literatur sejarah Islam yang disusun oleh para sejarawan Muslim sejak masa klasik Islam. Untuk menyebut sekedar dua contoh, Kita>b Ta>rikh al-Umam wa al-Mulu>k, yang lebih dikenal sebagai Ta>ri>kh al-T}abari> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979, 8 vol.) karya Abu> Ja’far Muhammad ibn Jari>r al-T}abari> (w. 310 H./923 M.) dan Ta>ri>kh ibn Khaldu>n yang lebih dikenal sebagai Kita>b al-Iba>r  (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 8 vol.) karya ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n (w. 808 H./1406 M.). Dari delapan volume kitab al-Ibar ini yang paling terkenal adalah volume pertamanya yang termashur sebagai kitab Muqaddimah ibn Khaldu>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Arabi>, 2001). Sejarawan Inggris dengan karyanya yang terkenal A Study of History  (1955, 12 vol.) Arnold J. Toynbee(w. 1975) menyebut kitab Muqaddimah ibn Khaldu>n sebaagi “sebuah buku filsafat sejarah yang tidak diragukan lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah diciptakan oleh pikiran manapun kapanpun atau di manapun”. Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldu>n menjelaskan pengertian sejarah sebagai catatan mengenai masyarakat umat manusia atau peradaban dunia serta perubahan-peruabahn-perubahan yang terjadi terhadap watak masyarakat tersebut (Ibn Khaldu>n, 2001).

Di masa modern, ribuan buku sejarah Islam ditulis bukan saja oleh para sarjana Muslim, tetapi juga sarjana Barat yang tertarik menulis sejarah Islam. Bahkan tidak sedikit para sejarawan Barat yang menempatkan sejarah Islam sebagai bagian dari sejarah dunia. Di antara mereka adalah  Edward Gibbon (w. 1794) dengan karyanya  The Decline and Fall of the Roman Empire, 8 Volume (New York: Harper & Brothers, 1841.);  H.G. Wells (w. 1946) dengan karyanya A Short History of the World (New York: J.J. Little & Ives Company, 1922); Arnold Toynbee (w. 1975) dengan karyanya Mankind and Mother Earth: A Narative History of the World (New Yorks and London: Oxford University Press, 1976.); Will Durant (w. 1981) dengan karyanya The Story of Civilization, 11 vol. (New York: Simon and Schuster, 1942); Beberapa literatur sejarah Islam yang ditulis sarjana Barat yang khusus tentang sejarah Islam antara lain Norman Daniel, Islam, Europe, and Empire (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1966); Hichem Djait, Europe and Islam (Berkeley: University of California Press, 1985); Philip K. Hitti, History of the Arab (New York: Palgrave MacMillan, 2002); T.W. Arnold, The Preaching of Islam (London: Constable, 1913); R.W. Bulliet, Conversion to Islam in the Medieval Period (Cambridge: Harvard University Press, 1979); H.A.R. Gibb, Mohammedanism: A Historical Survey (London, Oxford, New York: Oxford University Press); Christiaan Snouck Hurgronje, Mohamedanism: Lectures on Its Origin, Its Religious and Political Growth, and Its Present State (Leiden: BiblioBazaar, 2008.) Untuk studi sejarah Islam modern antara lain H.A.R. Gibb (ed.), Wither Islam? A Survey of Modern Movemenets in the Muslim World (London: Victor Gollancz, 1932); H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1947); dan W.C. Smith, Islam in Modern History (Princeton: Princeton University Press, 1957) dan Albert Hourani, A History of the Arab Peoples. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2002) (lihat Yoyo Hambali, “Sejarah Sosial dan Intelektual Masyarakat Muslim Andalusia dan Kontribusinya bagi Peradaban Dunia, Jurnal Ilmu Ushuluddin UIN Jakarta, vol. 3, no. 1, 2016).

Upaya para sejarawan Barat itu merupakan wujud pengakuan mereka atas  eksistensi sejarah Islam sebagai bagian dari sejarah dunia, walaupun banyak yang menilai  sejarah Islam dalam perspektif Barat itu ditempatkan pada wilayah periferal dan terkadang mengandung bias serta distorsi. Dalam beberapa dekade belakangan ini, minat dan antusiasme terhadap Islam dan sejarahnya semakin meningkat dibuktikan dengan semakin banyak literatur sejarah Islam yang ditulis oleh para sarjana secara lebih obyektif dan jujur. Hal itu dapat dinilai sebagai bagian dari upaya memahami Islam (understanding Islam), meminjam sebuah judul buku Frithjof Schuon (w. 1998.) (lihat Frithjof Schuon, Understanding Islam (London: George Allen & Unwinm 1979).

Dalam kaitannya dengan penulisan sejarah Islam Syed Ameer Ali dalam karya monumentalnya mengatakan, “Sumbangan besar Islam khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia telah diterima secara luas. Namun sayangnya, sumbangan besar Islam dalam mengangkat derajat umat manusia ini seringkali sengaja diabaikan atau tidak dihargai; begitu pula dasar-dasar pemikirannya, ide-ide idealnya, maupun cita- citanya tidak dipahami dengan baik” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: (London: Chistophers, t.th. dalam Yoyo Hambali, Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 3, no. 1, 2016).

Problem lain dalam literatur sejarah Islam tidak sedikit literatur sejarah Islam yang diwarnai sejarah konflik tentang peperangan (al-maghāzī), konflik-konflik kekuasaan, konflik aliran (sekte), bangun dan jatuh dinasti. Sejarah  Islam  penuh dengan  intrik politik, konflik, dan peperangan sepeninggal Rasulullah. bahkan konflik itu terjadi di antara para sahabat, dan berlanjut dari satu generasi ke generasi Muslim kemudian.

Persoalan yang menjadi pangkal perselisihan umat adalah suksesi kepemimpinan, sejak pembaiatan Abū Bakr sebagai khalifah pertama di Tsaqīfah Banū Saīdah, dan berekor panjang bahkan hingga sepanjang masa mewarnai politik Islam dan berimbas kepada aspek doktrin iman dalam Islam dengan muncul sekte-sekte dalam Islam yang kerap kali saling mendakwa kafir terhadap sekte di luar kelompoknya. Gambaran sejarah konflik itu memenuhi kitab-kitab tarikh Islam klasik, seolah-olah para sejarawan Muslim adalah para juru lapor, para pewarta berita- berita dari medan perang. Sering terjadi, seperti yang dikeluhkan Ibn Khaldūn, para sejarawan, para penafsir al-Qur’ān, dan perawi terkenal menerima berita-berita disampaikan kepada mereka tanpa melihat kebenaran itu dan tidak membandingkannya dengan laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan itu berdasarkan pertimbangan akal, ilmu dan wawasan sejarah sehingga mereka tersesat dari kebenaran, dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dipertahankan. Untuk rujukan sejarah perang yang dimulai pada masa kenabian dapat dilihat pada Kitāb al-Maghāzī karya al-Wāqidī. Untuk rujukan awal terjadi perselisihan umat dan generasi selanjutnya yang berpangkal dari persoalan suksesi kepemimpinan (imamah atau khilafah) (lihat O. Hashem, Saqifah Suksesi Sepeninggal Rasulullah saw.: Awal Perselisihan Umat (Depok: YAPI, 1989.) . Ibn Jarīr al-abarī dalam Tārīkh al-Rusul wa al- Muluk juga membahas persoalan ini. Konflik politik yang besar yang disebut oleh para sejarawan Muslim sebagai fitnah al-kubrā adalah ujian paling besar bagi kaum Muslim, yang melebihi ujian kemurtadan  orang-orang Arab pasca wafat Rasulullah, dan ini ditulis oleh penulis sejarah nabi (sīrah nabawiyyah) Ibn Hisyām dan Ibn Isḥāq (Lih. Ibn Isḥāq al-Sīrah al-Nabawiyyah (Maktabah Misykāt al-Islāmiyyah, t.th.). Rasul Ja‘farian juga mencatat sejarah Islam yang diwarnai konflik dalam bukunya History of the Caliphs: From the Death of the Messenger(s) to the Decline of the Umayyad Dynasty 11-132 H., Politica: History of Islam (Qum: Ansariyan Publication, 2003).

Konflik-konflik dalam tubuh umat Islam dari dinasti ke dinasti membuat kejayaan Islam, mengikuti hukum perkembangan masyarakat, tidak bertahan abadi. Bagaimanapun sejarah setiap umat, mengikuti teori siklus Ibn Khaldu>n: lahir dan tumbuh lalu mati, dan digantikan masyarakat lain, yang juga tumbuh dan mati, seperti pendahulunya. Hal itu berlaku bagi umat Islam, setelah lahir pada masa periode kenabian, tumbuh dan berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada masa Abad Pertengahan, lalu mengalami keruntuhan. Kerajaan islam di Spanyol (Andalusia), misalnya setelah mengalami kejayaannya selama berates-ratus tahun kemudian runtuh, yang salah satu penyebabnya yang paling dominan adalah konflik politik atau kekuasaan. Adam Lebor dalam bukunya A Heart Turned East: Among the Muslims of Europe and America (New York: St. Martin’s Press, 1998) menggambarkan drama kejatuhan Andalusia Muslim, “Akan tetapi seiring meluas kekaisaran ‘Utsmānī di Balkan dan ke dalam Eropa tengah, tanah Islam paling Barat, tempat kelahiran prestasi puncak sebagian besar dunia Muslim di bidang sains, budaya, dan arsitektur, sedang runtuh dengan cepat di bawah serangan hebat Katolik. Gawang terakhir Islam di Spanyol, Granada, jatuh pada 1492 ke tangan tentara Ferdinand dan Isabella, yang membukakan jalan keluar yang aman dari kota itu bagi kaum Muslim yang tidak bisa hidup di bawah kekuasaan salib. Legenda mengisahkan bahwa pada punggung bukit terakhir yang menghadap Granada, Boabdil, raja Muslim terakhir di kota itu, berbalik untuk melihat terakhir kalinya tanah yang telah direbut darinya. “Engkau menangis seperti seorang anak perempuan untuk tanah yang tak dapat kau pertahankan sebagai seorang laki-laki,” ibunya mencemooh saat dia berdiri di atas celah tanah yang sekarang dikenal sebagai El Ultimo Suspiro del Moro (Desah Terakhir Seorang Moor.”

Akhir Muslim Spanyol itu juga digambarkan oleh Hamka dalam bukunya  Sejarah Umat Islam (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2002, 306), “Muhammad XII (kedua kali) sampai 897 H. bertepatan dengan1486-1492 M. Beliaulah yang bergelar Abū ‘Abdullāh dan dialah yang telah menyerahkan kunci pintu kota Granada ke tangan kedua raja suami-istri (Ferdinand dan Isabella—YH), dan meninggalkan tanah tumpah darah dan kerajaan yang didirikan oleh nenek moyangnya dengan susah payah itu dengan air mata berlinang, berangkat ke Afrika dan hidup melarat di sana sampai tuanya. Bukit ketinggian tempat dia menatap yang penghabisan seketika akan meninggalkan negeri itu sampai sekarang dinamai “Air mata orang Arab yang akhir”.

K. Ali dalam A Study of Islamic History (New Delhi: Idarah-i-Adabyat, 1980, 301) menyebutkan beebrapa sebab runtuh pemerintahan Islam di Spanyol berhubungan dengan kecakapan penguasa yang memerintah, krisis  politik dalam negeri disebabkan konflik internal, fanatisme kesukuan dan aliran yang sangat besar serta krisis ekonomi yang parah, akibatnya imperium ini terpecah menjadi sejumlah kelompok yang saling bertentangan sehingga  memercepat kehancuran pemerintahan Muslim di Spanyol.  

 

Bagaimana dengan Masa Depan Islam?

Salah satu manfaat sejarah adalah untuk mengambil pelajaran di masa lalu. Allah berfirman dalam Q.s. Al-Qamar [54]: 5, “Hikmatum bāligatun fa mā tugnin-nużur (“Itulah suatu hikmah yang sempurna maka peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka)”. Dan firman-Nya dalam Q.s. Muhammad [47]: 10,  Afa lam yasīr fil-ari fa yanur kaifa kāna 'āqibatullażīna ming qablihim, dammarallāhu 'alaihim wa lil-kāfirīna amṡāluhā” (Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu”. Allah juga berfirman dalam Q.s. Yusuf [12]: 111, ''Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.''

Ayat-ayat di atas menjelaskan agar manusia mengambil pelajaran dari kisah masa lalu (sejarah). Sejarah Islam di satu sisi, adalah sejarah yang diwarnai kisah kejayaan yang gilang gemilang. Di sisi lain, sejarah Islam juga adalah sejarah yang diwarnai intrik politik dan kekuasaan, fanatisme kesukuan, aliran dan mazhab bahkan menimbulkan pertumpahan darah yang menjadi salah satu sebab kemunduran Islam dari medan peradaban dunia.

Islam di masa kini dan masa depan adalah Islam yang penuh tantangan sekaligus harapan. Umat Islam tak dapat disangkal adalah bagian dari masyarakat global yang saat ini dan ke depan berada dalam era globalisasi. Tidak sedikit tantangan yang dihadapi Islam sekaligus harapan bahwa Islam akan kembali memainkan perannya dalam membangun peradaban yang dapat memberikan kontribusi kepada dunia. Apakah Islam sebagai agama terbesar kedua yang dipeluk umat manusia di muka bumi ini memiliki masa depan yang cerah atau muram? Jawabannya tergantung kepada apakah Islam dan umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman atau tidak? Apakah Islam bisa membuktikan sebagai agama yang dapat senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan tempat (s}a>lih likulli zamanin wa maka>nin)?

John L. Esposito,  salah satu otoritas terkemuka Amerika tentang Islam dan yang menggunakan pemikiran dan penelitian seumur hidup untuk menghapus stereotif negatif tentang Islam khususnya untuk para kolega Baratnya dalam bukunya The Future of Islam (Oxford University Press, 2013) mengeksplorasi pertanyaan dan isu utama yang dihadapi Islam di abad ke-21 dan yang akan sangat mempengaruhi politik global: Apakah Islam kompatibel dengan gagasan modern tentang demokrasi, supremasi hukum, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia? Seberapa representatif dan luas fundamentalisme Islam dan ancaman terorisme global? Bisakah komunitas minoritas Muslim menjadi warga negara yang setia di Amerika dan Eropa? Di tengah pertanyaan-pertanyaan ini, Esposito memberikan penekanan penting pada isu Islamofobia, ancaman yang ditimbulkannya, dan dampaknya yang luas terhadap politik dan masyarakat di AS dan Eropa. Dia juga membuat cermin di AS dan Eropa dan melukiskan potret yang mengungkapkan bagaimana kita terlihat oleh Muslim.

Menurut Esposito, dalam beberapa dekade terakhir telah membawa perubahan luar biasa di dunia Muslim, dan dalam menangani masalah ini. Ia juga melukiskan gambaran kompleks tentang Islam dalam semua keragamannyasebuah gambaran yang sangat penting saat kita menghadapi tantangan abad mendatang.Menurut John L. Esposito, berbeda dengan reformasi Kristen yang tumbuh dan dipengaruhi terutama oleh kondisi di Barat selama beberapa abad, Islam dan Muslim hanya dalam beberapa dekade, bukan abad, untuk membuat kemajuan yang signifikan dalam dunia global di tengah-tengah dominasi politik, militer, dan hegemoni ekonomi Barat. Banyak Muslim saat ini mengejar reformasi bukan dari posisi kekuasaan dan kekuatan tetapi dari salah satu kelemahan relatif, berjuang untuk perubahan dalam menghadapi otoritarianisme dan represi, kebebasan berbicara dan pers yang terbatas, dan dalam beberapa kasus perang dan teror.  Pasca 9/11, seruan untuk mereformasi Islam, untuk memperkuat relevansinya secara cepat mengubah dunia abad ke-21 telah meningkat. Jika ada yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna yang tidak membutuhkan untuk berubah atau beradaptasi, banyak orang lain menekankan bahwa Islam secara inheren dinamis dan bahwa reinterpretasi dan reformasi sangat penting dalam perjuangan untuk menanggapi tuntutan zaman kita, untuk meminggirkan para ekstremis, dan untuk mempromosikan kesetaraan gender, pluralisme agama, dan hak asasi manusia. Kelompok yang berpengaruh intelektual Muslim dan pemimpin agama yang bersemangat, dari Afrika hingga Asia, dari Eropa hingga Amerika, telah berbicara tentang peran Islam dalam masyarakat kontemporer: Bagaimana agama dan hukum Islam berkontribusi pada negara-bangsa modern? Di mana apakah nilai-nilai Islam berlaku untuk isu-isu kunci hari ini, seperti demokrasi, sekularisme, kesetaraan gender, hak asasi manusia, pasar bebas ekonomi, dan perbankan modern? Apa peran ulama (ulama); apakah mereka suara otoritatif terkemuka yang berbicara untuk Islam? 

Esposito menganalisis praktik Islam saat ini dan masa depan dalam volume yang singkat namun penuh wawasan ini. Dia mensurvei sejumlah topik, termasuk masalah identitas bagi umat Islam yang tinggal di Barat. Esposito menyoroti pandangan dunia Muslim modern pemikir, seperti Tariq Ramadan, Amina Wadud dan lainnya. Esposito juga menegaskan bahwa ketakutan Barat terhadap Islam terlalu berlebihan. Islam dan Muslim adalah jauh lebih beragam daripada yang dibayangkan oleh ketakutan itu, bahwa hanya sekelompik kecil dari umat Islam yang mempromosikan dan terlibat dalam kekerasan. Mayoritas Muslim mendampakan Islam dan dunia yang damai tanpa kekerasan.  Ketika kebenaran tentang arus utama Islam modern diketahui, Esposito menyarankan, kerjasama bisa menggantikan konflik antara Barat dan Islam. 

Dalam konteks Islam dan Keindonesian, tak jauh berbeda dengan tantangan global, kini dan ke depan perlu visi Islam yang lebih dapat memberikan solusi bagi problem-problem dan isu-isu nyata yang dihadapi umat dan bangsa seperti kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan atas nama agama, kesetaraan gender dan hak asasi manusia, serta konflik antar dan intra agama.  Dalam artikelnya yang dimuat Asia-Pacific Review, vol. 9, Issue 2 (2002), “Islam in Indonesia: Its History, Development and Future Challeges,” Yusuf Wanandi menjelaskan bahwa dalam sejarah Indonesia, kelompok Islam selalu memainkan peran politik yang penting. Ia menyatakan bahwa sebagian besar kelompok ini moderat, toleran, dan demokratis. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelompok-kelompok Muslim radikal dan ekstrem telah muncul dan sampai taraf tertentu telah mengatur agenda di negara ini dengan interpretasi politik ekstrem mereka tentang Islam. Kedalaman krisis politik dan ekonomi, serta lemahnya pemerintah nasional untuk menyelesaikan krisis telah memperumit perkembangan positif Islam di Indonesia. Inilah tantangan terbesar yang dihadapi para pemimpin muda Muslim. Jika mereka berhasil, yang sangat mungkin, Islam Indonesia bisa menjadi model Islam politik di seluruh dunia. Ia menyimpulkan bahwa ini akan menjadi kontribusi terbesar Indonesia melawan terorisme global.

Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, kita perlu menegaskan sisi normatif dan historis sebagai agama yang dinamis, Islam yang berkemajuan dan agama yang penuh kedamaian (rah}matan lil ‘a>lami>n). Hal ini mengingat, dalam perkembangannya, Islam Indonesia adalah fenomena agama yang sangat menarik dalam sejarah Indonesia, mengutip Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam bukunya Merambah Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1986: 39), Islam di Indonesia tumbuh dari fakta sejarah, penetrasi Islam di Indonesia terintegrasi secara damai dengan penduduk asli, dan sampai Islam abad kesembilan belas adalah agama yang dominan.

Jumlah pendudukan Indonesia yang lebih dari dua ratus lima puluh juta dengan mayoritas Muslim dapat menjadi modal demografi dan sosial apabila Islam yang dibangun adalah Islam yang damai dan berkemajuan di mana umat Islam dan bangsa Indonesia dapat memfokuskan dirinya pada upaya meningkatkan kualitas hidupnya dalam berbagai aspek terutama pendidikan (ilmu pengetahuan). Kita dapat mengambil pelajaran dari sejarah umat Islam bahwa dengan pencapaian yang luhur pada aspek ilmu pengetahuan, maka umat Islam mencapai kejayaan peradaban. Nelson Mandela mengatakan "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia." Ketika Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Carilah ilmu walaupun hingga ke negeri Cina”, maka umat Islam mengambil hadis itu sebagai spirit untuk mencintai ilmu pengetahuan; dan umat Islam mencapai kejayaannya dalam peradaban yang hingga kini kontribusinya diakui dunia. Mari kita simak pengakuan George Sarton dalam The History of Science "Umat Islam merupakan bangsa yang jenius di wilayah Timur pada abad pertengahan dan memberikan kontribusi terbesar bagi umat manusia." Seorang profesor Amerika Graham E Fuller juga pernah mengatakan dalam A World Without Islam, "Kalau bukan karena Islam, dunia ini miskin peradaban, kebudayaan dan intelektual..." [lihat Ahmad Fuad Basya, Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia (Pustaka Al Kautsar, 2015)].

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam