Narasi Kekhalifahan dalam Lensa Barat: William Muir dan Historisisme Moralistik Islam Klasik


Cak Yo

Prolog

Ada pesona tersendiri dalam membuka lembaran buku-buku klasik abad ke-19, terutama yang lahir dari tangan para sarjana Eropa yang begitu yakin sedang “menulis sejarah Islam” dengan metode ilmiah. Di antara nama-nama besar seperti Edward Gibbon, Theodor Nöldeke, dan Ignaz Goldziher, berdirilah sosok Sir William Muir — seorang orientalis Skotlandia yang sering disebut sebagai "dedengkot awal studi Islam modern". Membaca karyanya, The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall, from Original Sources (London: Religious Tract Society, 1892), seperti menapaki dua dunia sekaligus: dunia ilmiah yang penuh data sejarah, dan dunia ideologis yang diwarnai prasangka kolonial terhadap peradaban Islam (Muir, 1892).

Membuka halaman pertama buku tua ini juga ibarat membuka jendela menuju dunia lama yang masih berdebu oleh ingatan kolonial dan semangat ilmiah yang setengah misionaris. Kertasnya kekuningan, hurufnya tegas bergaya Victoria, dan di setiap babnya, aroma sejarah bercampur dengan moralitas keagamaan khas abad ke-19. Buku itu bukan sekadar dokumen ilmiah; ia adalah cermin dari bagaimana Barat awal modern memandang Islam — bukan dari dalam, tetapi dari kejauhan, dengan rasa ingin tahu yang bercampur rasa takut, dan dengan kekaguman yang terselubung oleh superioritas moral.

Sir William Muir (1819–1905) dikenal sebagai salah satu orientalis klasik. Ia bukan sekadar sarjana, melainkan pejabat tinggi pemerintahan kolonial Inggris di India, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari sejarah Islam, Nabi Muhammad, dan sistem kekhalifahan. Dari tangannya lahir sejumlah karya monumental seperti The Life of Mahomet (1858–1861), Annals of the Early Caliphate (1883), dan akhirnya The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall (1892), yang sering dianggap puncak dari studinya tentang dunia Islam (Muir, 1892). Dalam banyak hal, Muir memadukan ketelitian seorang filolog dengan semangat seorang misionaris, menjadikan tulisannya tidak hanya berisi data sejarah, tetapi juga penilaian moral atas peradaban Islam.

Buku The Caliphate pertama kali diterbitkan oleh The Religious Tract Society, sebuah lembaga penerbit Protestan di London yang dikenal aktif menerbitkan karya keagamaan dan misionaris. Edisi pertamanya muncul tahun 1891, disusul edisi kedua yang direvisi pada 1892, dan beberapa edisi berikutnya pada 1898, 1915, serta 1924. Fakta bahwa buku ini terus dicetak menunjukkan posisinya yang penting dalam literatur orientalis klasik. Ia bahkan sempat menjadi bacaan wajib di beberapa sekolah kolonial Inggris di India. Versi ringkas dan terjemahannya dalam bahasa Urdu dan Turki beredar pada awal abad ke-20, terutama di kalangan pejabat kolonial dan intelektual yang ingin memahami “jiwa Islam” dari sumber Barat. Dengan demikian, The Caliphate berfungsi tidak hanya sebagai karya ilmiah, tetapi juga sebagai teks ideologis bagi kolonialisme Inggris di dunia Islam.

Dalam pengantarnya, Muir menegaskan bahwa buku ini disusun “from original sources,” yakni dari teks-teks Arab klasik seperti Tārīkh al-Ṭabarī, Ibn Sa‘d, al-Balādhurī, dan Ibn al-Athīr. Ia ingin menunjukkan bahwa sejarah Islam bisa ditulis dengan disiplin ilmiah Eropa tanpa kehilangan keaslian sumber. Namun klaim “objektivitas” ini, sebagaimana dikritik kemudian oleh Edward Said dalam Orientalism, hanyalah bentuk baru dari dominasi epistemologis: ketika sarjana Barat mengklaim berbicara atas nama Timur, mereka sebenarnya sedang merebut suara Timur itu sendiri (Said, 1978).

Struktur dan Isi Buku

Secara struktur, The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall, from Original Sources terdiri atas lebih dari enam ratus halaman, dilengkapi dengan peta lipatan yang menggambarkan ekspansi Islam dari Madinah hingga ke Andalusia. Buku ini dibagi menjadi empat bagian besar, yang masing-masing menyoroti periode sejarah dan dinamika politik berbeda, serta karakter tokoh-tokohnya.

Bagian pertama menyoroti kehidupan Nabi Muhammad dan masa kekhalifahan empat khalifah pertama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Muir menggambarkan bagaimana Islam, dari komunitas kecil di Madinah, berkembang menjadi kekuatan politik dan militer yang signifikan di Jazirah Arab. Ia menekankan peran Nabi sebagai pemimpin spiritual sekaligus politik yang membimbing umat melalui wahyu dan strategi sosial-politik. Dalam uraian tentang Abu Bakar, Muir menyoroti keteguhan moral dan kepemimpinannya dalam menghadapi pemberontakan pada masa Ridda, sementara Umar digambarkan sebagai administrator ulung yang menata birokrasi dan wilayah kekuasaan yang terus berkembang (Muir, 1892, 42–78). Selain aspek militer dan politik, Muir juga menyoroti kehidupan sosial masyarakat Muslim awal, seperti pengaturan zakat, pembagian tanah, dan hubungan dengan non-Muslim, menunjukkan bahwa kekhalifahan awal merupakan institusi sosial yang kompleks dan dinamis.

Bagian kedua berfokus pada transisi dari kekhalifahan Rashidun ke dinasti Umayyah, menyoroti konflik internal, penaklukan wilayah baru, dan konsolidasi kekuasaan. Muir menggambarkan Mu‘awiyah sebagai figur pragmatis yang mampu mengubah kekuasaan politik menjadi warisan dinasti yang stabil, sekaligus menghadapi kritik moral dari sebagian kalangan Muslim yang memandang transisi ini sebagai penyimpangan dari ideal kekhalifahan Rashidun (Muir, 1892, 125–212). Ia juga menekankan ekspansi militer ke Afrika Utara, Persia, dan Spanyol, serta dampaknya terhadap penyebaran Islam. Bagian ini menampilkan Umayyah sebagai periode ketika Islam menjadi kekuatan imperium, tetapi juga diwarnai intrik politik dan korupsi elit, termasuk isu nepotisme dan perebutan kekuasaan yang menimbulkan perpecahan internal.

Bagian ketiga menyoroti masa kejayaan Abbasiyah, ketika pusat kekuasaan berpindah ke Baghdad dan Islam mencapai puncak intelektual, budaya, dan ekonominya. Muir menekankan pencapaian administrasi, perdagangan, dan ilmu pengetahuan, termasuk dukungan terhadap ilmuwan, dokter, dan cendekiawan di Bait al-Hikmah. Ia menulis secara deskriptif tentang kemegahan kota Baghdad, struktur birokrasi yang kompleks, serta hubungan khalifah dengan gubernur provinsi dan masyarakat sipil (Muir, 1892, 230–370). Di sisi lain, Muir juga menyoroti masalah internal seperti konflik sektarian antara Sunni dan Syiah, intrik politik istana, dan tantangan ekonomi yang mulai muncul. Ia menekankan bahwa meskipun Abbasiyah mencapai puncak budaya, keretakan internal ini menandai awal kemunduran kekhalifahan.

Bagian terakhir menguraikan kemunduran kekhalifahan hingga jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol pada 1258 M. Muir menyoroti faktor-faktor eksternal seperti invasi, serta faktor internal seperti lemahnya administrasi, korupsi, dan konflik internal antar kelompok elit. Ia menulis dengan nada naratif dramatis, menggambarkan kejatuhan Baghdad sebagai simbol runtuhnya pusat politik dan budaya Islam klasik (Muir, 1892, 480–612). Muir juga menyentuh dampak sosial kemunduran ini terhadap masyarakat, termasuk kemiskinan, pergeseran populasi, dan krisis moral serta politik. Ia menggunakan kisah-kisah tokoh, peristiwa perang, dan deskripsi kota untuk memberikan gambaran lengkap tentang proses historis yang kompleks.

Dalam keseluruhan buku, Muir menulis dengan gaya naratif yang khas: deskriptif, detail, dan penuh anekdot. Ia bukan sekadar menyalin kronik sejarah, tetapi berusaha menghadirkan peristiwa seolah hidup di depan pembaca. Sejarah kekhalifahan, dalam penulisannya, adalah kisah manusia yang penuh gairah, ambisi, dan kontradiksi moral. Meskipun sarat bias kolonial dan moralistik, narasi Muir tetap menarik karena kemampuannya memadukan fakta sejarah dengan cerita, membangun konteks politik, sosial, dan budaya secara menyeluruh.

Namun di balik kekayaan data, tersembunyi nada apologetik dan bias teologis. Dalam bab tentang Abu Bakar, misalnya, Muir menggambarkan Islam sebagai “agama yang berkembang melalui disiplin militer dan ketundukan yang mutlak kepada seorang pemimpin karismatik” (Muir, 1892, 47). Ia memuji Nabi Muhammad sebagai “reformer besar”, tetapi menolak mengakui wahyu sebagai sumber ilham ilahi. Bagi Muir, kebesaran Islam bukanlah bukti kebenaran spiritual, melainkan keberhasilan sosiologis dari seorang genius Arab. Inilah pola pikir khas orientalis awal: mengagumi Islam sebagai peradaban, tetapi menolaknya sebagai wahyu.

Analisis Sejarawan Barat

Menyelami The Caliphate karya William Muir tidak bisa dilepaskan dari konteks orientalisme abad ke-19 dan awal abad ke-20. Muir, dengan gaya moralistik dan naratifnya, sering dibandingkan dengan sarjana-sarjana lain yang juga menulis sejarah Islam dalam tradisi Barat. Philip K. Hitti (1886–1978), misalnya, dalam karyanya History of the Arabs (1937), menampilkan pendekatan yang lebih netral dan komprehensif dibandingkan Muir. Hitti menekankan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya Arab secara luas, serta menaruh perhatian pada kontinuitas sejarah dari pra-Islam hingga era modern. Ia tidak terlalu menghakimi secara moral seperti Muir, yang kerap menilai tokoh-tokoh Islam dari perspektif etika Kristen (Hitti, 1937, 51–102).

Begitu pula Montgomery Watt (1909–2006), yang dalam Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956) mencoba memahami Nabi Muhammad dari konteks historis dan sosial tanpa menempatkan diri sebagai hakim moral. Watt menekankan metode kritik sumber dan kontekstualisasi peristiwa, sehingga menimbulkan kesan analisis yang lebih ilmiah dan objektif dibandingkan narasi Muir yang terkadang dramatis dan apologetik.

Bernard Lewis (1916–2018), di sisi lain, menawarkan perspektif geopolitik dan intelektual yang lebih luas dalam beberapa karyanya tentang kekhalifahan dan sejarah Islam, seperti The Emergence of Modern Turkey (1961). Lewis menekankan faktor struktural dan institusional, termasuk administrasi, hukum, dan perdagangan, sedangkan Muir lebih menekankan moralitas dan karakter individu tokoh. Dengan kata lain, Muir cenderung melihat sejarah sebagai kisah manusia penuh ambisi dan gairah moral, sedangkan Lewis menekankan pola dan sistem yang lebih abstrak namun terukur secara historis (Lewis, 1961, 23–78).

Dalam perbandingan ini, terlihat pergeseran metodologis: dari orientalisme awal yang moralistik dan naratif (Muir), menuju pendekatan yang lebih ilmiah, struktural, dan kontekstual (Hitti, Watt, Lewis). Namun, meskipun terkesan lebih bias, karya Muir memiliki keunggulan dalam daya tarik naratif dan kedalaman dokumentasi sumber primer. Ia membuka jalur bagi orientalis berikutnya untuk mempelajari sejarah Islam secara lebih kritis dan sistematis. Kritik Edward Said terhadap orientalisme Muir menekankan bahwa bias moral dan kolonial tetap ada, tetapi Kennedy dan Crone menilai ketelitian sumber Muir sebagai kontribusi penting bagi historiografi Islam klasik. Dengan demikian, Muir tetap relevan, terutama sebagai pintu masuk bagi pembaca Barat abad ke-19 untuk memahami sejarah Kekhalifahan, meski dibaca ulang secara kritis di era modern (Said, 1978; Kennedy, 1986; Crone & Cook, 1977).

Karakter tulisan Muir mencerminkan dua wajah zaman Victoria. Di satu sisi, ada semangat ilmiah yang terinspirasi oleh positivisme Eropa; di sisi lain, ada moralitas Kristen yang kental. Muir percaya bahwa sejarah Islam dapat dimengerti sepenuhnya melalui akal dan sumber tekstual, tanpa perlu mengakui aspek transendennya. Dengan demikian, ia menjadikan Islam objek studi yang tunduk pada metode Barat. Gaya tulisannya penuh dengan ekspresi moral: ia mengagumi Umar bin Khattab sebagai “penguasa adil yang hampir mendekati cita-cita Kristen,” tetapi mengecam Yazid dan al-Walīd sebagai “tiran Timur yang kehilangan nurani.” Pandangan seperti ini bukan sekadar analisis sejarah, melainkan proyeksi etika Injili ke dalam sejarah Islam.

Tidak mengherankan bila Edward Said kemudian menyebut Muir sebagai representasi paling jelas dari "moralistic Orientalism" — tahap orientalisme ketika studi ilmiah bercampur dengan misi keagamaan dan kolonial (Said, 1978). Bagi Said, karya-karya seperti The Caliphate bukanlah cermin netral tentang Islam, melainkan perangkat ideologis yang menegaskan superioritas Barat. Dalam pandangan Said, “Para orientalis menulis tentang Islam dengan cara yang membuat Islam tampak sekaligus megah dan tidak rasional, besar tapi terbelakang.” Muir, dengan segala kecermatan akademisnya, termasuk dalam kategori itu: seorang ilmuwan yang menulis dengan moralitas gereja di tangannya.

Namun tidak semua sarjana menilai Muir sekeras Said. Hugh Kennedy, dalam The Prophet and the Age of the Caliphates (1986), mengakui bahwa karya Muir tetap memiliki nilai ilmiah tinggi, terutama karena ketelitian filologis dan penguasaannya atas sumber-sumber primer (Kennedy, 1986, hlm. 12). Kennedy menyebut Muir sebagai “produk dari zamannya, ketika iman dan ilmu masih berjalan berdampingan.” Ia menilai bahwa meskipun Muir membawa bias teologis, ia juga membuka jalan bagi lahirnya tradisi historiografi Islam modern di Barat — tradisi yang kelak disempurnakan oleh para orientalis generasi berikutnya seperti Montgomery Watt, Philip Hitti, dan Bernard Lewis.

Patricia Crone, sebaliknya, datang dari arah yang berbeda. Dalam Hagarism: The Making of the Islamic World (Crone & Cook, 1977), ia menilai Muir terlalu bergantung pada sumber Muslim ortodoks. Menurut Crone, Muir gagal melihat bahwa teks-teks seperti al-Tabarī dan Ibn Sa‘d sendiri dibentuk oleh kepentingan politik abad ke-9. Karena itu, meskipun Muir tampak kritis terhadap Islam, ia sebenarnya masih terjebak dalam narasi tradisional Islam itu sendiri. Kritik Crone ini menarik, sebab ia menunjukkan paradoks dalam orientalisme klasik: di satu sisi menolak pandangan Muslim, di sisi lain tetap terikat oleh sumber-sumber yang ditulis oleh Muslim.

Dari tiga perspektif itu — Said, Kennedy, dan Crone — kita melihat tiga lapis pembacaan terhadap Muir. Said memandangnya sebagai instrumen kekuasaan; Kennedy melihatnya sebagai pelopor keilmuan; Crone menilainya sebagai sarjana yang terlalu percaya pada tradisi yang ia kritik. Ketiganya membantu kita memahami bahwa membaca Muir hari ini bukan sekadar membaca sejarah kekhalifahan, tetapi juga membaca sejarah cara Barat memahami Islam.

Di luar kritik ideologisnya, The Caliphate tetap menyimpan nilai ilmiah dan literer yang tinggi. Banyak deskripsinya yang hidup tentang kehidupan politik awal Islam, pertarungan suksesi, dan sistem administrasi khalifah. Muir menulis dengan detail seorang sejarawan sekaligus emosi seorang novelis. Ia membangun gambaran tentang kekhalifahan sebagai institusi yang lahir dari kegeniusan seorang Nabi dan berkembang menjadi kekuatan imperium. Meskipun sarat bias, narasinya membantu pembaca Eropa memahami kompleksitas dunia Islam — bahkan jika pemahaman itu berangkat dari kesalahpahaman.

Membaca kembali The Caliphate di abad ke-21 menuntut kesabaran dan kedewasaan intelektual. Kita perlu menyadari bahwa teks semacam ini bukan sekadar produk ilmiah, melainkan artefak sejarah. Ia lahir dari zaman ketika pengetahuan adalah bagian dari kekuasaan, dan ketika menulis tentang Timur berarti juga menaklukkannya secara simbolik. Namun di sisi lain, tanpa karya seperti Muir, tradisi studi Islam di Barat tidak akan mencapai bentuk metodologisnya yang sekarang. Ia membuka jalan bagi diskursus yang kelak dikoreksi, diperdebatkan, bahkan dilampaui — baik oleh orientalis generasi baru maupun oleh sarjana Muslim modern.

Dengan demikian, membaca Muir adalah membaca ambivalensi Barat terhadap Islam: antara kagum dan takut, antara ingin tahu dan ingin menguasai. The Caliphate bukan hanya sejarah tentang kekhalifahan, melainkan juga sejarah tentang bagaimana pengetahuan dibentuk dalam bayang-bayang kolonial. Sebagaimana diingatkan Edward Said, tugas kita bukan menolak mentah-mentah karya orientalis, tetapi membacanya balik — dengan kesadaran kritis bahwa di dalam teks-teks itu terdapat sejarah panjang pertemuan, persaingan, dan pencarian makna antara Timur dan Barat (Said, 1978).

Analisis Historiografi Muslim Klasik

William Muir dalam The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall, from Original Sources (1892) menulis sejarah kekhalifahan dengan gaya naratif moralistik dan dramatis, menekankan karakter pribadi khalifah, intrik politik, serta konflik internal yang membentuk sejarah. Untuk menilai akurasi historisnya, perlu membandingkan narasi Muir dengan kronik klasik Islam: al-Tabari (Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk), al-Suyūṭī (Tārīkh al-Khulafā’), Ibn Sa‘d (al-Ṭabaqāt al-Kubrā), Ibn Athir (al-Kāmil fī al-Tārīkh), dan Ibn Kathīr (al-Bidāya wa al-Nihāya).

Muir menekankan keteguhan moral Abu Bakar dalam menghadapi pemberontakan Arab (Ridda) dan kemampuan Umar dalam menata wilayah yang ditaklukkan (Muir, 1892, 42–78). Al-Tabari memberikan kronik rinci tentang strategi militer dan diplomasi Abu Bakar, termasuk penataan kembali suku-suku pemberontak dan ekspansi wilayah (al-Ṭabarī, Juz I, 1985, 123–145). Ibn Sa‘d menekankan integritas Abu Bakar dan kemampuannya mengorganisir pasukan dan administrasi wilayah (Ibn Sa‘d, 1904, 56–72), sementara Ibn Athir menyoroti dampak sosial-politik dan administrasi wilayah baru yang dikonsolidasikan Umar (Ibn Athir, 1965, 112–145).

Masa Utsman dan Ali menjadi titik konflik yang signifikan. Muir menggambarkan nepotisme dan fitnah pertama, menekankan kelemahan moral dan karakter (Muir, 1892, 90–110). Al-Suyūṭī menyajikan kronologi distribusi wilayah dan jabatan kepada Bani Umayyah yang memicu perlawanan, termasuk pembunuhan Utsman (al-Suyūṭī, 1960, 210–234). Ibn Kathīr menyeimbangkan narasi moral dan fakta kronologis tentang perang saudara awal dan pengangkatan Ali sebagai khalifah (Ibn Kathīr, 2000, 310–342).

Muir menyoroti Mu‘awiyah sebagai figur pragmatis yang menata warisan dinasti dan menstabilkan wilayah kekuasaan melalui strategi politik dan diplomasi (Muir, 1892, 125–212). Al-Tabari menekankan strategi politik Mu‘awiyah di Syam, termasuk negosiasi dan penguatan otoritas, dengan narasi yang lebih faktual (al-Ṭabarī, Juz II, 1985, 210–258). Ibn Athir menambahkan konteks perang saudara, intrik internal, dan pengaturan administrasi, sedangkan Ibn Kathīr menekankan konsolidasi politik dan pengelolaan birokrasi (Ibn Athir, 1965, 220–258; Ibn Kathīr, 2000, 380–410). Al-Suyūṭī menyajikan kronologi administratif Umayyah secara rinci, memperkuat narasi internal konflik dan strategi politik (al-Suyūṭī, 1960, 245–280).

Muir menggambarkan Baghdad sebagai pusat kemegahan politik, ekonomi, dan budaya, namun juga menyoroti intrik istana sebagai awal kemunduran (Muir, 1892, 230–370). Al-Tabari menekankan perluasan administrasi dan isu politik dari periode sebelumnya (al-Ṭabarī, Juz III, 1985, 305–340). Ibn Athir dan Ibn Kathīr menyoroti konflik internal, perang suksesi, dan dinamika birokrasi (Ibn Athir, 1965, 320–355; Ibn Kathīr, 2000, 440–470). Al-Suyūṭī menjelaskan runtuhnya Baghdad pada 1258 M, termasuk kehancuran birokrasi, populasi, dan institusi sosial (al-Suyūṭī, 1960, 410–435).

Perbandingan ini menyoroti perbedaan metodologis antara Muir dan kronik klasik. Muir menekankan narasi moral dan karakter individu, sementara al-Tabari, al-Suyūṭī, Ibn Sa‘d, Ibn Athir, dan Ibn Kathīr menekankan kronologi, fakta politik, administrasi, dan konteks sosial. Ibn Kathīr dan Ibn Athir menyeimbangkan narasi moral dan kronologis, Ibn Sa‘d menekankan profil individu, sedangkan al-Suyūṭī dan al-Tabari menekankan fakta politik-administratif. Kombinasi sumber ini memberikan kerangka historis yang lengkap untuk memahami kekhalifahan secara faktual.

Epilog

Dalam The Caliphate Muir menulis dalam semangat ilmiah Eropa abad ke-19, ketika Orientalisme menjadi instrumen untuk memahami sekaligus menaklukkan Timur. Ia mengumpulkan sumber-sumber Arab klasik seperti Tārīkh al-Ṭabarī, al-Kāmil fī al-Tārīkh, dan al-Bidāya wa al-Nihāya, namun membacanya melalui lensa moral Protestan dan rasionalitas kolonial. Dalam hal ini, Muir bukan sekadar sejarawan, tetapi juga ideolog yang menyelipkan tafsir kultural tentang Islam sebagai peradaban yang “gagal menyeimbangkan iman dan akal.”

Namun, ketika karya Muir dibandingkan dengan para orientalis generasi berikutnya seperti Philip K. Hitti, Hugh Kennedy, dan Bernard Lewis, tampak pergeseran paradigma dalam cara pandang terhadap sejarah Islam. Hitti dalam History of the Arabs (1937) berupaya membangun sintesis historis yang lebih objektif dan empatik terhadap peradaban Arab-Islam. Ia mengakui peran Islam sebagai kekuatan pembentuk dunia intelektual dan politik yang luas, meskipun masih dalam bingkai orientalis yang menempatkan Barat sebagai tolok ukur kemajuan. Kennedy dalam The Prophet and the Age of the Caliphates (1986) bahkan melangkah lebih jauh dengan menekankan pentingnya konteks sosial, ekonomi, dan politik dalam memahami transisi kekhalifahan. Sementara itu, Lewis dalam The Emergence of Modern Turkey (1961) memperlihatkan dimensi evolutif peradaban Islam dari sudut modernisasi politik.

Edward Said, melalui Orientalism (1978), kemudian menggugat cara pandang seperti Muir dan Lewis dengan menunjukkan bahwa penulisan sejarah semacam itu tidak bebas nilai; ia merupakan produk kekuasaan yang membentuk citra “Timur” sebagai cermin bagi keunggulan Barat. Kritik Said menjadi penting dalam membaca ulang The Caliphate, karena ia menyingkap bagaimana Muir sesungguhnya lebih dekat pada konstruksi ideologis ketimbang pada pemahaman mendalam terhadap khazanah Islam. Demikian pula, karya Patricia Crone dan Michael Cook dalam Hagarism: The Making of the Islamic World (1977) menandai babak baru orientalisme radikal yang mencoba merevisi narasi klasik Islam, namun tetap menegaskan bahwa jarak epistemik antara penulis Barat dan sumber Islam masih menjadi kendala fundamental.

Dalam konteks ini, membaca Muir di samping al-Ṭabarī, al-Suyūṭī, Ibn Sa‘d, Ibn al-Athīr, dan Ibn Kathīr adalah sebuah latihan intelektual untuk memahami bukan hanya sejarah Islam, melainkan juga sejarah penulisan tentang Islam. Historiografi Islam klasik berangkat dari prinsip keterpaduan antara fakta, iman, dan hikmah, sedangkan historiografi orientalis seperti Muir berangkat dari prinsip objektivitas yang sesungguhnya sarat ideologi. Melalui pembacaan silang antara dua tradisi ini, kita diajak untuk menilai ulang makna sejarah—bukan sekadar sebagai catatan masa lalu, tetapi sebagai arena tafsir antara iman, kekuasaan, dan pengetahuan.

Akhirnya, The Caliphate tidak hanya berdiri sebagai karya monumental dari era kolonial, tetapi juga sebagai pengingat bahwa sejarah Islam selalu hidup di persimpangan tafsir: antara teks dan konteks, antara tradisi dan modernitas, antara suara internal dan pandangan luar. Membaca Muir bersama Hitti, Kennedy, Crone, dan Said membuka kesadaran bahwa setiap narasi sejarah adalah cermin dari zamannya—dan tugas pembaca modern adalah menafsirkan ulang cermin itu dengan kesadaran kritis, adil, dan berakar pada khazanah keilmuan Islam sendiri.

Referensi

al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk. Juz I–III. Beirut: Dār al-Fikr, 1985.

al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. Tārīkh al-Khulafā’. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1960.

Bernard Lewis. The Emergence of Modern Turkey. London: Oxford University Press, 1961.

Crone, Patricia, & Michael Cook. Hagarism: The Making of the Islamic World. Cambridge: Cambridge University Press, 1977.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1937.

Ibn Athīr, ‘Alī ibn Muḥammad. al-Kāmil fī al-Tārīkh. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1965.

Ibn Kathīr, Ismā‘īl ibn ‘Umar. al-Bidāya wa al-Nihāya. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 2000.

Ibn Sa‘d, Muḥammad ibn Sa‘d. al-Ṭabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1904.

Kennedy, Hugh. The Prophet and the Age of the Caliphates. London: Longman, 1986.

Muir, William. The Caliphate: Its Rise, Decline, and Fall, from Original Sources. Edinburgh: Blackwood, 1892.

Said, Edward W. Orientalism. New York: Pantheon Books, 1978.

-Cikarang, 07-10-2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid