Menyelami Pemikiran dan Filsafat Ekonomi Barat dengan Tinjauan Ekonomi Islam


Cak Yo

"East is East and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently at God's great Judgment Seat; But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When two strong men stand face to face, though they come from the ends of the earth!"

-Rudyard Kipling, "The Ballad of East and West"

Pendahuluan

Mengampu mata kuliah Pemikiran dan Filsafat Ekonomi Syariah di Program Magister Ekonomi Syariah STEBI Global Mulia menuntut bukan sekadar menguasai teori, tetapi juga membenamkan diri dalam dialog pemikiran lintas zaman dan tradisi. Setiap pertemuan kuliah mendorong saya membuka kembali buku-buku klasik dan modern, bahkan artikel kontemporer, dengan tujuan memahami dasar filosofis, etis, dan epistemologis dari ekonomi syariah.

Ada kepuasan tersendiri ketika membuka buku yang sudah lama tertutup atau belum dibaca sebelumnya: sensasi membaca bukan sekadar menelan teori, tetapi menyelami alur logika dan moralitas yang mendasari setiap argumen. Malam-malam itu sering larut tanpa terasa; kopi panas menjadi saksi diam, sementara halaman demi halaman menghubungkan pemikiran klasik Islam dengan pemikiran ekonomi Barat, dari abad ke-14 hingga kontemporer (Robinson, 1962; Edvinsson, 2023).

Saya menyadari bahwa setiap buku bukan hanya teks, melainkan percakapan. Robinson dengan Economic Philosophy menantang cara saya berpikir tentang produksi dan konsumsi, bukan sebagai angka atau grafik, tetapi sebagai fenomena sosial dan etis yang memiliki implikasi moral (Robinson, 1962). Edvinsson menambahkan dimensi transhistoris, mengaitkan teori modern dengan pertanyaan klasik tentang keadilan dan distribusi kekayaan (Edvinsson, 2023). Sementara Hunt dan Lautzenheiser memetakan sejarah pemikiran ekonomi Barat dengan kritik yang tajam, menunjukkan bahwa ideologi, kekuasaan, dan institusi selalu membentuk teori yang dianggap “ilmiah” (Hunt & Lautzenheiser, 2011).

Bagian I: Pemikiran Klasik Ekonomi Syariah

Pemikiran ekonomi syariah klasik tidak hanya berfokus pada produksi dan distribusi, tetapi "menekankan keadilan sosial, etika, dan maqāṣid al-sharī‘ah". Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, menekankan pentingnya kesejahteraan masyarakat, peran negara dalam distribusi, dan hubungan antara manusia, ekonomi, dan moralitas (Ibn Khaldun, 2004). Konsep ‘asabiyyah dan keseimbangan sosial menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial dan tanggung jawab moral.

Al-Maqrizi, dalam catatan historisnya, menekankan "distribusi kekayaan dan keadilan sosial" sebagai kunci stabilitas masyarakat. Ia mengamati bagaimana praktik ekonomi yang tidak etis mengarah pada kemiskinan, korupsi, dan keruntuhan sosial (Al-Maqrizi, 1995). Hal ini memberi kita pelajaran bahwa ekonomi syariah tidak hanya sekadar aturan transaksi halal-haram, tetapi "kerangka etis yang memandu pembangunan sosial."

Selain itu, Al-Shāṭibī dalam Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah menekankan bahwa maqāṣid al-sharī‘ah — menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta — harus menjadi landasan setiap kebijakan ekonomi. Dengan demikian, ekonomi syariah memiliki tujuan yang lebih luas: "menjamin kesejahteraan umum (maslahah) dan mencegah kemudaratan (mafsadah)", yang relevan hingga konteks kontemporer (Al-Shāṭibī, 2000).

Bagian II: Pemikiran Klasik dan Modern Barat

Seiring membaca pemikiran Barat, saya sering membandingkan perspektif moral dan etis yang berbeda. Adam Smith, dengan Wealth of Nations, menekankan peran kepentingan pribadi yang diarahkan oleh “tangan tak terlihat” (invisible hand), namun ia tidak lepas dari dimensi moral dalam Theory of Moral Sentiments yang menekankan empati dan keadilan (Backhaus, 2023). 

Adam Smith (1723–1790), dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations (1776), memperkenalkan konsep “invisible hand” sebagai metafora bagi mekanisme pasar yang memungkinkan individu, yang bertindak untuk kepentingan pribadi, secara tidak sengaja mempromosikan kepentingan umum atau kesejahteraan sosial (Smith, 1776). Prinsip ini berakar pada gagasan bahwa interaksi antara penawaran dan permintaan, kompetisi, dan harga pasar dapat mengatur distribusi sumber daya secara efisien tanpa memerlukan intervensi pemerintah secara langsung. Dalam pandangan Smith, motivasi individu—misalnya mencari keuntungan pribadi—secara kolektif dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat, selama terdapat kondisi pasar yang kompetitif dan informasi yang memadai.

Namun, penting dicatat bahwa konsep “invisible hand” bukanlah pembenaran absolut bagi laissez-faire atau pengabaian seluruh regulasi. Smith menekankan bahwa peran negara tetap penting, misalnya dalam menyediakan keamanan, keadilan, dan infrastruktur publik, yang menjadi syarat bagi pasar agar berfungsi optimal (Smith, 1776; Heilbroner, 1999). Dengan kata lain, “invisible hand” bekerja dalam kerangka tatanan sosial dan institusi yang sehat, bukan secara otomatis.

Dalam konteks ekonomi modern, teori ini memengaruhi berbagai kebijakan pasar bebas, liberalisasi perdagangan, dan mekanisme harga sebagai sinyal alokasi sumber daya. Teori ini mendasari pandangan bahwa intervensi minimal pemerintah dapat mendorong efisiensi ekonomi. Namun, praktiknya menunjukkan keterbatasan teori ini: pasar yang tidak sempurna, eksternalitas negatif, monopoli, dan ketimpangan distribusi dapat menyebabkan kegagalan pasar, sehingga intervensi pemerintah tetap dibutuhkan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat (Stiglitz, 1989; Colander, 2011).

Secara ringkas, teori "invisible hand" Adam Smith menawarkan kerangka dasar bagi pengaturan pasar secara alami melalui tindakan individu, namun keberhasilan teori ini bergantung pada institusi, regulasi, dan nilai moral yang mendasari kegiatan ekonomi. Ekonomi modern menggunakan prinsip ini untuk mendorong efisiensi, sementara ekonomi syariah mengarahkannya agar selaras dengan tujuan keadilan, etika, dan kesejahteraan masyarakat.

Adam Smith, selain The Wealth of Nations, juga menulis The Theory of Moral Sentiments (1759) yang menekankan pentingnya "etika, empati, dan norma sosial "dalam perilaku manusia (Smith, 1759). Dalam buku ini, Smith berargumen bahwa manusia tidak hanya termotivasi oleh kepentingan pribadi, tetapi juga memiliki kemampuan alami untuk merasakan simpati terhadap perasaan orang lain, yang membentuk dasar moralitas dan interaksi sosial. Konsep "impartial spectator" (pengamat tak memihak) menjadi alat analisis untuk menilai tindakan individu: seseorang menilai tindakannya sendiri seolah-olah dilihat dari perspektif pihak ketiga yang objektif, sehingga keputusan ekonomi dan sosial diarahkan oleh pertimbangan moral, bukan semata keuntungan pribadi. 

Berbeda dengan Adam Smith, David Ricardo mengembangkan teori nilai dan distribusi, Marx menyoroti ketidakadilan struktural kapitalisme, sementara Keynes menekankan intervensi pemerintah untuk menstabilkan ekonomi (Backhaus, 2023).

Joan Robinson, di sisi lain, menantang asumsi efisiensi dan rasionalitas sempurna. Dalam Economic Philosophy, ia menunjukkan bahwa ekonomi bukan hanya matematika, tetapi refleksi atas kebutuhan manusia, nilai, dan keadilan sosial (Robinson, 1962). Hunt dan Lautzenheiser mengkritik pandangan positivis ekonomi yang mengabaikan konteks sejarah dan sosial, menunjukkan bahwa teori ekonomi selalu terkait dengan nilai dan kekuasaan (Hunt & Lautzenheiser, 2011).

Dalam konteks ini, saya melihat :jembatan antara pemikiran klasik Islam dan Barat": meski terminologi berbeda, keduanya mempertanyakan bagaimana "keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan etika distribusi" dapat diwujudkan. Bahkan paradigma kuantitatif modern tidak lepas dari dilema normatif yang sama: apa yang adil, dan bagaimana memanifestasikan keadilan itu melalui kebijakan ekonomi (Hausman, 2008).

Bagian III: Pemikiran Kontemporer dan Filsafat Ekonomi

Edvinsson menawarkan kerangka transhistoris, memandang produksi dan konsumsi sebagai fenomena yang "memerlukan analisis historis, etis, dan filosofis" (Edvinsson, 2023). Dengan demikian, ekonomi modern tidak hanya mekanistik, tetapi juga "normatif dan reflektif". Hausman, Kincaid, dan Ross menekankan bahwa metode ekonomi selalu mengandung asumsi nilai, sehingga tidak bisa sepenuhnya “netral” (Hausman, 2008; Kincaid & Ross, 2009).

Colander dan Grayer menunjukkan batas kuantifikasi: modernisme ekonomi sering gagal menjadi emansipatoris, karena terlalu fokus pada model matematis, sementara mengabaikan realitas sosial, etika, dan tujuan pembangunan manusia (Colander, 2007; Grayer, 2013). Ini menjadi refleksi penting bagi mahasiswa ekonomi syariah: "angka tanpa etika bisa menyesatkan".

Bagian IV: Diskursus Filsafat Ekonomi

Membaca beberapa buku dalam satu malam itu tidak mungkin. Setelah membaca sekilas beberapa buku, akhirnya, saya fokus pada satu  buku dan satu artikel. Untuk buku yang berjudul The Oxford Handbook of Philosophy of Economics, diedit oleh Harold Kincaid dan Don Ross (2009) yang menawarkan perspektif kritis yang sangat luas. Buku ini menekankan bahwa ekonomi bukan sekadar ilmu yang memprediksi perilaku pasar melalui angka dan model matematis, melainkan disiplin ilmu yang menyatu dengan filsafat, moral, dan etika. Dengan kata lain, ekonomi harus dipahami sebagai interaksi kompleks antara perilaku manusia, prinsip sosial, dan konsekuensi etis dari keputusan ekonomi (Kincaid & Ross, 2009).

Salah satu kontribusi utama buku ini adalah penekanan pada "diskursus metodologis". Penulis menyoroti bahwa sejarah ekonomi menunjukkan adanya ketegangan antara pendekatan normatif dan positif. Ekonomi normatif menekankan pertanyaan “apa yang seharusnya terjadi” dengan mempertimbangkan nilai moral dan keadilan, sedangkan ekonomi positif menekankan “apa adanya” dengan mengutamakan fakta empiris dan prediksi (Kincaid & Ross, 2009). Pendekatan filosofis ini sangat relevan dalam konteks modern, terutama ketika kebijakan ekonomi mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas, termasuk dalam penerapan prinsip ekonomi syariah yang menekankan kemaslahatan umat dan keadilan sosial.

Buku ini juga membedah bagaimana konsep ekonomi telah berkembang sejak masa klasik hingga era modern. Para filsuf dan ekonom klasik seperti Adam Smith, Hume, dan Marx, misalnya, tidak hanya membahas produksi dan distribusi, tetapi juga memasukkan refleksi moral dan etis dalam teori mereka (Kincaid & Ross, 2009). 

Lebih jauh, buku ini membahas :epistemologi ekonomi", yakni bagaimana kita mengetahui fenomena ekonomi dan batas-batas pengetahuan yang dimiliki ekonomi sebagai disiplin ilmu. Dalam bab-bab tertentu, Kincaid dan Ross (2009) membedakan ekonomi positif dan normatif, menekankan pentingnya refleksi etis dalam setiap analisis ekonomi. Perspektif ini menjadi sangat penting dalam merancang kebijakan ekonomi modern yang tidak hanya efisien secara teknis tetapi juga adil dan bermakna bagi masyarakat. Misalnya, dalam ekonomi syariah, prinsip keadilan, larangan riba, dan tanggung jawab sosial menjadi titik tolak setiap kebijakan fiskal dan moneter (Al-Shāṭibī, 2000; Ibn Khaldun, 2004).

Buku ini juga menyoroti tantangan metodologis modern dalam ekonomi. Model matematika, meski menjadi alat penting, hanyalah representasi ideal dari fenomena kompleks. Penekanan berlebihan pada model kuantitatif dapat mengabaikan realitas sosial, ketimpangan ekonomi, dan dinamika moral dalam masyarakat (Kincaid & Ross, 2009). Grayer (2013) menguatkan hal ini dengan menegaskan bahwa pendekatan modern terlalu menekankan “self-contained theorizing,” sehingga teori ekonomi kadang gagal menjelaskan fenomena sosial yang nyata dan bersifat multidimensional.

Selain itu, Oxford Handbook membahas bagaimana pertanyaan etis dan konsekuensi sosial harus menjadi bagian integral dari teori ekonomi. Hal ini sangat relevan dalam konteks modern, di mana ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan tentang kesejahteraan manusia, pengaruh pasar terhadap kebebasan individu, dan keadilan sosial (Kincaid & Ross, 2009; Grayer, 2013). Misalnya, dalam ekonomi syariah, pertanyaan tentang distribusi zakat, pengelolaan dana wakaf, dan sistem perbankan bebas riba menunjukkan bagaimana nilai moral dan tujuan kemaslahatan umat menjadi parameter utama keberhasilan ekonomi.

Buku ini juga menyajikan analisis tentang "peran modernisme dalam ekonomi". Modernisme, menurut Kincaid & Ross (2009), membawa pendekatan mekanistik dan kuantitatif yang menekankan prediksi, efisiensi, dan optimisasi. Namun, sebagaimana dikritik oleh Grayer (2013), yang lebih luas akan dibahas di bagian bawah, modernisme tidak selalu memberdayakan ekonomi sebagai disiplin yang mampu menjawab tantangan sosial dan moral. Pendekatan yang terlalu kuantitatif, walaupun elegan secara matematika, sering mengabaikan "nilai-nilai manusiawi dan etika publik", yang seharusnya menjadi fokus utama teori ekonomi yang relevan dengan masyarakat luas.

Dalam konteks kebijakan kontemporer, perspektif ini sangat penting. Ekonomi modern dan ekonomi syariah sama-sama menghadapi tantangan globalisasi, teknologi finansial, ketimpangan sosial, dan perubahan iklim. Oxford Handbook menunjukkan bahwa refleksi filosofis membantu pembuat kebijakan memahami implikasi etis dari keputusan ekonomi dan mencegah kesalahan teknokratis yang merugikan masyarakat (Kincaid & Ross, 2009). Dengan demikian, buku ini dapat dijadikan rujukan penting untuk "menyusun kebijakan ekonomi yang tidak hanya efisien tetapi juga adil dan berkelanjutan".

Akhirnya, buku ini menekankan bahwa filsafat ekonomi bukan hanya soal teori, tetapi juga praktik. Pemahaman historis dan filosofis membantu ekonom, pembuat kebijakan, dan akademisi untuk menilai asumsi dasar, metode, dan implikasi sosial dari teori yang mereka gunakan (Kincaid & Ross, 2009). Perspektif ini sangat relevan bagi pengembangan ekonomi syariah modern, yang harus menyeimbangkan prinsip moral dan syariah dengan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, The Oxford Handbook of Philosophy of Economics menjadi karya fundamental bagi siapa pun yang ingin memahami ekonomi tidak hanya sebagai ilmu teknis, tetapi sebagai disiplin yang kaya akan refleksi filosofis, etis, dan sosial.

Bagian V: Filsafat Ekonomi dan Kritik Modernisme

Adapun untuk artikel saya membaca artikel James Grayer (2013) dalam Erasmus Student Journal of Philosophy yang menyoroti bagaimana pendekatan modern dalam ekonomi, yang berfokus pada kuantifikasi dan metode matematis, telah kehilangan dimensi filosofis dan etis yang esensial. Grayer berargumen bahwa modernisme ekonomi, meski membawa efisiensi dan ketepatan prediksi, cenderung mengabaikan dampak sosial, moral, dan humanistik dari aktivitas ekonomi (Grayer, 2013). Dengan kata lain, ekonomi modern cenderung “emansipasi” dirinya dari refleksi kritis, sehingga menjadi disiplin yang teknis namun miskin wawasan normatif.

Dalam artikelnya, Grayer membedakan dua jalur utama pemikiran ekonomi: pertama, ekonomi sebagai ilmu positif yang menekankan fakta empiris, pengumpulan data, dan prediksi melalui model matematis; kedua, ekonomi sebagai disiplin normatif yang mempertimbangkan konsekuensi etis dan sosial. Penekanan modernisme pada pendekatan kuantitatif, menurut Grayer, telah menggeser perhatian dari pertanyaan mendasar: apakah teori ekonomi benar-benar meningkatkan kesejahteraan manusia atau sekadar menghasilkan prediksi numerik yang elegan namun terlepas dari konteks sosial (Grayer, 2013; Nelum & Winter, 1985).

Grayer menekankan pentingnya kesadaran historis dalam filsafat ekonomi. Ia menunjukkan bahwa sebelum era positivisme logis dan analitik Anglo-Amerika, ekonomi klasik — dari Adam Smith hingga Karl Marx — selalu menyertakan refleksi moral, etis, dan metafisik. Smith, misalnya, tidak hanya mengamati perilaku pasar, tetapi juga menekankan moralitas individu dan tanggung jawab sosial. Marx mengaitkan produksi ekonomi dengan dinamika kekuasaan, eksploitasi, dan keadilan sosial. Pemisahan tajam antara fakta empiris dan pertimbangan etis yang diterapkan oleh modernisme ekonomi merupakan penyimpangan dari tradisi filosofis klasik yang integral (Grayer, 2013; Kincaid & Ross, 2009).

Selain itu, Grayer mengkritik dominasi metode kuantitatif yang sering menghasilkan teori ekonomi yang “self-contained,” yaitu teori yang logis dan konsisten secara internal, tetapi gagal menjelaskan fenomena sosial yang nyata. Pendekatan ini, menurutnya, serupa dengan mekanisme ilmiah dalam fisika atau kimia, tetapi tidak memadai untuk memahami kompleksitas manusia dan masyarakat. Grayer mencontohkan krisis ekonomi 2008 sebagai bukti bagaimana model ekonomi yang terlalu mengandalkan matematisasi gagal memprediksi dan mengantisipasi dinamika pasar yang sebenarnya, memperlihatkan keterbatasan pendekatan modern yang mengutamakan formalitas daripada realitas sosial.

Artikel ini juga membahas dampak modernisme terhadap pendidikan dan praktik ekonomi. Grayer mengamati bahwa pendidikan ekonomi di banyak universitas, khususnya di Amerika, cenderung menekankan kuantifikasi, teori abstrak, dan analisis regresi, sementara pertimbangan etis, filosofis, dan sosial sering diabaikan. Fenomena ini disebut sebagai bentuk “emansipasi yang gagal,” di mana ekonomi dibebaskan dari konteks sosial, tetapi kehilangan relevansi humanistik. Hal ini menimbulkan masalah serius, karena teori ekonomi yang hanya fokus pada angka dan model matematis tidak mampu memandu kebijakan yang mempertimbangkan kesejahteraan manusia secara menyeluruh (Colander, 2011; Grayer, 2013).

Grayer juga menekankan dimensi historis dan sosiokultural modernisme. Ia menunjukkan bagaimana modernisme muncul sebagai reaksi terhadap tradisi klasik, membawa paradigma mekanistik yang menekankan efisiensi, prediksi, dan rasionalitas formal. Transformasi ini, meskipun menghasilkan inovasi signifikan dalam analisis ekonomi, juga mempersempit lingkup filsafat ekonomi dengan menekankan formalitas dan abstraksi. Modernisme menekankan logika instrumentalis atas nilai-nilai substantif, yang berdampak pada cara masyarakat dan pembuat kebijakan menafsirkan dan menerapkan teori ekonomi (Grayer, 2013).

Secara keseluruhan, Grayer menegaskan bahwa ekonomi modern harus kembali ke kesadaran filosofis dan humanistik. Ia menyarankan agar ekonom tidak hanya terjebak pada model matematis, tetapi juga mempertimbangkan implikasi etis, sosial, dan moral dari teori dan praktik mereka. Integrasi ini penting untuk menghasilkan ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan bermakna bagi manusia dan masyarakat (Grayer, 2013).

Artikel Grayer memberikan wawasan penting bagi pemikiran ekonomi kontemporer, dengan kritik terhadap modernisme yang menekankan integrasi nilai etis dan filosofis dalam setiap aspek teori dan praktik ekonomi. Perspektif ini menegaskan bahwa ekonomi bukan hanya ilmu numerik, tetapi juga disiplin multidimensional yang menuntut refleksi moral dan sosial agar dapat relevan dalam kehidupan nyata.

Dalam konteks kebijakan ekonomi modern, kritik Grayer menunjukkan bahwa pendekatan kuantitatif murni berisiko menghasilkan kebijakan yang “buta nilai.” Misalnya, stimulus fiskal yang dirancang hanya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dapat memperlebar kesenjangan sosial jika tidak disertai mekanisme redistribusi yang memadai. Hal ini terlihat pada krisis finansial global 2008, ketika model ekonomi dan keuangan modern gagal memprediksi risiko sistemik dan implikasi sosialnya, sehingga memunculkan kerugian yang masif di sektor rumah tangga dan usaha kecil (Grayer, 2013; Colander, 2011). Dengan demikian, analisis filosofi ekonomi Grayer menegaskan perlunya integrasi pertimbangan etis, sosial, dan humanistik dalam setiap kebijakan ekonomi.

Kritik ini juga memberikan kerangka reflektif bagi ekonomi syariah kontemporer. Ekonomi syariah secara prinsipil mengintegrasikan pertimbangan moral dan sosial dalam setiap aktivitas ekonomi, misalnya melalui larangan riba, kewajiban zakat, prinsip bagi hasil, dan tanggung jawab sosial korporat. Namun, di era globalisasi, praktik ekonomi syariah cenderung meniru model modernisme ekonomi konvensional yang berfokus pada produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan laba semata, sehingga kadang mengabaikan maqashid al-shariah seperti keadilan sosial, pemerataan kesejahteraan, dan keberlanjutan ekonomi (Grayer, 2013; Kincaid & Ross, 2009). Dengan perspektif Grayer, ekonomi syariah modern perlu menyeimbangkan metodologi kuantitatif dengan refleksi filosofis, etis, dan sosial agar tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan manusiawi.

Selain itu, Grayer menyoroti dimensi metodologis dalam pendidikan ekonomi modern. Pendidikan yang menekankan penguasaan matematis dan model kuantitatif semata menghasilkan lulusan yang pandai menghitung dan memprediksi, tetapi kurang mampu menilai dampak sosial dan etis dari kebijakan yang mereka usulkan. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara keahlian teknis dan tanggung jawab sosial. Dalam ekonomi syariah, penguatan kurikulum yang mengintegrasikan filsafat ekonomi, maqashid al-shariah, dan analisis kuantitatif dapat membentuk ekonom yang kompeten secara teknis sekaligus peka terhadap implikasi sosial, moral, dan etis dari setiap kebijakan ekonomi (Grayer, 2013; Kincaid & Ross, 2009).

Analisis kontemporer lebih lanjut menunjukkan bahwa kritik modernisme Grayer relevan bagi berbagai kebijakan publik, baik di ekonomi konvensional maupun syariah. Misalnya, dalam pengembangan industri halal, investasi syariah, atau keuangan mikro, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh angka pertumbuhan atau laba, tetapi juga oleh dampak sosial terhadap kesejahteraan masyarakat, kesetaraan akses, dan kepatuhan terhadap nilai-nilai moral. Dengan demikian, kritik Grayer menekankan perlunya “pendekatan holistik” yang memadukan analisis kuantitatif, refleksi filosofis, dan pertimbangan etis agar ekonomi modern dan ekonomi syariah tetap relevan, berkelanjutan, dan manusiawi (Grayer, 2013).

Lebih jauh, refleksi filosofis yang diusulkan Grayer juga relevan dalam konteks ekonomi global dan kebijakan lintas negara. Misalnya, globalisasi perdagangan dan investasi menghadirkan dilema antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial. Tanpa integrasi pertimbangan etis, kebijakan perdagangan bebas bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi makro, tetapi memperlebar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Ekonomi syariah yang memanfaatkan prinsip keadilan distributif, pengelolaan zakat, dan etika bisnis dapat menawarkan model alternatif yang memadukan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan sosial, sejalan dengan kritik Grayer terhadap modernisme ekonomi yang terlampau formalistik (Grayer, 2013; Kincaid & Ross, 2009).

Secara keseluruhan, analisis Grayer menegaskan bahwa modernisme ekonomi dengan fokus kuantitatif dan metodologi positivistik memiliki keterbatasan dalam menangani kompleksitas sosial, moral, dan etis. Untuk kebijakan ekonomi modern maupun ekonomi syariah, implikasinya adalah perlunya integrasi multidimensional: metodologi kuantitatif harus dipadukan dengan refleksi filosofis, pertimbangan etis, dan evaluasi sosial. Dengan pendekatan ini, ekonomi tidak hanya dapat memprediksi dan meningkatkan pertumbuhan, tetapi juga membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Kritik modernisme Grayer, oleh karena itu, menjadi pedoman penting bagi para ekonom, perumus kebijakan, dan akademisi ekonomi syariah dalam menghadapi tantangan ekonomi kontemporer yang kompleks dan multidimensional.

Bagian VI: Analisis Kontemporer Ekonomi Syariah

Pemikiran ekonomi klasik Barat telah memberikan dasar bagi teori dan praktik ekonomi modern. Adam Smith, melalui The Theory of Moral Sentiments (1759), menekankan pentingnya empati dan norma moral dalam perilaku ekonomi, dengan konsep "impartial spectator" sebagai mekanisme internal yang menyeimbangkan kepentingan pribadi dan kepentingan sosial (Smith, 1759). Prinsip ini memiliki kesamaan dengan etika ekonomi syariah, yang menekankan keseimbangan antara rasionalitas ekonomi dan tanggung jawab moral. Dalam konteks syariah, aktivitas ekonomi tidak hanya diukur dari keuntungan, tetapi juga dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Smith melihat pasar yang "tidak terlihat" (invisible hand) sebagai mekanisme alokasi sumber daya yang efisien, namun tetap membutuhkan kontrol moral untuk mencegah ketimpangan sosial yang merugikan (Smith, 1776).

David Ricardo, melalui teori nilai kerja dan distribusi kekayaan, menyoroti bagaimana surplus ekonomi didistribusikan antara pekerja, pemilik modal, dan pemilik tanah (Ricardo, 1817). Analisis Ricardo dapat dikaitkan dengan prinsip ekonomi syariah terkait distribusi kekayaan: zakat, infaq, sedekah, dan pembagian keuntungan (profit-sharing). Pendekatan ini menekankan bahwa efisiensi alokasi sumber daya tidak cukup tanpa jaminan keadilan sosial, dan redistribusi kekayaan menjadi instrumen moral untuk mengurangi kesenjangan ekonomi (Usmani, 2002). Dengan kata lain, sistem ekonomi syariah mengintegrasikan efisiensi ekonomi ala Ricardo dengan etika moral dan sosial.

John Stuart Mill menambahkan dimensi penting melalui penekanan pada kesejahteraan masyarakat dan kebebasan individu (liberty), yang sejalan dengan prinsip maqāṣid al-sharī‘ah untuk pembangunan manusia dan keadilan sosial (Mill, 1848; Al-Shāṭibī, 2000). Mill menekankan pentingnya keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta perhatian pada distribusi kekayaan yang adil. Dalam konteks ekonomi syariah kontemporer, prinsip ini diterjemahkan menjadi kebijakan fiskal yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pengentasan kemiskinan, akses pendidikan, dan pembangunan manusia secara berkelanjutan.

Karl Marx memberikan kritik radikal terhadap kapitalisme yang menekankan dominasi modal dan ketimpangan distribusi. Walaupun perspektif Marx berbeda secara ideologis, kritiknya terhadap ketidakadilan distribusi memiliki kesamaan dengan tujuan ekonomi syariah: menciptakan keseimbangan sosial, pemerataan kekayaan, dan perlindungan terhadap kelompok lemah (Marx, 1867). Dengan demikian, ekonomi syariah tidak menolak efisiensi pasar, tetapi mengintegrasikan mekanisme etis untuk mencegah ketimpangan ekstrem dan memastikan kepentingan masyarakat lebih luas.

James Grayer dalam artikelnya Philosophy & The Discourse of Economics (2013) menyoroti bahwa modernisme ekonomi, yang mengedepankan metode kuantitatif dan positivisme, sering kehilangan dimensi moral dan sosial. Metode ini menekankan prediksi matematis dan efisiensi, tetapi mengabaikan efeknya terhadap kesejahteraan manusia dan keadilan sosial. Grayer menunjukkan bahwa dominasi paradigma kuantitatif telah membatasi refleksi filosofis dan etis dalam ekonomi, sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Grayer, 2013).

Dalam konteks ekonomi syariah, kritik ini relevan karena menegaskan perlunya integrasi antara analisis kuantitatif dan prinsip moral. Misalnya, pengelolaan zakat, wakaf produktif, dan redistribusi kekayaan tidak hanya memerlukan perhitungan finansial, tetapi juga pertimbangan etis, sosial, dan spiritual. Modernisme ekonomi cenderung menekankan GDP growth dan efisiensi pasar, sedangkan ekonomi syariah menekankan kesejahteraan sosial (social welfare), pemerataan kekayaan, dan keberlanjutan (sustainability).

Analisis kontemporer menunjukkan bahwa penerapan ekonomi syariah dalam kebijakan modern menuntut:

1. Regulasi adaptif terhadap ekonomi global: Sistem hukum dan fiskal harus mampu mengakomodasi inovasi finansial dan perdagangan internasional sambil tetap menjaga prinsip syariah (Ibn Khaldun, 2004).

2. Mekanisme distribusi yang transparan dan akuntabel: Implementasi zakat, infaq, dan wakaf produktif memerlukan sistem monitoring dan evaluasi berbasis teknologi untuk memastikan keadilan sosial (Edvinsson, 2023).

3. Fokus pada pembangunan manusia: Ekonomi syariah modern menekankan pendidikan, literasi keuangan, dan kesehatan masyarakat, bukan sekadar pertumbuhan GDP (Chapra, 2008).

Integrasi pemikiran klasik Barat dengan ekonomi syariah menawarkan paradigma ekonomi baru yang etis, inklusif, dan berkelanjutan. Smith menyediakan dasar moral bagi perilaku ekonomi, Ricardo memberikan wawasan tentang efisiensi dan distribusi kekayaan, Mill menekankan kesejahteraan masyarakat, sedangkan Marx menyoroti ketidakadilan dan perlunya redistribusi. Ekonomi syariah menggabungkan semua ini dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, yaitu keadilan sosial, pembangunan manusia, dan pengentasan kemiskinan (Al-Shāṭibī, 2000).

Dengan demikian, kritik modernisme ekonomi tidak hanya relevan secara akademik, tetapi juga praktis: untuk merancang kebijakan fiskal, moneter, dan sosial yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, mengintegrasikan efisiensi ekonomi modern dengan etika moral, dan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keadilan sosial. Sinergi ini memberikan kerangka bagi negara-negara dengan ekonomi syariah untuk menghadapi tantangan global sekaligus menjaga identitas etis dan spiritual dalam pembangunan ekonomi (Ibn Khaldun, 2004; Edvinsson, 2023).

Kesimpulan dan Refleksi

Malam-malam dari teras yang ditemani banyak nyamuk, lalu ke dapur menjadi saksi perjalanan intelektual saya: file-file buku utuh yang saya unduh, jurnal, dan catatan yang terus berkembang. Dari Ibn Khaldun hingga Adam Smith dan Colander, dari Al-Shāṭibī hingga John Stuar Mill dan Robinson, ada benang merah: ekonomi selalu tentang manusia, keadilan, dan nilai.

Mengajar filsafat ekonomi syariah bukan hanya menyampaikan teori, tetapi menumbuhkan kemampuan mahasiswa untuk: (1). Membaca kritik lintas tradisi pemikiran; (2). Memahami relevansi prinsip klasik dalam konteks kontemporer; (3). Menyadari keterbatasan metode kuantitatif modern; dan (4). Mengintegrasikan etika, moralitas, dan maqāṣid al-sharī‘ah dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Catatan  ini bukan sekadar tulisan akademik, tetapi percakapan malam yang tak pernah usai antara saya, buku-buku, dan pikiran-pikiran yang terus berkembang dari dua tradisi intelektual dunia: Barat dan Islam.

Membaca beberapa buku pemikiran dan filsafat ekonomi Barat dan mencari benang merahnya dengan ekonomi syariah, saya teringat puisi Rudyard Kipling, "The Ballad of East and West", di mana ia berkata, 

"East is East and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently at God's great Judgment Seat; But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When two strong men stand face to face, though they come from the ends of the earth!"

"Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat, dan takkan pernah bertemu, Hingga Bumi dan Langit berdiri kelak di hadapan Takhta Pengadilan Tuhan; Namun tiada lagi Timur atau Barat, batas, keturunan, ataupun asal-usul, Saat dua pria perkasa berdiri saling berhadapan, meski berasal dari ujung bumi!"

Syair Kipling di atas, secara tradisional menekankan pemisahan antara Timur dan Barat, seakan ada batas yang tidak mungkin ditembus. Namun dalam konteks kontemporer, terutama dalam bidang ekonomi, batas tersebut semakin kabur. Pemikiran ekonomi Barat, seperti teori Adam Smith tentang pasar dan “invisible hand”, serta pendekatan Ricardo dan Marshall, menekankan efisiensi, mekanisme pasar, dan rasionalitas instrumen. Sebaliknya, ekonomi Islam menekankan keadilan sosial, redistribusi kekayaan melalui zakat dan infaq, serta maqāṣid al-sharī‘ah sebagai prinsip moral dan etis dalam kebijakan publik.

Dalam era globalisasi, konsep “never the twain shall meet” tidak lagi relevan. Justru dunia modern menuntut interkoneksi dan sinergi lintas tradisi pemikiran, di mana Barat dan Islam dapat saling melengkapi. Misalnya, mekanisme pasar yang efisien dapat diperkaya dengan etika dan keadilan sosial Islam, menghasilkan paradigma ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Globalisasi juga memaksa kebijakan fiskal dan pembangunan manusia mengintegrasikan prinsip moral dan rasionalitas ilmiah secara bersamaan, menegaskan bahwa benang merah antara pemikiran ekonomi Timur dan Barat semakin nyata.

Hasilnya, dunia modern menegaskan bahwa batas geografis, budaya, atau tradisi intelektual bukan lagi penghalang; sebaliknya, dialog dan kolaborasi lintas tradisi menjadi kunci untuk membangun sistem ekonomi global yang adil, etis, dan berkelanjutan.

Daftar Referensi

Al-Maqrizi. Al-Mawa‘iz wa al-I‘tibar fi Dhikr al-Khitat wa al-Athar. Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1995.

Al-Shāṭibī. Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.

Backhaus, Jürgen Georg, ed. Handbook of the History of Economic Thought: Insights on the Founders of Modern Economics. Springer, 2023.

Colander, David. The Making of an Economist, Redux. Princeton: Princeton University Press, 2007.

Edvinsson, L. Rodney. An Economic Philosophy of Production, Work and Consumption: A Transhistorical Framework. London: Routledge, 2023.

Grayne, James. “Philosophy & The Discourse of Economics: Why Modernism is no longer Emancipatory for Economics.” Erasmus Student Journal of Philosophy, ESJP, 5, 2013.

Hausman, Daniel M., ed. The Philosophy of Economics: An Anthology, 3rd ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.

Hunt, E.K., and Mark Lautzenheiser. History of Economic Thought: A Critical Perspective, 3rd ed. Armonk, NY: M.E. Sharpe, 2011.

Ibn Khaldun. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004.

Kincaid, Harold, and Don Ross, eds. The Oxford Handbook of Philosophy of Economics. Oxford: Oxford University Press, 2009.

Ricardo, D. On the Principles of Political Economy and Taxation. London: John Murray, 1817.

Robinson, Joan. Economic Philosophy. Harmondsworth: Penguin Books, 1962.

Smith, A. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. London: W. Strahan & T. Cadell, 1776.

Smith, A. The Theory of Moral Sentiments. London: A. Millar, 1759.

Mill, J. S. Principles of Political Economy. London: John W. Parker, 1848.

Marx, K. Das Kapital. Hamburg: Otto Meissner Verlag, 1867.

Chapra, M. U. The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid al-Shariah. Jeddah: Islamic Development Bank, 2008.

Usmani, M. T. An Introduction to Islamic Finance. Karachi: Idaratul Ma’arif, 2002.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid