Utopia Bellamy: Di 1887 Menyulam Mimpi ke Tahun 2000
Cak Yo
Pengantar
Tempo hari saya berjanji akan menulis ulasan tentang buku-buku favorit para pemimpin bangsa ketika mereka masih muda—buku-buku yang tak hanya mereka baca, tetapi mereka hayati, renungkan, dan jadikan kompas dalam mencari arah hidup serta cita-cita kemerdekaan. Sebelumnya saya telah mengulas De Socialisten karya Quack, buku tebal yang pernah menjadi bacaan Mohammad Hatta semasa kuliah di Rotterdam. Di sana, Hatta menemukan peta awal dari pergulatan antara kapitalisme dan sosialisme yang kelak membentuk pandangan ekonominya yang khas: anti-kapitalis tanpa menjadi sosialis, pro-rakyat tanpa kehilangan nalar moral.
Kini, saya akan beralih ke buku lain yang juga menggetarkan imajinasi dua tokoh besar bangsa kita: In Het Jaar 2000—atau dalam versi Inggrisnya dikenal sebagai Looking Backward: 2000–1887—karya Edward Bellamy. Buku ini bukan sekadar novel; ia adalah mimpi sosial yang disusun dengan logika seorang utopis dan keberanian seorang moralist. Hatta membaca Bellamy dengan mata seorang mahasiswa yang haus akan tatanan dunia yang lebih adil, sedangkan Sukarno menyerapnya sebagai bahan bakar bagi visinya tentang masyarakat yang makmur tanpa penindasan.
Bayangkan: Bellamy menulis kisah tentang seorang lelaki dari abad ke-19 yang tertidur panjang dan terbangun di abad ke-21—di dunia yang telah berubah menjadi masyarakat kolektif tanpa kemiskinan, tanpa perang, tanpa kesenjangan. Segalanya diatur dengan efisiensi, keadilan, dan rasa kemanusiaan. Dalam dunia Bellamy, kerja bukan lagi beban, melainkan kontribusi sosial; kemakmuran bukan hasil dari persaingan, melainkan buah dari kebersamaan.
Tak heran jika buku ini menjadi semacam “kitab suci” kecil bagi kaum muda pergerakan di awal abad ke-20. Bagi Hatta, utopia Bellamy memberi inspirasi tentang ekonomi kerakyatan yang kemudian ia rumuskan dalam bentuk koperasi. Bagi Sukarno, ia memperkuat gagasan tentang keadilan sosial dan cita-cita masyarakat tanpa kelas. Bellamy mungkin tak mengenal Indonesia, tetapi ide-idenya berlayar jauh, menyeberangi lautan, dan menanam benih dalam pikiran dua tokoh yang kelak memerdekakan negeri ini.
Maka membaca Het Jaar 2000 hari ini bukan sekadar nostalgia terhadap bacaan masa muda Hatta dan Sukarno, tetapi juga upaya menelusuri akar-akar intelektual dari cita-cita bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan Indonesia bukan lahir dari ruang hampa, melainkan dari pertemuan gagasan-gagasan besar dunia dengan kesadaran lokal yang mencari keadilan.
Dan mungkin, seperti Bellamy, kita pun perlu “melihat ke belakang dari tahun 2000”—memandang masa kini dengan imajinasi masa depan yang lebih beradab. Karena tanpa utopia, tak akan lahir keberanian untuk bermimpi; dan tanpa mimpi, tak akan ada kemerdekaan yang sejati.
Gambaran In Het Jaar 2000
Edisi Belanda dari karya monumental Edward Bellamy ini—In het Jaar 2000: Een blik in de toekomst—diterbitkan pada tahun 1890 oleh S. L. van Looy, Amsterdam, hanya dua tahun setelah edisi aslinya dalam bahasa Inggris (Looking Backward: 2000–1887, Boston, 1888). Buku ini diterjemahkan oleh Frank van der Goes, seorang jurnalis, kritikus sastra, dan tokoh sosialis awal di Belanda yang dikenal karena perannya dalam membentuk wacana sosialis humanistik di Eropa (Brinkman, 1992). Edisi ini memiliki xii + 319 halaman, dengan ukuran sekitar 19,5 × 12,5 cm, dicetak menggunakan huruf gotik Belanda akhir abad ke-19 pada kertas laid berbobot ringan—sedikit kekuningan dan bertekstur halus, khas produksi percetakan Van Looy yang terkenal dengan edisi sastra bergengsi.
Sampul depannya (cover) menampilkan ilustrasi sederhana namun simbolik: sebuah kota futuristik dengan menara dan jembatan melengkung yang tampak menjulang dari latar awan, di bawahnya tertulis judul besar “IN HET JAAR 2000” dengan huruf kapital hitam tebal. Ilustrasi itu dicetak dalam teknik litografi monokrom, memperlihatkan perpaduan antara gaya arsitektur klasik dan modern—mewakili cita-cita Bellamy tentang harmoni antara kemajuan teknologi dan keteraturan sosial. Di bagian bawah terdapat nama penerbit, S. L. van Looy, Amsterdam, dengan tipografi kecil bergaya serif, menandakan ciri khas penerbit sastra progresif dekade 1890-an yang sering menerbitkan karya beraliran humanisme-sosialis.
Halaman judul bagian dalam memuat keterangan lengkap tentang penerjemah: Uit het Engelsch vertaald door Frank van der Goes, disertai kutipan epigraf singkat dari Bellamy yang berbunyi: “De toekomst is de spiegel van ons heden.” Bagian pengantar sepanjang dua belas halaman ditulis oleh Van der Goes sendiri, yang menjelaskan alasan penerjemahannya: bukan sekadar memperkenalkan utopia Amerika, tetapi juga “menyumbangkan cermin bagi Eropa yang tengah mencari makna baru dari kemajuan” (Van der Goes, 1899).
Secara visual, buku ini mencerminkan gaya estetika sosialisme literer Belanda: sederhana, fungsional, dan moralistik. Tidak ada ornamen mewah atau ilustrasi tambahan selain cover awal; justru kesederhanaan itu memperkuat kesan “ilmiah dan visioner”. Di beberapa eksemplar yang kini tersimpan di Koninklijke Bibliotheek (Den Haag) dan Universiteitsbibliotheek Leiden, terlihat bekas cap perpustakaan kolonial Hindia, menunjukkan bahwa buku ini beredar pula di kalangan intelektual kolonial dan sekolah tinggi di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 (Het Koloniaal Weekblad, 1932).
Secara keseluruhan, edisi ini merupakan artefak penting dalam sejarah penerjemahan sastra utopis ke dalam bahasa Belanda. Ia bukan hanya terjemahan teks, melainkan jembatan intelektual antara Amerika, Eropa, dan dunia kolonial. Melalui kertas kekuningannya yang lembut, pembaca masa kini dapat merasakan “aroma” abad ke-19: zaman ketika masa depan masih bisa dibayangkan dengan tinta, bukan mesin.
Perbedaan Semantik dan Ideologis Terjemahan
Perbedaan semantik dan ideologis antara Looking Backward: 2000–1887 karya Edward Bellamy (1888) dan versi terjemahan Belanda In het Jaar 2000: Een blik in de toekomst oleh Frank van der Goes (1890) mencerminkan bukan hanya perbedaan bahasa, tetapi juga perubahan orientasi sosial dan politik sesuai konteks penerjemahnya. Dalam teks asli, Bellamy menulis dengan nada moral-ekonomis yang khas Amerika pasca-Revolusi Industri, menggunakan istilah seperti “industrial army”, “credit”, dan “nation as sole capitalist” untuk menegaskan pentingnya reorganisasi masyarakat industri modern (Bellamy, 1888). Namun, dalam versi Belanda, Van der Goes—seorang jurnalis dan teoretikus sosialis dari kelompok Nieuwe Gids—mengubah istilah tersebut dengan nuansa yang lebih kolektif dan etis; misalnya, “industrial army” diterjemahkan menjadi “arbeidsleger”, yang bukan sekadar metafora ekonomi, melainkan simbol kerja sama sosial yang berpijak pada gagasan solidaritas kelas pekerja. Dalam terjemahannya, ia lebih menonjolkan aspek moral sosialisme humanistik Belanda ketimbang sistem ekonomi teknokratis yang dibayangkan Bellamy, sehingga “the nation as capitalist” berubah makna menjadi “bangsa sebagai pengelola moral atas kerja,” bukan sekadar pengendali alat produksi (Van der Goes, 1890).
Selain itu, gaya bahasa Bellamy yang lugas dan didaktis disusun ulang oleh Van der Goes menjadi prosa dengan retorika moral dan idealisme Eropa, memperhalus nada “teknologis” menjadi seruan etis bagi keadilan sosial. Bellamy menulis bagi masyarakat Amerika yang diguncang industrialisasi dan kesenjangan ekonomi (Zinn, 2003), sedangkan Van der Goes menyesuaikannya untuk pembaca Belanda yang akrab dengan perdebatan sosialisme moral dan humanisme sekuler (Stutje, 1989). Adaptasi ini membuat versi Belanda tidak hanya sebuah terjemahan, melainkan reinterpretasi ideologis yang selaras dengan arus pemikiran progresif di Eropa akhir abad ke-19.
Dalam konteks Hindia Belanda, versi terjemahan ini memperoleh makna baru. Para intelektual muda seperti Sukarno dan Hatta, yang tumbuh dalam sistem pendidikan Belanda dan membaca literatur Eropa, menjumpai dalam In het Jaar 2000 suatu visi masyarakat tanpa jurang kelas yang relevan dengan penderitaan rakyat kolonial. Buku ini berfungsi sebagai jendela bagi mereka untuk memahami konsep keadilan sosial universal sekaligus sebagai alat refleksi terhadap struktur ketimpangan kolonial. Terjemahan Van der Goes, dengan penekanan pada solidaritas dan kerja kolektif, seolah berbicara langsung kepada kaum terpelajar Hindia yang mulai memikirkan kemerdekaan nasional sebagai transformasi moral dan sosial, bukan sekadar politik. Dengan demikian, karya Bellamy yang diolah kembali oleh Van der Goes menjelma menjadi teks lintas budaya: dari utopia industri Amerika menjadi cermin bagi bangsa terjajah yang mencari jalan keadilan dan kemanusiaan di bawah bayang kolonialisme.
Dari Sekedar Mengulas ke Menerjemahkan
Semula saya berencana hanya mengulas buku ini. Namun rencana itu melebar menjadi ingin menerjemahkannya secara berseri mulai Bab I dan seterusnya. Saya juga menyajikan ulasan sebelum menyajikan terjemahannya. Ulasan saya selain menggunakan referensi primer karya Bellamy langsung, juga referensi sekunder dalam bahasa Inggris dan Belanda yang relevan dengan In het jaar 2000 karya Bellamy ini.
Menerjemahkan In het Jaar 2000: Een blik in de toekomst karya Edward Bellamy dalam versi Belanda terjemahan Frank van der Goes ke dalam bahasa Indonesia menghadirkan sejumlah kesulitan yang kompleks—baik secara linguistik, historis, maupun ideologis.
Pertama, dari segi bahasa, naskah ini menggunakan bahasa Belanda akhir abad ke-19, dengan struktur sintaksis dan kosakata yang sudah jarang digunakan dalam bahasa Belanda modern. Banyak ungkapan bersifat idiomatik dan kiasan khas masa itu, seperti “maatschappelijke rede” (akal sosial) atau “het zedelijk gezag der arbeid” (otoritas moral dari kerja), yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah tanpa kehilangan nuansa intelektualnya. Bahasa Belanda pada masa Van der Goes masih dipengaruhi oleh gaya sastra klasik, penuh kalimat majemuk panjang dan penggunaan subjunctive mood yang sudah tidak lazim saat ini. Oleh karena itu, penerjemahan menuntut bukan hanya kecakapan bahasa, tetapi juga pemahaman terhadap struktur sintaksis dan logika berpikir era itu.
Kedua, terdapat lapisan semantik ganda antara teks asli Bellamy dan versi Belanda. Karena terjemahan Van der Goes sendiri merupakan interpretasi ideologis dari karya Bellamy, penerjemah ke bahasa Indonesia harus menelusuri kembali makna asli dalam konteks Anglo-Amerika, lalu menimbang bagaimana ide-ide itu diadaptasi ke konteks sosialisme Belanda. Misalnya, istilah “industrial army” dalam Bellamy diterjemahkan Van der Goes menjadi “arbeidsleger”, yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti “tentara kerja” atau “barisan buruh.” Namun, masing-masing pilihan membawa konotasi berbeda: yang pertama menekankan disiplin kolektif, yang kedua menyoroti perjuangan kelas. Pilihan diksi semacam ini menuntut pertimbangan ideologis, bukan hanya leksikal.
Ketiga, konteks sejarah dan budaya penerjemah juga berperan besar. Van der Goes adalah seorang sosialis-humanis dan anggota lingkar De Nieuwe Gids, majalah sastra yang memperjuangkan kebebasan berpikir dan keadilan sosial di Belanda (Stutje, 1989). Ia menerjemahkan Bellamy bukan sekadar sebagai karya fiksi ilmiah, tetapi sebagai manifestasi sosialisme moral. Oleh sebab itu, menerjemahkan karyanya ke dalam bahasa Indonesia memerlukan pemahaman atas konteks Eropa akhir abad ke-19—terutama hubungan antara sosialisme, humanisme, dan modernitas. Tanpa latar ini, banyak kalimat dalam terjemahan Van der Goes akan tampak seperti khotbah moral atau metafora samar.
Keempat, aspek ideologis dan emosi utopis dalam teks menjadi tantangan tersendiri. Bellamy menulis dengan visi futuristik Amerika yang percaya pada rasionalitas dan kemajuan teknologi, sementara Van der Goes menambahkan lapisan etis yang lebih “Eropa” dan “kolektivis.” Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia modern, dua lapisan ini sering berbenturan dengan persepsi budaya Indonesia yang memiliki orientasi spiritual dan komunal berbeda. Menyampaikan utopia Barat abad ke-19 kepada pembaca Indonesia abad ke-21 tanpa kehilangan konteks moralnya adalah pekerjaan yang menuntut keseimbangan antara kesetiaan teks dan relevansi budaya.
Terakhir, dari sisi teknis, penerjemahan menghadapi hambatan akses dan ejaan kuno. Banyak versi digital yang tersedia menggunakan Fraktur atau Gotisch schrift, yaitu jenis huruf Belanda kuno yang sulit dikenali mesin OCR (Optical Character Recognition). Proses digitalisasi memerlukan penyuntingan manual dan koreksi kata per kata. Ditambah lagi, sebagai penerjemah, saya hanya belajar sedikit bahasa Belanda dari seorang dosen asal Belanda yang karena sudah lama di Indonesia menjadi sedikit berkurang bulenya, namun masih muda dan cantik, dan sudah menjadi mualaf dengan gaun Muslimnya, kami memanggilnya Miss Malika, nama aslinya Melek Marlou Feer. Karena keterbatasan bahasa Belanda itu saya banyak dibantu oleh teknologi penerjemahan modern seperti kamus daring, DeepL, dan Google Translate—yang tetap harus disunting secara teliti karena tidak memahami konteks sejarah dan nuansa moral teks.
Namun di balik semua kesulitan itu, justru terletak daya tarik intelektual terbesar dari proyek ini. Menerjemahkan In het Jaar 2000 ke dalam bahasa Indonesia bukan sekadar memindahkan kata, melainkan menyeberangkan visi utopis lintas abad dan lintas peradaban—dari Amerika industrial abad ke-19, melalui Belanda sosialis-humanis, hingga Indonesia yang masih mencari harmoni antara keadilan sosial dan kemajuan. Dengan demikian, proses ini menjadi bagian dari dialog panjang antara ide, bahasa, dan sejarah, di mana penerjemah bukan hanya pembaca, tetapi juga penghubung masa depan yang pernah dibayangkan Bellamy.
Bantuan teknologi berperan sangat penting dalam proses menerjemahkan In het Jaar 2000: Een blik in de toekomst karya Edward Bellamy versi terjemahan Frank van der Goes ke dalam bahasa Indonesia. Mengingat teks aslinya berasal dari tahun 1890 dan ditulis dalam bahasa Belanda klasik dengan huruf gotisch (Fraktur), teknologi menjadi “perantara” utama antara naskah tua dan pembaca masa kini. Tanpa dukungan alat digital, penerjemahan manual hampir mustahil dilakukan, terutama karena keterbatasan kamus modern dalam menafsirkan bentuk-bentuk ejaan lama seperti “maatschappelyk” (modern: maatschappelijk) atau “toekomstig leven” yang dulu memiliki konotasi moral-religius, bukan sekadar temporal.
Buku Bellamy ini sudah ada dalam format pdf, hasil digitalisasi teks dari edisi aslinya dengan kertas berwarna kuning. Sebagian besar versi cetak In het Jaar 2000 yang masih tersimpan di Koninklijke Bibliotheek (Den Haag) atau Universiteitsbibliotheek Leiden hanya tersedia dalam format facsimile scan. Untuk menyalin teks dari gambar ke bentuk teks digital, digunakan OCR (Optical Character Recognition) dengan perangkat seperti ABBYY FineReader dan Google Document AI, yang memiliki kemampuan mengenali huruf Fraktur Belanda abad ke-19. Namun, hasil OCR sering menghasilkan kesalahan pengenalan karakter, terutama huruf “ſ” (s panjang) atau “ij” yang terbaca sebagai “y”. Oleh karena itu, tahap ini membutuhkan koreksi manual dan pembandingan silang dengan versi digital dari proyek DBNL (Digitale Bibliotheek voor de Nederlandse Letteren), yang menyimpan beberapa naskah Van der Goes lainnya. Saya menggunakan versi pdf ini.
Terjemahan yang saya lakukan melibatkan bantuan teknologi penerjemahan berbasis teknologi terutama DeepL Translator dan Google Translate, untuk menghasilkan draf terjemahan awal. Akan tetapi, karena bahasa Belanda Van der Goes sarat dengan idiom sosial-politik dan gaya literer yang reflektif, hasil mesin sering terlalu literal. Misalnya, kalimat “De toekomst is de spiegel van ons heden” diterjemahkan mesin menjadi “Masa depan adalah cermin dari masa kini kita,” padahal dalam konteks Van der Goes, kalimat itu mengandung makna filosofis: masa depan adalah proyeksi moral dari ketimpangan sosial saat ini. Oleh sebab itu, penerjemah harus melakukan penyuntingan semantik dan ideologis—suatu proses manusiawi yang tidak bisa digantikan oleh algoritma.
Selain itu, kamus digital sejarah bahasa Belanda, seperti Etymologiebank.nl dan Woordenboek der Nederlandsche Taal (WNT), membantu menelusuri arti asli istilah yang sudah punah dari penggunaan modern. Contohnya, istilah arbeidsleger (dari “industrial army” Bellamy) dalam WNT dijelaskan tidak hanya sebagai “korps van arbeiders” (korps pekerja), tetapi juga sebagai metafora moral tentang disiplin sosial kolektif. Pemahaman semacam ini sangat penting untuk menghindari penyempitan makna ideologis ketika diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Selain kamus dan penerjemah otomatis, penerjemah juga terbantu oleh analisis semantik berbasis korpus, seperti Sketch Engine atau AntConc, untuk menelusuri frekuensi kata dan konteks penggunaannya dalam teks Belanda sezaman (1880–1910). Ini memungkinkan pemetaan makna historis terhadap konsep-konsep seperti gelijkheid (kesetaraan), beschaving (peradaban), dan arbeidsplicht (kewajiban bekerja)—tiga konsep utama dalam ideologi Van der Goes dan Bellamy.
Dalam tahap akhir, saya menyunting hasil terjemahan, untuk memastikan konsistensi terminologi dan gaya naratif agar sesuai dengan norma akademik bahasa Indonesia modern. Teknologi juga memungkinkan pembuatan glosarium digital yang memuat padanan istilah antara Belanda abad ke-19 dan Indonesia kontemporer, misalnya: arbeidsadel → “bangsawan kerja,” maatschappelijke zending → “misi sosial,” utopisch socialisme → “sosialisme utopis.”
Dengan demikian, bantuan teknologi dalam proyek ini bukan hanya alat bantu teknis, tetapi juga mediator epistemologis antara tiga dunia: dunia sastra utopis Amerika abad ke-19 (Bellamy), sosialisme humanis Belanda (Van der Goes), dan intelektualisme kolonial–nasional Indonesia (pembaca modern). Teknologi memungkinkan ketiganya berjumpa kembali di ruang digital, menghadirkan dialog lintas bahasa, zaman, dan ideologi yang sebelumnya terpisah oleh jarak sejarah.
Sebuah Buku Tua yang Menatap ke Tahun 2000
Saya menemukan buku tua dari sebuah situs online dengan sampul lusuh dan huruf-huruf Belanda yang kaku: In het Jaar 2000 — terjemahan dari karya klasik Edward Bellamy, Looking Backward: 2000–1887 (Boston: Ticknor and Company, 1888). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh F. van der Goes, dan diterbitkan di Amsterdam oleh S. L. van Looy pada tahun 1890. Di halaman pertamanya tercantum kata-kata sederhana namun menggugah: "Ini adalah terjemahan ketiga dari Looking Backward yang terbit dalam bahasa Belanda..." Sebuah kalimat yang kini terasa seperti bisikan dari masa yang amat jauh — dari dunia yang sudah lenyap, tetapi masih bergetar di antara halaman kertas tua yang mulai rapuh.
Buku ini, seperti yang mungkin juga dirasakan oleh Sukarno dan Hatta ketika membacanya di tahun-tahun muda mereka, bukan sekadar novel utopis, tetapi semacam mimpi panjang tentang dunia yang lebih adil. Di dalamnya, Bellamy menidurkan tokohnya, Julian West, pada tahun 1887, lalu membangunkannya kembali pada tahun 2000—sebuah lompatan waktu seratus tiga belas tahun menuju masa depan yang telah dibersihkan dari kemiskinan, kesenjangan, dan kerakusan. Dunia baru yang ditemukan West bukanlah dunia kapitalisme yang lapar, melainkan masyarakat yang hidup dalam keteraturan dan persamaan: semua orang bekerja, semua orang menerima bagian yang sama, dan negara menjadi tangan lembut yang membagi kesejahteraan secara merata.
Ketika pertama kali terbit, Looking Backward bukan hanya meledak di Amerika, tetapi juga mengguncang Eropa. Ia melahirkan ratusan klub dan gerakan yang menamakan diri “Bellamy Clubs,” mendiskusikan sosialisme, keadilan ekonomi, dan masa depan kemanusiaan.
Dalam konteks Hindia Belanda, ide-ide seperti itu jelas berbahaya. Tapi bagi kaum muda terpelajar seperti Sukarno dan Hatta, yang membaca Bellamy mungkin di antara teks-teks sosialisme Prancis dan ekonomi politik Jerman, dunia utopis itu adalah ilham—sebuah kemungkinan bahwa sistem sosial dapat diubah, bahwa kemakmuran bukan hak segelintir orang.
Buku ini memiliki gaya yang perlahan, seperti mesin uap yang mulai berputar. Ia bukan novel dengan plot yang menegangkan, melainkan sebuah dialog panjang tentang keadilan sosial yang dibungkus kisah pribadi. Bellamy menulis dengan kesungguhan seorang nabi yang berusaha menebus abadnya dari dosa ketimpangan. Namun di situlah juga letak kelemahannya: dunia yang dibayangkannya terlalu halus, terlalu steril, hampir tanpa konflik. Dalam masyarakat yang digerakkan oleh kesadaran kolektif sempurna, manusia seolah kehilangan ketidaksempurnaan yang membuatnya hidup.
Namun, membacanya kini—setelah tahun 2000 benar-benar lewat dua dekade—kita seperti menatap cermin yang berdebu. Banyak hal yang diramal Bellamy menjadi kenyataan secara tak terduga: otomatisasi kerja, distribusi terpusat, bahkan bentuk awal dari kartu elektronik yang mirip dengan “kartu kredit nasional” yang ia bayangkan. Tapi di sisi lain, jurang sosial tetap terbuka lebar, dan utopia yang ia lukis masih tetap tinggal di halaman kertas. Dunia yang ia impikan tidak pernah sepenuhnya lahir, tetapi gagasannya tetap menuntut agar kita tidak berhenti bermimpi.
Aku juga teringat pada buku lain yang judulnya mengandung angka serupa: Megatrends 2000: Ten New Directions for the 1990s karya John Naisbitt dan Patricia Aburdene (New York: William Morrow, 1990). Bedanya, Naisbitt memandang masa depan dari logika pasar, bukan dari moral kemanusiaan. Di sana, tahun 2000 adalah proyeksi statistik dan peluang ekonomi; sedangkan bagi Bellamy, tahun 2000 adalah lompatan moral, sebuah fajar baru bagi keadilan sosial. Satu memprediksi pasar, satu lagi meramal nurani. Dan dalam ruang batin bangsa yang pernah dijajah dan lapar akan keadilan, jelas Bellamy lebih membekas.
Membaca In het Jaar 2000 hari ini terasa seperti membuka kapsul waktu. Ia mengingatkan bahwa utopia bukan sekadar impian yang gagal, tetapi cara manusia menegur kenyataan. Setiap zaman memerlukan utopia-nya sendiri, karena tanpa itu, kita berhenti berharap. Di tengah dunia yang kembali diatur oleh algoritma dan kesenjangan baru, suara Bellamy dari abad ke-19 terdengar pelan namun tegas: bahwa masa depan yang adil bukan ditunggu, tetapi dibangun.
Antara Tidur Panjang dan Kebangkitan Dunia Baru
Bab pertama In het Jaar 2000: Een blik in de toekomst — adalah pintu masuk ke dunia imajiner yang pada dasarnya merupakan cermin tajam dari abad ke-19. Edward Bellamy tidak memulai novelnya dengan mesin waktu atau revolusi teknologi, tetapi dengan insomnia dan hipnosis: dua gejala psikis yang justru menyingkap kelelahan spiritual manusia modern. Tokohnya, Julian West, seorang pria kaya dari Boston, hidup di tengah kemewahan industrial kapitalistik, tetapi tak dapat tidur nyenyak. Ia lalu menggunakan jasa seorang hipnoterapis untuk menenangkan pikirannya — sebuah simbol dari krisis eksistensial masyarakat modern yang tak menemukan ketenangan dalam rasionalitasnya sendiri (Weber, 1919).
Dalam narasi ini, tidur panjang Julian West menjadi alegori dari “tidur sosial” umat manusia di tengah ketimpangan kapitalisme. Ia tertidur di ruang bawah tanah rumahnya yang sedang dibangun, dan ketika terbangun 113 tahun kemudian, ia mendapati dunia yang telah berubah total. Namun dalam Bab I, dunia masa depan itu belum hadir; Bellamy masih menahan pembaca dalam dunia lama — Boston tahun 1887 — yang ia gambarkan sebagai puncak paradoks modernitas: kemajuan material disertai kehancuran moral (Dale, 1989).
Bellamy menulis dengan kejelian seorang jurnalis dan kepekaan seorang moralist. Sebagai penulis yang tumbuh di tengah Amerika pasca-Perang Saudara, ia menyaksikan lahirnya korporasi besar, meningkatnya urbanisasi, dan munculnya kesenjangan sosial ekstrem (Holzman, 1968). Bab pertama memotret situasi itu dengan gaya naratif introspektif: kota Boston penuh dengan suara mesin dan derap langkah buruh, sementara kelas borjuis, seperti Julian West, hidup di menara marmer mereka. Di sinilah Bellamy menghadirkan kritik sosial yang halus, bukan dengan retorika politik, melainkan melalui psikologi karakter.
Dalam kerangka teori sosial, Bellamy tampak sejalan dengan kritik Karl Polanyi terhadap pasar bebas: bahwa masyarakat industri abad ke-19 telah “menyematkan ekonomi di atas manusia, bukan manusia di dalam ekonomi” (Polanyi, 1944). West, sebagai representasi manusia modern, adalah korban dari sistem yang ia nikmati — ia kaya, tetapi gelisah; berpendidikan, tetapi kehilangan arah. Bellamy menempatkannya di ambang kehancuran moral, lalu membiarkannya “tertidur”, seolah menunggu waktu untuk “dibangunkan” dalam dunia baru yang lebih adil.
Struktur Bab I juga memperlihatkan fondasi alegoris dan spiritual. Bellamy menggambarkan ruang bawah tanah tempat West tertidur sebagai tempat “di bawah tanah sejarah”—sebuah metafora bahwa kesadaran manusia modern terkubur oleh kerak materialisme. Struktur moral novelnya menyerupai perjalanan The Divine Comedy karya Dante, di mana pencerahan hanya bisa lahir setelah seseorang melewati “neraka sosial” (Kumar, 1987). Dengan demikian, tidur panjang West bukan pelarian, tetapi prasyarat bagi kebangkitan spiritual dan sosial.
Dalam konteks penerimaan di Belanda dan Hindia Belanda, versi terjemahan In het Jaar 2000 (1890) memainkan peranan penting. Penerjemahnya, Frank van der Goes, adalah sosialis dan kritikus sastra yang melihat Bellamy sebagai juru bicara kemanusiaan baru (Van der Goes, 1899). Kajian Henk Brinkman (1992) menyebut penerjemahan karya ini sebagai bagian dari “proyek ideologis” kaum sosialis Belanda yang ingin memperluas kesadaran moral dan politik lewat sastra. Buku ini tidak hanya dibaca di Amsterdam, tetapi juga sampai ke koloni, terutama Hindia Belanda, di mana sejumlah mahasiswa bumiputera mengenalnya melalui bacaan sosialisme populer (Het Koloniaal Weekblad, 1932).
Menurut Jan Bakker (1981), Bellamy menjadi simbol “sosialisme lembut” — gerakan yang menolak kekerasan revolusioner dan lebih menekankan pada moralitas sosial. Di Belanda, ide-ide Bellamy menginspirasi kalangan literati seperti J. C. Bloem dan Domela Nieuwenhuis untuk membayangkan sosialisme sebagai proyek kebudayaan, bukan sekadar ekonomi (Bloem, 1934; Stutje, 2003). Dalam konteks Hindia Belanda, resonansi ini semakin kuat karena ide-ide tentang kesetaraan dan keadilan sosial memasuki ruang intelektual kolonial, di mana pendidikan modern mulai membuka jalan bagi pembacaan kritis terhadap kapitalisme Eropa (Fasseur, 1992; Wertheim, 1956).
Bellamy menulis Looking Backward bukan sebagai manifesto politik, melainkan sebagai refleksi etis. Itulah sebabnya bab pembuka disusun dengan tempo pelan dan atmosfer introspektif — mengajak pembaca untuk ikut “tidur” dalam renungan panjang. Ia menggambarkan rumah Julian West sebagai tempat eksklusif, tapi dingin; setiap detail arsitektural mencerminkan keterasingan modernitas. Dalam hal ini, gaya Bellamy mendekati tradisi naturalisme moral yang berkembang di Amerika pada dekade 1880-an, di mana sains dan spiritualitas sering kali bertabrakan (Pfaelzer, 1984).
Dalam horizon sejarah sastra, Bab I Bellamy juga membuka jalur bagi tradisi fiksi futuristik yang kelak diteruskan oleh H. G. Wells melalui The Sleeper Awakes (1910), serta oleh George Orwell dalam Nineteen Eighty-Four (1949). Jika Wells memusatkan perhatian pada teknologi, Bellamy menekankan kesadaran sosial; dan jika Orwell menggambarkan masa depan yang menakutkan, Bellamy justru menawarkan masa depan yang penuh harapan (Wells, 1910; Orwell, 1949). Meski keduanya berbeda arah, akar keduanya dapat ditelusuri ke mimpi moral yang diletakkan Bellamy dalam bab pertama novelnya — mimpi tentang masyarakat tanpa keserakahan.
Sebagaimana dicatat Dekker (2005) dalam De droom van de toekomst, tradisi utopia di Belanda berkembang paralel dengan penerimaan terhadap Bellamy, di mana mimpi sosial dipadukan dengan refleksi humanistik. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa Bellamy tetap menarik bagi kalangan intelektual kolonial di Indonesia awal abad ke-20, termasuk mereka yang membaca Belanda dengan lancar — dari Hatta di Rotterdam hingga para Indolog muda di Leiden (Vlekke, 1945; Sutherland, 1983). Dalam kerangka itu, Bab I Looking Backward bukan hanya kisah fiksi tentang tidur dan kebangkitan, tetapi metafora global tentang perjalanan kesadaran manusia dari kegelapan menuju terang sosial.
Jika dibaca ulang hari ini, bab pembuka Bellamy tetap menggugah. Ia menulis di tengah kapitalisme yang baru lahir, namun menubuatkan wajah dunia yang kita kenal sekarang — dunia yang sibuk, canggih, dan tetap resah. Ia mengingatkan bahwa kemajuan material tanpa kebangunan moral hanya akan melahirkan insomnia kolektif: dunia yang tidak bisa tidur karena tak lagi mengenal keadilan. Seperti dikatakan Howard Zinn (2003), sejarah Amerika bukan hanya sejarah penemuan dan kemajuan, tetapi juga sejarah perlawanan terhadap ketimpangan. Dalam kerangka itu, Bellamy berdiri sebagai “penulis tidur panjang” yang justru membangunkan kita semua.
Dunia Baru dan Manusia Modern
Bayangan abad ke-21 yang ditulis Bellamy lebih dari seabad lalu kini telah menjadi kenyataan yang ganjil—sebagian terpenuhi, sebagian lagi justru berubah arah dengan ironi yang pahit. Dunia yang dibayangkannya—tanpa kesenjangan, tanpa kelaparan, tanpa manusia yang dihisap oleh manusia lain—memang tampak seperti utopia. Namun, siapa pun yang hidup melewati tahun 2000 tahu, dunia baru itu tidak datang dengan wajah malaikat. Ia datang dengan wajah dingin teknologi, dengan gemerlap kota yang justru menambah sunyi di hati manusia.
Bellamy menulis bukunya di tengah kebangkitan kapitalisme industri Amerika. Dalam pandangan Bellamy, masa depan adalah semacam kebangkitan sosialisme yang manusiawi—di mana semua kebutuhan hidup terpenuhi secara kolektif, dan setiap orang menjadi bagian dari sistem besar yang bekerja bukan demi keuntungan, melainkan demi kesejahteraan bersama. Ketika saya membaca, saya menemukan cermin yang lebih lembut: utopia itu tampak seperti doa yang diterjemahkan ke dalam bahasa modernitas.
Namun, abad ke-21 yang kita masuki bukanlah dunia Bellamy. Kita memang telah menaklukkan mesin, tetapi mesin juga menaklukkan kita. Kesenjangan ekonomi justru melebar; algoritma menggantikan hati nurani; dan kemakmuran, seperti hantu, tampak di mana-mana tetapi tak pernah bisa digenggam. Di sinilah menariknya membaca kembali Bellamy dari abad ini: ia bukan lagi sekadar pengarang utopis, tetapi seorang nabi sekuler yang pernah memperingatkan kita bahwa sistem sosial yang tanpa keadilan akan selalu menumbuhkan mimpi tandingan.
Saya memilih menerjemahkan buku tua ini bukan semata karena ketertarikan intelektual, tetapi karena keinginan untuk menyalakan kembali obor imajinasi sosial yang kini redup. Zaman kita miskin utopia—kita terlalu sibuk bertahan, terlalu sinis untuk berharap. Padahal, setiap peradaban besar tumbuh dari keberanian untuk membayangkan dunia yang belum ada. Bellamy memberi kita pelajaran tentang itu. Ia mengajarkan bahwa berpikir tentang masa depan bukanlah bentuk pelarian, melainkan bentuk tertinggi dari tanggung jawab moral.
Terjemahan berseri Het Jaar 2000 ini—disajikan perlahan, bagian demi bagian. Di akhir setiap bagian, saya akan menulis ulasan singkat, seperti percakapan dengan Bellamy di meja kopi yang melintasi waktu. Sebab mungkin, seperti kata seorang filsuf yang saya kagumi, masa depan tidak pernah benar-benar datang—ia hanya menunggu kita menjemputnya dengan keberanian berpikir.
IN HET JAAR 2000
Oleh
EDWARD BELLAMY
Diterjemahkan oleh F. VAN DER GOES
Penerjemah ke Bahasa Indonesia oleh Yoyo Hambali
AMSTERDAM
S. L. VAN LOOY
1890
CATATAN PENERJEMAH EDISI BELANDA
Ini adalah terjemahan ketiga dari Looking Backward yang terbit dalam bahasa Belanda. Dua versi sebelumnya telah dimuat sebagai seri di surat kabar, namun penerbit merasa bahwa untuk edisi tersendiri ini diperlukan teks yang lebih cermat. Permintaan itu pun terpenuhi, dan terjemahan baru ini disusun sebagai adaptasi yang setia terhadap naskah asli Bellamy.
Beberapa catatan dari penulis dan sejumlah bagian yang hanya merujuk pada keadaan khusus di Amerika telah dihilangkan. Di luar itu, seluruh isi buku ini tetap utuh.
Penerjemah merasa tidak perlu menambahkan apa pun pada karya Bellamy. Buku ini, sebagaimana di negeri asalnya dan di hampir seluruh Eropa, akan berbicara dengan suaranya sendiri kepada para pembaca Belanda.
G.
Amsterdam, Agustus 1890
BAB I
Aku pertama kali melihat cahaya siang di kota Boston pada tahun 1857.
Apa! kau berkata, 1857? Tentu itu kekeliruan. Maksudmu 1957, bukan? Dengan izinmu, bukanlah demikian. Sekitar pukul empat sore, pada tanggal 26 Desember—sehari setelah Natal—di tahun 1857, aku pertama kali menghirup udara timur Boston, yang, dapat kuyakinkan kepada pembaca, pada masa itu sama menusuk dan menggigitnya seperti yang kini masih terasa pada tahun rahmat 2000 ini.
Pernyataanku ini mungkin terdengar sangat aneh, terlebih ketika kutambahkan bahwa aku tampak sebagai seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun. Karena itu, siapa pun tak akan disalahkan bila menganggap kisah ini tak lebih dari khayalan atau permainan kepercayaan. Namun aku berani meyakinkan pembaca dengan sepenuh kejujuran bahwa aku tidak bermaksud menipunya. Bila ia berkenan menemaniku beberapa halaman ke depan, aku akan berusaha membuktikan kebenaran dari pengakuanku ini.
Untuk sementara, izinkan aku berasumsi bahwa aku memang memiliki alasan untuk mengetahui lebih banyak tentang masa kelahiranku dibanding pembaca, dan dengan dasar itulah aku melanjutkan kisahku.
Seperti diketahui setiap anak sekolah, penghujung abad ke-19 menyaksikan apa yang oleh orang sezaman disebut “permulaan peradaban modern.” Namun kenyataannya, peradaban itu baru sekadar bayangan, sebab unsur-unsurnya memang tengah berfermentasi, tetapi belum menghasilkan bentuk yang adil. Tidak ada yang benar-benar berubah dalam pembagian masyarakat. Dunia masih terbelah dalam empat golongan besar—atau, lebih tepatnya, empat bangsa—karena perbedaan di antara mereka jauh lebih tajam daripada perbedaan antarmanusia di masa kini: jurang antara yang kaya dan yang miskin, antara yang terdidik dan yang bodoh.
Aku sendiri termasuk kaum kaya dan berpendidikan; karena itu aku menikmati segala syarat kebahagiaan yang dianggap sempurna di masa itu. Hidup dalam kelimpahan, sibuk hanya dengan kesenangan dan penyempurnaan hidup, aku memperoleh nafkah dari jerih payah orang lain tanpa memberi jasa apa pun sebagai gantinya. Orang tuaku dan kakek-nenekku pun hidup dengan cara yang sama, dan aku berharap kelak keturunanku—jika aku memilikinya—akan menikmati kehidupan mudah yang serupa.
“Tapi bagaimana mungkin,” mungkin kau bertanya, “kau hidup tanpa bekerja? Mengapa dunia rela menanggung seseorang yang tidak berbuat apa pun padahal mampu bekerja?” Jawabannya sederhana: kakek buyutku telah mengumpulkan sejumlah uang yang kemudian diwariskan untuk menghidupi keturunannya.
Jumlah itu, kau pikir, pastilah sangat besar jika sanggup menafkahi tiga generasi penganggur. Namun sebenarnya tidak. Awalnya jumlah itu tidaklah begitu besar, hanya saja ia terus bertambah melalui sistem bunga berbunga—mekanisme yang pada masa itu dianggap keajaiban keuangan, namun kini tampak sebagai penyimpangan dari hukum keadilan sosial yang paling dasar.
Uang itu, tanpa bekerja, berkembang biak; dan aku, seperti banyak orang lain pada zaman itu, hidup dari hasil yang tidak kutanam. Aku jarang memikirkan dari mana datangnya kenyamanan hidupku, atau mengapa ada manusia lain yang harus bekerja siang dan malam agar aku dapat hidup santai. Begitulah keadaan dunia waktu itu: setiap orang menganggap nasibnya sebagai hal yang wajar dan tak terelakkan.
Kini, ketika aku menengok kembali dari tahun 2000—zaman keteraturan, keadilan, dan kedamaian—baru aku menyadari betapa gelap dan sakitnya dunia tempat aku dilahirkan.
Boston pada waktu itu dianggap sebagai lambang kemajuan dan peradaban: gedung-gedung megah, jalan-jalan ramai dengan kereta dan kuda, serta pabrik-pabrik yang berderu tanpa henti. Namun di balik semua itu tersembunyi kenyataan pahit: ribuan keluarga hidup dalam kemiskinan, bekerja hingga kelelahan hanya untuk sepotong roti.
Sementara kami, yang terlahir beruntung, beristirahat di rumah besar dengan tirai sutra, mengeluh jika angin dingin menerobos kaca jendela.
Kadang-kadang terdengar suara protes—dari para pemikir, reformis, atau rohaniwan yang berani berbicara tentang ketidakadilan sosial. Tetapi suara mereka tenggelam dalam deru mesin industri dan gemerincing bursa saham. Kami menyebut mereka pemimpi dan menertawakan cita-cita mereka tentang “persamaan manusia” dan “hak kerja bagi semua.”
Aku pun bukan pengecualian. Aku hidup di dalam lingkaran kecil yang tertutup rapat, di mana ukuran keberhasilan hanyalah kekayaan, dan tujuan hidup semata-mata kenyamanan. Namun, di balik semua kemewahan itu, aku sering diliputi kegelisahan yang tak dapat kujelaskan. Dunia tampak seperti mesin raksasa yang terus berputar—namun aku tak tahu ke arah mana ia sedang bergerak.
Dan di sinilah kisah anehku bermula: kisah yang membawaku dari abad keserakahan menuju abad kesadaran; dari kegelapan masa lalu menuju cahaya dunia baru.
Sejak masa mudaku, aku menderita penyakit aneh yang pada waktu itu disebut insomnia—kesulitan untuk tidur yang begitu berat hingga membuat hidupku hampir tak tertahankan. Tidak ada obat yang mampu menolongku. Dokter-dokter terbaik Boston telah kucoba, bahkan sampai berkonsultasi ke New York dan Philadelphia, tetapi tak seorang pun dapat memberikan kesembuhan.
Kondisiku tidak memburuk hingga taraf gila, namun penderitaan itu cukup parah untuk membuat setiap malam terasa seperti kutukan. Aku menghabiskan waktu berguling di tempat tidur, mataku terbuka memandangi kegelapan, mendengarkan bunyi jam berdetak, menghitung setiap detik dengan rasa putus asa.
Karena itu, aku memutuskan untuk membangun sebuah ruang bawah tanah kedap suara di halaman belakang rumahku di Charles Street. Di sanalah aku kadang berlindung dari kebisingan kota yang membuatku semakin sulit tidur. Ruangan itu dibuat sangat dalam, dengan dinding batu tebal dan pintu besi yang berat. Hanya ada satu jalan masuk yang tertutup rapat, dan ventilasi udara diatur dengan cermat agar tetap sejuk dan nyaman.
Bagi sebagian orang, mungkin ruang itu tampak seperti penjara, namun bagiku justru seperti tempat perlindungan. Aku tidur di sana bila kebisingan di permukaan kota terlalu mengganggu. Hanya pelayanku yang bernama Sawyer yang tahu tentang tempat itu. Ia satu-satunya orang yang kupercaya untuk membuka atau menutup pintu ruang bawah tanah sesuai kebutuhanku.
Suatu malam di bulan Mei 1887, aku pergi tidur di kamar bawah tanah itu seperti biasa. Namun malam itu berbeda. Selama berhari-hari sebelumnya, aku merasa sangat gelisah dan lelah. Suara mesin pabrik di kejauhan, gonggongan anjing, dan bahkan desau angin yang melewati cerobong asap membuatku tak bisa beristirahat. Aku minum obat tidur yang diresepkan dokter, dosisnya sedikit lebih banyak dari biasanya—mungkin itu kesalahan fatal yang tak kusadari.
Sawyer menurunkan pintu besi dan menguncinya dari luar, seperti biasa, setelah memastikan aku telah berbaring dengan nyaman. Ia berkata, “Selamat malam, Tuan West,” dan aku menjawab pelan, “Selamat malam, Sawyer.” Itu adalah kata terakhir yang kuucapkan kepada manusia di abad ke-19.
Setelah itu, kegelapan menyelimutiku sepenuhnya. Aku merasa tubuhku perlahan tenggelam dalam tidur yang sangat dalam—lebih dalam dari tidur mana pun yang pernah kualami sebelumnya. Seolah-olah waktu berhenti. Aku tidak bermimpi, tidak merasakan apa pun.
Ketika akhirnya aku terbangun, matahari telah bersinar lembut, udara terasa segar dan tenang. Aku mendengar suara burung di luar, dan untuk sesaat aku mengira baru tidur beberapa jam. Tetapi kemudian aku menyadari sesuatu yang aneh: ruang bawah tanahku tidak lagi sama. Dindingnya bersih, seolah baru dibangun, dan pintu besi yang biasanya berat itu terbuka lebar.
Aku mencoba berdiri, namun kepalaku terasa pusing. Saat itulah seorang lelaki tak kukenal masuk. Ia berpakaian aneh—pakaian yang belum pernah kulihat sebelumnya—dan menatapku dengan keheranan bercampur hormat.
“Jangan takut,” katanya lembut. “Anda sedang berada di tahun 2000.”
Aku memandangnya tanpa mengerti. Tahun 2000? Itu berarti aku telah tidur... seratus tiga belas tahun!
Tubuhku gemetar. Dunia di sekitarku telah berubah. Dan aku, Julian West, terakhir kali menutup mata pada tahun 1887—kini terbangun di dunia yang sama sekali baru.
Bersambung ke Bab II.......
Kesimpulan Bab I
Penerjemah menyimpulkan bahwa Bab pertama novel ini dibuka dengan suara naratif Julian West, seorang pria Boston yang lahir pada tahun 1857. Ia berbicara langsung kepada pembaca dari masa depan, tahun 2000, dan mengawali kisahnya dengan pernyataan mengejutkan: bahwa ia telah hidup di dua zaman yang terpisah oleh lebih dari satu abad. Sejak kalimat awal, pembaca segera dibawa masuk ke dalam dunia yang menegangkan antara kenyataan dan kemungkinan, antara masa lalu yang gelap dan masa depan yang bercahaya.
Julian West tumbuh dalam masyarakat Amerika abad ke-19 yang terbelah oleh jurang sosial. Dunia yang disebut “beradab” ternyata hanyalah topeng bagi ketidakadilan ekonomi. Boston, kota yang diagungkan sebagai simbol kemajuan industri, penuh dengan gedung megah dan pabrik yang berderu; namun di balik kemegahan itu, ribuan buruh hidup dalam kemiskinan. Kaum kaya, termasuk keluarga West, menikmati kemewahan tanpa bekerja, hidup dari hasil bunga uang yang terus bertambah — sebuah sistem yang kini disadari tokohnya sebagai ketidakadilan struktural.
Narator menggambarkan betapa acuhnya kaum elite terhadap penderitaan rakyat. Ketimpangan dianggap kodrat, sementara suara-suara reformis yang menyerukan keadilan sosial dipandang utopis dan ditertawakan. Dalam masyarakat seperti itu, Julian sendiri hidup nyaman, namun jauh di lubuk hatinya ia dihantui kegelisahan yang tak terjelaskan. Dunia yang tampak makmur itu baginya seperti mesin besar yang berputar tanpa arah moral — gambaran simbolik dari peradaban industri yang kehilangan jiwanya.
Kegelisahan batin itu menjelma menjadi penyakit insomnia yang parah. Setiap malam ia terjaga dalam kegelapan, mendengar detak jam yang terasa seperti penyiksaan waktu. Untuk mencari ketenangan, ia membangun sebuah ruang bawah tanah yang kedap suara di halaman rumahnya — tempat yang baginya menjadi semacam tempat perlindungan, tetapi secara simbolik juga merupakan penjara dari kesadarannya sendiri.
Pada suatu malam di bulan Mei 1887, ia menelan dosis obat tidur yang lebih besar dari biasanya. Setelah pelayannya, Sawyer, mengunci pintu besi ruang bawah tanah itu, Julian pun tertidur — tidur yang ternyata berlangsung sangat lama, lebih dari satu abad. Ketika ia terbangun, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Ia membuka mata di ruangan yang bersih, dalam suasana yang tenang dan damai, lalu melihat seorang pria berpakaian aneh datang menemuinya dan berkata lembut, “Anda sedang berada di tahun 2000.”
Kebingungan dan keterkejutan Julian menandai akhir bab pertama ini. Ia, seorang anak zaman keserakahan dan ketimpangan, kini terbangun di masa yang menyebut dirinya sebagai zaman keteraturan dan keadilan. Dari sinilah perjalanan besar dimulai — perjalanan dari abad kegelapan menuju abad kesadaran, dari dunia lama yang penuh derita menuju dunia baru yang penuh harapan. Bab pertama menjadi jembatan simbolik antara dua tatanan: dunia kapitalisme yang penuh ketimpangan dan masyarakat utopis yang akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya.
Daftar Referensi
Sumber Primer
Bellamy, E. (1888). Looking backward: 2000–1887. Boston: Ticknor and Company.
Bellamy, E. (1890). In het jaar 2000: Een blik in de toekomst (F. van der Goes, Trans.). Amsterdam: S. L. van Looy.
Sumber Sekunder (Inggris)
Dale, E. E. (1989). Edward Bellamy: The dream and the deed. Amherst: University of Massachusetts Press.
Holzman, M. (1968). Edward Bellamy. New York: Twayne Publishers.
Kumar, K. (1987). Utopia and anti-utopia in modern times. Oxford: Basil Blackwell.
Orwell, G. (1949). Nineteen eighty-four. London: Secker & Warburg.
Pfaelzer, J. (1984). The utopian novel in America: 1886–1896. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.
Polanyi, K. (1944). The great transformation: The political and economic origins of our time. New York: Rinehart.
Weber, M. (1919). Wissenschaft als Beruf [Science as a vocation]. Munich: Duncker & Humblot.
Wells, H. G. (1910). The sleeper awakes. London: Macmillan.
Zinn, H. (2003). A people’s history of the United States. New York: HarperCollins.
Sumber Sekunder (Belanda)
Bakker, J. (1981). Socialisme en literatuur in Nederland: 1880–1914. Amsterdam: Van Gennep.
Bloem, J. C. (1934). De utopie in de Nederlandse letterkunde. Leiden: A. W. Sijthoff.
Brinkman, H. (1992). Het socialisme van F. van der Goes: Tussen literatuur en politiek. Groningen: Historische Uitgeverij.
Dekker, R. (2005). De droom van de toekomst: Utopisch denken in Nederland 1850–1950. Amsterdam: SUN.
Het Koloniaal Weekblad. (1932). “Lezingen en boeken in de koloniën.” Het Koloniaal Weekblad, 12 (7), 145–148.
Meijer, H. (1997). In de ban van goed en fout: Ideologische debatten in Nederland 1890–1940. Amsterdam: Boom.
Schulte Nordholt, H. (2002). Outward appearances: Dressing state and society in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Stutje, J. (2003). Ferdinand Domela Nieuwenhuis: Een biografie. Amsterdam: SUN.
Van der Goes, F. (1899). Verzamelde opstellen over letterkunde en maatschappij. Amsterdam: Van Looy.
Wertheim, W. F. (1971).Indonesië: Van vorstenrijk tot ontwikkelingsland. Utrecht: Het Spectrum.
Sumber Terkait Hindia Belanda dan Sosialisme Kolonial
Fasseur, C. (1992). De Indologen: Ambtenaren voor de Oost 1825–1950. Amsterdam: Bert Bakker.
Sutherland, H. (1983). The making of a bureaucratic elite: The colonial transformation of the Javanese priyayi. Singapore: Heinemann.
Vlekke, B. H. M. (1945). Nusantara: A history of the East Indian archipelago. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wertheim, W. F. (1956). Indonesian society in transition: A study of social change. The Hague: W. van Hoeve.
-Cikarang, 21-10-2025
.jpg)
Komentar
Posting Komentar