Internasionalisasi Kurikulum Perguruan Tinggi


Cak Yo 

Pengantar

Kita hidup di era era globalisasi yang berkembang demikian cepat dalam semua aspek kehidupan termasuk bidang Pendidikan. Internasionalisasi pendidikan tinggi menjadi suatu keharusan untuk menjawab tantangan zaman serta meningkatkan predikat akreditasi dan reputasi perguruan tinggi. Untuk memperoleh predikat Unggul, rekomendasi asesor pada Asesmen Lapangan menekankan pentingnya  internasionalisasi baik akademik maupun non-akademik, terutama dalam kurikulum. Dengan memperkuat dimensi internasional, program studi tidak hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan yang ditawarkan, tetapi juga mempersiapkan lulusan yang mampu bersaing di tingkat global.

Terkait internasionalisasi kurikulum itu, saya membaca beberapa buku terkait itu di antaranya buku Internationalization in Higher Education karya Betty Leask (London: Routledge, 2015) dan beberapa artikel yang relevan dengan konteks pendidikan tinggi di Indoensia. Buku Betty Leask menjelaskan bahwa internasionalisasi bukan hanya tentang pertukaran pelajar atau kerjasama antaruniversitas, tetapi juga melibatkan integrasi perspektif global dalam kurikulum dan pengalaman belajar mahasiswa. Leask menggarisbawahi pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keragaman budaya dan pengembangan keterampilan lintas budaya. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas buku tersebut terutama terkait langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk menerapkan internasionalisasi dalam kurikulum, serta dampaknya terhadap pengembangan kompetensi mahasiswa. Melalui pendekatan ini, diharapkan program studi dapat menghasilkan individu yang tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga memiliki wawasan dan pengalaman internasional yang luas.

Transformasi Kurikulum untuk Konteks Global

Dalam bukunya Internationalization in Higher Education itu Betty Leask menyajikan pandangan mendalam mengenai internasionalisasi kurikulum di pendidikan tinggi. Internasionalisasi, menurut Leask, tidak sekadar melibatkan peningkatan kehadiran mahasiswa internasional, tetapi lebih dalam lagi—meliputi transformasi kurikulum untuk memastikan bahwa pendidikan yang disampaikan relevan dalam konteks global. Buku ini menyoroti pentingnya kurikulum sebagai elemen utama dalam internasionalisasi, yang menjembatani strategi kelembagaan dengan pengalaman belajar mahasiswa.

Leask menggarisbawahi bahwa internasionalisasi kurikulum merupakan strategi penting untuk menciptakan lulusan dengan kompetensi global, namun implementasinya sering kali kurang disadari atau dipahami. Dalam buku ini, ia menyajikan panduan praktis dan teoritis mengenai bagaimana kurikulum dapat diinternasionalkan dengan mempertimbangkan beragam disiplin ilmu, serta bagaimana hal ini dapat diterapkan dalam konteks kelembagaan yang berbeda.

Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian utama. Bagian pertama mengeksplorasi konsep dasar internasionalisasi kurikulum dan alasan di balik pentingnya proses ini. Leask menyoroti bahwa internasionalisasi kurikulum bukan sekadar menambah perspektif internasional tetapi juga harus menyelaraskan pendidikan dengan nilai-nilai global. Bagian ini memberikan kerangka konseptual yang komprehensif dan menjelaskan proses implementasinya. Leask juga menghubungkan kurikulum dengan pembangunan kompetensi lulusan yang siap untuk lingkungan kerja internasional, menggabungkan elemen kewarganegaraan global dan kompetensi antarbudaya yang menjadi kunci dalam era globalisasi.

Di bagian kedua, buku ini mengupas aspek-aspek praktis dalam internasionalisasi kurikulum, mulai dari desain pembelajaran hingga penilaian. Leask menawarkan contoh-contoh nyata bagaimana universitas dapat menggunakan keragaman mahasiswa untuk memperkaya pengalaman belajar, termasuk tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mengadaptasi kurikulum agar lebih inklusif terhadap perspektif internasional. Topik seperti hambatan dan pendorong utama dalam internasionalisasi juga diulas secara rinci, di mana Leask menekankan pentingnya peran akademisi dalam proses ini, sekaligus memberikan contoh bagaimana staf akademik dapat memanfaatkan sumber daya dan praktik terbaik untuk mencapai tujuan internasionalisasi.

Bagian ketiga berfokus pada sumber daya yang dapat digunakan dan studi kasus dari berbagai institusi yang telah berhasil menerapkan internasionalisasi dalam kurikulum mereka. Leask menggunakan banyak studi kasus untuk memberikan perspektif praktis tentang penerapan konsep ini dalam disiplin ilmu yang beragam, mulai dari humaniora hingga sains, serta tantangan yang muncul saat menerapkannya di institusi dengan sumber daya yang terbatas. Studi-studi ini menampilkan bagaimana proses internasionalisasi dapat disesuaikan dengan karakteristik unik masing-masing universitas, menunjukkan fleksibilitas konsep internasionalisasi kurikulum ini.

Selain itu, Leask juga mengidentifikasi beberapa kesalahpahaman tentang internasionalisasi kurikulum, seperti anggapan bahwa internasionalisasi hanya berarti mobilitas mahasiswa. Ia mengingatkan bahwa internasionalisasi seharusnya lebih fokus pada “internasionalisasi di rumah” yang melibatkan seluruh mahasiswa, bukan hanya mereka yang memiliki kesempatan untuk belajar di luar negeri. Menurutnya, internasionalisasi haruslah menjadi bagian integral dari proses belajar bagi seluruh mahasiswa, terlepas dari latar belakang geografis mereka.

Pada bagian akhir buku, Leask menekankan peran internasionalisasi dalam membentuk identitas kelembagaan dan sebagai sarana untuk memenuhi tujuan akademik yang lebih besar. Ia juga membahas dampak global dan lokal dari internasionalisasi, serta menyarankan bahwa pendekatan yang berhasil dalam internasionalisasi kurikulum haruslah berpusat pada integrasi perspektif global dalam pembelajaran sehari-hari. Internasionalisasi, menurut Leask, harus dipandang sebagai sebuah proses perubahan yang dapat memfasilitasi inklusi, diversitas, dan pengembangan kompetensi antarbudaya dalam konteks akademik.

Implementasi dan Tantangan Internasionalisasi Kurikulum

Buku Internationalization in Higher Education karya Betty Leask merupakan sumber daya yang sangat berharga bagi pimpinan universitas, staf akademik, dan profesional yang terlibat dalam pengembangan kurikulum. Buku ini tidak hanya memberikan panduan praktis dalam proses internasionalisasi kurikulum, tetapi juga memicu refleksi tentang bagaimana kurikulum dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan dunia yang semakin global. Dengan pendekatan yang komprehensif, baik dari segi teori maupun aplikasi, buku ini memberikan wawasan penting bagi siapa saja yang ingin meningkatkan dimensi internasional pendidikan tinggi di institusi mereka.

Buku ini merupakan hasil dari Australian Learning and Teaching Council National Teaching Fellowship, yang berfokus pada "Internationalization of the Curriculum in Action," didirikan oleh Pemerintah Australia. Tujuan utama dari fellowship ini adalah melibatkan staf akademik dari berbagai disiplin ilmu dan institusi dalam proses internasionalisasi kurikulum. Sebagai fasilitator, penulis bekerja dengan tim akademik dalam merancang dan menerapkan kurikulum yang lebih terbuka pada perspektif internasional dan antarbudaya. Buku ini bukan hanya laporan dari fellowship tersebut, tetapi juga menggabungkan wawasan dan praktik terbaik dari proyek serupa di seluruh dunia.

Internasionalisasi kurikulum dalam buku ini dijelaskan melalui berbagai dimensi, termasuk konten kurikulum, metode pengajaran, hasil pembelajaran, dan dukungan untuk mahasiswa. Proyek ini dirancang sebagai Penelitian Aksi Partisipatif (PAR), melibatkan staf akademik dari berbagai universitas di Australia. Para akademisi yang berpartisipasi diberdayakan untuk memiliki dan memimpin pengembangan kurikulum mereka sendiri, dengan dukungan dari peneliti dan fasilitator. Penulis menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif, bukan sekadar "pakar luar" yang mengarahkan. Akademisi yang terlibat memimpin dari desain awal hingga kesimpulan akhir dan tindak lanjut yang dihasilkan, sementara peneliti berperan sebagai fasilitator yang membantu, bukan mengambil alih.

Melalui proyek ini, empat studi kasus diselesaikan yang mewakili berbagai disiplin ilmu dan institusi. Meskipun tidak mewakili semua bidang secara komprehensif, studi kasus ini memberikan gambaran praktis tentang bagaimana internasionalisasi kurikulum dapat diterapkan dalam konteks yang berbeda. Selain itu, buku ini mendefinisikan istilah yang mungkin membingungkan, seperti "kurikulum formal, informal, dan tersembunyi," dengan menyelami dinamika di antara ketiganya. Kurikulum formal mencakup silabus dan pengalaman belajar yang direncanakan, sementara kurikulum informal mencakup berbagai aktivitas pendukung dan opsional yang mendukung pembelajaran. Di sisi lain, kurikulum tersembunyi mengacu pada pesan-pesan implisit yang mungkin tidak disadari oleh institusi tetapi tetap mempengaruhi pembelajaran siswa.

Internasionalisasi kurikulum tidak hanya mencakup konten kurikulum, tetapi juga menghubungkan pengalaman mahasiswa dengan penelitian global dan beragam budaya, untuk membantu mengembangkan perspektif internasional dan antarbudaya mereka. Dengan mendefinisikan internasionalisasi kurikulum sebagai proses yang mengintegrasikan dimensi internasional dan antarbudaya ke dalam seluruh program studi, buku ini menawarkan panduan praktis dan argumentasi kuat untuk pengajaran dan pembelajaran yang lebih kritis dan inklusif, yang relevan dalam konteks global yang terus berkembang.

Pembelajaran yang dicapai atau hasil belajar adalah pernyataan yang menggambarkan apa yang kita harapkan akan dipelajari oleh siswa melalui berbagai kegiatan selama mengikuti kursus atau program. Pernyataan ini menjadi dasar utama dalam perancangan kurikulum, dari mana semua aspek pendidikan lainnya mengalir. Dalam konteks internasional, diharapkan kurikulum mengandung unsur-unsur yang menekankan pemahaman lintas budaya, internasional, dan global dalam hasil belajar tersebut. Capaian pembelajaran ini akan diuraikan lebih rinci pada bab selanjutnya.

Ada beberapa kesalahpahaman terkait internasionalisasi kurikulum. Salah satu kekeliruan umum adalah anggapan bahwa cukup dengan merekrut mahasiswa dari luar negeri maka sebuah kurikulum sudah menjadi internasional. Memang benar bahwa mahasiswa internasional membawa perspektif budaya yang beragam dan memerlukan kurikulum yang tidak hanya relevan secara lokal tetapi juga memiliki wawasan global yang melengkapi latar belakang serta pengetahuan mereka sebelumnya. Akan tetapi, internasionalisasi kurikulum tidak sekadar menghadirkan mahasiswa internasional; kehadiran mereka memang mendorong proses internasionalisasi, tetapi ini bukan satu-satunya langkah. Kehadiran mahasiswa asing dapat membantu mengembangkan kompetensi antarbudaya dalam diri seluruh mahasiswa, tetapi proses ini tetap memerlukan desain kurikulum yang berfokus pada kebutuhan semua siswa, bukan hanya mahasiswa internasional.

Kesalahpahaman lain, terutama di negara seperti Inggris dan Australia, adalah bahwa internasionalisasi kurikulum berarti adaptasi kurikulum yang ditujukan untuk pengajaran di negara lain. Hal ini sering kali melibatkan penyesuaian konten dan proses pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan lokal. Meski adaptasi ini bermanfaat, terutama bagi mahasiswa yang belajar di luar negeri, pendekatan ini lebih dikenal sebagai kontekstualisasi dan bukan internasionalisasi, karena belum tentu mengarah pada pembelajaran yang mencakup perspektif global atau antarbudaya.

Pandangan lain yang sering muncul, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa, adalah bahwa internasionalisasi kurikulum terkait dengan mobilitas pelajar, misalnya dengan mengirim mahasiswa belajar ke luar negeri. Pengalaman belajar di luar negeri memang memiliki nilai transformatif bagi mahasiswa, tetapi internasionalisasi yang efektif seharusnya tersedia untuk semua siswa, bukan hanya mereka yang memiliki kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Oleh karena itu, konsep “internasionalisasi di rumah” menjadi semakin relevan sebagai upaya untuk menghadirkan perspektif internasional dalam kurikulum tanpa mengharuskan mobilitas fisik.

Internasionalisasi kurikulum juga mengundang kekhawatiran tentang homogenisasi kurikulum, yang dianggap dapat memperkuat pengetahuan yang dominan, terutama model pendidikan Barat, di berbagai negara. Di satu sisi, universitas berperan dalam mempromosikan pertukaran pengetahuan secara global, namun juga berkontribusi dalam proses globalisasi yang bersifat eksploitatif, di mana negara maju lebih diuntungkan. Internasionalisasi yang sejati seharusnya menantang dominasi ini dan berupaya menciptakan kurikulum yang relevan bagi konteks lokal, sembari mendorong pemahaman antarbudaya.

Di berbagai universitas, fokus dalam internasionalisasi kurikulum kini beralih kepada pengembangan keterampilan global bagi semua mahasiswa, seperti keterampilan bekerja secara efektif dalam tim lintas budaya dan kemampuan berpikir dari berbagai perspektif. Beberapa universitas bahkan menggunakan atribut lulusan, seperti kemampuan kewarganegaraan global, untuk mendorong partisipasi aktif mahasiswa dalam isu-isu global. Hal ini menjadi tren di sejumlah negara seperti Australia dan Inggris, di mana fokus pada pengembangan atribut ini menekankan pengajaran keterampilan dan sikap global dalam kurikulum formal.

Seiring dengan berkembangnya konsep internasionalisasi kurikulum, akademisi memegang peranan penting dalam mengontrol dan mengarahkan proses ini. Mereka bertanggung jawab dalam menentukan isi, metode, dan penilaian kurikulum. Namun, pemahaman terhadap internasionalisasi kurikulum ini tidak seragam di seluruh disiplin ilmu. Misalnya, bidang ilmu pengetahuan alam dan matematika sering kali melihat pengetahuan mereka sebagai universal dan netral budaya, berbeda dengan disiplin ilmu sosial yang lebih terbuka pada keberagaman budaya.

Internasionalisasi kurikulum adalah bagian penting dari internasionalisasi pendidikan tinggi secara menyeluruh. Agar dampaknya maksimal, proses ini perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, dengan perhatian pada pengembangan konten, hasil pembelajaran, aktivitas belajar, serta penilaian yang mencakup semua mahasiswa. Tujuannya bukan untuk menciptakan kurikulum homogen, tetapi menciptakan lingkungan pembelajaran yang membantu mahasiswa memahami dan mengatasi tantangan di dunia yang semakin terhubung. Dengan demikian, kurikulum internasional tidak hanya mendukung pembelajaran tetapi juga menumbuhkan keterampilan yang dibutuhkan mahasiswa untuk menjadi warga dunia yang kritis dan bertanggung jawab.

Internasionalisasi dalam Kontek Pendidikan Tinggi di Indonesia

Linda Lambey, Elni Jeini Usoh, Robert Lambey and John Burgess dalam artikelnya, “Challenges and Opportunities to Internationalize the Indonesian Higher Education Sector”  (Februari 2023)  yang diterbitkan dalam buku International Business - New Insights on Changing Scenarios, penulis menjelaskan kompleksitas dan fragmentasi sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan sekitar 4.500 universitas yang menawarkan lebih dari 25.000 program studi, sistem ini mencakup beragam institusi seperti universitas negeri dan swasta, politeknik, serta akademi. Meskipun terdapat pertumbuhan dalam jumlah institusi dan peningkatan enrolmen, peringkat institusi pendidikan tinggi Indonesia masih berada di posisi yang rendah pada indikator global.

Bab ini menyoroti beberapa kelemahan utama dalam sektor pendidikan tinggi, antara lain kurangnya standar kualitas akademik yang konsisten, ketidakpastian dalam proses akreditasi dan pengawasan, serta minimnya staf yang memiliki kualifikasi pascasarjana. Selain itu, rendahnya output penelitian yang terpublikasi di jurnal internasional juga menjadi perhatian. Program-program yang ditawarkan tidak selalu sejalan dengan kebutuhan keterampilan di pasar kerja, yang berdampak pada tingginya angka pengangguran dan ketidakpekerjaan di kalangan lulusan.

Bagi pendidikan tinggi Indonesia, "internasionalisasi" berarti mengintegrasikan pendekatan global di semua aspek, termasuk kualitas pendidikan, pengembangan staf, penelitian, dan keberhasilan lulusan. Pemerintah Indonesia telah menetapkan internasionalisasi universitas sebagai prioritas, dengan tujuan meningkatkan daya saing dan kualitas pendidikan, sehingga institusi dapat bersaing secara efektif di tingkat global dalam hal perekrutan staf, penerimaan mahasiswa, dan pendanaan penelitian. Untuk mencapai tujuan ini, universitas di Indonesia perlu fokus pada peningkatan kualitas di semua lini, termasuk program studi, metode pengajaran, dan hasil penelitian.

Internasionalisasi pendidikan tinggi berbeda dari globalisasi, meskipun keduanya saling terkait. Proses internasionalisasi melibatkan integrasi elemen internasional dan antarbudaya di semua aspek operasional universitas, termasuk pengajaran, penelitian, dan layanan masyarakat. Menurut Gao, terdapat enam dimensi internasionalisasi dengan indikator-indikator yang relevan, seperti jumlah peneliti internasional, mahasiswa asing, staf berkualifikasi internasional, program gelar bersama, kehadiran internasional dalam tata kelola, dan jaringan serta kemitraan internasional. Internasionalisasi bertujuan untuk meningkatkan pengakuan nasional dan internasional, mengembangkan kemitraan strategis, serta memperluas jaringan akademik. Di Indonesia, proses ini masih dalam tahap awal, dengan tingkat publikasi rendah di jurnal internasional dan jumlah mahasiswa internasional yang terbatas. Meskipun terdapat upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan daya saing universitas, tantangan seperti kurangnya staf berkualifikasi internasional dan terbatasnya jumlah mahasiswa asing tetap menjadi hambatan.

Dalam bukunya Internationalisation of Higher Education in Indonesia The Past, Present, and Future Alam Nasrah Ikhlas (2023) membahas pentingnya internasionalisasi pendidikan tinggi (IoHE) meskipun masih ada perdebatan mengenai definisinya di kalangan para akademisi. Para pemangku kepentingan di sektor pendidikan tinggi menerapkan berbagai strategi untuk mengikuti tren global, termasuk pemerintah dan universitas Indonesia yang menggunakan internasionalisasi sebagai cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan membangun kepercayaan internasional. Namun, karena adanya perbedaan interpretasi mengenai internasionalisasi antara pemerintah dan universitas, kemajuan Indonesia dalam hal ini masih tergolong lambat. Bab ini bertujuan untuk mengeksplorasi implementasi IoHE di Indonesia, dengan menekankan perlunya strategi internasionalisasi yang kuat dan sinergis antara pemerintah dan universitas. Melalui analisis kebijakan, regulasi, masalah yang dihadapi, serta hasil yang dicapai, serta wawancara semi-terstruktur dengan pemangku kepentingan institusi pendidikan tinggi, penulis menyarankan perlunya tinjauan komprehensif yang melibatkan pemerintah dan universitas dalam bidang regulasi, teori, dan praktik untuk lebih memahami dan melaksanakan internasionalisasi dalam pendidikan tinggi di Indonesia.

Amirullah Abduh, Rosmaladewi Rosmaladewi, Muhammad Basri dalam penelitiannya yang berjudul, “Internationalization Awareness and Commitment of Indonesian Higher Education” menemukan bahwa internasionalisasi kurikulum mencerminkan kesadaran terhadap internasionalisasi melalui undangan untuk pakar dan penyesuaian kurikulum dari negara maju. Selain itu, komitmen terhadap internasionalisasi terlihat dari peningkatan jumlah publikasi internasional dan kolaborasi dengan lembaga domestik maupun global. Namun, proses internasionalisasi juga menghadapi kendala budaya dan praktis. Temuan ini menyarankan perlunya lebih banyak elemen internasionalisasi untuk menunjang persiapan dan implementasinya.

Kesimpulan 

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa internasionalisasi kurikulum dalam pendidikan tinggi merupakan proses kompleks yang melibatkan integrasi perspektif internasional dan antarbudaya di semua aspek pembelajaran, tidak hanya melalui mobilitas mahasiswa atau penyesuaian kurikulum. Kesalahpahaman umum perlu diluruskan, seperti anggapan bahwa kehadiran mahasiswa internasional otomatis menciptakan kurikulum terinternasionalisasi. Internasionalisasi harus dilakukan secara holistik, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan fokus pada pengembangan keterampilan global. Di Indonesia, meskipun ada potensi besar, tantangan seperti perbedaan interpretasi, rendahnya publikasi internasional, dan kurangnya staf berkualifikasi menghambat kemajuan. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah dan universitas untuk mempercepat proses internasionalisasi pendidikan tinggi.

* Koraalwaterland, 04 November 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam