Malam-malam Sunyi Bersama Kitab Tijân al-Darârî
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, madrasah tempat Husen belajar terasa hening dan sunyi. Suasana yang begitu tenang seakan menyelimuti seluruh penjuru desa. Hanya suara angin malam yang berdesir melalui celah-celah jendela kayu yang tua, dan samar-samar terdengar suara jangkrik yang menjadi teman akrab dalam keheningan malam. Semua santri di madrasah sudah terlelap, menyelubungi tubuh mereka dengan sarung, mengobati dingin dalam tidur mereka yang tenang setelah siang harinya belajar dan bekerja membantu orang tuanya. Namun, bagi Husen, malam seperti ini adalah waktu yang paling berharga. Ia meyakini bahwa malam hari, ketika manusia umumnya sedang tidur nyenyak, adalah saat yang paling baik untuk belajar, selain salat malam.
Selesai salat malam beberapa rakaat, Husen berjalan menuju rak kitab. Cahaya lampu yang temaram cukup untuk menerangi langkahnya. Lalu ia duduk bersila di atas tikar usang. Di hadapannya terbuka sebuah "kitab gundul" karena hurufnya tidak berharkat dan kertasnya berwarna kuning sehingga disebut juga "kitab kuning". Kertasnya yang berwarna kuning dianggap lebih nyaman dibaca dengan penerangan terbatas, seperti di malam hari. Di malam itu Husen hendak mengulang kembali pelajaran aqidah dalam kitab Tijân al-Darârî. Dengan penuh ta'zim Husen membuka halaman demi halaman kitab yang telah diajarkan kyainya sampai tamat itu dengan metode bandongan dan sorogan.
Metode bandongan adalah metode pembelajaran di pesantren di mana santri berkumpul di sekitar kiai untuk mendengarkan, mencatat, dan memahami pelajaran dari kitab kuning. Dalam proses ini, kiai akan membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan isi kitab kuning. Metode ini menjadi cara utama pengajaran di pesantren, mencakup berbagai kitab dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut.
Sedangkan metode sorogan adalah pembelajaran kitab secara individu, di mana santri bergiliran menyampaikan materi yang telah dipelajari kepada pengajar untuk mendapatkan bimbingan khusus. Kata "sorogan" berasal dari bahasa Jawa "nyorog," yang berarti "menyodorkan," seperti menyodorkan materi atau hafalan kitab Tijân ini.
Pada awal kitab Tijân al-Darârî Risâlah al-'Âlim al-'Alâmah Ibrâhîm al-Bâjûrî fî al-Tawhîd yang disyarah oleh al-Alâmah Shaykh Muhammad bin 'Umar al-Nawâwî al-Jâwî al-Bantanî itu dijelaskan bahwa setiap orang yang telah baligh dan berakal (mukallaf) wajib mengetahui hal-hal yang harus diyakini mengenai sifat-sifat yang wajib bagi Allah, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan yang boleh bagi-Nya. Sifat yang wajib bagi Allah bermula dari sifat Wujūd (Allah wajib ada). Kebalikan dari sifat ini adalah ‘Adam (tidak ada). Dalil dari keberadaan Allah adalah adanya makhluk di alam semesta, yang menunjukkan bahwa pasti ada yang menciptakan segala sesuatu.
Husen melanjutkan membaca, dan kali ini matanya tertuju pada sifat Qidam—bahwa Allah tidak memiliki permulaan. Tuhan yang Maha Esa tidak terikat oleh waktu, tidak terikat oleh awal dan akhir, karena Dialah yang menciptakan waktu itu sendiri. Ia merasakan bahwa kata-kata ini membawa dirinya lebih dalam ke dalam pemahaman tentang Tuhan yang Maha Abadi, yang tidak terjangkau oleh akal manusia, namun hadir dalam setiap detik kehidupan.
Kemudian, pembacaannya beralih pada Baqa’, kekekalan Tuhan yang tidak ada akhirnya. Semua yang ada di alam semesta ini, makhluk hidup maupun benda mati, akan mati dan hancur suatu saat nanti. Tetapi Allah, dengan sifat-Nya yang Maha Abadi, akan selalu ada. Baqa’ Allah adalah suatu ketenangan yang menyelimuti jiwa seluruh makhluk-Nya. Karena itu, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena dalam hidupnya hanya ada satu yang pasti: Tuhan yang Maha Kekal.
Husen terus menyelami setiap kalimat dalam Tijân al-Darârî. Sifat-sifat Allah yang dibahas dalam kitab itu terasa seperti untaian cahaya yang menuntunnya lebih dekat kepada pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat Tuhan. Ketika ia sampai pada penjelasan tentang Mukhalafah lil-hawādith—bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya—ia merasa seperti diberi satu pencerahan baru. Tuhan tidak terbatas oleh sifat-sifat yang ada pada makhluk-Nya. Allah bukanlah tubuh yang memiliki tangan, mata, atau telinga. Semua itu adalah sifat yang hanya berlaku pada makhluk yang tercipta. Tuhan, dengan sifat-Nya yang mutlak dan tidak terbatas, tidak bisa disamakan dengan apapun yang ada di dunia ini.
Kitab itu mengalir dengan begitu indah, membawa dirinya dari satu pemahaman ke pemahaman lainnya, seolah-olah setiap halaman memberikan jawaban untuk setiap pertanyaan dalam hatinya. Sifat Qiyām bin-nafsihi—bahwa Allah berdiri dengan sendirinya, tidak membutuhkan tempat atau sebab—menjadi titik puncak dari perjalanan malam itu. Husen merenung. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak membutuhkan apapun untuk ada, mampu menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini? Pikirannya terhenti sejenak, mencoba memahami batasan-batasan akalnya yang tak mampu menyentuh hakikat Tuhan yang sesungguhnya.
Hatinya semakin tenang, dan rasa syukur yang mendalam mulai mengalir. Setiap kata dalam kitab kuning ini bukan sekadar ilmu yang harus dipahami, tetapi juga sebuah pengalaman spiritual yang membimbingnya lebih dekat dengan Allah. Husen merasa, bahwa dengan memahami sifat-sifat Allah, ia semakin menyadari betapa kecil dan betapa lemah dirinya di hadapan Tuhan yang Maha Agung. Ia tidak lebih dari sebutir debu di tengah luasnya alam semesta, tetapi Tuhan yang Maha Pemurah masih memberi kesempatan untuk mengenal-Nya, untuk mendekat kepada-Nya.
Tidak terasa waktu telah larut malam. Di luar, suara malam semakin hening, hanya terdengar suara desir angin yang mengusap dahan pohon di halaman madrasah. Ia menutup kitab itu dengan perlahan, menundukkan kepala dan mengucapkan doa dalam hati. "Ya Allah, aku hanya hamba-Mu yang lemah. Semoga Engkau beri aku pemahaman yang lebih dalam, dan beri aku kekuatan untuk terus mengenal-Mu lebih dekat lagi."
Dengan penuh ketenangan, Husen berdiri, menyiapkan diri untuk melaksanakan salat subuh bersama para santri lainnya. Sebelum melangkah keluar, ia menatap kembali kitab Tijân al-Darârî yang tersimpan kembali di rak kayu yang sudah keropos. Kitab itu telah membawanya pada pemahaman yang lebih dalam, dan meskipun malam telah beranjak, ia merasa perjalanan untuk mengenal Allah baru saja dimulai. Setiap kalimat dalam kitab ini adalah cahaya yang tak pernah padam, dan setiap langkah yang diambil di jalan ilmu adalah langkah menuju kedekatan dengan Tuhan yang Maha Besar.
Ketika Husen keluar menuju masjid yang bersebelahan dengan madrasah untuk berjamaah bersama teman-temannya, hatinya penuh dengan kebahagiaan yang tak terungkapkan. Ia tahu, perjalanan ini—perjalanan untuk memahami mengenal Allah dengan lebih baik—akan terus berlangsung, dan ia bersedia untuk terus mengarungi samudra ilmu yang tak bertepi. Sebab, seperti yang tertulis dalam kitab itu, hanya dengan mengenal Tuhanlah, hidup ini akan terasa penuh makna.
Pada malam-malam berikutnya, Husen kembali melanjutkan mendaras Sifat-sifat yang wajib bagi Allah yang berikutnya, yaitu tentang Wahdaniyyah, sifat ke-Esa-an Allah yang tunggal, baik dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya, maupun Perbuatan-Nya. Tuhan adalah satu-satunya yang memiliki segala kekuatan, tanpa ada tandingan, dan segala sesuatu yang ada di alam ini adalah ciptaan-Nya.
Lalu sifat Qudrah (Maha Berkuasa). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sudah ada sejak zaman azali dan tetap berada pada Dzat Allah. Dengan sifat Qudrah-Nya, Allah dapat mewujudkan dan menghilangkan segala sesuatu. Kebalikannya adalah sifat ‘Ajz (lemah), yang mustahil bagi Allah. Sebagai contoh, jika Allah lemah, maka tentu tidak akan ada makhluk yang dapat diciptakan oleh-Nya. Dari sini, Husen mulai paham bahwa sifat Maha Berkuasa ini mengandung makna yang sangat luas dan mutlak.
Selanjutnya, ia mendalami sifat Irādah (Maha Berkehendak), yang juga merupakan sifat wajib bagi Allah. Sifat ini menjelaskan bahwa Allah menentukan apa yang mungkin terjadi atau tidak, serta apa yang terjadi dalam kehidupan makhluk-Nya—seperti siapa yang kaya atau miskin, pandai atau bodoh. Sifat Irādah ini bertentangan dengan sifat Karāhah (terpaksa), yang mustahil dimiliki oleh Allah. Jika Allah terpaksa dalam kehendak-Nya, maka itu berarti ada kelemahan dalam diri-Nya, yang tentu saja bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Sempurna.
Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan tentang sifat ‘Ilm (Maha Mengetahui). Allah, dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui, mengetahui segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik yang tersembunyi maupun yang nampak. Kebalikannya adalah sifat Jahl (bodoh), yang tentunya mustahil bagi Allah. Dalil yang menguatkan hal ini adalah bahwa jika Allah bodoh, maka Allah tidak mungkin memiliki sifat Maha Berkehendak, dan hal ini tentu tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Sifat Hayāt (Maha Hidup) pun dijelaskan dalam kitab Tijân yang juga sudah dijelaskan oleh Kyainya. Allah, dengan sifat Maha Hidup-Nya, dapat melaksanakan semua sifat-Nya yang lain, seperti sifat Ilmu, Kehendak, dan Kekuasaan. Sebaliknya, jika Allah mati, maka Allah tidak akan memiliki sifat Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, atau Maha Mengetahui. Oleh karena itu, sifat Hayāt adalah sifat yang mustahil dipisahkan dari Dzat-Nya.
Selanjutnya, ada pembahasan mengenai sifat Sami‘an dan Bashīran (Maha Mendengar dan Maha Melihat). Sifat ini menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi, baik yang terdengar oleh telinga maupun yang tampak oleh mata. Kebalikannya adalah sifat Ashamm (Tuli) dan ‘Amā (Buta), yang tentu saja mustahil ada pada Allah. Ini menguatkan pemahaman bahwa Allah tidak hanya Maha Mendengar dan Maha Melihat, tetapi juga mengetahui segala sesuatu dengan sempurna.
Akhirnya, Husen mempelajari sifat Kalām (Maha Berfirman). Allah berbicara dengan cara yang tidak terbatas oleh suara dan huruf seperti makhluk-Nya. Kalām Allah adalah sebuah firman yang tidak bisa disamakan dengan perkataan makhluk, yang terkadang terdiri dari suara dan huruf. Sebagai contoh, Allah berfirman kepada Nabi Musa dengan firman yang nyata, yang memberi bukti bahwa Kalām Allah adalah sifat yang wajib ada pada Dzat-Nya.
Tidak terasa malam telah berlalu, suara azan subuh menggema di masjid. Husen, yang semalaman mendaras Tijân al-Darârî, merasa hatinya penuh kedamaian. Kitab itu telah membawanya memahami sifat-sifat Allah—keberadaan, kekekalan, kekuasaan, dan kesempurnaan-Nya. Setiap kata memberikan pencerahan, bukan hanya ilmu, tapi juga kedekatan dengan Sang Pencipta.
Kelak perjalanan hidupnya yang penuh liku, dan banyak onak dan duri dilaluinya. Kini, dengan berbagai pengalaman hidup yang telah dilaluinya, yang tidak selalu mulus, ia semakin menyadari hidupnya yang sementara. Menyadari bahwa amal kebaikannya yang sedikit, sedangkan dosa-dosanya yang banyak bagaikan pasir di lautan, memberinya secercah kesadaran dan harapan untuk menata diri untuk hidup lebih baik. Ilmu akidah yang dipelajarinya seperti dalam kitab Tijân, dan pesan-pesan kyai yang juga pamannya itu, waktu kecil seakan mengingatkan dirinya untuk kembali kepada purwadaksinya serta menggugah kembali keyakinannya. Baginya, semua makhluk berada dalam genggaman taqdir-Nya dan Allah adalah tempat kembali segala sesuatu.
Komentar
Posting Komentar