Menyingkap Perjalanan Spiritual dan Ajaran Pendiri Tarekat Tijânîyah


Cak Yo

Pengantar

Udara sore itu terasa menusuk, sisa-sisa hujan yang mengguyur sejak siang menyelimuti kampung dalam dingin yang menggelayuti. Dari jendela, pemandangan samar terlihat di luar, tertutup oleh cipratan air hujan yang melekat di kaca. Aku menyalakan lampu  di sudut ruang, cahayanya tidak terlalu terang namun cukup hangat. Di atas meja, kitab Jawâhir al-Ma'ânî wa Bulūgh al-Amānī fī Fayḍ Sayyidī Abī al-ʿAbbās al-Tijānī terbuka, menyuguhkan lebih dari 400 halaman dengan aksara Arab tidak berharkat yang memikat dan seakan menyimpan misteri. Aku membacanya lembar demi lembar mulai dari judul pada jilidnya, lalu pengantar yang cukup panjang, dan lembaran-lembaran berikutnya.

Kitab karya al-‘Allamah Sidi Ali Harazem Ibnu al-‘Arabi al-Fasi ini seolah memiliki kehidupan tersendiri. Diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah di Beirut (1997/1417) setiap lembarannya mengisahkan tentang sosok Sidi Abu al-‘Abbas al-Tijani, pendiri Tarekat Tijaniyah yang penuh dengan pancaran ketenangan dan ilmu batin. Membaca baris demi baris, terasakan kehadiran seorang sufi besar yang menempuh jalan ruhani dengan keteguhan hati dan ketulusan mendalam. Perjalanan hidup, ajaran, hingga kepribadiannya dilukiskan dengan begitu detail—membawa siapa pun yang membacanya seolah turut menyusuri jalanan berbatu, lorong-lorong waktu yang penuh kisah dan keajaiban.

Seiring waktu berjalan, suara hujan mulai mereda, namun keheningan yang tersisa justru semakin memperkuat suasana batin. Kitab ini menjadi jendela, membukakan tirai kehidupan seorang arif, dan di tengah kesunyian sore itu, aku pun terserap dalam renungan akan jalan tasawuf yang penuh makna, yang dipaparkan al-Fasi dengan begitu indah dan menyejukkan.
Kitab Jawâhir al-Ma'ânî wa Bulūgh al-Amānī fī Fayḍ Sayyidī Abī al-ʿAbbās al-Tijānī tidak hanya menawarkan pandangan mendalam tentang sufisme, tetapi juga menjadi panduan spiritual bagi umat Islam yang ingin meniti jalan menuju kedekatan dengan Allah.

Dalam pengantarnya, Sidi Ali Harazem Ibnu al-‘Arabi al-Fasi memuji kebesaran Allah dan mempersembahkan kitab ini untuk umat Islam yang mencari bimbingan ilahi. Ia menjelaskan bahwa buku ini didedikasikan bagi para pencari pencerahan yang ingin memperdalam pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Harapan utama penulis adalah agar buku ini menjadi sarana bagi pembacanya untuk menemukan petunjuk dan memahami jalan hidup yang penuh kebajikan dalam Islam.

Penulis juga menekankan bahwa karya ini tidak hanya bagi mereka yang telah mengikuti ajaran Tarekat Tijaniyah, tetapi juga bagi siapa pun yang memiliki ketertarikan pada ajaran Islam. Penulis berharap, kitab ini bisa menyalakan semangat Islam dan memperkuat nilai-nilai Islam di hati para pembacanya.

Struktur dan Isi Kitab

Kitab ini tersusun dalam berbagai bab yang mendalami perjalanan hidup serta karakter mulia dari Abu al-‘Abbas al-Tijani. Bagian-bagian awal menjelaskan tentang latar belakang keluarga, pendidikan, dan proses pencarian spiritual beliau, dari masa mudanya hingga menjadi seorang sufi yang dihormati. Penulis menguraikan bagaimana keutamaan Sidi Abu al-‘Abbas, seperti ketakwaan, kesalehan, dan akhlaknya yang luhur, menjadikan beliau sosok panutan dalam kehidupan beragama.

Sidi Ali Harazem juga menampilkan sisi dalam diri Abu al-‘Abbas yang penuh dengan ketulusan, kebersahajaan, dan kearifan dalam menjalani kehidupan. Dalam setiap kisah, Sidi Abu al-‘Abbas al-Tijani digambarkan sebagai sosok yang gigih berjuang menegakkan agama dan memberikan inspirasi bagi para pengikutnya. Kitab ini pun memuat nilai-nilai tasawuf yang mendalam, dan pembaca diajak untuk merenungi esensi ajaran yang mengajarkan pentingnya hidup yang didedikasikan kepada Allah.

Dalam setiap bab, karakteristik dan kebajikan Abu al-‘Abbas al-Tijani diuraikan secara mendalam. Beberapa nilai utama yang ditonjolkan adalah ketabahan, keikhlasan, dan kedalaman spiritual yang beliau miliki. Beliau digambarkan sebagai sosok dengan tekad yang kuat dan keberanian dalam menegakkan kebenaran. Kepribadiannya ini menjadi teladan bagi para muridnya dan semua yang mendambakan kehidupan yang suci dan penuh makna.

Dalam bagian yang menguraikan perjalanan spiritual beliau, penulis mengungkapkan perjalanan panjang Sidi Abu al-‘Abbas untuk menemukan kebijaksanaan sejati, yang mencakup pendidikan spiritual dan proses penyucian diri. Dengan begitu, buku ini bukan hanya catatan biografi, tetapi juga refleksi atas perjalanan sufistik yang penuh tantangan dan pengorbanan. Abu al-‘Abbas menjadi contoh dalam menjaga kesucian hati, keteguhan iman, dan kemurnian niat dalam setiap langkahnya.

Jawâhir al-Ma'ânî wa Bulūgh al-Amānī fī Fayḍ Sayyidī Abī al-ʿAbbās al-Tijānī menjadi bukti ketekunan dan dedikasi penulis dalam mengungkapkan nilai-nilai luhur dalam Islam, khususnya melalui ajaran Tarekat Tijaniyah. Kitab ini juga menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam yang ingin mendalami tasawuf dan merasakan kedekatan dengan Allah melalui ajaran-ajaran Abu al-‘Abbas. Sebagai panduan spiritual, buku ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang luas bagi umat Islam di berbagai belahan dunia.

Penulis menekankan bahwa warisan Abu al-‘Abbas tidak hanya dalam bentuk ajaran, tetapi juga dalam karakter, perilaku, dan keteladanannya. Nilai-nilai yang beliau wariskan, seperti kedermawanan, kerendahan hati, dan keberanian, menjadi contoh yang relevan sepanjang masa bagi umat Islam. Buku ini mengajak pembacanya untuk meneladani semangat beliau dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan ketakwaan dan pengabdian kepada Allah.

Dalam pengangar kitab ini ditulis paragraf-paragraf  yang penuh dengan penghormatan terhadap tokoh sufi dan pemimpin spiritual, khususnya Syekh Ahmad al-Tijani. Penulisnya berusaha menyampaikan kekaguman mendalam terhadap sifat-sifat, perilaku, dan kualitas rohani al-Tijani, serta bagaimana kehadirannya memberi inspirasi bagi banyak orang yang mencintai jalan spiritual. Dengan sangat puitis, penulis menyebutkan nilai kebajikan, kedermawanan, dan sifat-sifat baik lainnya yang dipandang sebagai contoh mulia untuk diteladani.

Dalam uraian ini, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini bukanlah sekadar biografi atau catatan sejarah semata. Melainkan, ini adalah catatan tentang pancaran kemuliaan yang terpancar dari kehidupan tokoh tersebut, yang diyakini sebagai jalan bagi mereka yang ingin lebih dekat kepada Tuhan. Penulis menekankan bahwa setiap orang yang ingin mendapat manfaat dari nilai-nilai spiritual yang diwariskan al-Tijani harus mendekatkan diri dengan penuh penghormatan dan kerendahan hati.

Selain itu, penulis mengajak pembaca untuk bersyukur dan merasakan kehadiran spiritual dari ajaran-ajaran al-Tijani. Dia mengingatkan bahwa kebaikan Syekh bukan hanya berdasarkan pada karisma atau prestasi, tetapi merupakan pancaran dari kekuatan spiritual yang berasal dari hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Penulis juga mengingatkan bahwa banyak dari ajaran-ajaran ini bisa menjadi obat bagi mereka yang sedang berjuang di jalan Tuhan, sebagai penyembuh bagi hati dan pencerah bagi jiwa yang mencari kebenaran.

Penulis juga menekankan pentingnya bersikap rendah hati dalam mempelajari kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani, karena jalan spiritual yang diajarkan membutuhkan ketulusan, kebersihan hati, dan kerendahan hati dalam memahami setiap pelajaran.

Seorang guru Sufi pengikut Ibn 'Arabî, Syekh Al-Shaarani radhiyallahu 'anhu dalam kitabnya menjelaskan bahwa kehidupan manusia seharusnya dibangun di atas pondasi Al-Qur'an dan Sunnah, serta mencerminkan akhlak mulia para nabi dan orang-orang saleh. Menurutnya, selama tindakan tidak melanggar ketentuan yang jelas dalam Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma’, maka tindakan tersebut tidak dianggap tercela. Ia menekankan bahwa setiap muslim diberikan kebebasan untuk memahami dan mengamalkan ajaran ini dengan cara yang sesuai dengan pemahamannya, serta menjauhi segala bentuk penilaian buruk atau riya terhadap sesama muslim.

Syekh juga mengingatkan bahwa ilmu tasawuf memiliki tujuan untuk membersihkan hati para pencarinya, agar mereka dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Siapa saja yang mengamalkan tasawuf dengan ikhlas akan memperoleh ilmu, akhlak, dan kebenaran yang mendalam, yang kadang sulit dijelaskan secara lisan namun sejalan dengan prinsip-prinsip syariat. Syekh menegaskan bahwa ilmu tasawuf tidak terpisah dari syariat, dan bahwa hanya orang-orang yang benar-benar memahami syariat yang mampu mengenali hakikat tasawuf sebagai bagian dari jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang agama.

Beliau melanjutkan bahwa seorang sufi adalah orang yang berusaha keras untuk menunaikan syariat dengan penuh kesungguhan, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang ada. Dalam sejarahnya, para imam dan ulama menghormati dan memohon berkah kepada para syekh sufi karena mengetahui bahwa mereka adalah individu yang tulus dalam mengikuti jalan Islam. Syekh Al-Shaarani juga menekankan bahwa ilmu tasawuf berlandaskan pada iman dan ketakwaan, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah tentang keberkahan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Syekh Muhyi al-Din ibn al-Arabi, dalam suratnya kepada Fakhr al-Din al-Razi, mengingatkan bahwa hakikat ilmu adalah anugerah dari Allah dan tidak sekadar bergantung pada perantara atau guru. Bagi orang-orang yang mendapatkan ilham langsung dari Allah, pemahaman agama menjadi jauh lebih mendalam dan terhindar dari keraguan. Oleh karena itu, seorang pencari ilmu sebaiknya tidak hanya bergantung pada akal atau kajian literatur, tetapi juga memperdalam ilmunya melalui pengalaman batin yang diberikan oleh Allah.

Syekh Al-Shaarani juga memperingatkan agar tidak mudah mengingkari peran wali Allah, sebab hanya para wali yang dapat memahami kedudukan sesama wali. Menurut beliau, keimanan kepada wali adalah bagian dari iman kepada Allah yang memuliakan mereka, meski banyak orang yang merasa sulit menerima atau memahami martabat dan kedudukan spiritual mereka. Pada akhirnya, para wali mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah bukan hanya karena ketulusan mereka, tetapi juga karena keikhlasan mereka dalam menghadapi cobaan dan sikap mereka yang penuh pengabdian kepada Allah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran bahwa Dia menjadikan para pemimpin sebagai pembimbing melalui perintah-Nya karena kesabaran mereka. Ketika mereka menanggung berbagai tantangan dengan teguh, Allah menyertai mereka dengan petunjuk dan kemenangan. Dalam hal ini, Allah mengingatkan bahwa para nabi sebelumnya juga menghadapi ujian dan fitnah dari kaumnya, namun mereka tetap bersabar hingga pertolongan Allah datang. Dalam hal menjadi seorang hamba yang benar, seseorang harus mencapai pemahaman tentang kebenaran Tuhan dengan hatinya, berpegang pada-Nya, dan tidak terpengaruh oleh kejahatan manusia. Hal ini mencerminkan kebijaksanaan yang mendalam dalam memahami penciptaan Allah dan menghormati mereka sebagai hamba-hamba Allah yang sepenuhnya.

Para pengikut jejak para nabi, yaitu para wali dan ulama, tidak terlepas dari berbagai cobaan dan hinaan. Mereka difitnah, diragukan kejujurannya, dan sering kali disalahpahami, sebagaimana terjadi pada para nabi dahulu. Hanya dengan kesabaran dan keyakinan yang kuat, mereka terus bertahan dalam dakwah mereka. Sesungguhnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ali al-Khawas, kebesaran para wali dan pemimpin agama tidak tergantung pada penerimaan orang banyak, karena Allah telah mengatur bahwa di antara mereka akan ada yang menerima petunjuk, dan ada pula yang dijauhkan dari-Nya.

Peran para wali dan ulama mengikuti jejak para rasul dalam menghadapi masyarakat yang terbagi antara orang-orang yang beriman dan mereka yang mengingkari. Karena itu, ada yang menerima mereka dengan penuh hormat, dan ada pula yang meragukan kebenaran ilmu dan keistimewaan mereka. Para wali sering kali disalahpahami oleh orang-orang yang tidak mengenal ilmu-ilmu ketuhanan, yang di luar jangkauan akal dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan logika. Oleh karena itu, banyak yang menolak ajaran-ajaran ini karena dianggap melawan akal atau tradisi umum. Namun, seorang wali yang sejati memahami bahwa pengingkaran bukanlah bukti kesalahan, melainkan ujian dari Allah untuk menguji kesabaran mereka.

Mereka yang mendalami ilmu hakikat harus memahami bahwa setiap ilmu memiliki aturan yang menjadi dasarnya. Seperti halnya dalam ilmu fikih, ada prinsip-prinsip yang mengatur hukum-hukum di dalamnya. Begitu pula dalam ilmu hakikat, terdapat kaidah yang mengendalikan pemahaman terhadap kebenaran. Dalam hal ini, para wali dan ulama yang mendapat pengetahuan langsung dari Allah memahami bahwa segala sesuatu memiliki sisi lahir dan batin. Mereka yang benar-benar beriman memahami batin mereka melalui pencapaian spiritual yang lebih tinggi, bukan dengan akal semata, melainkan melalui mata hati atau basirah.

Mereka yang mencapai derajat ini memperoleh pengetahuan langsung tentang ilmu-ilmu ketuhanan yang tersembunyi, ilmu-ilmu yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman batiniah. Dalam posisi ini, seorang wali tidak lagi memandang dunia dengan keinginan akan duniawi, melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka melepaskan diri dari segala bentuk gangguan dunia dan hanya tertarik kepada kebenaran hakiki.

Penutup

Secara keseluruhan, Jawâhir al-Ma'ânî wa Bulūgh al-Amānī fī Fayḍ Sayyidī Abī al-ʿAbbās al-Tijānī adalah karya yang sangat berharga bagi dunia Islam, khususnya bagi mereka yang ingin memperdalam pemahaman tentang tasawuf dan merasakan kedekatan dengan Allah. Karya ini adalah bukti cinta dan penghormatan penulis terhadap gurunya, serta pengabdian kepada ilmu dan agama. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak untuk memahami kekayaan spiritual Islam dan menemukan kedalaman ajaran yang diajarkan oleh Sidi Abu al-‘Abbas al-Tijani.
*Pageland, 03 November 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam