Ratapan Seruling Bambu: Gagasan Ekosufisme Rumi

 Cak Yo

Tulisan sederhana ini akan membahas tentang topik yang belakangan ini relatif banyak dikaji, yaitu tentang ekosufisme (eco-Sufism) dengan fokus pada pemikiran Rumi. Siapa Rumi? Sufi yang nama lengkapnya Jalal al-Din al-Rumi di kalangan peminat sufisme atau tasawuf sepertinya tidak perlu diperkenalkan. Mereka pasti mengenal Sufi yang sering dipanggil Mawlana atau Mevlana dalam bahasa Persia ini, yang artinya “Guru Kami” (“Our Master”). Ia lahir sekitar 30 September  1207 di Balkh, masa kekaisaran Ghurid dan wafat 17 Desember 1273 di Konya, Anatolia, Turki. Rumi adalah Sufi mistik terbesar (The Greatest Sufi mystic)  dan penyair Persia terkenal. Awal karirnya sebagai guru di madrasah Anatolia bertemu seorang darwis, penganut sufi yang sengaja miskin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan jiwa (lihat KBBI). Darwis pengembara yang bernama Syams al-Din (“Matahari Agama”/”Sun of Religion”) ini yang mengungkapkan kepada Rumi misteri terdalam keagungan ilahi (the inner mysteries of divine majesty). Hubungan pertemanan atau lebih tepatnya murid-guru itu terjalin demikian intim sehingga mengundang kecemburuan sebagian cendekiawan, yang kemungkinan Syams al-Din dibunuh atas tuduhan skandal.  Sepeninggal Syams Rumi kemudian mengabadikan Syams al-Din dengan menggubah syair berjudul Divan-e Shams (“Kumpulan Puisi Matahari”/”Collected Poetry of the Sun”, yang berisi syair-syair cinta dan kerinduan kepada guru spiritualnya itu. (Lihat Annemarie Schimmel, “Rumi: Sufi mystic and poet” dalam Encylopaedia Britanica, https://www.britannica.com/biography/Rumi.)

Karya utama Rumi adalah epik didaktik, kitab yang berisi ribuan syair Rumi yang berjudul Masnavi dalam bahasa Persia atau Masnawi dalam bahasa Arab yang berarti “Kuplet Spiritual” (“Spiritual Couplets”), yang dianggap “Qur’an” dalam bahasa Persia. Kitab Masnawi ini banyak mempeengaruhi pemikiran dan sastra sufi Muslim yang diyakini dikarang dalam keadaan kehilangan kesadaran atau mabuk spiritual yang dalam tradisi para sufi disebut dalam keadaan ekstasi sufi (Sufi ecstasy) atau syathahat, yaitu pernyataan-pernyataan yang diilhami Tuhan yang diucapkan para Sufi dalam keadaan hilangnya kesadaran diri (fana fillah) seperti juga yang dialami para Sufi lainnya seperi Bayazid al-Bestawi atau Abu Yazid al-Bustami (w. 874), Ibn Sahl al-Tustari (w. 896), dan lainnya. Syair-syair Rumi itu kerap diringi syairnya dengan tarian berputar yang dikenal sebagai tarian Darwis (Dervish Dance), yaitu ritual utama yang dilakukan dengan melibatkan pembacaan ulang zikir dan melalui aktivitas fisik seperti berputar dan menari sebagai sarana mencapai pengalaman kebahagiaan spiritual di kalangan ordo atau persaudaraan Sufi (tarekat) khususnya tarekat Maulawiyah. Tarekat ini disebut juga tarekat Darwis yang dinisbatkan kepada Jalal al-din al-Rumi sebagai pendirinya.

Rumi menyusun syair-syairnya dalam bahasa Persia dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk Arab, Inggris, dan Indonesia. Ia mendapatkan banyak pengikut di seluruh dunia hingga periode modern. Karya-karyanya terutama yang menjadi opus magnum-nya, Masnawi, yang dalam edisi Arab terdiri dari delapan jilid Reynold Alleyne Nicholson (w. 1945), sarjana spesialis Rumi terhebat menerjemahkan secara lengkap ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan Nicholson ini merupakan terjemahan pertama dalam bahasa Inggris dalam delapan jilid dengan komentar atas keseluruhan Masnawi yang sangat berpengaruh dalam studi Rumi di seluruh dunia. Karya Rumi lainnya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris: Diwan Shams al-Tabriz oleh A,J, Arberry yang merupakan penerjemahan ulang atas Nicholson (guru dan pendahulunya di Universitas Cambridge). Javid Mojadedi menerjemahkan Buku Satu Matsnawi ke bahasa Inggris (Oxford, 2004).

Karya Rumi lainnya seperti Fi-hi Ma Fi-hi (“Discourse”) diterjemahkan ke bahasa Inggris dan dimuat pada 1924 dalam Journal of Royal Asiatic Society. Karya-karya Rumi juga sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia namun belum ada terjemahan lengkap atas Masnawi. Terjemahan oleh Muhammad Nur Jabir, Matsnawi Maknawi Maulana Rumi Kitab Ii, Bait 1932-3810, diterbitkan 2022, hanya mengklain sebagai terjemahan lengkap dari edisi aslinya Persia Matsnawi-ye Ma’nawi. Ada beberapa terjemahan tidak lengkap lainnya dalam bahasa Indonesia seperti Semesta Matsnawi Jalaluddin Rumi dan Matsnawi yang diterbitkan Zaman, grup penerbit Serambi.  Beberapa terjemahan atas karya-karya Rumi seperti Masnawi juga bukan terjemahan dari edisi aslinya, Persia, namun dari edisi Inggris.

Di era modern dan pascamodern ini, reputasi dan pengaruh Rumi melampaui sekedar bidang sastra. Karena reputasi dan pengaruhnya itu dalam rangka memperingati 800 tahun kelahirannya, UNESCO, organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan menetapkan tahun 2007 sebagai Tahun Rumi Internasional. UNESCO menobatkan Rumi sebagai salah satu filsuf, pujangga besar, dan tokoh spiritual terbesar sepanjang masa yang dimiliki manusia karena pesan-pesannya tentang cinta, kemanusiaan, dan perdamaian. Dalam Catatan Penjelasan Medali UNESCO dalam Kehormatan Mawlana Jalal al-Din Rumi (Explanatory Note UNESCO Medal in Honour of Mawlana Jalal-Ud-Din Balkhi-Rumi) antara lain dikatakan, “He (Rumi) remains one of the greatest comprehensive thinkers and scholars of Islamic civilization. He addressed humanity as a whole…”(“Dia tetap menjadi salah satu pemikir dan cendekiawan komprehensif terbesar dalam peradaban Islam. Dia berbicara kepada umat manusia secara keseluruhan…”). Selanjutnya dalam Catatan itu dikatakan,

“Karena semangat, kejujuran, dan gambaran indahnya, tulisan-tulisan Mawlana telah menjadi sarana untuk berhubungan langsung dengan Tuhan. Karya-karyanya, pemikiran dan ajaran-ajarannya memberikan kesaksian tertinggi, dengan cara melampaui semua batas-batas nasional, budaya dan peradaban, terhadap misteri kebenaran ilahi…Daya tarik Mawlana yang sangat luas, pemikiran yang sangat maju, humanisme dan hati serta pikiran yang terbuka mungkin berasal dari karakternya yang benar-benar kosmopolitan, karena selama masa hidupnya beliau menikmati hubungan yang sangat baik dengan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial, budaya dan agama. Oleh karena itu, marilah kita menghormati Mawlana Jalal-ud-Din Balkhi-Rumi, salah satu humanis, filsuf dan penyair besar yang merupakan bagian dari umat manusia secara keseluruhan, dengan mengeluarkan Medali UNESCO..”

 Karya-karya Rumi telah banyak dikaji dalam berbagai topik: filsafat, psikologi, pendidikan bahkan topik yang belakangan ini banyak dikaji tentang ekosufisme (eco-sufism). Eko-sufisme atau tasawuf hijau (green Sufism) merupakan konsep sufi yang muncul belakangan ini. Konsep ini dibangun mealui penyatuan kesadaran antara kesadaran lingkungan dan kesadaran ketuhanan, bahwa kesadaran memanfaatkan, memelihara atau menjaga lingkungan  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran rohani atau spiritualitas (spiritual consciousness). 

Rumi dan Eko-sufisme

Mari kita kutip syair Rumi yang oleh beberapa peneliti diidentifikasi sebagai syair rohani yang relevan dengan kesadaran lingkungan. Dalam syair yang berjudul, “Ratapan Seruling Bambu” bersenandung:

 

Sejak direnggut aku dari rumpunku dulu,

ratapan pedihku telah membuat berlinang air-mata orang.

Kuseu mereka yang tersayat hatinya karena perpisahan.

Karena hanya mereka yang memahami sakitnya kerinduan ini.

Mereka yang tercerabut dari rumpunnya merindukan saat mereka kembali.

Dalam setiap pertemuan,

bersama mereka yang tengah gembiran atau sedih,

kudesahkan ratapan yang sama.

Masing-masing orang hanya mendengar sesuai pengetahuannya sendiri-sendiri.

Taka da yang mencari lebih dalam tentang rahasia di dalam diriku.

Rahasia tersembunyi dalam rintihanku.

Mata-telinga tak bercahaya takkan mampu memahaminya.

Rintihan seruling bersumber dari api, bukannya angina.

Apa gunanya hidup seseorang yang tak lagi ada apinya?

Api cinta yang menghidupkan nyanyian sang seruling adalah ragi cinta yang mrembuat anggur terasa lezat.

Lantunan seruling mengobati hati yang perih karena cinta yang hilang.

Lagunya menyapu hijab yang menyelubungi hati.

Adakah racun yang lebih pahit atau gula yang lebih manis daripada nyanyian seruling bambu?
Agar dapat kau dengar nyanyian seruling itu

Mesti kau tanggalkan semua hal yang pernah kau ketahui.

(Lihat terjemahan “Nay Namih” (“The Tale of the Reed”) dalam R.A. Nicolson, The Mathnawo of Jalaluddin Rumi, vol. 2 (London: Luzac & Co. Ltd., 1926), 5-6).

 Di tengah krisis lingkungan (ekologi) yang semakin mengkhawatirkan, gagasan para Sufi seperti Rumi telah mengungkapkan krisis itu disebabkan oleh dan merupakan indikasi dari kelesuan spiritual yang serius. Pengabaian manusia terhadap lingkungan merupakan indikasi hilangnya kesadaran akan kesatuan Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia, dan alam itu sendiri sebagai tempat manusia hidup. Kehadiran Tuhan (imanensi) cenderung hanya dihadirkan saat ritual keagamaan, sementara tanggung jawab etis dan spiritual terhadap ciptaan (alam) dan kelestariannya. Alam dan lingkungannya cenderung dieksploitasi secara besar-besaran dan sewenang-wenang dan abai terhadap kepedulian spiritual dan moral yang harusnya melekat dalam seluruh ciptaan.

Munculnya kajian tentang gagasan eko-sufisme belakangan ini barangkali sedikit memberi secercah harapan. Dengan menggali pemikiran para Sufi tentang lingkungan dapat menjadi upaya bagaimana para sarjana merespons secara positif krisis lingkungan yang terjadi saat ini dengan merujuk pada pendekatan spiritual dengan menggali gagasan dan pemikiran para Sufi. Pendekatan ini langsung ke horizon atau inti terdalam dimensi manusia, yaitu dimensi spiritual. Upaya mengeksplorasi gagasan-gagasan para Sufi dalam mengatasi krisis ekologi berarti menggali pemikiran mereka untuk meredefinisi relasi Tuhan, manusia, dan alamnya. Spiritualitas seperti diajarkan para Sufi mengajarkan keharmonisan dan kearifan. Manusia adalah ciptaan sekaligus hamba dan khalifah Tuhan. Alam dan manusia adalah satu kesatuan. Tuhan hadir (imanen) di alam dan manusia, pada tingkat spritualnya, menghadirkan Tuhan dalam dirinya. Konsep kesatuan wujud (wahdat al-wujud) seperti yang diajarkan sebagian Sufi seperti Ibn ‘Arabi, keliru jika dipahami sebagai sama dengan ajaran panteisme, “Segala seuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu”. Ajaran kesatuan wujud Ibn ‘Arabi ini harusnya lebih dipahami sebagai kehadiran Tuhan di alam termasuk dalam diri manusia, bahwa segala sesuatu adalah perwujudan atau bayangan Tuhan karena segala seuatu Dia yang menciptakan. Mengutip sebuah hadis Nabi Saw.,

كنت كنزاً لا أعرف، فأحببت أن أعرف فخلقت خلقاً فعرفتهم بي فعرفوني

Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk untuk memperkenalkanku kepada mereka, maka merekapun mengenal-Ku. (Lihat Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 3: 167; ‘Abd al-Karim al-Jili, Lisan al-Qadr Binasim al-Sihr, 34 dan al-Sha’rani, al-Thabaqat al-Qubra, 309). 

Hadis ini bisa ditafsirkan bahwa karena Rahman dan Rahim-Nya Tuhan menciptakan manusia agar mereka mengenal-Nya dan mengenal ciptaan lainnya: alam dan manusia. Tuhan adalah Zahir dan Batin, Yang Nampak dan Yang Tersembunyi; alam termasuk manusia di dalamnya yang merupakan perwujudan Sifat-sifat dan Nama-nama Tuhan itu terdiri dari dimensi lahir dan batin. Menghadirkan Tuhan di alam berarti menjaga dan memeliharanya. Di sinilah fungsi manusia sebagai Khalifah, tidak untuk mengeksploitasi alam hingga merusaknya, melainkan memanfaatkan dan menjaganya. Dengan kesadaran spiritual bahwa Tuhan hadir di alam ini, maka manusia menyadari bahwa merusak alam berarti menyimpang dari tugasnya sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi. Alam adalah tajalli (teofani) Tuhan yang diciptakan sebagai sarana mengetahui, mengenal dan makrifat kepada-Nya telah dirusaknya yang dapat mengakibatkan bencana yang menimpa diri manusia sendiri. Tuhan mengatakan bahwa misi Rasul (Islam) sebagai rahmat bagi segenap alam, dalam hal ini termasuk menjaga dan melestarikan alam. Lihat Mochammad Lathif, “Eko-Sufisme dalam Pemikiran Ibn Arabi” (Universitas Gadjah Mada, 2018).

Ratapan seruling bambu yang terpisah dari rumpunnya adalah ekspresi simbolis kesadaran spiritual yang bila dikaitkan dengan kesadaran lingkungan, semua makhluk tidak ingin dipisahkan dari yang dikasihinya. Seruling bambu semula berkumpul dengan sesamanya dalam rumpunnya, lalu diambil dan dijadikan seruling dan bunyi seruling adalah rintihan karena ia telah dipisahkan dari rumpunnya itu. Memanfaatkan apa yang ada di alam oleh manusia seperti mengambil bambu untuk dijadikan seruling atau lainnya bisa saja menyakitkan baginya, apalagi merusaknya. Puisi alegoris Rumi mengandung aspek kedekatan nostalgia antara kekasih dan yang dikasihi. Kekasih dilambangkan dengan seruling dan yang dikasihi adalah rumpunnya. Puisi ini dapat dipahami sebagai media untuk menggambarkan metafora besar Rumi tentang pemisahan dan persatuan (lihat Firoozeh Papan-Matin, “The Crisis of Identity in Rumi’s “Tale of the Reed”).

Nosheen Ali dari New York University dalam artikelnya, “The Reed Laments: Ecology in Muslim Thought” menyatakan bahwa baginya, puisi Rumi lebih terasa eksploitasi daripada sekadar kisah cinta dan lainnya, namun jiwa tetap tidak terlihat, tidak dikenali. memberikan kesaksian mendalam tentang penderitaan alam. Dalam menyebabkan penderitaan alam, manusia sendiri menjadi terpisah dari alam yang dicintainya, yang dirindukannya memahami hubungan manusia-alam.  Baginya, dari perspektif kontemporer, puisi tersebut merupakan karya klasik pasca ekologi politik humanis, suatu bentuk kritik anti-kapitalis yang memperlihatkan keagenan abad ini, seperti juga karya besar lainnya dari Sufi Farid al-Din Attar dan Ikhwan al-Shafa, dan dalam kasus Rumi, puisi, menawarkan cara untuk membayangkan humaniora lingkungan baru.

Rachel Marian Knight-Messenger dalam disertasi doktornya di University of St. Michael’s College 2020 berjudul, “Mystical Theology and Ecological Theology: The Role of Nature Mysticism in Building Ecological Theology and Ethics” mengkaji  cara-cara teolog dan mistikus Pierre Teilhard de Chardin dan Thomas Merton, berkontribusi dalam membangun teologi ekologi dan etika ekologi yang menganggap serius tanggung jawab manusia atas penciptaan. Dalam disertasinya itu diuraikan, meskipun dalam konteks Kristen, namun karena mistisisme atau spiritualisme seperti dikatakan Annemarie Schimmel, “mengalir dalam semua agama” (lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, 2011). Bagi Rachel, teologi mistik menunjukkan bagaimana seorang mistikus menjadi sadar akan kehadiran Tuhan di dalam kosmos dan bahwa kesadaran ini kemudian memunculkan tidak hanya kesadaran mendalam akan kesakralan dan keterhubungan seluruh ciptaan tetapi juga mengandung keharusan etis yang berupaya membangun etika penciptaan. Terlebih lagi, karena mistisisme alam ini dapat menggunakan kosmologi kosmogenesis, peluang untuk menyatukan hal-hal ini dalam teologi ekologi dapat lebih luas lagi memperkuat etika ekologi. Seperti dikatakan Rachel, ilmu kebatinan atau sufisme, dalam Islam, tentang alam adalah sesuatu yang unggul sumber untuk membangun etika ekologis yang menganggap serius tanggung jawab manusia dalam penciptaan.

Karena itu gagasan eko-Sufisme dalam pemikiran Rumi, saya kira ada dalam agama lain. Dengan demikian, gagasan itu universal. Gagasan para Sufi atau mistikus dalam agama lain dapat menjadi gagasan universal dalam membangun  etika global (global ethics) seperti yang digagas Hans Kung, khususnya etika lingkungan (lihat Hans Kung, Global Responsibility: in Search of a New World Ethic (1993).

Dalam konsep sufi seorang pejalan spiritual (salik) adalah khalifah dan ‘abd Allah yang mengemban amanah menjaga bumi ini sebagai bentuk menjaga hubungan dengan Penciptanya, Karena itu, merusak amal juga berarti merusak hubungannya dengan Allah (Suwito, 2017).

Gagasan eko-Sufisme khususnya dalam pemikiran Rumi sesungguhnya bila ditelusuri akarnya berakar dari Alquran, tentu dengan ekspresi khas Sufi. Alquran sendiri jelas memuat ajaran tentang spiritualitas dan ekologi. Farhan Meyer dalam bukunya telah menyajikan prinsip-prinsip teologis dan etika berbasis Alqur’an yang dapat diterapkan pada ekologi integral. Kajian ini menyajikan pedoman Alqur’an yang jelas dan kuat yang dapat dijadikan acuan umat Islam dalam menyikapi permasalahan etika, ekologi, dan lingkungan hidup yang dihadapi saat ini. Kajian ini menghubungkan gagasan utama ensiklik ekologi integral dengan beberapa konsep Islam, khususnya kesatuan yang saling berhubungan antara seluruh ciptaan, hakikat Tuhan dan umat manusia, dan prinsip-prinsip Alqur’an tentang belas kasihan, keseimbangan, keadilan, dan moderasi (Lihat Farhan Meyer, F. Hamza, dan S. Rizvi, Anthology of Qur’anic Commentaries: On the Nature of the Divine (Oxford, 2008).

Sebagai bukti bahwa Alquran berbicara tentang lingkungan, cukup dua ayat tentangnya dikutip di sini. Allah berfirman dalam al-Hijr ayat 19-20, “Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gununggunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu yang menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup. Dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekalikali bukan pemberi rezeki kepadanya.” Juga dalam Alquran Ar Rum: 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Demikian pula hadis Nabi tentang pelestarian lingkungan seperti berikut ini: “Seseorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau binatang memakan sebagian dari padanya, melainkan apa yang dimakan itu merupakan sedekahnya.“ (H.R. Bukhari); “Janganlah seseorang dari kalian kencing di dalam air yang diam, yang tidak mengalir, kemudian mandi darinya.” Dan Nabi bersabda, “Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan menyayangi kalian..” (HR At Tirmidzi). 

Kesimpulan

Jalal al-Din Rumi diakui sebagai Sufi terbesar sepanjang sejarah yang karya-karyanya telah banyak dikaji dalam berbagai topic termasuk tentang ekosufisme (eco-sufism). Konsep ini dibangun mealui penyatuan kesadaran antara kesadaran lingkungan dan kesadaran ketuhanan, bahwa kesadaran memanfaatkan, memelihara atau menjaga lingkungan  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran rohani atau spiritualitas. Salah satu puisi Rumi yang relevan dengan topik eko-Sufisme adalah puisinya yang berjudul, “Rintihan Seruling Bambu”.  Ratapan seruling bambu yang terpisah dari rumpunnya adalah ekspresi simbolis kesadaran spiritual yang bila dikaitkan dengan kesadaran lingkungan, semua makhluk tidak ingin dipisahkan dari yang dikasihinya. Seruling bambu semula berkumpul dengan sesamanya dalam rumpunnya, lalu diambil dan dijadikan seruling dan bunyi seruling adalah rintihan karena ia telah dipisahkan dari rumpunnya itu. Memanfaatkan apa yang ada di alam oleh manusia seperti mengambil bambu untuk dijadikan seruling atau lainnya bisa saja menyakitkan baginya, apalagi merusaknya. Puisi alegoris Rumi mengandung aspek kedekatan nostalgia antara kekasih dan yang dikasihi. Kekasih dilambangkan dengan seruling dan yang dikasihi adalah rumpunnya, gagasan tentang kebahagiaan persatuan dan penderitaan peripisahan yang belakangan ini banyak dikaji dalam kaitan dengan kesatuan Tuhan dan alam tempat hidup manusia. Puisi Rumi ini menawarkan cara untuk membayangkan humaniora lingkungan baru. Sufisme yang ajarannya mengalir dalam semua agama, yang karenanya ada banyak titik temu dengan tradisi mistik agama lain termasuk dalam konteks bagaimana spiritualitas seperti merasakan kehadiran Tuhan, kesatuan Tuhan, alam dan manusia. Hal ini dapat memberikan kontribusi dalam membangun etika lingkungan global. Gagasan Rumi dan Sufi lainnya jelas berakar dari Alquran dan Hadis Nabi Saw. Banyak ayat dan hadis Nabi yang menjagarkan agar manusia mengolah dan menjaga lingkungan, serta mencegahnya dari kerusakan.

 

Referensi

 

al-Jili, ‘Abd al-Karim, Lisan al-Qadr Binasim al-Sihr.

Ali, Nosheen. “The Reed Laments: Ecology in Muslim Thought”, https://ansari.nd.edu/assets/399577/ali_paper.pdf

al-Sha’rani, al-Thabaqat al-Qubra.

Explanatory Note UNESCO Medal in Honour of Mawlana Jalal-Ud-Din Balkhi-Rumi, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000147319.

Firoozeh Papan-Matin, “The Crisis of Identity in Rumi’s “Tale of the Reed”).

Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, jilid 3.

Nicholson, R.A. terjemahan “Nay Namih” (“The Tale of the Reed”) dalam R.A. Nicolson, The Mathnawo of Jalaluddin Rumi, vol. 2. London: Luzac & Co. Ltd., 1926.

Kung, Hans. Global Responsibility: in Search of a New World Ethic.  Crossroad Publishing Company, 1993

Lathif, Mochammad. “Eko-Sufisme dalam Pemikiran Ibn Arabi” . Universitas Gadjah Mada, 2018.

Meyer, Farhan, F. Hamza, dan S. Rizvi. Anthology of Qur’anic Commentaries: On the Nature of the Divine. Oxford University Press, 2008.

Rachel Marian Knight-Messenger,  “Mystical Theology and Ecological Theology: The Role of Nature Mysticism in Building Ecological Theology and Ethics”, Disertasi Doktor University of St. Michael’s College 2020.

Rumi, Jalal al-Din, The Mathnawi of Jalaluddin Rumi, terj. R.A. Nicholson. Cambridge: Gibb Memorial Trust, 1990.

Schimmel, Annemarie. “Rumi: Sufi mystic and poet” dalam Encylopaedia Britanica, https://www.britannica.com/biography/Rumi.

Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. The University of North Carolina Press, 2011.

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam