Hadis-hadis Hukum Ibn 'Arabî: Ulasan Kitab al-Mahajjah al-Bayđâ'
Cak Yo
Pengantar
Belakangan ini saya secara intens mengikuti arus ketertarikan dan antusiasme para sarjana, terutama di Barat, dalam mengkaji Ibn 'Arabî. Ketika saya tertarik untuk mengkaji aspek hukum (fikih dan usul fikih) Ibn 'Arabî itu, saya merasa penasaran, dan dalam perkuliahan program doktor saya bertanya kepada dosen saya waktu itu, Prof. Atho Mudzhar, "apakah aspek hukum Ibn 'Arabî bisa dijadikan bahan penelitian disertasi?" "Bisa asal ada bahan-bahannya, yaitu, karya-karya langsung Ibn 'Arabî tentang aspek hukum itu", jawab Prof. Atho.
Pertanyaan saya itu ternyata sudah dipertanyakan juga oleh Eric Alexander Winkel, sarjana yang mendalami ajaran Ibnu ʿArabî bahkan mendedikasikan dirinya untuk menerjemahkan karya besar Ibn 'Arabî, al-Futūḥāt al-Makīyah ke bahasa Inggris.
Dalam artikelnya "Ibn ‘Arabi’s Fiqh: Three Cases from the Futūhāt" (Journal of the Ibn Arabi Society, Vol. XIII, 1993) Eric Winkel mengawalinya dengan pertanyaan, "Is there even any material for a study of Ibn ‘Arabi’s fiqh (legal discourse / jurisprudence)?", "Adakah bahan-bahan untuk mengkaji fiqih (wacana hukum/yurisprudensi) Ibn 'Arabî?
Lalu jawabnya, "Few people realize that Ibn ‘Arabi had a fiqh! And yet a translation of just the extended fiqh section of the Futūhāt would run over two thousand pages. Yes there is an Akbarian fiqh: I have chosen here three particular cases he investigates and argues from a fiqh perspective" (Hanya sedikit orang yang menyadari bahwa Ibn 'Arabî memiliki fiqih! Padahal, terjemahan dari bagian fiqih yang diperluas dari Futūhāt saja bisa mencapai lebih dari dua ribu halaman. Ya, ada fiqih Akbarian: Saya telah memilih tiga kasus khusus yang diselidiki Ibn 'Arabî dan diperdebatkannya dari perspektif fiqih").
Keyakinan Eric Winkel bahwa Ibn 'Arabî memiliki pemikiran fikih ia buktikan antara lain dalam dua bukunya: Mysteries of Purity: Ibn Al-Arabi’s Asrar Al-Taharah (Cross Cultural Publications Inc., 1995) dan buku Islam and the living law: the Ibn al-Arabi approach (Oxford University Press, USA, 1996).
Buku pertama, Mysteries of Purity, merupakan terjemahan dari Bab 68, "Asrâr al-Tahârah, bagian dari al-Futuhât al-Makkîyah, di mana Ibn 'Arabî menyelidiki rahasia praktik bersuci (tahârah) Islam yang secara terperinci ia menjelaskan berbagai kemungkinan masalah yang mungkin timbul dari sudut pandang hukum ilahi tentang bersuci baik dari perspektif eksoterik (żâhir) dan esoterik (bâțîn)-nya. Sedangkan buku kedua, Islam and the Living Law mendiskusikan spiritual- hukum Ibn 'Arabî (dan para ulama Sufi pada umumnya) yang berpusat pada hukm. Winkel menjelaskan tentang salat, zakat, puasa, dan haji yang menjadi perhatian dari wacana spiritual-hukum Ibn 'Arabî. Buku ini juga mendiskusikan tentang Ibn 'Arabî dan Ijtihâd, serta tentang literalisme hukum Ibn 'Arabî.
Buku yang memperkuat adanya wacana hukum Ibn 'Arabî juga ditulis Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the Book, and the Law. Buku ini mengeksplorasi pemahaman Ibn Arabî tentang hukum yang didasarkan pada dua prinsip: keabsahan asal, yakni segala sesuatu dianggap sah kecuali ada larangan syariat, dan keabsahan pendapat hukum, di mana semua pendapat yang dibuat oleh mujtahid dianggap sah dan dapat diikuti. Chodkiewicz menekankan bahwa bagi Ibn Arabî, hukum merupakan manifestasi dari Realitas Tertinggi yang berakar pada Al-Qur'an dan Hadis, bukan hanya sekadar aturan, tetapi cerminan kebenaran ilahi. Karya monumental Ibn Arabi, al-Futuhât al-Makkîyah, yang halaman demi halamannya hampir dipenuhi kutipan Alquran dan Hadis menyoroti hubungan hukum dan spiritualitas, menjadi pusat kajian dalam buku ini. Diterbitkan pada tahun 1993 oleh State University of New York Press, karya ini menunjukkan pengaruh mendalam Alqur'an dan Hadis dalam pemikiran hukum Ibn Arabi.
Perhatian Ibn 'Arabî terhadap Hadis
Perhatian Ibn 'Arabî terhadap Hadis dibahas Denis Gril dalam artikelnya, "Hadith in the work of Ibn ʿArabī" yang diterjemahkan oleh Alan Boorman dan direproduksi dari the Journal of the Muhyiddin Ibn Arabi Society, Volume 50, 2011.
Denis Gril menguraikan perjalanan intelektual Ibn Arabi dalam memahami dan menguasai ilmu hadis serta kalam. Melalui pengalaman yang diperoleh dari banyak guru di Andalusia, Maghrib, dan Mashriq, ia tidak hanya menemukan pengetahuan baru tetapi juga melakukan penemuan kembali yang mendalam. Bagi Ibn Arabî, ilmu yang ia peroleh tidak hanya bersifat teoritis, melainkan merupakan konfirmasi dari pencerahan spiritual yang ia alami dalam perjalanan retret atau khalwa.
Dalam karyanya, Ibn Arabi mencatat pengalamannya dengan banyak guru, yang terlihat jelas dalam otobiografinya, al-Ijāza li-l-Malik al-Muẓaffar, dan dalam referensi yang banyak terdapat dalam Muḥāḍarāt al-abrâr. Gril mengutip Claude Addas tentang daftar guru-guru Ibn 'Arabî tersebut, menunjukkan betapa pentingnya otoritas dalam periwayatan hadis. Hal ini menggambarkan bahwa pemahaman dan penguasaan tradisi hadis oleh Ibn Arabî tidak terlepas dari dukungan banyak guru yang meriwayatkan tradisi kenabian kepadanya.
Lebih lanjut, Ibn Arabî tidak hanya mengumpulkan hadis tetapi juga menciptakan koleksi yang mencerminkan pemikirannya. Dalam Ijâzah dan Fihris al-muʾallafāt, yang merupakan catatan dari sebagian besar karya yang ia tulis, terlihat bahwa ia berupaya menyusun koleksi hadis yang komprehensif. Koleksi-koleksi tersebut mencakup ringkasan dari karya-karya hadis terkenal seperti Ṣaḥīḥ Bukhari dan Muslim serta Jāmiʿ Tirmidzi, meskipun sebagian besar ringkasan tersebut telah hilang.
Di antara karya-karya yang dicatat, Mishkāt al-anwār fīmā ruwiya ʿan Allāh min al-akhbār merupakan koleksi hadis qudsī yang menarik, di mana empat puluh hadis pertama dilengkapi dengan isnād. Karya lain yang relevan adalah al-Maḥajjat al-bayḍāʾ fī al-aḥkām al-sharʿiyya, yang ditulis dengan gaya hadis hukum. Dalam Fihris, dicatat bahwa karya ini terdiri dari dua jilid, sementara jilid ketiga masih dalam proses penyelesaian.
Contoh jilid kedua yang ada di perpustakaan Yusuf Ağa di Konya memuat berbagai topik penting, dimulai dari keutamaan salat hingga pertunjukan militer pada hari raya di Masjid Nabawi. Hal ini menunjukkan bahwa penulis, yang berada di Mekkah pada tahun 600 H, berencana untuk menyusun koleksi hadis yang sangat banyak untuk dijadikan referensi dalam bidang yurisprudensi. Isnād yang dicatat di halaman sampul, ditulis tangan oleh Ibn Arabi sendiri, menambah dimensi otoritatif pada karyanya. Ibn Arabî juga mungkin memperoleh lisensi untuk meriwayatkan hadis melalui jalur yang tidak langsung.
Dengan demikian, pentingnya periwayatan dalam tradisi hadis, serta menunjukkan upaya Ibn Arabî dalam menyusun karya fiqih yang berlandaskan hadis. Pilihan ini menempatkan Ibn Arabi dalam aliran pemikiran hukum tertentu, dan ia memberi penghormatan yang signifikan kepada Ibnu Hazm sebagai seorang ahli hadis. Karya-karyanya tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga memberikan pandangan yang kaya tentang pemikiran hukum dan spiritualitas pada zamannya.
Tinjauan Umum Kitab al-Mahajjah al-Bayđâ'
Kitab al-Mahajjah al-Bayđâ' fi al-Ahkâm al-Shar'îyah wa al-Âdâb Ad-Dînîyah ini diedit oleh 'Abd al-'Azîz Sulțân al-Manşûb (Kairo: Al-Quds, 1437 H / 2016 M).
Saya terjemahkan bagian-bagian dari kitab ini dengan terjemahan hampir secara bebas mulai dari pengantar editor dan beberapa bagian hadis-hadis hukum dalam kitab al-Mahajjah. Editor, Abd al-'Azîz Sulțân al-Manşûb juga telah mengedit karya terbesar Ibn 'Arabî, al-Futûhât al-Makkîyah, dalam 32 jilid Futûhât.
Abd al-'Azîz Sulțân al-Manşûb berkata,
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kita akan menelusuri perjalanan pemikiran dan warisan salah satu tokoh terkemuka dalam dunia Islam, Shaykh al-Akbar Muhyî al-Dîn ibn al-'Arabî. Dianggap sebagai salah satu pemikir Arab dan Muslim paling produktif, jumlah karya yang ditinggalkan Ibn 'Arabî mencapai ratusan, dengan perkiraan sekitar 364 hingga 550 karya, setelah memperhitungkan beberapa tulisan yang hilang. Salah satu ahli yang berfokus pada kajian karyanya adalah Dr. Utsman Yahya, seorang sarjana Arab yang mendalami jejak intelektual Ibn 'Arabî.
Tulisan Ibn 'Arabî mencakup berbagai topik dalam ilmu-ilmu Islam, mulai dari tafsir, hadis, hingga fiqih, biografi, dan tentu saja tasawuf. Namun, karena dominasi tasawuf dalam karyanya, kebanyakan orang hanya mengenalnya sebagai pemimpin dalam bidang ini. Hal ini menyebabkan sebagian kalangan yang kurang memahami tasawuf bersikap skeptis, bahkan memusuhi Ibn 'Arabî. Mereka mempertanyakan komitmen hukumnya terhadap ajaran agama Islam dan memandang beberapa karyanya dengan curiga. Situasi ini diperparah oleh kurangnya upaya untuk menyebarkan karya-karya Ibn 'Arabî yang tidak berfokus pada tasawuf.
Dalam pendahuluan kitab al-Futûhât al-Makkîyah, saya menyebutkan bahwa absennya karya-karya ini dari peredaran adalah kerugian besar bagi dunia akademik dan spiritual Islam. Berbagai pihak, termasuk lembaga-lembaga pendidikan, pusat-pusat riset, dan komunitas tasawuf, perlu mengambil langkah untuk mengeksplorasi karya-karya Ibn 'Arabî secara lebih luas. Tidak hanya terbatas pada tasawuf, tetapi juga mencakup semua bidang yang telah ia tulis dengan penuh tanggung jawab dan kompetensi.
Salah satu upaya dalam pelestarian warisan Ibn 'Arabî telah dilakukan oleh Yayasan Ibnu al-Arabî di Pakistan, yang dipimpin oleh Abrar Ahmed Shahi. Yayasan ini telah berhasil menyediakan naskah-naskah Ibn 'Arabî untuk dipelajari dan dilestarikan. Langkah ini adalah bagian penting dari upaya untuk membuka akses lebih luas terhadap karya-karya besar sang Syekh.
Karya monumental Ibn 'Arabî, al-Mahajjah al-Bayđâ', memberikan wawasan mendalam tentang pemikirannya dalam bidang fiqih Islam. Buku ini pertama kali ditulis pada tahun 599 H, ketika Ibn 'Arabî berada di sekitar Masjidil Haram di Mekah setelah melaksanakan ibadah haji. Dalam buku ini, Ibn 'Arabî membahas berbagai aspek hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan ibadah salat. Setelah menyelesaikan bagian pertama yang membahas tentang kesucian dalam ibadah, beliau melanjutkan dengan menulis tentang berbagai aspek doa, sebuah tema yang sangat luas dan kompleks dalam tradisi Islam.
Walaupun sebagian besar buku dari seri ini telah hilang, buku kedua yang membahas tentang doa masih ada dan dapat diakses oleh para pembaca. Isinya menunjukkan luasnya wawasan Ibn 'Arabî dalam bidang fiqih dan hadis. Ia tidak hanya menguraikan ajaran-ajaran yang disampaikan para imam terdahulu, tetapi juga memperkaya pembahasannya dengan diskusi mendalam tentang perbedaan-perbedaan dalam pendapat ulama dan hadis.
Karya ini juga memperlihatkan kedalaman pemahaman Ibn 'Arabî terhadap hukum Islam, serta kecermatannya dalam membahas pendapat para ulama terdahulu. Ia tidak hanya mengikuti pandangan mereka, tetapi juga memberikan interpretasi yang kritis dan mendalam terhadap berbagai persoalan hukum. Ini mencerminkan intelektualitas dan ketajaman analisisnya dalam bidang ilmu keislaman.
Kami menyampaikan penghargaan kepada mereka yang telah berperan penting dalam menghadirkan buku ini kepada para pembaca. Yayasan Ibn al-'Arabî di Pakistan, yang dipimpin oleh Abrar Ahmad Shahi, layak mendapatkan pujian atas upaya mereka melestarikan naskah-naskah Ibn 'Arabî dan menerbitkannya dalam bentuk yang dapat diakses oleh publik. Usaha ini sangat penting untuk menyebarkan pengetahuan dan hikmah yang terkandung dalam karya-karya Ibn 'Arabî.
Selain itu, kami juga berterima kasih kepada Dr. Utsman Yahya yang telah melakukan penelitian mendalam terhadap indeks karya-karya Ibnu al-Arabi. Penelitian ini memberikan panduan berharga bagi mereka yang ingin memahami warisan intelektual sang Syekh. Dr. Utsman Yahya mengutip bahwa Ibnu al-Arabi menyusun kitab ini di Mekah, menyelesaikan dua jilid yang membahas tentang doa, dan mengisyaratkan adanya jilid ketiga yang belum ditemukan.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ahmed Muhammad Ali dari Mesir, yang telah membantu dalam persiapan sebagian besar teks berbahasa Arab dari naskah ini. Tak lupa, kami juga berterima kasih kepada tim peneliti dari Pusat Studi Al-Safa di Sana’a, yang turut berkontribusi dalam penyelidikan dan penerbitan naskah ini. Mereka semua layak mendapatkan apresiasi atas usaha mereka melestarikan warisan intelektual Syekh Al-Akbar Ibnu al-Arabi.
Dengan demikian, buku al-Mahajjah al-Bayđâ' ini bukan hanya sekadar buku fiqih, tetapi juga merupakan jendela bagi para pembaca untuk memahami kedalaman pemikiran Ibnu al-Arabi dalam berbagai bidang ilmu Islam. Warisannya terus hidup melalui upaya-upaya pelestarian yang dilakukan oleh berbagai pihak, dan semoga terus menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi generasi mendatang.
Sekilas Riwayat Hidup Ibn 'Arabî
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Alî bin Muhammad bin Ahmed bin Abdullah Al-Tai Al-Hatemi, yang merupakan keturunan Abdullah bin Hatem. Adik dari sahabat Rasulullah, Adi bin Hatim, yang wafat pada tahun 68 H. Syekh Al-Arabi dilahirkan pada hari Senin, tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H (26 Juli 1165 M) di kota Murcia, bagian timur Andalusia.
Keluarga Syekh Muhyiddin berasal dari Yaman kuno, dan pindah ke Andalusia pada masa pemerintahan Islam di sana. Syekh Ibn Al-Arabi menyebutkan bahwa ia berasal dari kalangan yang terhormat dan dihormati. Ibunya bernama Nour, dari keluarga Ansar yang berasal dari suku Khawlan di Yaman. Ia menggambarkan ibunya sebagai wanita yang dermawan dan memiliki keturunan mulia dari Ansar.
Ayah Syekh adalah seorang yang saleh, taat, dan dekat dengan para penguasa, baik di bagian timur Andalusia maupun di negara-negara lainnya. Beliau bekerja di istana Sultan di Seville selama kekhalifahan Abu Ya'qub Yusuf ibn Abd al-Mu’min dan putranya, Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur. Syekh Al-Arabi tinggal bersama ayahnya hingga wafat pada tahun 590 H di Seville, setelah pulang dari kunjungan ke Syekh Abdul Aziz al-Mahdawi di Tunisia.
Paman Syekh adalah Abdullah bin Muhammad bin Al-Arabi. Ia disebutkan oleh Syekh sebagai seseorang yang memasuki jalan spiritual pada usia delapan puluh tahun, dan hidup dalam pengabdian hingga wafat tiga tahun kemudian. Selain itu, Syekh Al-Arabi memiliki dua saudara perempuan, yaitu Umm al-Saad dan Umm al-Alaa, yang disebutkan dalam beberapa catatan sejarah.
Syekh Muhyiddin menyebutkan bahwa segala pengalaman spiritualnya sebelum tahun 590 H hanyalah persiapan untuk penaklukan terbesar yang ia alami pada tahun tersebut. Ini merupakan pencapaian spiritual yang menjadi tonggak penting dalam hidupnya, di mana ia merasa semakin dekat dengan Tuhan dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah sepenuhnya.
Salah satu pertemuan penting dalam hidup Syekh adalah dengan filsuf dan dokter terkenal, Abu Al-Walid Ibn Rusyd, di Cordoba. Selain itu, Syekh Muhyiddin sangat menghormati Syekh Abu Madin, seorang tokoh spiritual yang tinggal di Bejaia. Setelah Abu Madin wafat pada tahun 589 H, Syekh Muhyiddin melakukan perjalanan ke Tlemcen, tempat peristirahatan terakhir Syekh Abu Madin, sebagai bentuk penghormatan.
Setelah perjalanan panjang antara Andalusia dan Maghreb, Syekh Muhyiddin menghabiskan delapan tahun terakhir hidupnya berpindah-pindah antara kota-kota besar di bawah kekuasaan Almohad. Beliau bertemu dengan banyak ulama dan sultan, terus memperdalam ilmu agama, dan mengajar banyak murid, termasuk Abdullah bin Badr al-Habashi al-Yamani, sahabat setianya. Syekh Muhyiddin wafat pada akhir tahun 618 H di Malatya, dan dimakamkan di sana dengan penuh penghormatan.
Dari penjelasan dalam Risalah Syekh, diketahui bahwa semua pengalaman spiritual yang beliau lalui sebelum tahun 590 H hanyalah sebuah pendahuluan bagi penaklukan spiritual terbesar yang terjadi pada dirinya pada tahun tersebut. Penaklukan terbesar ini terjadi setelah kunjungan yang diberkahi, di mana beliau memasuki dunia penghambaan yang hakiki, yang ia gambarkan dalam tulisannya.
Setelah 45 tahun, beliau berkata, "Penghambaan adalah sebuah kehinaan yang hakiki dan murni yang melekat pada diri seorang hamba. Tidak ada keharusan bagi seorang hamba untuk melakukannya, karena penghambaan itu sendiri adalah esensi dari dirinya. Kecuali mereka yang telah mencapai tanah Ilahi yang luas, yang menjadi tempat tinggal bagi ciptaan dan keabadian; di situlah terletak penghambaan yang sempurna kepada Tuhan."
Pada tahun 590 H, ia juga berkata: "Hari ini, usiaku telah mencapai 635 tahun,"Peristiwa besar ini menunjukkan betapa pentingnya kunjungan yang dilakukan Syekh, yang mempertemukannya dengan beberapa tokoh besar spiritual dan membawa perubahan besar dalam dirinya.
Pertemuan penting Syekh Ibn Arabi dengan Syekh Abu Muhammad Makhlouf al-Qabaili di Cordoba pada tahun 586 H menjadi momen penting dalam hidupnya. Dalam pertemuan tersebut, beliau menerima wahyu tentang kebenaran dan menyaksikan sosok-sosok utusan Tuhan dan para nabi dari Adam hingga Muhammad. Beberapa hari setelah pertemuan itu, Syekh al-Qabaili wafat.
Setelah kunjungan itu, Syekh Ibn Arabi semakin berkembang dalam jalur spiritualnya dan mulai menerima berbagai pelajaran penting dari tokoh-tokoh besar.
Pada tahun 594 dan 595 H, Syekh Ibn Arabi menetap di Fez, di mana beliau mulai meraih posisi yang lebih tinggi dalam dunia spiritual. Dalam tulisannya, beliau menyebut dirinya sebagai "penutup kewalian" dan menjelaskan bahwa pangkat tersebut bukanlah akhir dari perwalian, tetapi merupakan pangkat tertinggi yang hanya bisa dicapai Ibn Arabî.
Beliau juga menjelaskan bahwa kedudukannya di sisi Rasulullah serupa dengan sehelai rambut di tubuh Nabi, yang merupakan tanda kerendahan dan pengabdian tertinggi kepada Tuhan.
Setelah kembali ke Andalusia pada tahun 590 H, Syekh Ibn Arabi menghabiskan delapan tahun berpindah-pindah antara Maghreb dan Andalusia. Dalam perjalanan ini, beliau bertemu dengan banyak ulama, imam, dan sultan, serta terus menimba ilmu dalam berbagai cabang ilmu agama Islam. Salah satu muridnya yang paling setia adalah Abdullah bin Badr al-Habashi al-Yamani, yang menemani beliau seperti bayangannya sendiri hingga Syekh wafat pada tahun 618 H di Malatya.
Syekh Ibn Arabi membahas tentang karamah atau keajaiban spiritual dalam karyanya Al-Futuhat al-Makkiyya. Beliau membedakan antara karamah yang dapat dipahami oleh orang awam dan karamah yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Karamah sejati, menurut beliau, adalah menjaga akhlak yang baik, menjauhi dosa, dan menyucikan hati dari sifat-sifat tercela. Syekh juga menekankan bahwa karamah bukanlah tujuan akhir, tetapi hanyalah sebuah tanda dari kebaikan yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya.
Penjelasan Syekh tentang karamah ini menunjukkan bahwa beliau sangat memahami makna spiritual yang mendalam dan menjauhkan diri dari penipuan dan kesombongan yang bisa datang dengan karamah eksternal.
Meskipun Syekh Ibn Arabi mendapat pengakuan yang luas di kalangan ulama besar, terutama di Mekah dan Irak, tidak semua pihak menerima ajaran tasawufnya. Beberapa penentang tasawuf berusaha merusak citra Syekh Ibn Arabi setelah kematiannya, terutama di kawasan Timur Arab. Namun, pengaruh Syekh tetap besar dan terus diikuti oleh para pengikutnya yang setia.
Beberapa tokoh besar seperti Al-Izz ibn Abd al-Salam, meskipun dikenal sebagai ulama yang kritis terhadap penyimpangan dalam agama, tetap menghormati posisi spiritual Syekh Ibn Arabi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat, Syekh Ibn Arabi tetap dihormati sebagai salah satu tokoh besar dalam dunia spiritual Islam.
Kitab tentang Shalat Dalam al-Mahajjah al-Bayđâ'
Beberapa hadis tentang salat dalam al-Mahajjah al-Bayđâ' saya terjemahkan di sini:
Bab tentang Pembagian Shaf dalam Shalat untuk Laki-laki dan Perempuan. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang pertama, dan yang terburuk adalah shaf terakhir, sementara sebaik-baik shaf bagi perempuan adalah yang terakhir, dan yang terburuk adalah yang pertama” (1). Hadits ini menunjukkan bahwa diperbolehkan bagi wanita untuk shalat di masjid, namun Rasulullah ﷺ menunjukkan pentingnya menjaga kerendahan hati dan ketertiban dalam shaf, terutama untuk menghindari gangguan seperti memandang wanita yang sedang berlutut atau bersujud (2).
Bab tentang Keutamaan Shaf Pertama.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika suatu kaum mengetahui apa yang ada pada seruan adzan dan di shaf pertama, lalu mereka tidak memiliki cara lain kecuali harus mengundinya, maka mereka akan mengundinya. Dan jika mereka mengetahui keutamaan shalat di waktu gelap dan pagi, mereka akan mendatanginya, meski dengan merangkak” (3). Hadits ini menunjukkan keutamaan adzan, keutamaan menunaikan shalat berjamaah, serta pentingnya mendatangi shalat di waktu subuh dan isya.
Bab tentang Doa kepada Tuhan dan Para Malaikat bagi Mereka yang di Shaf Pertama.
Diriwayatkan dari Al-Bara' bin Azib, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mendoakan mereka yang berada di shaf pertama” (4). Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan orang-orang yang berdiri di shaf pertama dalam shalat berjamaah, di mana mereka mendapatkan doa dari Allah dan para malaikat.
Bab Larangan Shalat antara Dua Rukun
Diriwayatkan dari Abu Ahmad, dari Abu Sufyan, bahwa Rasulullah ﷺ melarang shalat di antara dua rukun (di dalam Ka'bah). Meskipun riwayat ini dianggap lemah (5), namun beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Hudhayfah, dan lainnya juga tidak menyukai hal tersebut. Namun, Malik dan Ibnu Sirin memperbolehkannya (6).
Bab Takbir Imam saat Shaf Sudah Lurus
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Al-Nu’man, beliau berkata: "Rasulullah ﷺ biasa meluruskan shaf kami ketika kami berdiri untuk shalat, sehingga ketika kami sudah lurus, beliau mengucapkan 'Allahu Akbar'” (7). Umar dan Utsman juga memerintahkan agar barisan diluruskan sebelum memulai shalat.
Bab Larangan Mengangkat Tangan kecuali pada Saat yang Diperintahkan
Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan seperti ekor kuda yang liar? Tetaplah diam dalam shalat kalian" (8). Rasulullah melarang mengangkat tangan selain pada momen-momen yang disyariatkan seperti takbiratul ihram, rukuk, dan bangkit dari rukuk.
Bab-Sholat Malam Dua Rakaat Dua Rakaat. Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sholat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika seseorang khawatir akan masuknya waktu fajar, maka ia sholat Witir satu rakaat." Diriwayatkan juga oleh Malik bahwa ia pernah mendengar Abdullah bin Umar berkata: "Sholat malam itu dua rakaat-dua rakaat, dengan satu salam untuk setiap dua rakaat." Malik berkata: "Itulah pendapat kami" (9).
Nabi SAW bersabda: "Sholat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat." Banyak ulama yang sepakat dengan pendapat ini, di antaranya Al-Hasan Al-Bashri, Sa'id bin Jubair, Sufyan Al-Thawri, Ibnu Al-Mubarak, Al-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan Malik (10). Namun, Hammad bin Abi Sulaiman berkata bahwa sholat siang dilakukan empat rakaat (11). Al-Awza’i menambahkan bahwa seseorang dapat sholat empat rakaat tanpa salam di sholat siang hari (12). Al-Numan memberikan opsi: "Jika mau, dua rakaat, dan jika mau, empat rakaat" (13). Ishaq berpendapat lebih baik empat rakaat untuk sholat siang, meski sholat dua rakaat juga diperbolehkan (14).
Bab- Orang yang Berniat Sholat Malam Namun Tertidur. Diriwayatkan dari Malik melalui Muhammad ibn al-Mankadir, dari Sa'id ibn, bahwa Aisyah, istri Nabi SAW, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa berniat sholat di malam hari, namun tertidur, maka Allah telah mencatat baginya pahala sholatnya, meskipun dia sedang tidur" (15). Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang terhalang melakukan suatu amal karena alasan tertentu tetap mendapat pahala, sebagaimana pahala sholat bagi yang duduk karena alasan kesehatan (16).
Bab - Mandi di Hari Raya Idul Fitri. Ibnu Umar diriwayatkan biasa mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke tempat sholat (17). Ali bin Abi Thalib juga disebutkan mandi pada hari Idul Fitri (18). Meskipun beberapa ulama seperti Malik, Al-Syafi'i, dan Ishaq tidak mewajibkan mandi, mereka tetap menganjurkannya (19).
Bab - Makan Sebelum Salat di Hari Raya Idul Fitri. Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW tidak akan pergi ke tempat sholat pada hari Idul Fitri sebelum makan beberapa kurma (20). Hadits ini menunjukkan pentingnya makan sebelum melaksanakan sholat Idul Fitri, dan kurma menjadi pilihan yang dianjurkan (21).
Bab - Pergi ke Idul Fitri dengan Membawa Senjata. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Saeed bin Jubair, yang berkata: “Aku bersama Ibnu Umar ketika ujung tombak menusuk telapak kakinya, dan kakinya tertancap di sanggurdi. Aku turun dan melepaskannya dengan tanganku, dan mengantarnya ke tempat yang aman hingga dia kembali. Al-Hajjaj bertanya: 'Seandainya kami tahu siapa yang melukaimu?' Ibnu Umar menjawab: 'Kamu telah melukai saya.' Al-Hajjaj bertanya: 'Bagaimana bisa?' Ibnu Umar menjawab: 'Kamu membawa senjata pada hari yang tidak diperbolehkan membawa senjata, dan kamu membawa senjata itu ke Tempat Suci, yang mana senjata tidak boleh dibawa ke sana.'" Hadits ini menunjukkan bahwa senjata tidak boleh dibawa ke dalam Tempat Suci pada hari-hari perayaan (22).
Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dalam “Al-Maraseel” dari Abu Issa Al-Khorasani, berdasarkan riwayat Al-Dahhak bin Muzahim, yang berkata: “Rasulullah ﷺ melarang keluar membawa senjata pada hari Idul Fitri” (23).
Bab - Kegembiraan dan Bermain Senjata pada Hari Raya Idul Fitri di Masjid Nabawi. Diriwayatkan oleh Al-Nasa'i dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang-orang pada masa pra-Islam memiliki dua hari setiap tahunnya untuk bermain. Allah menggantikan dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik bagi mereka: Hari Idul Fitri dan Hari Idul Adha” (24).
Diriwayatkan oleh Muslim dari Aisha, yang berkata: “Abu Bakr masuk ke rumahku ketika aku memiliki dua budak perempuan yang sedang bernyanyi tentang apa yang terjadi pada orang-orang Ansar pada hari Baath. Abu Bakr berkata: 'Apakah setan berada di rumah Rasulullah?' Ini terjadi pada hari Idul Fitri. Rasulullah ﷺ kemudian bersabda: 'Wahai Abu Bakr, setiap umat memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kami'” (25). Dalam riwayat lain: “Dua budak perempuan itu sedang bermain rebana” (26).
Juga diriwayatkan bahwa permainan orang Sudan dengan tombak dan panah terjadi di Masjid Rasulullah ﷺ, dan Aisha menonton sambil berdiri di samping Nabi ﷺ hingga beliau berkata: “Apakah kamu puas?” Aisha menjawab: “Ya.” Maka beliau berkata: “Pergilah”. Riwayat lain mengatakan, "Biarkan mereka, dan ketika dia lalai, mereka kewalahan, jadi kami keluar. Saat itu adalah hari Idul Fitri, dan orang-orang Sudan sedang bermain panah dan tombak. Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ, atau beliau berkata, 'Kamu akan melihat dan menunggu, tidak ada Tuhan selain Allah yang mengetahui apa yang ada di balik itu.' Pipiku bersandar pada pipi beliau, dan beliau berkata: 'Lanjutkan, wahai Bani Arfada,' sampai aku bosan, lalu beliau berkata: 'Sudah cukupkah bagimu?' Aku menjawab, 'Ya.' Beliau berkata, 'Kalau begitu, pergilah.'" Permainan ini terjadi di dalam Masjid Rasulullah. (27)
Kitab ini diakhiri dengan bagian kedua puluh dari kitab al-Mahajjah Al-Bayđâ', yang disalin dengan tangan penulis pada penghujung bulan Safar di tahun 600 H, di Masjidil Haram, Mekkah.
Kesimpulan
Penelitian tentang aspek hukum Ibn 'Arabî memang masih kurang banyak diangkat, meskipun tokoh ini dikenal lebih luas dalam bidang tasawuf. Beberapa sarjana, seperti Eric Winkel dan Michel Chodkiewicz, telah berusaha mengungkap sisi ini dalam karya-karya mereka. Ibn 'Arabî dalam al-Futūḥāt al-Makīyah memuat diskusi hukum yang melampaui batas tasawuf, di mana ia juga berbicara tentang aspek syariat secara mendalam, bahkan terdapat ribuan halaman yang membahas fiqih. Pemikiran hukum Ibn 'Arabî berakar pada konsep spiritualitas yang menyeluruh, menghubungkan dimensi zahir dan batin dalam ajaran agama.
Ibn 'Arabî juga menunjukkan ketertarikannya pada hadis, yang menjadi landasan utama dalam pengambilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Denis Gril, hadis memainkan peran penting dalam karya-karya hukum Ibn 'Arabî, di mana ia menyusun koleksi hadis yang berhubungan dengan hukum dan spiritualitas. Karya seperti al-Mahajjah al-Bayḍāʼ menampilkan pemikiran Ibn 'Arabî dalam aspek hukum Islam, menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang sufi, tetapi juga seorang ulama yang memiliki pemahaman mendalam tentang syariat.
Keseluruhan wacana hukum Ibn 'Arabî menempatkannya sebagai pemikir multidimensional yang menggabungkan syariat dan hakikat, serta berusaha menafsirkan aturan hukum Islam dengan pandangan yang lebih luas, mencakup aspek-aspek esoteris dan spiritual yang sering kali diabaikan dalam diskusi hukum konvensional.
________
Catatan Rujukan:
1. Sahih Muslim (1/326)
2. [Al-Hijr: 24]
3. Sahih Muslim (1/325)
4. Sahih Muslim (1/326)
5. Al-Kamil dalam Dhu’afa’ al-Rijal (5/188)
6. Sunan Abu Dawud (1/329)
7. Sahih Muslim (1/324)
8. Sahih Muslim (1/327)
9. Sunan al-Tirnidzi, no. 389.
10. Muwatta' Malik, no. 113.
11. Sunan al-Tirmidzi, no. 391.
12. Muwatta' Malik, no. 114.
13. Al-Syafi'i, Kitab al-Umm, jilid 2, hlm. 223.
14. Musnad Ahmad, no. 539.
15. Sunan al-Tirmidzi, no. 389.
16. Sunan al-Tirmidzi, no. 390.
17. Muwatta' Malik, no. 115.
18. Sunan Abu Dawud, no. 350.
19. Al-Syafi'i, Kitab al-Umm, jilid 2, hlm. 225.
20. Sahih Bukhari, no. 953.
21. Sunan al-Tirmidzi, no. 391.
22. Shahih Al-Bukhari (19/2).
23. Al-Marasîl karya Abu Dawud (hlm. 108)
24. Al-Sunan Al-Kubra karya Al-Nasa’i (2/295).
25. Shahih Muslim (2/356).
26. Shahih Muslim (2/357).
27. Shahih Muslim (2/358).
Pagaulan-Cikarang, 4 Oktober 2024.
Komentar
Posting Komentar