Menyalakan Kembali Api Intelektual Kampus Islam


Cak Yo

Saya sering berkunjung ke berbagai kampus Islam—negeri maupun swasta. Kadang untuk menjalin kerja sama, kadang sebagai peserta atau pembicara seminar, ataupun sekadar datang untuk merasakan denyut mahasiswanya. Namun entah mengapa, hampir di setiap tempat, saya menemukan kesunyian yang sama. Sejak dua dekade terakhir, ruang-ruang kuliah yang dulu bergetar oleh perdebatan kini seperti kehilangan gema. Diskursus pemikiran Islam yang pernah membakar semangat generasi 1990-an kini hanya tinggal nama dalam daftar pustaka.

Dulu, nama-nama para pemikir Muslim terpampang di dinding ruang baca fakultas: Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897), Muhammad ‘Abduh (w. 1905), Rashid Rida (w. 1935), Sir Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), dan Muhammad Iqbal (w. 1938). Mereka bukan sekadar nama, tetapi roh zaman. Afghani menulis al-‘Urwah al-Wuthqa untuk menyerukan persatuan Islam melawan kolonialisme. Abduh dalam Risālat al-Tawḥīd (Risalah Tauhid) menghidupkan kembali rasionalitas iman. Iqbal dengan The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dalam Islam) menyalakan filsafat kesadaran diri (khudi) yang membebaskan.

Saya pernah membaca buku Modernist Islam, 1840–1940: A Source Book yang disunting oleh Charles Kurzman (Oxford Univer-sity Press, 2002). Buku ini seperti jendela besar yang memperlihatkan betapa luas dan beragamnya gelombang pembaru-an Islam di berbagai belahan dunia—dari Mesir, Iran, Turki, India, hingga Asia Tenggara. Dalam satu jilid, Kurzman meng-himpun suara-suara para pembaru: al-Tahtawi, Khayr al-Din, Abduh, Rida, Iqbal, hingga Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim. Setiap teks menghadirkan semangat yang sama—hasrat untuk menyatukan iman dengan kemajuan, wahyu dengan rasio-nalitas, Islam dengan modernitas tanpa kehilangan jati dirinya.

Buku Modernist Islam adalah salah satu karya monumental yang menghimpun sumber-sumber primer tentang pemikiran modernisme Islam dari berbagai belahan dunia Muslim pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Buku ini merupakan antologi intelektual yang memperlihatkan bagaimana umat Islam di berbagai wilayah — dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara — merespons tantangan modernitas, koloni-alisme, dan perubahan sosial dengan beragam cara. Alih-alih menyajikan analisis sekunder, Kurzman memilih pendekatan dokumenter: ia menampilkan langsung teks-teks asli (dalam terjemahan bahasa Inggris) dari para tokoh modernis, sehingga pem-baca dapat merasakan langsung dinamika wacana reformasi Islam pada masa awal kebangkitan modern.

Struktur buku ini terbagi menjadi enam bagian berdasarkan wilayah geografis: Afrika, Iran/Afghanistan, Kekaisaran Ottoman, Kekaisaran Rusia, Asia Selatan, dan Asia Tenggara/Timur. Setiap bagian memuat sejumlah bab yang berisi biografi ringkas dan potongan tulisan dari para pemikir terkemuka di wilayah tersebut.

Bagian pertama, Afrika, menampilkan tokoh-tokoh reformis awal seperti Rifa‘a Rafi‘ al-Tahtawi (Mesir), Khayr al-Din al-Tunisi, Muhammad Abduh, Qasim Amin, dan Rashid Rida, yang meletakkan dasar bagi pembaruan Islam dengan menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, pendidikan, rasionalitas, dan keadilan sosial. Dari wilayah ini juga muncul nama-nama penting seperti Bahithat al-Badiya—salah satu suara perempuan pertama dalam reformasi Islam Mesir—dan Abd al-Hamid Ibn Badis, pemimpin gerakan nasionalis Aljazair yang memadukan Islam dengan perjuangan anti-kolonial.

Bagian kedua, Iran dan Afghanistan, menyoroti figur-figur seperti Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Mirza Malkum Khan, dan Muhammad Husayn Na‘ini, yang berperan besar dalam memperkenalkan ide-ide konstitusionalisme, kebebasan politik, dan reformasi sosial di dunia Islam Persia. Gagasan mereka mencerminkan pertemuan antara Islam dan modernitas politik Eropa abad ke-19.

Bagian ketiga, Kekaisaran Ottoman, menampilkan para intelektual yang menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, seperti Namık Kemal, Ali Suavi, Ziya Gökalp, dan Abd al-Rahman al-Kawakibi. Mereka membangun narasi nasionalisme, pembaruan pendidikan, dan reinterpretasi ajaran Islam agar sejalan dengan semangat kemajuan (nahda).

Bagian keempat, Kekaisaran Rusia, meng-ungkap gerakan Jadidisme di kalangan Muslim Tatar dan Asia Tengah. Tokoh-tokohnya seperti Ismail Bey Gasprinskii, Rizaeddin bin Fakhreddin, Abdurrauf Fitrat, dan Mahmud Khoja Behbudiy berjuang membangun sistem pendidikan Islam modern, menulis dalam bahasa lokal, dan menghidupkan kesadaran identitas Muslim di bawah tekanan kekuasaan Tsar Rusia.

Bagian kelima, Asia Selatan, memper-lihatkan puncak intelektualisme Islam modern dengan munculnya Sayyid Ahmad Khan, Chiragh Ali, Muhammad Iqbal, dan Abul Kalam Azad. Mereka berusaha memadukan iman dengan rasio-nalitas modern, memperjuangkan pen-didikan dan reformasi hukum Islam, serta menggagas ide kebangkitan umat melalui ilmu pengeta-huan dan filsafat.

Bagian keenam, Asia Tenggara dan Timur, menjadi bukti bahwa modernisme Islam juga berakar kuat di dunia Melayu-Indonesia. Di sini terdapat nama-nama besar seperti Syekh Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, Ahmad Hasan, dan Hasyim Asy‘ari—para tokoh yang membentuk wajah Islam Indonesia modern. Bab ini juga memuat dokumen penting seperti artikel dari surat kabar al-Imam (Singapura), yang menjadi jembatan ide antara Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Buku ini tidak hanya menghadirkan peta intelektual Islam modern secara global, tetapi juga menunjukkan bahwa moder-nisme Islam bukanlah proyek tunggal, melainkan mosaik yang beragam, sesuai konteks sosial-politik setiap wilayah. Di satu sisi, Kurzman memperlihatkan bagaimana modernisme Islam tumbuh dari semangat ijtihad dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman; di sisi lain, ia menyingkap bahwa reformasi Islam selalu berdiri di antara dua kutub—kesetiaan pada wahyu dan keterbukaan terhadap modernitas.

Bagi saya, membaca Modernist Islam, 1840–1940: A Sourcebook terasa seperti menelu-suri akar intelektual dari kebang-kitan intelektual Muslim itu sendiri. Buku ini memperlihatkan bahwa kebang-kitan pemi-kiran Islam modern bukan dimulai dari ruang seminar abad ke-20, tetapi dari pergumulan panjang umat Islam untuk memaknai kembali wahyu dalam dunia yang berubah. Banyak nama di dalamnya—dari Abduh hingga Ahmad Dahlan—pernah menjadi inspirasi mahasiswa Indonesia dalam ruang-ruang diskusi kampus, membentuk kesadaran baru bahwa moder-nitas tidak harus berarti sekularisasi, tetapi bisa menjadi jalan menuju pembaruan iman dan akal yang lebih beradab.

Membaca buku itu membuat saya merasakan kembali getar intelektual yang dahulu menjadi napas dunia Islam. Di sana terlihat bagaimana para pemikir Muslim menolak untuk hanya menjadi penonton sejarah. Mereka mendirikan sekolah, menulis surat kabar, berdebat tentang demokrasi, hak perempuan, dan kebebasan berpikir dalam bahasa zaman mereka. Buku itu menjadi pengingat bahwa pembaruan Islam bukanlah proyek asing atau titipan Barat, melainkan bagian dari sejarah panjang perjuangan umat untuk menemu-kan kembali makna kemajuan yang berakar pada tauhid.

Begitu pula, saya masih ingat pertama kali membaca buku Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an yang disunting oleh Suha Taji-Farouki, diterbitkan oleh Oxford University Press bekerja sama dengan The Institute of Ismaili Studies di London. Buku ini seperti membuka kembali peta besar pergulatan intelektual Muslim modern dengan teks suci. Di dalamnya, saya menemukan bahwa Al-Qur’an terus menjadi medan tafsir yang hidup, dinamis, dan tak pernah selesai dibaca. Buku ini memuat sebelas bab yang ditulis oleh para sarjana berbeda, masing-masing menyoroti tokoh-tokoh Muslim modern yang mencoba menjembatani wahyu dan dunia kontem-porer. Abdullah Saeed menulis tentang Fazlur Rahman dan kerangka etika-hukum dalam penafsiran Qur’ani; Anthony H. Johns mengulas gagasan Nurcholish Madjid tentang pluralisme dan toleransi; Asma Barlas menafsirkan hermeneutika Amina Wadud yang menempatkan perempuan sebagai subjek penafsir teks; sementara Ursula Günther memaparkan pembacaan radikal Mohammed Arkoun terhadap nalar Islam.

Bab-bab berikutnya semakin memper-lihatkan kekayaan pendekatan: Navid Kermani menulis tentang Nasr Hamid Abu Zayd dan bagaimana ia membawa Al-Qur’an ke ranah studi sastra modern; Farzin Vahdat membahas hermeneutika intersubjektif Mohamad Mojtahed Shabes-tari di Iran pascarevolusi; Ronald L. Nettler menyoroti gagasan Mohamed Talbi tentang kejujuran intelektual dalam memahami wahyu; Osman Tastan meng-gambarkan pendekatan rasional Hüseyin Atay terhadap teks Al-Qur’an; Andreas Christmann membedah pemikiran Mohamad Shahrour melalui karyanya al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu‘āṣirah (Kitab dan Al-Qur’an: Sebuah Bacaan Kontem-porer); dan akhirnya Suha Taji-Farouki sendiri menutup buku ini dengan refleksi atas figur Sadiq Nayhum, yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber etika pembebasan dalam konteks sosial-politik modern.

Yang menarik, sebagian besar nama-nama tokoh dan pemikiran yang diuraikan dalam buku ini sebenarnya pernah mengisi ruang-ruang diskursus mahasiswa di kampus-kampus Islam Indonesia, terutama pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an. Buku-buku Fazlur Rahman, Arkoun, dan Abu Zayd sering menjadi bahan diskusi panas di pojok fakultas, sementara nama-nama seperti Nurcholish Madjid dan Amina Wadud menginspirasi debat tentang pluralisme dan gender dalam Islam. Bagi banyak mahasiswa waktu itu, membaca karya-karya mereka adalah bentuk perlawanan halus terhadap stagnasi berpikir dan kejumudan intelektual yang mengungkung kampus.

Menelaah buku ini membuat saya mere-nungkan kembali bahwa kebangkitan Islam bukanlah kebangkitan simbol, melainkan kebangkitan nalar dan moral. Setiap tokoh dalam buku ini menunjukkan satu hal yang sama: keberanian berpikir dalam batas iman. Mereka bukan hanya menafsirkan teks, tetapi juga menafsirkan zaman. Dari Fazlur Rahman hingga Abu Zayd, dari Amina Wadud hingga Nurcholish Madjid, saya melihat satu benang merah yang menghubungkan semuanya — semangat untuk menjadikan Al-Qur’an seba-gai sumber pencerahan etis dan kemanusia-an. Buku ini seakan menjadi cermin bagi manifesto itu sendiri: bahwa menjadi intelektual Muslim berarti terus berdialog dengan teks dan realitas, dengan akal dan nurani, dengan masa lalu dan masa depan.

Dari beberapa buku yang saya baca, ter-masuk dua buku di atas, saya memahami bahwa dari rahim reformasi abad ke-19 itu, lahirlah generasi baru yang membawa Islam ke gelanggang ideologi dan politik global. Abul A‘la Maududi (w. 1979) menulis al-Jihād fi al-Islām (Jihad dalam Islam) dan The Islamic Way of Life (Jalan Hidup Islam); Sayyid Qutb (w. 1966) mengguncang Mesir dengan Fī Zilāl al-Qur’an (Dalam Naungan Al-Qur’an) dan Ma‘ālim fi al-Tharīq (Petunjuk di Jalan); Ali Shari‘ati (w. 1977) membakar kesadaran rakyat Iran dengan Man and Islam (Manusia dan Islam) dan Red Shi‘ism vs. Black Shi‘ism (Syiah Merah vs. Syiah Hitam); sementara Malek Bennabi (w. 1973) menulis Les Conditions de la Renaissance (Syarat-Syarat Kebangkitan) yang menganalisis sebab-sebab kemunduran dunia Islam.

Di kampus-kampus Islam Indonesia, ter-utama pada 1990-an, nama-nama para pemikir Islam itu sering disebut dan akrab di kalangan mahasiswa; pemikiran mereka didiskusikan sehingga semangat intelektual hidup. Mahasiswa bukan hanya membaca, tetapi menggenggam buku-buku karya para pemikir Muslim seperti menggenggam keyakinan. Di tangga fakultas, di taman kampus, bahkan di angkot menuju kampus, tampak jilid tebal karya Hassan Hanafi (w. 2021) al-Turāth wa al-Tajdīd (Tradisi dan Pembaruan) atau al-Yasār al-Islāmī (Kiri Islam). Ada yang tenggelam dalam Critique de la Raison Islamique (Kritik atas Nalar Islam) karya Mohammed Arkoun (w. 2010), membacanya dengan serius di bawah pohon kampus, seolah mencari rahasia kebang-kitan yang hilang. Pada masa itu, gagasan Hassan Hanafi tentang Kiri Islam-nya menjadi salah satu wacana paling berpengaruh di kalangan mahasiswa kampus Islam. Pemikiran Hanafi yang menekankan pembebasan manusia dari dominasi teologis menuju kesadaran sosial-politik menemukan gaungnya di tengah semangat reformasi intelektual waktu itu. Pemikiran Mohammed Arkoun Kritik atas Nalar Islam juga menjadi bacaan wajib bagi mereka yang haus pada rasionalitas dan kebebasan berpikir. Diskursus tentang Kiri Islam dan Nalar Islam menjelma menjadi simbol keberanian intelektual—mereka yang membacanya seakan tengah menan-tang kemapanan tafsir, menggugat ortodoksi, dan merintis jalan baru bagi pembaharuan Islam di era modern.

Mereka yang lebih dekat pada aktivisme kiri membawa Das Kapital karya Karl Marx (w. 1883), novel-novel Maxim Gorky (w. 1936) seperti The Mother (Sang Ibu), atau esai Jean-Paul Sartre (w. 1980) tentang eksisten-sialisme. Ada pula yang jatuh cinta pada Michel Foucault (w. 1984) melalui Discipline and Punish (Disiplin dan Hukuman) atau The Archaeology of Knowledge (Arkeologi Pengetahuan). Buku-buku itu dibaca bukan untuk gaya, tapi karena mereka sedang mencari makna di tengah kebisuan zaman.

Saya masih ingat masa-masa kuliah sering main ke Ciputat, yang waktu itu dapat dikatakan pusatnya Gerakan intelektual di Indonesia. Bahkan waktu itu ada anekdot, “Islam Mazhab Ciputat” yang menjadi simbol aktivisme intelektual dan gerakan pemikiran di kalangan mahasiswa. Di kantin atau pelataran masjid, mahasiswa memperdebatkan Naqd al-‘Aql al-‘Arabī (Kritik Nalar Arab) karya Mohammed Abed al-Jabiri (w. 2010), Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kritik Wacana Keagamaan), dan Mafhum al-Nass: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran) karya Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010), atau Islam and Modernity (Islam dan Modernitas) karya Fazlur Rahman (w. 1988). Setiap halaman dibaca seperti peta menuju masa depan Islam.

Dari pemikir Muslim keturunan Palestina yang hidup di Amerika, Ismail Raji al-Faruqi (w. 1986) lewat Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu Pengetahuan) dan Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Tauhid: Implikasinya bagi Pemikiran dan Kehidupan) menyerukan integrasi ilmu dan iman. Pemikir tradisionalis Iran, Seyyed Hossein Nasr (lahir 1933) dalam Knowledge and the Sacred (Pengetahuan dan yang Sakral) memperingatkan bahaya dunia modern yang kehilangan dimensi spiritual. Abdulkarim Soroush (lahir 1945) dengan pemikirannya yang menggugat otoritas dan tradisi agama menulis Qabz wa Bast-e Tashayyo‘ (Ekspansi dan Kontraksi Pengetahuan Keagamaan), sementara Taha Abdurrahman (lahir 1944) dalam Ruh al-Hadāthah (Ruh Modernitas) mencoba menanamkan etika di jantung rasionalitas.

Dari Maghrib, Abdallah Laroui (lahir 1933) menulis The Crisis of the Arab Intellectual (Krisis Intelektual Arab); Abu al-Qasim Hajj Hamad (w. 2004) menulis al-‘Alamiyyah al-Thāniyah li al-Islām (Universalitas Kedua Islam); Ziauddin Sardar (lahir 1951) menulis Reading the Qur’an (Membaca Al-Qur’an) dan Islam, Postmodernism and Other Futures (Islam, Postmodernisme, dan Masa Depan Lainnya). Dari Asia Tenggara, Syed Muhammad Naquib al-Attas (lahir 1931) menulis Islam and Secularism (Islam dan Sekularisme) dan Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Pengantar ke Metafisika Islam), sementara Osman Bakar (lahir 1946) menulis Tawhid and Science (Tauhid dan Ilmu Pengetahuan).

Di antara nama-nama itu, ada satu pemikir yang kerap ramai dibicarakan—Asghar Ali Engineer (w. 2013) yang terkenal dengan teologi pembebasannya. Melalui karya Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (Teologi Pembebasan Islam: Esai tentang Unsur Pembebasan dalam Islam) dan The Rights of Women in Islam (Hak-Hak Perempuan dalam Islam), ia menegaskan bahwa Islam sejati bukan agama dogma, tapi agama pembebasan dan keadilan sosial. Ia mengajak umat Islam untuk melakukan ijtihad sosial—menafsir ulang teks-teks keagamaan agar berpihak pada yang lemah dan tertindas.

Di kalangan mahasiswa yang tertarik dengan studi-studi Islam nama dan pemikiran Ali Harb (lahir 1941) juga menjadi wacana. Ia adalah salah satu pemikir kontemporer asal Lebanon yang dikenal dengan gagasan dekonstruktif terhadap nalar Arab dan wacana keagamaan Islam. Ia berupaya membongkar cara berpikir dogmatis yang telah mengakar dalam tradisi intelektual Islam dan Arab modern. Melalui karya monumentalnya Naqd al-Naṣṣ (Kritik atas Teks), Naqd al-‘Aql al-Dīnī (Kritik atas Nalar Keagamaan), dan Fakru al-Fikr (Kebangkrutan Pemikiran), Harb menyeru-kan perlunya membaca ulang teks-teks agama secara kreatif dan terbuka terhadap konteks sosial-historisnya. Bagi Harb, kebangkitan dunia Islam hanya mungkin terjadi bila umat berani melakukan “pembongkaran nalar” dan menolak men-jadikan teks sebagai menara absolut kebenaran. Pemikirannya, yang sarat pengaruh filsafat post-strukturalisme, per-nah menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan mahasiswa dan dosen yang mulai mengenal wacana dekonstruksi dan hermeneutika modern dalam studi Islam.

Para perempuan intelektual juga menyala-kan obor pencerahan. Amina Wadud (lahir 1952) dengan Qur’an and Woman (Al-Qur’an dan Perempuan), Asma Barlas (lahir 1950) dengan Believing Women in Islam (Perempuan Beriman dalam Islam), Leila Ahmed (lahir 1940) dengan Women and Gender in Islam (Perempuan dan Gender dalam Islam), dan Riffat Hassan (lahir 1943) dengan teologi kesetaraan yang mengguncang batas lama tafsir patriarkal.

Dari dunia sastra, muncul Nawal El Saadawi (w. 2021) dengan Woman at Point Zero (Perempuan di Titik Nol) dan The Hidden Face of Eve (Wajah Tersembunyi Hawa), Adonis (lahir 1930) dengan al-Thabit wa al-Mutahawwil (Yang Tetap dan yang Berubah), Taha Hussein (w. 1973) dengan Fi al-Syi‘r al-Jāhilī (Puisi Pra-Islam), Ghassan Kanafani (w. 1972) dengan Men in the Sun (Manusia di Bawah Terik Matahari), dan Tayeb Salih (w. 2009) dengan Season of Migration to the North (Musim Hijrah ke Utara). Mereka menulis bukan sekadar sastra, tapi cermin dari pergulatan antara agama, kolonialisme, dan modernitas.

Mungkin obor itu belum padam sepenuhnya—hanya tertutup debu zaman yang bergerak terlalu cepat. Di kampus, yang dulu menjadi taman ide dan keberanian berpikir, kini suara diskusi kerap kalah oleh bunyi notifikasi ponsel. Di masa lalu, kita mengenal mahasiswa bukan hanya dari indeks prestasi, tapi dari daftar bacaan yang ia bawa di tangannya: Turāth wa Tajdīd milik Hassan Hanafi, Naqd al-‘Aql al-‘Arabī karya Muhammad Abed al-Jabiri, atau al-Khitāb al-Dīnī milik Nasr Hamid Abu Zayd.

Menyalakan kembali api intelektual kampus berarti menghidupkan lagi semangat untuk bertanya, menggugat, dan mencari—bukan sekadar menjawab. Kita perlu kembali menyalakan ruang-ruang di mana gagasan tumbuh liar: ruang baca, kantin, serambi masjid, aula diskusi, tempat di mana pemikiran tidak takut berbeda. Karena dari sanalah lahir keberanian intelektual yang dulu menjadi jantung universitas.

Api itu pernah menyala jauh sebelum gedung-gedung tinggi berdiri di kampus modern. Lihatlah para pelajar dan pejuang di masa pra-kemerdekaan. Mereka bukan hanya mengangkat senjata, tapi juga mengasah pikiran dengan buku. Sukarno (w. 1970), misalnya, membaca dengan rakus karya Seyyed Amir Ali (w. 1928) The Spirit of Islam, yang membuka matanya bahwa Islam bisa menjadi tenaga pembebasan, bukan kebekuan. Ia juga menelan tulisan-tulisan Farid Wajdi (w. 1954) yang mengupas sains dan rasionalitas dalam Islam modern. Di ruang-ruang sempit pengasingan, Sukarno menyebut buku itu sebagai “teman di kala sunyi”—sebuah bahan bakar ideologis bagi kemerdekaan yang bukan hanya politik, tapi juga kultural dan spiritual.

Tak jauh darinya, Mohammad Hatta (w. 1980) memeluk dunia ide sosialisme dan etika Islam melalui bacaan Thomas More (w. 1535), dan Karl Kautsky (w. 1938). Bahkan di usia yang masih muda, Hatta sudah membaca De Sosialisten: Person en Stelsels (Kaum Sosialis: Tokoh dan Sistem), enam jilid karya HPG Quack. 

Sutan Sjahrir (w. 1966) membaca Tagore (w. 1941) dan Tolstoy (w. 1910), mengaduk antara humanisme Timur dan kebebasan Barat. Di masa itu, semangat pembacaan melahirkan keberanian berpikir; buku menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang.

Lalu waktu berputar. Generasi mahasiswa tahun 90-an hidup dalam gairah lain: semangat reformasi dan kebangkitan intelektual yang penuh luka dan cinta. Mereka membaca Tan Malaka (w. 1949)—Madilog menjadi semacam kitab suci logika perlawanan. Pramoedya Ananta Toer (w. 2006) dengan Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) membuka luka sejarah, mengajarkan bahwa menulis adalah cara melawan lupa. Di tangan mereka, buku menjadi manifesto.

Di antara tumpukan buku itu juga beredar nama-nama ikon perubahan dunia: Rosa Luxemburg (w. 1919) dengan seruannya bahwa “kebebasan adalah kebebasan bagi yang berpikir berbeda”; Che Guevara (w. 1967) dengan semangatnya bahwa revolusi sejati lahir dari cinta kepada manusia; Maxim Gorky (w. 1936) dengan realisme proletarnya yang menyala di halaman-halaman The Mother; dan Jean-Paul Sartre (w. 1980) dengan pekik eksistensialismenya yang mengingatkan: manusia adalah proyek kebebasan. Nama-nama itu bergaung di asrama dan sekretariat mahasiswa, berdampingan dengan Frantz Fanon (w. 1961), Ali Shari‘ati (w. 1977), dan Paulo Freire (w. 1997). Buku-buku mereka berpindah tangan dari satu aktivis ke aktivis lain, kertasnya lusuh, tapi maknanya terus membara.

Di pojok kampus Islam, mahasiswa menyeimbangkan bacaan itu dengan Iqbal, Arkoun, Hanafi, Shariati, Faruqi, dan Abu Zayd. Mereka membicarakan filsafat Islam dengan bahasa perlawanan, menjembatani antara iman dan keadilan sosial. Buku-buku itu bukan sekadar teori, tapi peta jalan spiritual bagi generasi yang ingin membangun dunia yang lebih adil.

Para pemikir Muslim Indonesia pun tak kalah menjadi wacana yang hangat di kalangan mahasiswa. Dari generasi Nurcholish Madjid (w. 2005) dengan Islam, Doktrin, dan Peradaban, Dawam Rahardjo (w. 2018) dengan Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jalaluddin Rakhmat (w. 2021) dengan Islam Alternatif, Ahmad Syafii Maarif (w. 2024) dengan Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hingga Abdurrahman Wahid (w. 2009) dengan Prisma Pemikiran Gus Dur. Ruang-ruang seminar ramai, diskusi dan debat sering berlangsung hangat dan penuh gairah intelektual.

Kini, ruang-ruang itu sunyi. Diskusi di serambi masjid tak lagi membahas Kritik Nalar Islam Arkoun atau Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer, tapi sibuk dengan “strategi konten dakwah digital”. Tidak ada yang salah dengan itu—tetapi ada yang hilang: kedalaman, kontemplasi, dan rasa ingin tahu yang dulu menjadi bahan bakar pergerakan.

Ironisnya, kebangkitan diskursus intelektual Islam kini justru bergeser ke arah yang tak terduga. Dalam dua dekade terakhir, geliat itu lebih terasa di kampus-kampus Barat. Di universitas seperti Oxford, Harvard, Georgetown, Leiden, dan McGill, Islamic Studies menjadi magnet baru bagi generasi muda yang ingin memahami Islam sebagai peradaban, bukan sekadar agama formal. Fenomena ini mencerminkan pergeseran besar dalam arah studi Islam global—dari pusat-pusat tradisional di Timur Tengah menuju lembaga-lembaga akademik di dunia Barat yang memiliki sumber daya riset, akses literatur luas, dan kebebasan berpikir yang relatif tinggi. Di sana, kajian Islam tumbuh sebagai disiplin multidisipliner yang menggabungkan teologi, sejarah, filsafat, antropologi, politik, dan studi budaya.

Tema-tema yang diangkat pun beragam: mulai dari Qur’anic Studies yang menelaah teks suci dengan pendekatan filologi dan hermeneutika, kajian hukum Islam dan maqāṣid al-sharī‘ah dalam konteks etika modern, hingga sufisme dan filsafat Islam sebagai fondasi spiritual dan intelektual peradaban. Tokoh-tokoh klasik seperti al-Ghazālī, Ibn Rushd, Ibn ‘Arabī, al-Fārābī, dan Ibn Sīnā dibaca kembali dengan perspektif baru—dikaitkan dengan teori-teori modern seperti fenomenologi, eksistensialisme, dan dekonstruksi. Sementara itu, pemikir modern dan kontemporer seperti Fazlur Rahman (w. 1988), Mohammed Arkoun (w. 2010), Hassan Hanafi (w. 2021), Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010), dan Seyyed Hossein Nasr terus menjadi rujukan penting dalam kelas-kelas Islamic Thought dan Modern Muslim Intellectual History.

Kecenderungan yang tampak adalah lahirnya pendekatan yang lebih kritis dan reflektif terhadap tradisi Islam, tanpa kehilangan apresiasi terhadap nilai-nilai spiritual dan epistemologisnya. Banyak studi berfokus pada isu hermeneutika Al-Qur’an, relasi antara wahyu dan akal, gender dan Islam, lingkungan hidup dalam perspektif syariah, serta rekonstruksi etika Islam dalam dunia modern. Di sisi lain, muncul pula wacana decolonizing Islamic studies—upaya membebaskan studi Islam dari kerangka orientalis klasik dan menegaskan suara intelektual Muslim sendiri dalam membentuk narasi akademik global.

Objektifnya, kondisi ini menunjukkan bahwa studi Islam di Barat kini menjadi ruang dialog antara tradisi dan modernitas, antara teks klasik dan teori kritis, antara Timur dan Barat. Ironisnya, di saat diskursus ini berkembang pesat di Barat, banyak kampus Islam di dunia Muslim justru terjebak dalam stagnasi kurikulum, kurangnya riset orisinal, dan dominasi pendekatan dogmatis. Paradoks inilah yang membuat perbincangan tentang Islam kini lebih hidup di ruang-ruang seminar Oxford atau Leiden ketimbang di fakultas-fakultas agama negeri Muslim sendiri.

Kondisi ini didorong oleh beberapa faktor. Pertama, meningkatnya minat global terhadap Islam pasca peristiwa 11 September 2001 yang justru memunculkan gelombang akademik baru untuk memahami Islam secara lebih komprehensif dan manusiawi. Kedua, universitas Barat memiliki jejaring riset dan dana besar yang memungkinkan proyek-proyek lintas disip-lin dan penerbitan jurnal bereputasi internasional. Ketiga, banyak cendekiawan Muslim dari dunia Islam yang bermigrasi dan mengajar di sana—membawa perspektif internal yang memperkaya diskursus akademik. Akibatnya, kampus-kampus itu kini menjadi laboratorium intelektual tempat Islam dikaji dengan nalar terbuka, sementara di dunia Muslim sendiri, ruang kebebasan ilmiah kadang masih terbatas oleh politik identitas, sensor moral, atau birokrasi keagamaan. Inilah paradoks zaman ini: di Barat, Islam sedang di-bicarakan dengan penuh gairah; di Timur, sering kali ia hanya diulang dengan nada yang sama.

Sementara di negeri-negeri Muslim sendiri, terutama di kampus-kampus Islam, antusiasme itu mulai menurun. Diskusi serius tentang pemikiran Islam sering kalah oleh pragmatisme. Banyak mahasiswa yang lebih sibuk untuk aktivitas lain sehingga kecenderungannya tidak  sempat membaca dan mengkaji. Padahal, dulu, semangat membaca itulah yang melahirkan generasi pembaharu—dari Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897) sampai Muhammad Abduh (w. 1905), dari Iqbal (w. 1938) sampai Shariati (w. 1977).

Kita lupa bahwa peradaban Islam tidak pernah bangkit tanpa universitas yang berpikir. Baghdad dengan Bayt al-Hikmah-nya, Kairo dengan al-Azhar-nya, Cordoba dengan madrasah-madrasah filsafatnya—semuanya berdiri di atas fondasi keilmuan yang terbuka, dinamis, dan penuh dialog. Di tempat-tempat itulah ilmu pengetahuan tumbuh bukan karena kekuasaan, tetapi karena keluasan pandangan; bukan karena dogma, tetapi karena keberanian mencari makna. Para ilmuwan, filosof, dan teolog Muslim klasik berdebat dengan cara yang ilmiah dan jujur—antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah, antara fuqaha dan filosof, antara sufi dan ahli kalam. Dialog itu mungkin keras, tapi ia melahirkan peradaban yang kaya dan berlapis, peradaban yang tidak takut pada perbedaan.

Dalam sejarahnya, universitas Islam bukan sekadar tempat menimba ilmu agama, tetapi juga pusat kreativitas dan inovasi. Di Bayt al-Hikmah, karya-karya Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dikembangkan menjadi teori-teori baru yang melahirkan Ibn Sina, al-Farabi, dan al-Kindi. Di Andalusia, para pemikir seperti Ibn Rushd dan Ibn Tufayl menulis karya-karya yang menjadi jembatan antara filsafat Islam dan renaisans Eropa. Sementara di al-Azhar, tradisi keilmuan yang menggabungkan teks dan konteks terus berlanjut selama berabad-abad, menjadikannya simbol ketekunan ilmiah dunia Islam. Semua itu menunjukkan bahwa kebesaran Islam dahulu lahir dari kelapangan akal—menerima ilmu dari mana pun, memadukannya dengan wahyu, dan melahirkan sintesis baru yang memperkaya dunia.

Maka jika kampus-kampus Islam hari ini ingin menjadi cahaya bagi umat dan bangsa, ia harus kembali pada ruhnya: menjadi rumah bagi keterbukaan nalar dan keberanian menafsir. Kampus Islam seha-rusnya tidak hanya menjadi tempat menghafal teori dan dalil, tetapi juga laboratorium bagi gagasan baru yang menantang kemapanan, tempat di mana ilmu agama bersentuhan dengan ilmu sosial, ekonomi, sains, dan teknologi. Dosen dan mahasiswa perlu diajak untuk berani berbeda pendapat, berdiskusi dengan lapang hati dan nalar terbuka, tanpa rasa khawatir untuk mengekspresikan pandangan yang beragam, serta menjadikan ijtihad sebagai semangat hidup akademik.

Tanpa keluasan pandangan, kampus hanya menjadi tempat mengulang kata-kata lama; tanpa keberanian menafsir, ilmu hanya menjadi beku. Padahal, Islam tumbuh dan jaya karena kemampuannya membaca ulang tanda-tanda Tuhan di langit dan bumi, dalam teks dan konteks. Kebangkitan intelektual Islam di masa depan hanya mungkin terjadi jika universitas kembali berfungsi sebagaimana mestinya: bukan sekadar lembaga administratif, tetapi ruang peradaban tempat akal, iman, dan imajinasi bekerja bersama membangun masa depan umat manusia.

Menyalakan kembali api intelektual kampus berarti mengembalikan etos membaca sebagai bentuk keberanian moral. Bahwa membaca bukan hobi, tapi jihad akal. Bahwa membuka buku sama beraninya dengan turun ke jalan. Bahwa aktivisme yang sejati bukan hanya melawan rezim politik, tapi juga rezim kebodohan dan keacuhan.

Kampus yang sehat adalah tempat di mana nama-nama besar kembali hidup dalam percakapan. Tempat mahasiswa bisa mengutip Adonis dan Pram dalam satu napas, membandingkan Iqbal dengan Tan Malaka, atau menimbang antara Hanafi dan Fanon, Che dan Shariati, Rosa dan Nawal El Saadawi. Itulah pertemuan ide yang dulu membuat generasi kampus menjadi kekuat-an moral bangsa.

Dan mungkin, di antara rak buku yang sepi itu, masih ada satu dua mahasiswa yang diam-diam membaca Adonis di pojok ruang baca, menandai baris-baris puisi dengan pensil, atau membuka kembali The Spirit of Islam dengan rasa kagum yang sama seperti Sukarno (w. 1970) dulu. Di sanalah api kecil itu menyala lagi—pelan, tapi pasti.

Karena peradaban tidak lahir dari layar yang terang, melainkan dari pikiran yang berani gelap-gelapan membaca. Mungkin sudah waktunya api itu dinyalakan kembali—meski kecil, tapi murni.

Selama masih ada satu mahasiswa yang membaca Turāth wa Tajdīd dengan hati terbuka, selama masih ada satu ruang diskusi yang membahas Iqbal dengan mata berbinar, dan selama masih ada satu perpustakaan yang menyimpan buku-buku itu dengan hormat, peradaban Islam masih punya harapan untuk hidup kembali.

Sebab api pengetahuan tidak pernah padam. Ia hanya menunggu satu generasi yang berani meniupnya lagi. Dan api intelektual Islam itu inshaAllah akan kembali berkobar.

- Cikarang, 15-10-2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid