MENGHIDUPKAN ATMOSFIR AKADEMIK DAN MEMBANGUN KASADARAN INTELEKTUAL: Dari Buku Socialisten yang Dibaca Hatta Muda ke Ruang Kelas Magister Ekonomi Syariah
Cak Yo
Pengantar: Menyelami Samudera Pemikiran, Menjaga Nyala Intelektual
Sebelum panjang lebar, kalau saya boleh mulai tulisan ini dengan sebuah disclaimer, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak menganut aliran pemikiran tertentu, baik kapitalisme, sosialisme, maupun bentuk ideologi dan aliran pemikiran lainnya. Saya hanya suka membaca berbagai macam buku dari pelbagai arus pemikiran dunia, mencoba memahami jalan pikiran para pemikir besar, lalu menuliskannya seadanya. Namun bila boleh mengaku, saya hanya seorang akademisi yang suka membaca dan sedikit menulis alakadarnya. Tentu saya berupaya menjaga sikap seorang akademisi, sebisa mungkin, misalnya, hal cukup tidak mudah, adalah "tidak berpihak", sesuatu yang mungkin lebih ringan daripada slogan para ilmuwan Barat, "bebas nilai" (value free) yang sering tidak sesuai dengan realitas.
Saya membaca karya-karya klasik dan modern dari berbagai mazhab ekonomi. Dari aliran kapitalisme misalnya, saya membaca The Wealth of Nations (1776) karya Adam Smith, Principles of Political Economy and Taxation (1817) karya David Ricardo, On Liberty (1859) karya John Stuart Mill, The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) karya John Maynard Keynes, The Road to Serfdom (1944) karya Friedrich Hayek, hingga karya modern seperti The End of History and the Last Man (1992) oleh Francis Fukuyama dan The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) oleh Samuel P. Huntington.
Dari sisi sosialisme, saya membaca Das Kapital (1867) karya Karl Marx, Socialism: Utopian and Scientific (1880) oleh Friedrich Engels, The State and Revolution (1917) oleh Vladimir Lenin, Homage to Catalonia (1938) dan Animal Farm (1945) oleh George Orwell, The Revolution Betrayed (1937) oleh Leon Trotsky, serta karya modern seperti Postcapitalism: A Guide to Our Future (2015) oleh Paul Mason.
Namun saya juga membaca warisan intelektual Islam dalam bidang ekonomi yang tak kalah kaya dan mendalam. Dari Kitāb al-Kharāj karya Abū Yūsuf (abad ke-8), Kitāb al-Amwāl karya Abū ‘Ubayd al-Qāsim ibn Sallām (abad ke-9), Muqaddimah karya Ibn Khaldūn (1377), hingga karya kontemporer seperti Iqtisādunā (1961) oleh Muḥammad Bāqir al-Ṣadr dan Islam and the Economic Challenge (1992) oleh M. Umer Chapra. Dari setiap karya itu, saya belajar bagaimana manusia berusaha memahami hubungan antara moral, kekuasaan, dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial.
Dalam bidang pemikiran Islam secara lebih luas, saya membaca berbagai kitab teologi dari beragam aliran. Dari teologi Sunni, saya membaca al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah karya Abū al-Ḥasan al-Ash‘arī, al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād karya al-Ghazālī, dan al-Mawāqif karya al-Ījī. Dari kalangan Mu‘tazilah, saya mempelajari al-Mughnī fī Abwāb at-Tawḥīd wa al-‘Adl karya Qāḍī ‘Abd al-Jabbār dan uraian rasionalnya tentang keadilan dan kebebasan manusia. Saya juga membaca karya teologis Syiah seperti Nahj al-Balāghah dan al-Uṣūl min al-Kāfī, serta beberapa teks dari tradisi filosofis dan tasawuf seperti Fuṣūṣ al-Ḥikam karya Ibn ‘Arabī dan al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah fī al-Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah karya Mullā Ṣadrā.
Dalam bidang fikih, saya membaca kitab-kitab utama dari empat mazhab besar, bahkan lima jika memasukkan mazhab Ẓāhiriyyah. Dari mazhab Ḥanafī, saya membaca al-Hidāyah karya al-Marghīnānī; dari mazhab Mālikī, al-Mudawwanah al-Kubrā karya Saḥnūn; dari mazhab Syāfi‘ī, al-Umm karya Imām al-Syāfi‘ī; dan dari mazhab Ḥanbalī, al-Mughnī karya Ibn Qudāmah. Selain itu, saya juga mempelajari karya lintas mazhab seperti Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid karya Ibn Rushd yang membandingkan pendapat para fuqahā’. Dari kalangan Ẓāhiriyyah, saya membaca karya Ibn Ḥazm seperti al-Muḥallā bi al-Ātsār dan al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām yang terkenal karena konsistensinya dalam berpijak pada makna lahiriah nash.
Semua bacaan itu bukan untuk membentuk satu aliran pemikiran tertentu, melainkan untuk memperkaya pandangan, menumbuhkan kesadaran kritis, dan memelihara kerendahan hati di hadapan luasnya samudra ilmu. Di mana pun saya sempat, saya menuliskannya—tidak untuk menggurui, melainkan untuk menjaga nyala kecil keingintahuan agar tidak padam. Dan lebih dari itu, barangkali dapat menjadi bagian dari upaya menghidupkan atmosfir akademik dan membangun kesadaran intelektual terutama bagi mahasiswa saya, seperti yang saya lakukan terutama di ruang-ruang kelas ketika mengampu mata kuliah.
Dari Ruang Kuliah ke Bacaan Dunia
Seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, saat melanjutkan mengajar mata kuliah Pemikiran dan Filsafat Ekonomi Syariah, saya memperkenalkan beberapa buku kepada mahasiswa program magister. Dari buku-buku klasik hingga buku-buku baru yang saya ringkas sendiri. Saya tahu, sebagian dari mereka belum terbiasa dengan bacaan yang berat. Karena itu, saya tidak memaksa. Saya hanya memberi mereka poin-poin ringkasan, semacam peta kecil untuk menuntun langkah pertama ke dalam hutan tebal ilmu pengetahuan.
Dari wajah mereka, saya bisa melihat keterkejutan. Mereka mungkin baru tahu bahwa dunia pemikiran ekonomi ternyata seluas itu, sedalam itu. Selama di program sarjana, mereka hanya mengenal buku teks atau modul buatan dosen. Itu baik, sesuai levelnya. Tapi di tingkat magister, dunia harus dibuka lebih lebar. Di sini, mahasiswa tidak cukup hanya memahami apa yang ada di dalam negeri, tetapi juga apa yang dipikirkan dunia tentang hal yang sama.
Saya masih terngiang-ngiang slogan Prof. Suwito ketika saya kuliah yang menjadi slogan resmi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta: “Membaca dunia dan dibaca dunia.”
Minimal, kita membaca dunia terlebih dahulu. Karena sebelum karya kita dibaca dunia, kita harus tahu bagaimana dunia berpikir, menulis, dan meneliti.
Saya sadar, tingkat literasi di Indonesia masih rendah. Banyak mahasiswa cemerlang, tetapi tidak terbiasa membaca teks akademik berat. Namun justru di situ tantangannya: "membangun atmosfer akademik yang menandingi atmosfer masyarakat industri yang serba instan. Kalau industri mengejar kecepatan, dunia akademik seharusnya mengejar kedalaman.
Mutu akademik adalah pangkal dari mutu perguruan tinggi. Tidak ada universitas bereputasi tinggi yang mutu akademiknya rendah. Dan mutu itu tumbuh dari kebiasaan membaca, menulis, dan berpikir dalam tradisi yang berakar pada literatur besar dunia. Buku-buku bereputasi dunia lahir dari banyak penerbit universitas kelas dunia: Oxford, Leiden, Cambridge, dan Chicago adalah di antara beberapa universitas dunia dengan mutu akademik tertinggi di dunia yang penerbitnya telah menghasilkan ribuan buku kelas dunia.
Saya sering teringat pendidikan dan tradisi intelektual zaman dulu, zaman yang dalam keserbaterbatasan. Tapi, tokoh-tokoh bangsa seperti Mohammad Hatta, di usia mudanya, sudah membaca buku-buku berlevel dunia ketika masih mahasiswa sarjana. Ia melahap karya besar seperti De Socialisten karya Quack, atau Das Kapital karya Marx. Sukarno di usia masih muda membaca dan terinspirasi terinspirasi oleh berbagai buku asing seperti "Der Weg Zur Macht" karya Karl Kautsky, "Geschiedenis van het Moderne Imperialisme" karya Jan Steffen Bartstra, dan Het Jaar 2000 yang juga menjadi koleksi kesukaannya.Tidak untuk gaya-gayaan, tetapi untuk memahami dunia dan nasib bangsanya yang terjajah.
Tidak ada salahnya kita belajar dari mereka. Bahkan itu bagus—menjadi batu loncatan, bukan sekadar nostalgia. Hatta dan generasinya telah menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari pembebasan pikiran.
Memang, kendala terbesar kita hari ini adalah bahasa. Tidak semua mahasiswa mampu membaca buku-buku asing. Tapi upaya itu harus tetap dijalankan. Siapa tahu, lama-lama menjadi biasa.
Minimal, kita tahu judul, pengarangnya, dan barang sedikit isinya. Minimal, kita tahu ke mana harus mencari pengetahuan yang sejati. Dan kalau pun baru sebatas itu, biarlah—karena "setiap kebiasaan besar selalu berawal dari langkah kecil."
Lagipula, bukankah keren kalau mahasiswa magister, sambil menenteng buku tebal terbitan luar negeri, bisa berkata pelan pada dirinya sendiri: “Saya sedang belajar membaca dunia.”
Kesadaran Intelektual Kaum Muda Terdahulu: Belajar dari Hatta
Saya sering kagum betapa luar biasa energi membaca dan daya pikir masa muda tokoh-tokoh terdahulu seperti Mohammad Hatta, yang di masa studinya di Handels Hogeschool, Rotterdam, telah membaca karya-karya besar yang pada zamannya hanya disentuh oleh para pemikir dan aktivis ideologis di Eropa. Di antara buku yang seperti tadi sudah disebutkan adalah De Socialisten: Personen en Stelsels karya Dr. H.P.G. Quack (Leiden: A.W. Sijthoff, 1875–1897), sebuah karya ensiklopedis dalam tiga volume besar atau enam jilid yang membahas sejarah sosialisme dan para pelopornya di Eropa. Buku ini pada masanya menjadi semacam handbook internasional bagi para intelektual sosialis dan liberal.
Saya meyakini, Hatta membaca bukan sekedar membaca tetapi karena kesadaran intelektual yang mendalam, bukan sekadar memenuhi tuntutan kuliah. Saya kira, bukan tekanan akademik yang mendorongnya, melainkan "dorongan batin dan kesadaran intelektual seorang anak jajahan yang ingin memahami akar dari ketertindasan bangsanya". Di dalam De Socialisten, Quack menguraikan perkembangan sosialisme dari Marx dan Engels hingga ke gerakan sosial-demokrat di Eropa, lengkap dengan analisis tentang ketidakadilan yang ditopang oleh sistem kolonialisme dan kapitalisme. Tak heran jika buku ini begitu menggugah jiwa Hatta yang sedang mencari arah perjuangan kemerdekaan.
Namun De Socialisten hanyalah satu dari sekian banyak buku yang dilahapnya. Dari catatan Memoir Hatta (Jakarta: LP3ES, 1979) dan Karya dan Pemikiran Dr. Mohammad Hatta (Jakarta: UI Press, 1982), kita tahu bahwa ia membaca Das Kapital karya Karl Marx, The Wealth of Nations karya Adam Smith, Principles of Political Economy and Taxation karya David Ricardo, serta karya-karya Werner Sombart, John Stuart Mill, dan Lujo Brentano. Ia juga membaca karya-karya filosof besar seperti Immanuel Kant, Baruch Spinoza, dan John Locke — sesuatu yang sangat jarang dilakukan mahasiswa ekonomi pada masa itu.
Selain buku-buku di atas, Hatta juga membaca karya Henriette Roland Holst, seperti Kapitaal en Arbeid bij Marx (Amsterdam: W. Versluys, 1902), yang berusaha menjembatani ajaran Marx dengan humanisme Kristen. Dari sana, pemikiran Hatta berkembang luas, menggabungkan idealisme sosial dengan etika kemanusiaan.
Saya membayangkan seorang Hatta muda, di kamar kecilnya di Rotterdam, duduk di bawah cahaya lampu redup, membaca halaman demi halaman De Socialisten karya Quack—buku besar yang menjadi kitab pemikiran dunia pada zamannya. Ia membaca dengan penuh kesadaran, mungkin dengan secangkir kopi di tangan, sementara di tanah air bangsanya masih terjajah. Ia tidak hanya menyiapkan perlawanan, tapi "menyiapkan arah intelektual bagi kemerdekaan bangsa".
Dan di sanalah letak kebesarannya: di usia semuda itu, ketika banyak pemuda lain masih mencari kenyamanan, Hatta telah menyiapkan diri menjadi kompas bagi bangsanya. Ia tidak memilih jalan retorika, tetapi jalan sunyi ilmu. Ia tidak berteriak, tetapi berpikir. Ia tidak sekadar bermimpi tentang Indonesia merdeka, tetapi menuliskannya dengan pena dan pemikiran yang melampaui zamannya. Di tangannya, buku-buku Eropa itu berubah menjadi senjata intelektual untuk membongkar belenggu kolonialisme.
Memang ada sesuatu yang selalu menggugah dari cara seorang muda membaca dunia. Hatta belum memiliki kekuasaan, belum pula pengalaman panjang, tetapi pikirannya telah menembus batas zaman. Ia membaca bukan untuk mengutip, tetapi untuk memahami; bukan untuk meniru, melainkan untuk menemukan arah hidupnya sendiri. Begitulah Mohammad Hatta muda, yang di sela-sela kuliah ekonominya, menghabiskan malam-malamnya bersama buku-buku berat seperti De Socialisten karya Quack itu.
Hatta mengenal nama Quack dari kebiasaannya membaca jurnal dan buku ekonomi Belanda di perpustakaan universitas. Ia tidak membaca buku itu secara sambil lalu. Dalam Memoir-nya, Hatta menuturkan bahwa sejak muda ia sudah tertarik pada persoalan sosial dan keadilan ekonomi, dan karena itu ia mempelajari dengan sungguh-sungguh pandangan para pemikir sosialisme dan liberalisme Eropa, termasuk Hendrick Peter Godfried Quack (Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979, 47–48).
Quack sendiri bukan sosok yang mudah didekati. Ia seorang ilmuwan Belanda yang lahir pada tahun 1834 dan wafat pada 1917—ahli hukum, ekonom, dan sejarawan yang hidup di masa ketika liberalisme mulai kehilangan nurani di hadapan kemiskinan yang meluas di Eropa. Dalam karya monumentalnya De Socialisten: Personen en Stelsels (Amsterdam: Martinus Nijhoff, 1877–1897), Quack menulis bukan sekadar tentang teori, melainkan tentang manusia-manusia di balik teori itu—para pemikir, reformis, dan utopis yang melahirkan arus besar sosialisme modern.
Entah kenapa setelah membicarakan buku-buku klasik yang dibaca Hatta, saya menjadi penasaran dengan buku yang dulu dibacanya, De Socialisten. Saya ingin tahu seperti apa sebenarnya buku yang disebut-sebut Hatta sebagai salah satu bacaan pentingnya ketika masih mahasiswa di Belanda. Buku itu, dalam catatan sejarah intelektual Eropa, memang termasuk karya besar dari seorang ekonom, sejarawan, dan pemikir sosial Belanda itu.
Dari De Socialisten ke Ekonomi Syariah: Melintasi berbagai Jalan Intelektual
Malam itu saya mulai menelusuri internet. Saya membuka berbagai situs arsip klasik seperti archive.org, DBNL (Digitale Bibliotheek voor de Nederlandse Letteren), dan beberapa repositori perpustakaan Eropa. Setelah beberapa kali mencoba kata kunci berbeda—“De Socialisten Quack pdf,” “H.P.G. Quack Personen en Stelsels,” dan “De Socialisten W. Versluys”—akhirnya saya menemukannya: versi digital lengkap dari De Socialisten: Personen en Stelsels, diterbitkan pertama kali oleh W. Versluys, Amsterdam, dalam tiga volume besar antara tahun 1877 hingga 1897. Dalam edisi cetak tertentu, buku ini bahkan dibagi menjadi enam jilid, karena tebalnya mencapai ribuan halaman.
Saya tidak segera membacanya. Saya menatap sampul digitalnya cukup lama, dengan rasa yang aneh: takjub sekaligus haru. Ini buku yang dibaca Hatta ketika masih muda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan sekarang, saya membukanya dari layar ponsel, di teras kecil rumah saya. Waktu terasa berlipat.
Ketika saya mulai membaca, saya segera memahami mengapa buku ini berpengaruh besar. De Socialisten bukan hanya karya sejarah ekonomi, melainkan juga karya moral dan intelektual tentang evolusi cita-cita keadilan sosial di Eropa. Quack menulisnya dengan cakupan luas dan gaya yang mengalir, seolah mengajak pembaca berjalan dari abad ke abad, dari utopia ke realitas sosial. Ia menelusuri akar-akar sosialisme bukan semata sebagai teori politik, tetapi sebagai manifestasi keresahan manusia terhadap penderitaan sosial.
Dengan gaya naratif yang ilmiah tetapi reflektif, Quack menyusun De Socialisten sebagai semacam ensiklopedia moral tentang gagasan sosialisme di Eropa. Ia tidak menulis dari posisi politik, melainkan dari kegelisahan seorang intelektual yang ingin memahami bagaimana manusia mencari keadilan di dunia yang diatur oleh modal dan mesin. Karena itu, buku ini bukan sekadar sejarah sosialisme, tetapi juga sejarah nurani—sebuah perenungan tentang hubungan antara ekonomi, etika, dan kemanusiaan.
Pada jilid pertama (1877), Quack mengupas "para pelopor sosialisme utopis" seperti Claude Henri de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Ia menggambarkan Saint-Simon sebagai nabi industri yang memimpikan masyarakat tanpa kelas, di mana ilmuwan dan pekerja menjadi tulang punggung kemakmuran bersama. Fourier digambarkan sebagai penyair sosial yang percaya pada harmoni alamiah antara kerja dan kebahagiaan, sementara Owen dianggap Quack sebagai “manusia praktis” yang mengubah teori sosial menjadi komunitas nyata di New Lanark. Quack menggabungkan biografi dan analisis ide dengan sangat cermat—ia menulis dengan semangat seperti penulis sejarah gereja, tapi gerejanya adalah gereja kemanusiaan.
Pada jilid kedua (1887), Quack menelusuri "perkembangan sosialisme ilmiah"—dari Louis Blanc dan Proudhon hingga Karl Marx dan Friedrich Engels. Ia menjelaskan bagaimana sosialisme modern berkembang dari moralitas menjadi analisis ilmiah terhadap kapitalisme. Quack mengulas teori materialisme historis Marx dengan hormat, meskipun ia sendiri tidak menjadi penganutnya. Ia menganggap Marx sebagai salah satu puncak kesadaran sejarah modern—seorang pemikir yang memaksa dunia untuk menatap wajah ketidakadilan ekonomi tanpa ilusi. Namun Quack tetap memelihara jarak kritis. Ia menulis bahwa gerakan sosialisme adalah “suara hati nurani masyarakat yang terluka oleh ketimpangan, bukan sekadar teori ekonomi.”
Pada jilid ketiga (1897), Quack menguraikan "perkembangan sosialisme modern di Eropa" pada akhir abad ke-19. Di sini ia menulis panjang tentang Ferdinand Lassalle, August Bebel, Wilhelm Liebknecht, dan tokoh-tokoh lain yang meletakkan dasar bagi partai-partai sosial demokrat. Ia juga membahas munculnya gerakan buruh internasional, kongres-kongres sosialis, serta perdebatan antara sosialisme revolusioner dan sosialisme evolusioner. Dalam jilid ini pula, Quack menyentuh tokoh Belanda seperti Ferdinand Domela Nieuwenhuis, yang menjadi pionir gerakan buruh di negeri Belanda.
Yang menarik, di tengah kehebatan analisisnya, Quack tetap seorang moralist. Ia percaya bahwa gagasan sosialisme hanya bermakna jika berakar pada keadilan dan kemanusiaan. Karena itu, meski ia kagum pada keberanian kaum revolusioner, ia tetap menolak kekerasan sebagai jalan perubahan. Ia lebih percaya pada "sociale hervorming"—reformasi sosial yang lahir dari kesadaran, bukan kebencian.
Pengaruh buku ini meluas di Eropa. Di universitas-universitas Belanda, De Socialisten menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa ekonomi dan filsafat sosial selama beberapa dekade. Buku ini disebut-sebut sebagai “ensiklopedi sosialisme Eropa,” karena mencakup sejarah, biografi, dan filsafat sosial dari awal hingga akhir abad ke-19. Para pemikir seperti Troelstra, Kuyper, dan bahkan kaum liberal progresif Belanda mengenal sosialisme pertama kali lewat karya Quack.
Setelah membaca halaman demi halaman De Socialisten, saya mulai memahami mengapa buku ini begitu dihormati pada zamannya—tetapi sekaligus, di mata saya, mengandung paradoks yang menarik.
Quack menulis dengan semangat moral yang tinggi, namun ia sendiri lahir dan tumbuh di jantung dunia kolonial. Ia adalah bagian dari elite intelektual Belanda yang hidup nyaman di tengah kekayaan yang sebagian bersumber dari koloni-koloninya, termasuk Hindia Belanda. Karena itu, membaca De Socialisten hari ini terasa seperti menelusuri dua wajah: wajah humanisme Eropa yang luhur di satu sisi, dan wajah diam dari sejarah kolonialisme di sisi lain.
Quack berbicara panjang tentang penderitaan buruh pabrik di Manchester atau Paris, tapi ia tidak menyinggung penderitaan yang jauh lebih dalam di tanah jajahan. Ia menulis tentang keadilan sosial di Eropa, tetapi seolah lupa bahwa sistem ekonomi yang ia kritik juga menindas jutaan manusia di Asia dan Afrika. Di situ letak ironi moral Eropa abad ke-19 — dan mungkin di situlah pula letak daya kritis Hatta muda.
Saya membayangkan Hatta membaca De Socialisten tidak hanya dengan kekaguman, tetapi juga dengan "rasa janggal yang sadar". Ia mungkin berpikir: “Mengapa Quack menulis dengan begitu fasih tentang keadilan, tapi tidak menoleh sedikit pun ke Hindia, negeri yang menjadi sumber kekayaan bangsanya?” Dari situ, mungkin tumbuh kesadaran baru—bahwa "kolonialisme adalah wajah lain dari kapitalisme", dan bahwa perjuangan sosial di negeri terjajah harus melampaui kerangka sosialisme Eropa.
Itulah nilai intelektual Hatta: ia tidak sekadar menelan gagasan, tapi menimbang, menguji, dan menyesuaikannya dengan realitas bangsanya. Kritik yang demikian itulah yang menjadikan De Socialisten relevan dibaca kembali hari ini, terutama dalam kajian ekonomi syariah.
Dalam ekonomi syariah, kita juga berbicara tentang keadilan distribusi, solidaritas sosial, dan keseimbangan antara harta dan moralitas. Semua itu sebenarnya merupakan arus besar yang juga mengalir dalam sejarah sosialisme Eropa. Bedanya, dalam Islam, dasar moralnya bukan hanya empati sosial, tetapi tauhid—keyakinan bahwa segala bentuk penindasan ekonomi adalah bentuk kesyirikan sosial yang memisahkan manusia dari keadilan Ilahi.
Maka, membaca De Socialisten dari perspektif ekonomi Islam seperti melihat cermin sejarah: bagaimana manusia modern berjuang mencari keadilan tanpa Tuhan, dan bagaimana kita, hari ini, bisa memperjuangkan keadilan tanpa kehilangan dasar spiritualnya. Dalam hal itu, Quack memberi pelajaran berharga. Ia menunjukkan bahwa "akal dan moralitas harus bersatu"; bahwa ekonomi tanpa etika adalah mesin yang kehilangan arah.
Namun tetap, ada kekosongan di dalamnya. Quack, seperti banyak pemikir Eropa sezamannya, masih memandang manusia terutama dari sisi sosial, bukan spiritual. Ia melihat penderitaan sebagai akibat sistem, bukan sebagai ujian eksistensial. Karena itu, bagi saya, membaca De Socialisten hari ini berarti membaca “sisi kiri” dari sejarah moral dunia—sisi yang perlu dilengkapi oleh spiritualitas.
Membangun Kesadaran Intelektual dan Mencari Dasar Moral bagi Perjuangan Bangsa
Setelah selesai membaca, saya justru semakin penasaran dengan buku-buku lain yang membentuk pikiran para pendiri bangsa. Jika Hatta membaca Quack, Marx, Adam Smith, dan Sombart, maka Sukarno membaca Kautsky, Bartstra, Nietzsche, dan bahkan Rousseau. Dalam Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno mengaku membaca Het Jaar 2000—sebuah karya utopis tentang masa depan umat manusia yang lebih rasional dan egaliter. Ia juga membaca Socialism: Utopian and Scientific karya Engels, serta The Origins of the Family, Private Property, and the State.
Saya mulai menandai satu per satu judul itu, mencarinya di perpustakaan digital. Kadang saya menemukannya dalam format PDF berdebu, dengan huruf gotik Belanda atau bahasa Jerman kuno. Kadang hanya potongan bab. Dan tentu saja saya mencari terjemahannya dalam bahasa Inggris karena tidak paham Belanda dan Jerman, meskioun pernah belajar sedikit waktu kuliah. Tapi setiap kali membuka buku-buku itu, saya seperti ikut menapaki jejak intelektual mereka—mereka yang membaca dunia dari pinggiran kekuasaan, namun dengan semangat menembus batas.
Ada rasa haru dan sekaligus tantangan. Hatta membaca De Socialisten di Rotterdam; saya membacanya di Cikarang, lewat layar ponsel. Tapi semangatnya tetap sama: ingin memahami dunia agar bangsa ini tidak terus menjadi penonton sejarah.
Dari situ, saya belajar bahwa membaca buku berat bukanlah soal pamer intelektual, melainkan tindakan moral. Membaca adalah bentuk perlawanan terhadap kebodohan yang sistematis, terhadap mentalitas instan yang kini menguasai ruang publik kita.
Dan barangkali, sebagaimana Hatta menemukan cahaya di tengah halaman-halaman buku-buku yang dibacanya, kita pun bisa menemukan kembali makna belajar—bahwa membaca dunia bukan untuk meniru dunia, melainkan untuk menemukan arah bagi bangsa sendiri.
Bagi saya pribadi, yang membaca edisi digital buku-buku tua, pada seratus tahun kemudian, buku ini terasa hidup. Ia bukan hanya tentang sosialisme, tapi tentang "pencarian manusia terhadap makna keadilan. Membacanya membuat saya paham bahwa gerakan sosial bukanlah produk satu ideologi, melainkan sejarah panjang empati dan refleksi."
Dan saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Hatta ketika membacanya di usia muda. Ia tentu tidak hanya tertarik pada teori ekonomi, tapi pada semangat moral di baliknya—semangat melawan penindasan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang juga dialami bangsanya di bawah kolonialisme. Dari halaman-halaman tebal itu, Hatta muda belajar bahwa perjuangan sosial bukan hanya soal kelas, tetapi soal martabat manusia.
Pengaruh De Socialisten pada Hatta tidak hanya intelektual, tapi juga eksistensial. Ia belajar dari sejarah sosialisme Eropa tanpa harus menjadi sosialis dogmatis. Ia mengambil esensinya—keadilan sosial, solidaritas, dan tanggung jawab moral—dan mengolahnya menjadi dasar pemikiran ekonomi Indonesia yang berkeadilan. Ia kemudian menulis Ekonomi Rakyat dan Demokrasi Kita dengan ruh yang sama: membebaskan manusia dari penindasan sistem ekonomi yang tidak manusiawi.
Dan saya pun mengerti mengapa bangsa ini dulu punya tokoh-tokoh sehebat itu. Mereka membaca buku-buku besar di usia muda, tidak karena tuntutan akademik, tapi karena kesadaran intelektual. Mereka membaca dunia agar suatu hari dunia membaca mereka.
Pandangan semacam itu menemukan gema dalam jiwa muda Hatta. Ia melihat bahwa sosialisme, dalam makna sejatinya, bukanlah ide yang meniadakan manusia, melainkan yang menegakkan martabat manusia di hadapan sistem ekonomi yang menindas. Hatta membaca De Socialisten bukan untuk menjadi penganut sosialisme, tetapi untuk memahami logika dan moralitas di baliknya. Di tangannya, bacaan itu berubah menjadi kesadaran baru: bahwa kemerdekaan tanpa keadilan ekonomi hanya akan melahirkan bentuk lain dari penjajahan—bukan lagi oleh bangsa asing, tetapi oleh segelintir elite yang meniru cara berpikir kolonial.
Deliar Noer menulis bahwa Hatta adalah pembaca yang selektif. Ia tidak hanya membaca Marx atau Engels, tetapi juga tokoh-tokoh penengah seperti Quack, yang melihat sosialisme dari sudut kemanusiaan dan etika (Deliar Noer, Karya dan Pemikiran Dr. Mohammad Hatta, Jakarta: LP3ES, 1981, 52–53). Karena itu, meskipun Hatta sering disebut ekonom sosialis, sosialismenya bukanlah dogma materialistik, melainkan moralitas sosial yang berakar pada nilai-nilai gotong royong dan rasa kemanusiaan bangsa Indonesia.
Dalam tulisannya “Sosialisme Indonesia”, Hatta menegaskan bahwa sosialisme yang ia yakini “berakar pada perasaan kekeluargaan dan gotong royong bangsa Indonesia” (Hatta, Karya dan Pemikiran Dr. Mohammad Hatta, 103). Inilah hasil pergulatan intelektual yang panjang—pertemuan antara buku-buku asing di rak perpustakaan Belanda dan pengalaman batin seorang pemuda dari tanah jajahan yang haus akan keadilan.
Hatta membaca bukan untuk menjadi teoretikus, tetapi untuk mencari dasar moral bagi perjuangan bangsanya. Dalam Memoir-nya, ia menulis, “Saya membaca bukan untuk menjadi ahli teori, tetapi untuk mencari dasar bagi hidup yang adil” (Hatta, Memoir, 49). Kalimat sederhana itu menyiratkan pergulatan sunyi seorang pemuda yang memahami bahwa penindasan tidak hanya datang dari senjata, tetapi juga dari sistem ekonomi dan pikiran yang membenarkannya.
Dan di sanalah keajaiban itu bermula. Seorang pemuda berusia dua puluhan, jauh dari tanah air, di tengah udara dingin Rotterdam, memilih untuk membaca buku setebal De Socialisten. Buku yang bahkan di Belanda hanya dibaca oleh kalangan akademik yang tekun. Dari sana, Hatta menyerap bukan hanya isi buku, tetapi semangat moral di baliknya—bahwa manusia tidak boleh pasrah pada struktur yang menindasnya.
Maka jika kita bertanya kapan cita-cita sosial-ekonomi bangsa ini mulai berdenyut, mungkin jawabannya bukan di ruang sidang BPUPKI atau di teks Proklamasi, melainkan di kamar kecil di Rotterdam. Di situ seorang pemuda bernama Mohammad Hatta menyalakan lampu minyak kecil, membuka lembar demi lembar De Socialisten: Personen en Stelsels, dan mulai memimpikan sebuah bangsa merdeka—yang tidak hanya bebas dari penjajahan politik, tetapi juga dari belenggu ketidakadilan ekonomi dan mentalitas kolonial.
Penutup: Dari Gema Masa Lalu, Menyalakan Pikiran yang Melampaui Zaman
Malam ini saya membaca buku klasik dengan huruf-huruf tua yang membuat terasa berat, seperti menembus waktu seratus tahun lalu. Di sela kesunyian, saya bisa membayangkan aroma debu kertas perpustakaan Rotterdam yang mungkin dulu dihirup Hatta. Di tangannya, buku itu bukan sekadar bacaan, melainkan jendela menuju dunia yang sedang bergolak oleh gagasan keadilan dan kemanusiaan.
Saya membaca perlahan, halaman demi halaman, sambil membayangkan seorang mahasiswa muda Indonesia di tanah asing, mengunyah teks-teks berat dengan kesungguhan yang melampaui zamannya. Lalu saya bertanya dalam hati: dari mana datangnya daya juang intelektual semacam itu? Barangkali bukan dari tuntutan kuliah, tapi dari kesadaran yang tumbuh sendiri — bahwa membaca adalah cara untuk merdeka.
Kini, di ruang kuliah tempat saya mengajar, saya ingin menghidupkan kembali semangat itu. Saya ingin mahasiswa saya — meski perlahan — mengenal bacaan-bacaan yang dulu menyalakan pikiran para pemimpin bangsa itu. Mereka mengenal pemikiran dari klasik, modern dan kontemporer.
Mungkin mereka akan terkejut. Mungkin mereka akan menyerah di halaman pertama. Tapi jika ada satu saja yang bertahan dan menemukan makna, itu sudah cukup. Karena membaca buku semacam itu bukan soal paham atau tidak paham — melainkan soal keberanian menatap kedalaman.
Dan malam itu, di bawah cahaya layar yang mulai redup, saya seperti mendengar gema pelan dari masa lalu: suara Hatta yang masih muda, membaca De Socialisten dengan mata yang nyala. Itulah pertanda bahwa kemerdekaan Indonesia mula-mula tumbuh dari buku, dari perenungan, dari kesunyian seorang muda yang berani berpikir melampaui zamannya.
-Cikarang, 19-10-2025

Komentar
Posting Komentar