Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Agama[1]
Cak Yo
Abstract: Ada beberapa pendekatan dalam studi agama, salah satunya adalah pendekatan fenomenologis (phenomenological approach). Menurut Bleeker, pendekatan fenomenologis terhadap agama adalah studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macama agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya. Artikel ini akan membahas mengenai beberapa persoalan: Mengapa dibutuhkan pendekatan fenomenologis? Apakah pendekatan fenomenologis itu? Bagaimana perkembangan historis pendekatan fenomenologis? Apa saja karakteristik dasar pendekatan fenomenologis? dan bagaimana problem dan perdebatan pendekatan fenomenologis di kalangan para pengkaji agama?. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif dan analisis. Karena merupakan resume, maka sumber utama artikel ini adalah karya Cilve Erricker, “Phenomenological Approaches” dalam Peter Connolly (Ed.), Approaches to the Study of Religion. Artikel ini juga didukung oleh referensi lain yang digali dari berbagai buku dan artikel ilmiah yang relevan dengan tema resume ini.
Pengantar
Mengapa
dibutuhkan pendekatan dalam studi-studi keagamaan? Pendekatan dalam studi-studi
keagamaan dibutuhkan oleh karena munculnya kesulitan dalam memahami agama (understanding religion). Kesulitan
dalam memahami agama sebagaimana diakui para pengkaji agama, dimulai dengan
kesulitan mendefinisikan agama itu sendiri. Sampai saat ini belum ada definisi
agama yang diterima secara universal. Dalam Living Issus
in Philosophy, Titus, Smith, dan Nolan (1999) mengatakan bahwa agama tidak mudah diberi definisi atau dilukiskan,
karena agama mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam di antara suku-suku
dan bangsa-bangsa di dunia. Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena
agama menekankan keterlibatan pribadi.
Alasan lain dibutuhkannya pendekatan
studi agama adalah munculnya para pemikir dari berbagai disiplin ilmu yang
menaruh minat pada studi-studi agama.
Semakin
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan telah menjadikan berbagai pendekatan
ilmu pengetahuan dalam mengkaji agama. Dengan pendekatan science positif, agama tidak lagi merupakan wilayah yang “haram”
dikaji dengan alasan menjaga sakralitas agama, melainkan menjadi wilayah yang
bebas untuk dijamah sebagai objek kajian ilmiah dengan pendekatan berbagai
disiplin ilmu. Maka kemudian muncullah berbagai pendekatan sains dalam kajian
agama, selain pendekatan teologis yang normatif dan pendekatan filosofis yang
spekulatif. Berbagai pedekatan tersebut adalah pendekatan sosiologis,
pendekatan antropologis, pendekatan psikologis, pendekatan historis, pendekatan
hukum, dan seterusnya.
Pendekatan
sosiologis melahirkan sosiologi agama, yang dalam rumusan secara luas
sebagaimana dikemukakan J. Wach dalam
Sociology of Religion (1943) sebagai “suatu studi tentang inter-relasi dari
agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara mereka”.
Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelembagaan
agama mempengaruhi, dan sebaliknya dipengaruhi, oleh kekuatan-kekuatan sosial,
organisasi dan stratifikasi sosial adalah tepat. Jadi, seorang sosiolog agama
bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan dan
pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi
mereka. Kelompok-kelompok terhadap
agama, fungsi-fungsi ibadah untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga
keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi
langsung maupun tak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat, dan
sebagainya, termasuk bidang penelitian sosiologi agama (Mariasusai Dhavamony,
2003, 22).
Dalam
perspektif sosiologi, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial. Para
sosiolog mengkaji praktik-praktik keagamaan untuk membuktikan hubungannya
dengan institusi, struktur, ideologi, kelas, dan perbedaan kelompok yang
dengannya masyarakat terbentuk (Michael S. Northcott, 1999). Agama sebagai
gejala sosial dapat berfungsi dalam membangun solideritas sosial dan
berpengaruh terhadap perubahan sosial (Emile Durkheim, 1961).
Walaupun
diakui penting dan kontribusinya, pendekatan sosiologi bukan berarti tidak
mengandung kelemahan. Pertama, dia
tidak lagi memainkan peranan atau tidak lagi ambil bagian dalam sebagian besar
perdebatan teoretis sosiologi modern. Sosiologi hanya menjadi “pemeran figuran”
dalam perdebatan kontemporer yang dikemukakan oleh Althusser, Nico Poulantzas,
Barry Hindess, Paul Q. Hisrt, Jurgen Hubermas, Braudel dan Ladurie. Kedua, sosiologi agama modern terlalu
terfokus pada subjektivitas pelaku sosial yang nampak dalam analisis mereka
tentang keyakinan religius, pandangan hidup, dan sebagainya. Dengan fokus pada
persoalan tersebut sosiologi seolah-olah hanya tercurah pada dimensi kognitif
tindakan religius, sedangkan ritual dan praktek religius diletakkan pada tempat
kedua. Ketiga, fokus empiris
sosiologi agama selama ini adalah Barat sentris. Pada prakteknya, sosiologi
agama adalah sosiologi Kristianitas (Bryan S. Turner, 1991).
Pendekatan
lain dalam studi agama adalah pendekatan antropologis. E. Evans-Pitchard
merumuskan bahwa antropologi sebagai salah satu cabang dari penyelidikan
sosiologi, yang mengkhususkan diri terhadap masyarakat primitif. Jadi,
antropologi-sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan,
tindakan dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakatsebelum menegal tulisan, yang
menunjuk pada apa yang dianggap suci dan
supernatural. (Mariasusai Dhavamony, 2003:22).
Menurut
Akbar S. Ahmad, antropologi adalah ilmu yang didasarkan atas observasi yang
luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan mentralkan
nilai, analisis yang tenang (tidak memihak) (Baharun, 2011:232). Sedangkan
pendekatan antropologi menurut Abudin Nata (2011:35) dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat (Siti Sa’dah, 2012).
Pendekatan
antropologis memiliki keterbatasan, yakni sebagaimana diakui oleh para
antropolog, bahwa pendekatan ini menganalisis agama hanya dari satu dimensi (yaitu
dimensi kultural dari fenomena agama), sedangkan dimensi lainnya harus
dianalisis oleh bidang penyelidikan lain, dengan teknik yang berbeda, dan
mungkin, bahkan harus memeriksa jenis data yang lain pula (Mariasusai
Dhavamony, 2003:23).
Bila
sosiologi dan antropologi mengkaji manusia pada aspek perilaku dan
gejala-gejala sosial termasuk perilaku keagamaannya, maka psikologi mengkaji
manusia pada individu atau psikenya. Pendekatan psikologis dalam kajian agama
melakukan pendekatan mengenai peran religius dari budi. Wilayah utama kajian
dengan pendekatan psikologi adalah pengalaman keagamaan (religous experience).
Psikologi
mempelajari reaksi-reaksi dari psike manusia, tanggapan-tanggapan yang
diberikannya, yang besifat kolektif ataupun individual—tanpa peduli bagaimana
kenyataan itu dilukiskan dan dialami—yang menjadi sumber dari semua pengalaman
agama maupun kepuasan akhir yang dirindukan oleh jiwa manusia (Mariasusai Dhavamony, 2003:23).
Pendekatan
ini sebagaimana ciri pendekatan science
hanya menekankan pada satu dimensi saja yaitu dimensi kejiwaan sebagaimana yang
terjadi dalam pendekatan sosiologi dan antropologi yang hanya dari dimensi
sosialnya. Pendekatan psikologi, sosiologis, antropologis, juga ilmu sosial
lainnya juga hanya berada pada wilayah permukaan yang dangkal karenanya tidak
menusuk ke wilayah paling dasar dan esensial entitas agama. Ada pendekatan lain
yang diklaim masuk ke wilayah paling dalam, paling dasar dan esensial, yaitu
pendekatan filsafat.
Pendekatan
filosofis sebagaimana ciri pemikiran filsafat: sistematis, kritis, sampai ke
akar-akarnya, maka pendekatan sistematis terhadap agama menggunakan metode
filsafat secara sistematis, kritis dan radikal. Pendekatan filsafat juga
menempatkan akal sebagai panglima dalam penyelidikan terhadap hakikat agama,
pengalaman dan pengungkapan agama. Pendekatan filsafat berbeda dengan
pendekatan teologis, yang menilai validitas agama dalam sinaran cahaya iman.
Pendekatan teologis tidak dapat melepaskan dari otoritas wahyu. Dalam
pendekatan teologis, walaupun rasio digunakan untuk menafsirkan suatu teks suci
(wahyu) dengan batas-batas tertentu dan otoritasnya ditempatkan di bawah iman.
Karenanya, pendekatan teologis merupakan pendekatan normatif. Bila semua pendekatan di atas memiliki
wilayah kajiannya sendiri-sendiri dengan kelebihan dan kekurangannya, lalu apa
signifikansi pendekatan fenomenologis dan bagaimana pendekatan ini digunakan
dalam kajian agama?
Signifikansi
Pendekatan Fenomenologis
Clive
Erricker dalam Peter Connolly (1999) ketika memulai pembahasan tentang
pendekatan fenomenologis mengatakan bahwa dalam kaitan dengan studi agama,
makna istilah fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Clive juga
memperingatkan agar memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan
faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenoenologis terhadap agama. Clive
mengakui, bila dibandingkan dengan disiplin-displin dan pendekatan lain yang
memberikan pemahaman tentang subjek (agama) kepada kita, pendekatan
fenomenologi berperan dengan cara yang khas.
Mengapa
mesti ada pendekatan fenomenologis padahal sudah banyak pendekatan lain dalam
studi agama? Sebagaimana pendekatan lain yang memiliki batas-batas sendiri,
kualifikasi sendiri, kriteria sendiri, karakteristik sendri, maka demikian pula
dengan pendekatan fenomenologis. Dengan kata lain, setiap pendekatan memiliki
kekhasannya masing-masing dalam menjelaskan agama, maka pendekatan fenomenologi
pun berperan dengan cara yang khas pula. Revolusi sains telah berpengaruh
terhadap kajian agama di mana agama yang sebelumnya merupakan wilayah belantara
yang masih jarang dijadikan objek kajian, kemudian agama menjadi objek kajian
dengan pendekatan berbagai disiplin ilmu.
Menurut
Clive dalam Peter Connolly (1999), bersamaan dengan munculnya lapangan-lapangan
“studi ilmiah itu dan dipengaruhi oleh gerakan-gerakan baru dalam pemikiran
filsafat, fenomenologi lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu
metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.
Dengan melacak perkembangan sejarah pendekatan fenomenologis, maka kita akan
mendapatkan petunjuk lebih jauh mengenai signifikansi pendekatan ini.
Pengertian
Pendekatan Fenomenologis
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani, “phainein,” yang berarti “memperlihatkan,”yang dari
kata ini muncul kata ‘phainemenon” yang
berarti “sesuatu yang muncul.” Arti lainnya, fenomenologi dianggap sebagai
“kembali kepada benda itu sendiri” (back
to the things themselves). Istilah ini diduga pertama kali diperkenalkan
oleh seorang filosof Jerman, Edmund Husserl. Namun, menurut Kockelmas, istilah
fenomenologi digunakan pertama kali pada tahun 1765 dalam filsafat dan
kadang-kadang disebut pula dalam tulisan-tulisannya Kant, namun hanya melalui
Hegel makna teknis yang didefinisikan dengan baik tersebut dibangun (Rusli,
2008:141).
Hegel
mendefinisikan fenomenologi sebagai “pengetahuan sebagaimana penge-tahuan
tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran” (“knowledge as it appears to consciousness”). Selain itu
fenomenologi juga dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang
penggambaran apa yang dilihat oleh sese-orang, apa yang dirasakan dan
diketahuinya dalam immediate awareness
and experience-nya. Penekanan pada proses penggambaran ini membawakita
kepada upaya mengungkapkan “phenomenal consciousness” (kesadaran fenomenal,
kesadaran mengenai fenomena) melalui ilmu pengetahuan dan filsafat, menuju ke “ the absolute knowledge of the absolute.”
(Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2012:271).
Dalam
arti sempit, fenomenologi adalah ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita. Dalam arti luas, fenomenologi adalah ilmu tentang
fenomen-fenomen atau apa saja yang tampak. Fenomenologi merupakan sebuah
pendekatan filsafat yang memusatkan diri pada analisis terhadap gejala yang
membanjiri kesadaran manusia (Bagus, 2000: 234).
Fenomenologi
dalam pandangan filsuf sebelum Husserl mempunyai beragam pandangan: Pertama,
J.H. Lambert adalah tokoh pertama yang menggunakannya untuk menyatakan teori
penampakan. Kedua, Immanuel Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan Metaphysical Principles of Natural Science sebagai
Phenomenology. Kant mengatakan bahwa
fenomena adalah bagian dari nomena. Logika berpikir ini dipakai Kant untuk
mengatasi kekacauan pemikiran yang mencampuradukkan antara obyek dari rasio
murni dan obyek dari rasio praktis. Ketiga, Hegel dalam Phenomenology of the Spirit menggunakanya untuk merinci tahap-tahap
yang meningkatkan manusia Barat pada akal budi universal. Keempat, William Hamilton
memerlukan fenomenologi empiris tentang roh manusia sebagai titik berangkat
pengatahuan obyektif (Bagus, 2000: 235).
James
L. Cox sebagaimana dikutip Rusli (2008) dari M. Amin Abdullah (2006) mendefinisikan
fenomenologi agama sebagai berikut:
A
method adapting the procedures of epoché (suspension of previous judgments) and
eidetic intuition (seeing into the meaning of religion) to the study of the
varied of symbollic expressions of that which people appropriately respond to
as being unrestricted value for them.
[Sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoché(penundaan
penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam makna
agama) dengan kajian terhadap beragam ekspresi simbolik yang direspons oleh
orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka] (M. Amin Abdullah,
2006:33; Rusli, 2008;145).
Perkembangan
Historis Pendekatan Fenomenologis
Dalam
perspektif fenomenolog studi agama harus dikaji secara serius dengan cara
ilmiah agar dicapai pemahaman positif terhadap kemanusian. pada mulanya
pendekatan fenomenologi merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren
bagi studi agama.
Hegel
(1806) mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen)
dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (erschinungen). Antara esensi dan
manifestasi ini dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda. Suatu realitas
transenden yang tidak terpisah tetapi dapat dilihat dalam dunia, juga bagian
dari agama yang dijadikan kajian sebagai konstribusi kepada pengetahuan
‘ilmiah’ (Peter Connolly (Ed.), 1999).
Beberapa
tokoh yang memiliki keterkaitan dengan pendekatan fenomenologis antara lain;
jacques wandenberg 1973, melakukan pendetan yang irrasional dengan rasional
atau empiris. Mircea Eliade (1958), secara umum tipologi agama berdasar pada
praktik-praktik , mite dan keyakinan yang ditunjukkan oleh agama-agama yang
berbeda. Pierre Daniel Chantepie de la Sussaye lahir tahun 1848, concern utamanya adalah klasifikasi
agama secara sistematik. Salah seorang yang pertama memahami fenomenologi agama
sebagai disiplin ilmiah (Peter Connolly (Ed.), 1999).
William
Brede Kristensen (1960), melakukan pengelompokan secara sistematik tentang
karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenomenologi
hendak mengungkapkan elemen—elemen esensial dan tipikal dari agama. Ini adalah
deskriptif bukan interpretatif. Krisrensen juga menegaskan tentang pentingnya
memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman, suatu prinsip yang
menjadi aksioma dalam studi-studi fenomenologi selanjutnya (Peter Connolly
(Ed.), 1999).
Rudolf Otto (1923), memecahkan beberapa persoalan dasar yang mengganggu pendekatan fenomenologis. Menurut otto, bagaimanapun dalam pengalaman keagamaan subjektifitas menjadi dasar studi objektifitas. Dia menyebutkan eksistensi numen (yang suci) harus ditetapkan sebagai sesuatu kategori sue generis (hanya dipahami dalam pengertian istilahnya sendiri), meskipun tidak sesuai dengan kriteria rasional, karena ia tetap tak terkatakan (Peter Connolly (Ed.), 1999).
Karakteristik
dasar pendekatan fenomenologis
Dalam
buku ini fenomenolog dibagi kedalam dua kategori yaitu; Pertama, terdapat fenomenolog
yang concern melaksanakan suatu kajian agama secara deskriptif. Tujuannya
mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena. Antara lain William
James (1902), dia mendasarkan pada studi-studi psikologis individual tentang
suatu watak deskriptif dan merumuskan kesimpulan-kesimpulan filosofis sesuai
dengan posisinya sebagai seorang pragmatis. Ninian Smart (1969), memfokuskan perhatiannya pada
perkembangan organik agama dalam sejarah manusia, yang disatu sisi dicirikan
dengan tradisi dan istitusinya dan dimensi agama disisi lain (Peter Connolly
(Ed.), 1999).
Wilfred
Cantwell Smith (1978), dia membedakan dua wilayah penelitian; keyakinan tentang
orang beriman individual dan tradisi-tradisi komulatif, yang didalamnya
keyakinan itu muncul. Penelitian tentang saling hubungan (inter-relationship) antara dua aspek agama itulah yang memberikan
pemahaman memadai mengenai fenomena agama secara utuh. Tujuan C. Smith ingin
menunjukkan bahwa studi agama sangat kompleks dan beragam, dan tidak dapat direduksi
pada suatu abstraksi konseptual pikiran peneliti (Peter Connolly (Ed.), 1999).
Kedua,
fenomenolog yang menarik suatu teori interpretasi dari disipilin lain yang
menetapkan bagaimana melaksanakan studi agama dalam suatu cara nonteologis. Dia
akan memulai dari suatu tipologi yang disandarkan dari dasar teoritis, tidak
hanya terlibat dalam mengidentifikasi serangkaian fenomena tetapi membenarkan
signifikansinya tetapi dengan melihat nilai pentingnya bagi kebermaknaan
manusia (Peter Connolly (Ed.), 1999).
Perdebatan
Para Ahli
Sejumlah
kritik terhadap fenomenologi. Salah satu kritik Tworuscha menyatakan bahwa para
fenomenolog agama klasik seperti Gerardus, Van der Leeuw, Gustave Mensching, F.
Heiler, Mircea Eliade dan Kurt Goldammer tertarik pada figur-figur keagamaan
penting, otoritas-otoritas besar agama seperti para pendiri agama, nabi,
mistikus, teolog dan meminggirkan orang-orang biasa. Padahal sejarah agama
sangat membutuhkan hubungan dunia sosio-historis, hubungan dengan akar rumput,
dan kajian problem sehari-hari. Kata Tworuscha, sejarah agama-agama seharusnya
memiliki perhatian yang lebih besar terhadap manusia biasa dan lingkungan
mereka (Peter Connolly (Ed.), 1999).
Tworuscha
berpandangan perlunya konsentrasi pada sejarah oral daripada sejarah tertulis
dan fungsi-fungsi primer dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, objek
studi lebih ditekankan pada pengalaman interkultural, bukan saja pengalaman
keagamaan (regious experience) orang-orang besar sebagaimana yang diteliti
William James (1902).
Kritik
Jacson bahwa fenomenologi telah gagal menyiapkan perangkat-perangkat untuk
menafsirkan pandangan dunia orang lain dengan sedikit distorsi. Kritiknya ini
menyebabkan Jacson beralih ke pendekatan antropologi Clifford Gertz dan kritik
kultural Edward Said. Said dan Geertz menekankan perlunya menemukan fenomena yang
sesungguhnya, khususnya dengan menemui mereka yang termasuk subjek penelitian
sebelum mulai melakukan klasifikasi. Baik Said maupun Geertz menagskan keniscayaan
dekosntruksi secara analisis terhadap wacana-wacana kultural peneliti agar
dapat mengidentifikasi praanggapan inheren dan tidak tersadari (Peter Connolly
(Ed.), 1999).
Fenomenologi
sebagai gerakan filosofis berkembang dan tunduk di bawah dua filosuf besar
Husserl dan Heidegger yang pengaruhnya dalam perkembangan eksistensialisme,
strukturalisme Levi Strauss, posmodernisme dan dekonstruksi mendapatkan
momentum di Eropa dan tidak ada yang setara dengannya di dunia Anglo Saxon (Peter
Connolly (Ed.), 1999).
Fenomenologi
era posmodern tidak dapat meninggalkan begitu saja dua pemikir besar Perancis
Derrida dan Lyotard. Relasi kuasa dan pengetahuan (power and knowledge) yang menjadi salah satu tesis utama Michel
Foucault ditegaskan kembali oleh Derrida dan Lyotard bahwa “perselingkuhan”
kekuasaan dalam bentuk imprealisme dan kolonialisme dengan pengetahuan yang
dibungkus oleh orientalisme yang ditunjukkan secara kasat mata dengan adanya
hegemoni dan dominasi budaya, ideologi, pengetahuan Barat yang dipaksakan ada the other (yang lain). Bagi Lyotard yang
mendefinsikan posmodern sebagai keraguan terhadap meta-naratif. Meta-naratif
yang diartikan dengan teori-teori dan konstruk dunia yang serba mencakup)
adalah bagian dari modernitas dengan klaim kebenaran objektif sebagai ukuran
pengetahuan termasuk dalam ilmu agama. Agama yang normatif dengan doktrin yang
serba abstrak telah menjadi wilayah kajian ilmu yang karenanya agama mengalami
objektifikasi. Kebenaran agama diukur menurut standar objektifitas ilmu pengetahuan.
Kata Lyotard, ini hanyalah pemainan dan merupakan bentuk imprealisme kultural
yang datang dari peradaban Barat untuk
mendominasi naratif-naratif yang lain (the
other). Pikiran ilmiah tentang objektifitas seperti ini, menurut Lyotard, harus
dibongkar, yaitu dengan membiarkan naratif-naratif yang lain berbicara untuk
mereka sendiri. Upaya ini akan menghasilkan karya-karya ilmiah yang bukan
sekedar tiruan atau jiplakan dari realitas luar, melainkan untuk menghasilkan enonces (pernyataan-pernyataan ilmiah
yang baru dan hangat), membuat anda memiliki ide-ide baru, kata Lyotard. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan tidak bertujuan melahirkan para pemikir yang “pandai
membeo” kepada Barat, tetapi akan melahirkan para pemikir dari dunia yang lain (the other) yang memiliki ide-ide baru
yang orisinal walaupun berbeda dengan ide-ide Barat.
Gugatan
terhadap hegemoni kuasa dan pengetahuan Barat juga datang dari Habermas dan
Rorty. Keduanya menekankan pada pentingnya mempertahankan suatu komunikasi agar
wacana akademik dapat terus berlangsung. Khusus bagi Rorty, gagasannya adalah
agar dalam menemukan kebenaran menggunakan metode yang berbeda dan pemahaman
yang sempurna tidak dicapai dengan satu metode. Meski demikian, Rorty
menyatakan bahwa kita dapat mempertimbangkan keefektifan suatu penelitian dalam
mencapai tujuannya dan juga mengakui nilai perbandingan dan kesalingterkaitan
dari tipe penelitian yang berbeda-beda (Peter Connolly, 1999).
Kritik
lain ditujukan kepada fenomenologi di mana fenomenologi telah menimbulkan
terjadinya pendistorsian tujuan studi agama untuk memahami subjek
penelitiannya, dengan secara implisit mengambil suatu pendirian agnostik dalam
kaitan dengan watak pengetahuan atau realitas. Adalah John Bowker dalam The Sense of God (1973) dan The Religious Imagination and the Sense of
God (1978) yang menyampaikan nada kritik tersebut. Penelitian penemonologi
yang mengharuskan agar anggapan teolog dan orang beriman diletakkan dalam tanda
kurung maka dunia yang dikaji merupakan dunia yang berbeda dari dunia teolog
dan orang beriman. Objektivitas atau netralitas fenomenolog, berdasar
penelitian yang cermat, merupakan suatu keputusan yang berlawanan dengan worldview keagamaan.
Pendirian
Bowker didukung oleh kesimpulan penelitian David Hay yang didasarkan pada
studi-studi sebelumnya yang dilakukan William James dan G. Stanley Hall. Dalam
karyanya Exploring Inner Space, Hay
memaparkan hasil-hasil penelitiannya tentang pengalaman keagamaan kontemporer
dan meskipun mengakui keterbatasa-keterbatasan bukti yang tersedia, dia
menunjukkan nilai pentingnya. Kesimpulan Hay antara lain bahwa permulaan
pengalaman religius menunjukkan bahwa kesadaran religius (religious conciousness) mungkin natural bagi spesies-spesies dan
berkembang melalui seleksi alam. Hay berupaya menjustifikasi keberadaan Tuhan
berlandaskan dasar-dasar biologis yang sebelumnya dikemukakan oleh Hardy.
Kritik
terhadap pendekatan fenomenologi juga disampaikan oleh Donald Wiebe. Clive
Erricker mengemukakan alasan kritik Wiebe itu dengan mengatakan:
“Wiebe argues that an alternative paradigm for the study of religion is required. He criticizes that phenomenological approach for its relativism. It falls down because it is uncritical in the way it discerns its subject of study and in the way in which it is content to allow different “truths” to be possible (Peter Connolly (ed.), 1999:100) (Wiebe berpendapat bahwa diperlukan paradigma alternatif dalam studi agama. Dia mengkritik pendekatan fenomenologi karena relatifismenya. Lebih jauh bahkan Webe menilai bahwa pendekatan fenomenologis gagal karena ia tidak kritis bagaimana ia melihat subjek penelitiannya dan bagaimana muatan-muatannya memungkinkan “kebenaran” yang berbeda-beda).
Kesimpulan
Perkembangan
yang pesat dalam ilmu pengetahuan positif sebagai akibat dari pengaruh
Pencerahan (Enlightenment),
berpengaruh terhadap studi agama dengan munculnya banyak pendekatan studi agama
yang menggunakan pendekatan sains. Berbagai pendekatan baik sosiologis,
antropologis, psikologis, dan sebagainya, memiliki wilayah dan metodenya
sendiri. Setiap pendekatan jelas memiliki keterbatasan-keterbatasan dan
dimensinya sendiri-sendiri yang menujukkan bahwa tidak ada pendekatan yang
paling unggul atau paling ampuh dalam menemukan “kebenaran”. Pendekatan
fenomenologis dalam kajian agama menuntut peneliti untuk meletakkan
keyakinannya dan keyakinan para teolog dan orang beriman dalam” tanda kurung”
demi mencari penampakan objektif realitas dan esensi agama.
Beberapa
karakteristik fenomenologi dikemukakan Joachim Wach, The
Comparative Study of Religion (1999:9) sebagaimana dikutip Rusli (2008) adalah
sebagai berikut: (1) Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk
menggambarkan watak fenomena, cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan
struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia; (2). Antireduksionisme.
Pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari
menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas
dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih
akurat tentang pengalaman ini; (3). Intensionalitas. Cara menggambarkan
bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi,
dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenolog perlu memperhatikan
struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-struktur intensional
dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan; (4) Pengurungan (epoché). Diartikan sebagai penundaan
penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian
yang didasari pada pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat
mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur
dasarnya; (5) Eidetic vision. Adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang
esensi, seringkali dideskripsikan juga sebagai
eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”.
Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness)
dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang
memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.
Pendekatan
fenomenologis dalam studi agama telah mengundang kritik dari para ahli.
Beberapa kritik antara lain ditujukan kepada fenomenologi klasik yang memandang
bahwa objek studinya hanya berurusan dengan otoritas besar (great otorities) pada masing-masing tradisi dan kurang perhatian terhadap
manusia biasa dan lingkungannya serta problem sehari-hari (Peter Connolly, 1999:91).
Pendekatan fenomenologis juga dipandang
bermuatan agenda hegemoni. Metode yang menekankan pada objektivitas dan klaim
kebenaran disinyalir merupakan upaya pemaksaan terhadap yang lain (the other),
yang semestinya juga diberi kesempatan untuk melahirkan ide-idenya sendiri,
bukannya dipenjara dengan penjara metodologi ala Barat yang hegemonik. Karena
itu penggunaan metode yang berbeda-beda untuk tujuan penelitian yang berbeda
mesti dibuka selebar-lebarnya. Ketika berkaitan dengan pengalaman agama,
pendekatan fenomenologi yang cenderung agnostik dan mengingkari eksistensi
pengalaman agama, penelitian David Hay menunjukkan bahwa pengalaman agama
diakui nilai pentingnya. Diperlukannya pendekatan alternatif dalam kajian
agama, disebabkan relatofisme pendekatan fenomenologis.
Kritik-kritik terhadap pendekatan fenomenologi tidak berarti tidak mengakui peran dan kontribusinya dalam studi agama. Sebagaimana sebuah pendekatan tentu tidaklah ada yang sempurna. Setiap peneliti hendaknya memahami dan memaklumi kekurangan-kekurangannya tanpa mengabaikan manfaatnya.
Referensi
Abdullah, M.
Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2000.
Abdullah, M.
Amin. Metodologi Studi Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Bagus, Lorens.
Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
Cox, James L. A Guide to the Phenomenology of Religion:
Key Figures, Formative
Influences and Subsequent Debates. New York: T & T Clark International, 2006.
Dhavamony, Mariasusai.
Fenomenologi Agama, Yogyakarta:
Kanisius. 2003.
Erricker,
Clive. “Phenomenological Approaches” dalam Peter Connolly (ed), Approaches to
the Study of Religion.New York: Cassel, 1999.
Erricker,
Clive. “Pendekatan Fenomenologi” Dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama,
Yogyakarta: LkiS, 2011.
Putra, Heddy Shri Ahimsa, “Fenomenologi Agama:
Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami
Agama” dalam Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012
Rusli,
“Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama: Konsep Kritik dan Aplikasinya”
dalam ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008.
[1] Artikel
ini adalah resume karya Cilve Erricker, “Phenomenological Approaches” dalam
Peter Connolly (ed.),
Approaches to the
Study of Religion. Dalam versi terjemahan Bahasa Indonesinya, Aneka Pendekatan Studi Agama,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), Cet. III, hlm. 105-146..
Komentar
Posting Komentar