Ratapan Seruling Bambu: Gagasan Ekosufisme Rumi
Tulisan sederhana ini akan membahas tentang topik yang
belakangan ini relatif banyak dikaji, yaitu tentang ekosufisme (eco-Sufism) dengan fokus pada pemikiran
Rumi. Siapa Rumi? Sufi yang nama lengkapnya Jalal al-Din al-Rumi di kalangan
peminat sufisme atau tasawuf sepertinya tidak perlu diperkenalkan. Mereka pasti
mengenal Sufi yang sering dipanggil Mawlana atau Mevlana dalam bahasa Persia
ini, yang artinya “Guru Kami” (“Our
Master”). Ia lahir sekitar 30 September 1207 di Balkh, masa kekaisaran Ghurid dan
wafat 17 Desember 1273 di Konya, Anatolia, Turki. Rumi adalah Sufi mistik terbesar
(The Greatest Sufi mystic) dan penyair Persia terkenal. Awal karirnya
sebagai guru di madrasah Anatolia bertemu seorang darwis, penganut sufi yang
sengaja miskin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan jiwa (lihat KBBI).
Darwis pengembara yang bernama Syams al-Din (“Matahari Agama”/”Sun of
Religion”) ini yang mengungkapkan kepada Rumi misteri terdalam keagungan ilahi
(the inner mysteries of divine majesty).
Hubungan pertemanan atau lebih tepatnya murid-guru itu terjalin demikian intim
sehingga mengundang kecemburuan sebagian cendekiawan, yang kemungkinan Syams
al-Din dibunuh atas tuduhan skandal. Sepeninggal
Syams Rumi kemudian mengabadikan Syams al-Din dengan menggubah syair berjudul
Divan-e Shams (“Kumpulan Puisi Matahari”/”Collected Poetry of the Sun”, yang
berisi syair-syair cinta dan kerinduan kepada guru spiritualnya itu. (Lihat Annemarie Schimmel, “Rumi: Sufi mystic and poet” dalam Encylopaedia Britanica, https://www.britannica.com/biography/Rumi.)
Karya utama Rumi adalah epik didaktik, kitab yang berisi
ribuan syair Rumi yang berjudul Masnavi dalam
bahasa Persia atau Masnawi dalam
bahasa Arab yang berarti “Kuplet Spiritual” (“Spiritual Couplets”), yang dianggap “Qur’an” dalam bahasa Persia.
Kitab Masnawi ini banyak mempeengaruhi pemikiran dan sastra sufi Muslim yang
diyakini dikarang dalam keadaan kehilangan kesadaran atau mabuk spiritual yang
dalam tradisi para sufi disebut dalam keadaan ekstasi sufi (Sufi ecstasy) atau syathahat, yaitu
pernyataan-pernyataan yang diilhami Tuhan yang diucapkan para Sufi dalam
keadaan hilangnya kesadaran diri (fana fillah) seperti juga yang dialami para
Sufi lainnya seperi Bayazid al-Bestawi atau Abu Yazid al-Bustami (w. 874), Ibn Sahl
al-Tustari (w. 896), dan lainnya. Syair-syair Rumi itu kerap diringi syairnya
dengan tarian berputar yang dikenal sebagai tarian Darwis (Dervish Dance), yaitu ritual utama yang dilakukan dengan melibatkan
pembacaan ulang zikir dan melalui aktivitas fisik seperti berputar dan menari
sebagai sarana mencapai pengalaman kebahagiaan spiritual di kalangan ordo atau
persaudaraan Sufi (tarekat) khususnya tarekat Maulawiyah. Tarekat ini disebut
juga tarekat Darwis yang dinisbatkan kepada Jalal al-din al-Rumi sebagai
pendirinya.
Rumi menyusun syair-syairnya dalam bahasa Persia dan
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk Arab, Inggris, dan
Indonesia. Ia mendapatkan banyak pengikut di seluruh dunia hingga periode
modern. Karya-karyanya terutama yang menjadi opus magnum-nya, Masnawi,
yang dalam edisi Arab terdiri dari delapan jilid Reynold Alleyne Nicholson (w.
1945), sarjana spesialis Rumi terhebat menerjemahkan secara lengkap ke dalam
bahasa Inggris. Terjemahan Nicholson ini merupakan terjemahan pertama dalam
bahasa Inggris dalam delapan jilid dengan komentar atas keseluruhan Masnawi
yang sangat berpengaruh dalam studi Rumi di seluruh dunia. Karya Rumi lainnya
telah diterjemahkan ke bahasa Inggris: Diwan
Shams al-Tabriz oleh A,J, Arberry yang merupakan penerjemahan ulang atas
Nicholson (guru dan pendahulunya di Universitas Cambridge). Javid Mojadedi
menerjemahkan Buku Satu Matsnawi ke bahasa Inggris (Oxford, 2004).
Karya Rumi lainnya seperti Fi-hi Ma Fi-hi (“Discourse”) diterjemahkan ke bahasa Inggris dan
dimuat pada 1924 dalam Journal of Royal Asiatic Society. Karya-karya Rumi juga
sudah banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia namun belum ada
terjemahan lengkap atas Masnawi. Terjemahan oleh Muhammad Nur Jabir, Matsnawi
Maknawi Maulana Rumi Kitab Ii, Bait 1932-3810, diterbitkan 2022, hanya
mengklain sebagai terjemahan lengkap dari edisi aslinya Persia Matsnawi-ye
Ma’nawi. Ada beberapa terjemahan tidak lengkap lainnya dalam bahasa Indonesia
seperti Semesta Matsnawi Jalaluddin Rumi dan Matsnawi yang diterbitkan Zaman,
grup penerbit Serambi. Beberapa terjemahan
atas karya-karya Rumi seperti Masnawi juga bukan terjemahan dari edisi aslinya,
Persia, namun dari edisi Inggris.
Di era modern dan pascamodern ini, reputasi dan pengaruh Rumi melampaui sekedar bidang sastra. Karena reputasi dan pengaruhnya itu dalam rangka memperingati 800 tahun kelahirannya, UNESCO, organisasi PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan menetapkan tahun 2007 sebagai Tahun Rumi Internasional. UNESCO menobatkan Rumi sebagai salah satu filsuf, pujangga besar, dan tokoh spiritual terbesar sepanjang masa yang dimiliki manusia karena pesan-pesannya tentang cinta, kemanusiaan, dan perdamaian. Dalam Catatan Penjelasan Medali UNESCO dalam Kehormatan Mawlana Jalal al-Din Rumi (Explanatory Note UNESCO Medal in Honour of Mawlana Jalal-Ud-Din Balkhi-Rumi) antara lain dikatakan, “He (Rumi) remains one of the greatest comprehensive thinkers and scholars of Islamic civilization. He addressed humanity as a whole…”(“Dia tetap menjadi salah satu pemikir dan cendekiawan komprehensif terbesar dalam peradaban Islam. Dia berbicara kepada umat manusia secara keseluruhan…”). Selanjutnya dalam Catatan itu dikatakan,
“Karena semangat, kejujuran, dan gambaran indahnya, tulisan-tulisan Mawlana telah menjadi sarana untuk berhubungan langsung dengan Tuhan. Karya-karyanya, pemikiran dan ajaran-ajarannya memberikan kesaksian tertinggi, dengan cara melampaui semua batas-batas nasional, budaya dan peradaban, terhadap misteri kebenaran ilahi…Daya tarik Mawlana yang sangat luas, pemikiran yang sangat maju, humanisme dan hati serta pikiran yang terbuka mungkin berasal dari karakternya yang benar-benar kosmopolitan, karena selama masa hidupnya beliau menikmati hubungan yang sangat baik dengan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial, budaya dan agama. Oleh karena itu, marilah kita menghormati Mawlana Jalal-ud-Din Balkhi-Rumi, salah satu humanis, filsuf dan penyair besar yang merupakan bagian dari umat manusia secara keseluruhan, dengan mengeluarkan Medali UNESCO..”
Rumi dan Eko-sufisme
Mari kita kutip syair Rumi yang oleh beberapa peneliti
diidentifikasi sebagai syair rohani yang relevan dengan kesadaran lingkungan.
Dalam syair yang berjudul, “Ratapan Seruling Bambu” bersenandung:
Sejak direnggut aku dari rumpunku dulu, ratapan pedihku telah membuat berlinang air-mata orang. Kuseu mereka yang tersayat hatinya karena perpisahan. Karena hanya mereka yang memahami sakitnya kerinduan ini. Mereka yang tercerabut dari rumpunnya merindukan saat mereka kembali. Dalam setiap pertemuan, bersama mereka yang tengah gembiran atau sedih, kudesahkan ratapan yang sama. Masing-masing orang hanya mendengar sesuai pengetahuannya
sendiri-sendiri. Taka da yang mencari lebih dalam tentang rahasia di dalam diriku. Rahasia tersembunyi dalam rintihanku. Mata-telinga tak bercahaya takkan mampu memahaminya. |
Rintihan seruling bersumber dari api, bukannya angina. Apa gunanya hidup seseorang yang tak lagi ada apinya? Api cinta yang menghidupkan nyanyian sang seruling adalah ragi cinta
yang mrembuat anggur terasa lezat. Lantunan seruling mengobati hati yang perih karena cinta yang hilang. Lagunya menyapu hijab yang menyelubungi hati. Adakah racun yang lebih pahit atau gula yang lebih manis daripada
nyanyian seruling bambu? Mesti kau tanggalkan semua hal yang pernah kau ketahui. (Lihat terjemahan “Nay Namih” (“The Tale of the Reed”) dalam R.A.
Nicolson, The Mathnawo of Jalaluddin
Rumi, vol. 2 (London: Luzac & Co. Ltd., 1926), 5-6). |
Munculnya kajian tentang gagasan eko-sufisme belakangan ini
barangkali sedikit memberi secercah harapan. Dengan menggali pemikiran para
Sufi tentang lingkungan dapat menjadi upaya bagaimana para sarjana merespons
secara positif krisis lingkungan yang terjadi saat ini dengan merujuk pada
pendekatan spiritual dengan menggali gagasan dan pemikiran para Sufi.
Pendekatan ini langsung ke horizon atau inti terdalam dimensi manusia, yaitu
dimensi spiritual. Upaya mengeksplorasi gagasan-gagasan para Sufi dalam
mengatasi krisis ekologi berarti menggali pemikiran mereka untuk meredefinisi
relasi Tuhan, manusia, dan alamnya. Spiritualitas seperti diajarkan para Sufi
mengajarkan keharmonisan dan kearifan. Manusia adalah ciptaan sekaligus hamba
dan khalifah Tuhan. Alam dan manusia adalah satu kesatuan. Tuhan hadir (imanen)
di alam dan manusia, pada tingkat spritualnya, menghadirkan Tuhan dalam
dirinya. Konsep kesatuan wujud (wahdat al-wujud) seperti yang diajarkan
sebagian Sufi seperti Ibn ‘Arabi, keliru jika dipahami sebagai sama dengan
ajaran panteisme, “Segala seuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu”.
Ajaran kesatuan wujud Ibn ‘Arabi ini harusnya lebih dipahami sebagai kehadiran
Tuhan di alam termasuk dalam diri manusia, bahwa segala sesuatu adalah
perwujudan atau bayangan Tuhan karena segala seuatu Dia yang menciptakan.
Mengutip sebuah hadis Nabi Saw.,
كنت
كنزاً لا أعرف، فأحببت أن أعرف فخلقت خلقاً فعرفتهم بي فعرفوني
Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk untuk memperkenalkanku
kepada mereka, maka merekapun mengenal-Ku. (Lihat
Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 3: 167; ‘Abd al-Karim al-Jili, Lisan
al-Qadr Binasim al-Sihr, 34 dan al-Sha’rani, al-Thabaqat al-Qubra, 309).
Hadis ini bisa ditafsirkan bahwa
karena Rahman dan Rahim-Nya Tuhan menciptakan manusia agar mereka mengenal-Nya
dan mengenal ciptaan lainnya: alam dan manusia. Tuhan adalah Zahir dan Batin,
Yang Nampak dan Yang Tersembunyi; alam termasuk manusia di dalamnya yang
merupakan perwujudan Sifat-sifat dan Nama-nama Tuhan itu terdiri dari dimensi
lahir dan batin. Menghadirkan Tuhan di alam berarti menjaga dan memeliharanya.
Di sinilah fungsi manusia sebagai Khalifah, tidak untuk mengeksploitasi alam
hingga merusaknya, melainkan memanfaatkan dan menjaganya. Dengan kesadaran
spiritual bahwa Tuhan hadir di alam ini, maka manusia menyadari bahwa merusak
alam berarti menyimpang dari tugasnya sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi. Alam adalah tajalli (teofani) Tuhan yang diciptakan
sebagai sarana mengetahui, mengenal dan makrifat kepada-Nya telah dirusaknya
yang dapat mengakibatkan bencana yang menimpa diri manusia sendiri. Tuhan
mengatakan bahwa misi Rasul (Islam) sebagai rahmat bagi segenap alam, dalam hal
ini termasuk menjaga dan melestarikan alam. Lihat Mochammad Lathif, “Eko-Sufisme dalam Pemikiran Ibn Arabi” (Universitas Gadjah Mada, 2018).
Ratapan seruling bambu yang terpisah dari
rumpunnya adalah ekspresi simbolis kesadaran spiritual yang bila dikaitkan
dengan kesadaran lingkungan, semua makhluk tidak ingin dipisahkan dari yang
dikasihinya. Seruling bambu semula berkumpul dengan sesamanya dalam rumpunnya,
lalu diambil dan dijadikan seruling dan bunyi seruling adalah rintihan karena
ia telah dipisahkan dari rumpunnya itu. Memanfaatkan apa yang ada di alam oleh
manusia seperti mengambil bambu untuk dijadikan seruling atau lainnya bisa saja
menyakitkan baginya, apalagi merusaknya. Puisi alegoris Rumi mengandung aspek
kedekatan nostalgia antara kekasih dan yang dikasihi. Kekasih dilambangkan
dengan seruling dan yang dikasihi adalah rumpunnya. Puisi ini dapat dipahami
sebagai media untuk menggambarkan metafora besar Rumi tentang pemisahan dan
persatuan (lihat Firoozeh Papan-Matin, “The Crisis of Identity in Rumi’s “Tale
of the Reed”).
Nosheen Ali dari New York University dalam
artikelnya, “The Reed Laments: Ecology in Muslim Thought” menyatakan bahwa
baginya, puisi Rumi lebih terasa eksploitasi daripada sekadar kisah cinta dan
lainnya, namun jiwa tetap tidak terlihat, tidak dikenali. memberikan kesaksian
mendalam tentang penderitaan alam. Dalam menyebabkan penderitaan alam, manusia
sendiri menjadi terpisah dari alam yang dicintainya, yang dirindukannya
memahami hubungan manusia-alam. Baginya,
dari perspektif kontemporer, puisi tersebut merupakan karya klasik pasca
ekologi politik humanis, suatu bentuk kritik anti-kapitalis yang memperlihatkan
keagenan abad ini, seperti juga karya besar lainnya dari Sufi Farid al-Din
Attar dan Ikhwan al-Shafa, dan dalam kasus Rumi, puisi, menawarkan cara untuk
membayangkan humaniora lingkungan baru.
Rachel Marian Knight-Messenger dalam
disertasi doktornya di University of St. Michael’s College 2020 berjudul,
“Mystical Theology and Ecological Theology: The Role of Nature Mysticism in
Building Ecological Theology and Ethics” mengkaji cara-cara teolog dan mistikus Pierre Teilhard
de Chardin dan Thomas Merton, berkontribusi dalam membangun teologi ekologi dan
etika ekologi yang menganggap serius tanggung jawab manusia atas penciptaan. Dalam
disertasinya itu diuraikan, meskipun dalam konteks Kristen, namun karena
mistisisme atau spiritualisme seperti dikatakan Annemarie Schimmel, “mengalir
dalam semua agama” (lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam,
2011). Bagi Rachel, teologi mistik menunjukkan bagaimana seorang mistikus
menjadi sadar akan kehadiran Tuhan di dalam kosmos dan bahwa kesadaran ini
kemudian memunculkan tidak hanya kesadaran mendalam akan kesakralan dan keterhubungan
seluruh ciptaan tetapi juga mengandung keharusan etis yang berupaya membangun etika
penciptaan. Terlebih lagi, karena mistisisme alam ini dapat menggunakan
kosmologi kosmogenesis, peluang untuk menyatukan hal-hal ini dalam teologi
ekologi dapat lebih luas lagi memperkuat etika ekologi. Seperti dikatakan
Rachel, ilmu kebatinan atau sufisme, dalam Islam, tentang alam adalah sesuatu
yang unggul sumber untuk membangun etika ekologis yang menganggap serius
tanggung jawab manusia dalam penciptaan.
Karena itu gagasan eko-Sufisme dalam
pemikiran Rumi, saya kira ada dalam agama lain. Dengan demikian, gagasan itu
universal. Gagasan para Sufi atau mistikus dalam agama lain dapat menjadi
gagasan universal dalam membangun etika
global (global ethics) seperti yang digagas Hans Kung, khususnya etika
lingkungan (lihat Hans Kung, Global
Responsibility: in Search of a New World Ethic (1993).
Dalam konsep sufi seorang pejalan spiritual
(salik) adalah khalifah dan ‘abd Allah yang mengemban amanah menjaga bumi ini
sebagai bentuk menjaga hubungan dengan Penciptanya, Karena itu, merusak amal
juga berarti merusak hubungannya dengan Allah (Suwito, 2017).
Gagasan eko-Sufisme khususnya dalam pemikiran
Rumi sesungguhnya bila ditelusuri akarnya berakar dari Alquran, tentu dengan
ekspresi khas Sufi. Alquran sendiri jelas memuat ajaran tentang spiritualitas
dan ekologi. Farhan Meyer dalam bukunya telah menyajikan prinsip-prinsip teologis
dan etika berbasis Alqur’an yang dapat diterapkan pada ekologi integral. Kajian
ini menyajikan pedoman Alqur’an yang jelas dan kuat yang dapat dijadikan acuan
umat Islam dalam menyikapi permasalahan etika, ekologi, dan lingkungan hidup
yang dihadapi saat ini. Kajian ini menghubungkan gagasan utama ensiklik ekologi
integral dengan beberapa konsep Islam, khususnya kesatuan yang saling
berhubungan antara seluruh ciptaan, hakikat Tuhan dan umat manusia, dan
prinsip-prinsip Alqur’an tentang belas kasihan, keseimbangan, keadilan, dan
moderasi (Lihat Farhan Meyer, F. Hamza, dan S. Rizvi, Anthology of Qur’anic Commentaries: On the Nature of the Divine
(Oxford, 2008).
Sebagai bukti bahwa Alquran berbicara tentang
lingkungan, cukup dua ayat tentangnya dikutip di sini. Allah berfirman dalam
al-Hijr ayat 19-20, “Dan kami telah
menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gununggunung dan kami tumbuhkan
padanya segala sesuatu yang menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu
di bumi keperluan-keperluan hidup. Dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk
yang kamu sekalikali bukan pemberi rezeki kepadanya.” Juga dalam Alquran Ar
Rum: 41, “Telah tampak kerusakan di darat
dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan
yang benar).”
Demikian pula hadis Nabi tentang pelestarian lingkungan seperti berikut ini: “Seseorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau binatang memakan sebagian dari padanya, melainkan apa yang dimakan itu merupakan sedekahnya.“ (H.R. Bukhari); “Janganlah seseorang dari kalian kencing di dalam air yang diam, yang tidak mengalir, kemudian mandi darinya.” Dan Nabi bersabda, “Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan menyayangi kalian..” (HR At Tirmidzi).
Kesimpulan
Jalal al-Din Rumi diakui sebagai Sufi terbesar sepanjang sejarah yang karya-karyanya telah banyak dikaji dalam berbagai topic termasuk tentang ekosufisme (eco-sufism). Konsep ini dibangun mealui penyatuan kesadaran antara kesadaran lingkungan dan kesadaran ketuhanan, bahwa kesadaran memanfaatkan, memelihara atau menjaga lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran rohani atau spiritualitas. Salah satu puisi Rumi yang relevan dengan topik eko-Sufisme adalah puisinya yang berjudul, “Rintihan Seruling Bambu”. Ratapan seruling bambu yang terpisah dari rumpunnya adalah ekspresi simbolis kesadaran spiritual yang bila dikaitkan dengan kesadaran lingkungan, semua makhluk tidak ingin dipisahkan dari yang dikasihinya. Seruling bambu semula berkumpul dengan sesamanya dalam rumpunnya, lalu diambil dan dijadikan seruling dan bunyi seruling adalah rintihan karena ia telah dipisahkan dari rumpunnya itu. Memanfaatkan apa yang ada di alam oleh manusia seperti mengambil bambu untuk dijadikan seruling atau lainnya bisa saja menyakitkan baginya, apalagi merusaknya. Puisi alegoris Rumi mengandung aspek kedekatan nostalgia antara kekasih dan yang dikasihi. Kekasih dilambangkan dengan seruling dan yang dikasihi adalah rumpunnya, gagasan tentang kebahagiaan persatuan dan penderitaan peripisahan yang belakangan ini banyak dikaji dalam kaitan dengan kesatuan Tuhan dan alam tempat hidup manusia. Puisi Rumi ini menawarkan cara untuk membayangkan humaniora lingkungan baru. Sufisme yang ajarannya mengalir dalam semua agama, yang karenanya ada banyak titik temu dengan tradisi mistik agama lain termasuk dalam konteks bagaimana spiritualitas seperti merasakan kehadiran Tuhan, kesatuan Tuhan, alam dan manusia. Hal ini dapat memberikan kontribusi dalam membangun etika lingkungan global. Gagasan Rumi dan Sufi lainnya jelas berakar dari Alquran dan Hadis Nabi Saw. Banyak ayat dan hadis Nabi yang menjagarkan agar manusia mengolah dan menjaga lingkungan, serta mencegahnya dari kerusakan.
Referensi
al-Jili, ‘Abd al-Karim, Lisan
al-Qadr Binasim al-Sihr.
Ali, Nosheen. “The Reed Laments: Ecology in
Muslim Thought”, https://ansari.nd.edu/assets/399577/ali_paper.pdf
al-Sha’rani, al-Thabaqat al-Qubra.
Explanatory Note UNESCO
Medal in Honour of Mawlana Jalal-Ud-Din Balkhi-Rumi, https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000147319.
Firoozeh Papan-Matin, “The Crisis of Identity
in Rumi’s “Tale of the Reed”).
Ibn ‘Arabi, al-Futuhat
al-Makkiyah, jilid 3.
Nicholson, R.A. terjemahan “Nay Namih” (“The
Tale of the Reed”) dalam R.A. Nicolson, The
Mathnawo of Jalaluddin Rumi, vol. 2. London: Luzac & Co. Ltd., 1926.
Kung, Hans. Global Responsibility: in Search of a New World Ethic. Crossroad Publishing Company, 1993
Lathif, Mochammad. “Eko-Sufisme dalam Pemikiran Ibn Arabi” . Universitas Gadjah Mada, 2018.
Meyer, Farhan, F. Hamza, dan S. Rizvi. Anthology of Qur’anic Commentaries: On the
Nature of the Divine. Oxford University Press, 2008.
Rachel Marian Knight-Messenger, “Mystical Theology and Ecological Theology:
The Role of Nature Mysticism in Building Ecological Theology and Ethics”,
Disertasi Doktor University of St. Michael’s College 2020.
Rumi, Jalal al-Din, The Mathnawi of
Jalaluddin Rumi, terj. R.A. Nicholson. Cambridge: Gibb Memorial Trust, 1990.
Schimmel, Annemarie. “Rumi: Sufi mystic and
poet” dalam Encylopaedia Britanica, https://www.britannica.com/biography/Rumi.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. The University of North Carolina
Press, 2011.
Komentar
Posting Komentar