Ketika Pendidikan Kehilangan Arah: Mencari Makna Sekolah dari The End of Education Neil Postman





Cak Yo

Pengantar: Krisis Makna Pendidikan Modern

Beberapa waktu lalu, ketika sedang berselancar di media sosial, sebuah unggahan buku tiba-tiba muncul di beranda Facebook saya. Judulnya membuat saya berhenti sejenak: The End of Education: Redefinisi Nilai-nilai Sekolah—terjemahan bahasa Indonesia dari karya Neil Postman, diterjemahkan oleh Siti Farida dan diterbitkan oleh Octopus pada tahun 2024. 

Dorongan ingin tahu membuat saya menelusuri versi aslinya dalam bahasa Inggris, The End of Education: Redefining the Value of School, yang diterbitkan oleh Alfred A. Knopf pada tahun 1995. Saya mengunduhnya, membacanya perlahan, dan dari sanalah tulisan ini bermula. Tentu saya tidak bermaksud menggurui siapa pun; saya hanya ingin berbagi renungan dari apa yang saya baca—sebuah percakapan sunyi antara seorang guru tua dan zaman yang kehilangan arah.

Buku ini bukan sekadar kritik terhadap sistem pendidikan, tetapi semacam meditasi intelektual tentang tujuan hidup manusia modern. Postman menulis bukan untuk mempersoalkan bagaimana sekolah mengajar, melainkan untuk menanyakan mengapa sekolah harus ada. Pertanyaan sederhana itu ternyata mengguncang akar seluruh sistem pendidikan modern—sistem yang kini lebih rajin membangun gedung, kurikulum, dan perangkat digital ketimbang membangun makna (Postman, 1995, xii).

Dalam dunia yang disibukan oleh pergantian kurikulum setiap periode, perdebatan anggaran pendidikan, persoalan makan siang gratis (MBG), sertifikasi, dan akreditasi, Postman mengingatkan bahwa pendidikan telah kehilangan pusat rohaninya—kehilangan “sumber makna” yang dulu menyalakan api pencarian. Dalam kata pengantar bukunya, ia menulis bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya “how to make a living, but how to make a life” (Postman, 1995, xii). Ia menggambarkan sekolah modern sebagai mesin besar tanpa jiwa: berputar tanpa arah, digerakkan oleh teknologi, administrasi, dan kebijakan yang silih berganti. Mesin itu bekerja dengan tekun, tetapi tak selalu tahu untuk siapa dan untuk apa.

Bagi Postman, krisis pendidikan bukanlah krisis metode, melainkan krisis makna. Karena itu, ia menggeser percakapan dari bagaimana menuju untuk apa. Ia percaya manusia membutuhkan narasi besar—kisah bersama yang memberi arah dan rasa tujuan. Dalam bab awal, The Necessity of Gods, ia menulis, “For school to make sense, the young, their parents, and their teachers must have a god to serve—or, even better, several gods” (Postman, 1995, 8). Kata gods di sini jelas tidak menunjuk pada makhluk adikodrati, melainkan pada sumber nilai dan makna—sebuah “why” yang membuat belajar menjadi berarti. Tegasnya, “agar sekolah benar-benar bermakna, murid, orang tua, dan guru perlu memiliki satu atau beberapa nilai luhur yang mereka layani — sebuah pusat makna yang memberi arah bagi seluruh proses belajar.”

Dalam sejarah Amerika, pendidikan pernah memiliki narasi-narasi besar yang menghidupkan: keyakinan pada kemajuan, demokrasi, dan iman terhadap sains. Namun, seiring waktu, narasi itu memudar, digantikan oleh semangat efisiensi ekonomi, teknologi tanpa arah, dan konsumerisme. “What makes public schools public,” tulis Postman, “is not so much that the schools have common goals but that the students have common gods” (Postman, 1995, p. 17). Kalimat ini, dalam konteks aslinya, merupakan seruan agar sekolah memiliki pusat nilai yang menyatukan, bukan sekadar target administratif yang berubah setiap pergantian kebijakan.

Ketika membaca bagian ini, saya merasa Postman berbicara bukan hanya kepada para pendidik Amerika, tetapi kepada semua masyarakat modern yang gamang mencari makna dalam pendidikan. Ia seolah mengingatkan bahwa sekolah tidak pernah benar-benar hidup tanpa keyakinan bersama yang melampaui urusan teknis. Sekolah, dalam pandangannya, bukan pabrik pengetahuan, melainkan taman tempat manusia belajar memahami dunia dan dirinya sendiri.

Buku The End of Education: Redefining the Value of School (Alfred A. Knopf, 1995) karya Neil Postman adalah semacam renungan panjang seorang guru tua yang sedang mencari kembali makna di antara reruntuhan keyakinan zaman. Ia menulis bukan untuk mempersoalkan bagaimana sekolah mengajar, melainkan untuk menanyakan mengapa sekolah harus ada. Pertanyaan yang sederhana itu ternyata mengguncang akar seluruh sistem pendidikan modern—sistem yang kini lebih rajin membangun gedung, kurikulum, dan perangkat digital ketimbang membangun makna (Postman, 1995).

Setelah membaca buku ini, saya merasa perlu menuliskan ulasan yang tidak hanya menceritakan isinya, tetapi juga menimbang kekuatan dan keterbatasannya, sekaligus memberi catatan kritis terhadap pandangan Postman. Tujuan saya sederhana: menyelami kembali apa yang dimaksud dengan pendidikan dalam arti yang paling dalam, ketika sekolah sering kali hanya dipahami sebagai pabrik ijazah dan mesin administratif yang patuh pada perubahan kebijakan.

Neil Postman dan Evolusi Pemikirannya 

Neil Postman (1931–2003) adalah seorang cendekiawan dan kritikus budaya Amerika yang selama lebih dari empat dekade menjadi suara moral bagi dunia pendidikan dan komunikasi. Ia mengajar di New York University (NYU) dan dikenal luas melalui karya-karyanya yang tajam, seperti Teaching as a Subversive Activity (1969, bersama Charles Weingartner), Amusing Ourselves to Death (1985), dan Technopoly: The Surrender of Culture to Technology (1992).

Postman bukan sekadar akademisi, melainkan seorang pendidik humanis yang memandang pendidikan sebagai arena pertarungan makna. Ia menulis dengan gaya yang jernih, ironis, dan kadang melankolis—perpaduan antara guru yang mencintai muridnya dan filsuf yang gusar melihat dunia kehilangan arah.

Sebagai seorang pengamat budaya, Postman percaya bahwa setiap zaman memiliki “cerita besar” yang menuntun manusia memahami dirinya. Ia melihat teknologi modern telah menggantikan narasi-narasi moral dan spiritual dengan mitos baru tentang efisiensi, kemajuan, dan konsumsi. Karena itu, The End of Education lahir bukan sebagai karya teoretis, melainkan sebagai renungan moral yang mencoba menjawab satu pertanyaan sederhana: untuk apa sekolah ada?

Untuk memahami The End of Education, kita perlu menengok perjalanan panjang Neil Postman sebagai pemikir dan pendidik. Ia bukan hanya seorang profesor di New York University (NYU), tetapi juga seorang filsuf kebudayaan yang menulis dari dalam kegelisahan zaman. Dilahirkan di New York pada tahun 1931, Postman tumbuh dalam era ketika televisi mulai mendominasi ruang publik Amerika. Dari situ lahir kepekaannya terhadap bagaimana teknologi mengubah cara manusia berpikir dan berkomunikasi.

Karya-karya awalnya seperti Teaching as a Subversive Activity (1969, bersama Charles Weingartner) sudah menunjukkan arah pemikirannya: pendidikan harus membebaskan pikiran, bukan menundukkannya pada sistem. Ia menulis bahwa tugas guru bukan mengisi kepala murid dengan fakta, melainkan menumbuhkan keberanian untuk mempertanyakan (Postman & Weingartner, 1969). Buku ini menjadi manifesto bagi gerakan pendidikan progresif di akhir 1960-an, menandai Postman sebagai sosok yang menolak konformitas intelektual.

Dua dekade kemudian, Postman menerbitkan Amusing Ourselves to Death (1985), buku yang mengubah cara dunia memandang media. Di sana ia memperingatkan bahwa televisi telah mengubah diskursus publik menjadi hiburan. Dalam budaya visual yang serba cepat, manusia kehilangan kedalaman berpikir. Ia menulis, “We are amusing ourselves to death,” sebuah kalimat yang kemudian menjadi ikon kritik budaya modern. Buku ini adalah kelanjutan dari perhatiannya terhadap bahasa, narasi, dan makna—tiga tema yang juga menjadi fondasi bagi The End of Education.

Sebelum menulis karya yang menjadi pokok pembahasan kita, Postman menerbitkan Technopoly: The Surrender of Culture to Technology (1992). Dalam buku ini, ia mengurai bahwa teknologi modern telah berubah dari alat menjadi ideologi. “Technopoly” adalah istilah yang ia ciptakan untuk menggambarkan masyarakat yang tunduk sepenuhnya pada logika mesin dan efisiensi, tanpa mempertanyakan nilai-nilai yang dikorbankan (Postman, 1992). Buku itu mendapat sambutan luas sekaligus kritik tajam, terutama karena dianggap terlalu pesimis terhadap perkembangan teknologi digital yang kala itu baru tumbuh. Namun bagi Postman, yang ia kritik bukan kemajuan teknologi itu sendiri, melainkan kehilangan arah moral yang mengiringinya.

Dengan latar itu, The End of Education dapat dibaca sebagai puncak sekaligus penyempurnaan seluruh perjalanan intelektualnya. Jika Technopoly menyoroti bagaimana teknologi menggeser budaya, maka The End of Education menjawab pertanyaan yang lebih eksistensial: apa yang tersisa dari pendidikan ketika budaya kehilangan makna? Postman bergerak dari kritik terhadap media menuju kritik terhadap sistem nilai. Ia tidak lagi berbicara tentang televisi, tetapi tentang manusia yang tak lagi tahu mengapa ia belajar.

Dalam kerangka pemikirannya, pendidikan selalu berkaitan dengan narasi budaya. Ketika masyarakat kehilangan kisah besar yang memberi arah moral, maka sekolah pun kehilangan jiwanya. Karena itu, Postman menyebut perlunya “narratives that may serve,” yaitu kisah-kisah yang dapat memberi makna baru bagi manusia modern. Di sinilah tampak kesinambungan dengan gagasan-gagasan John Dewey, yang memandang pendidikan sebagai proses demokratis untuk membangun makna sosial (Dewey, 1916), dan Paulo Freire, yang menekankan pendidikan sebagai kesadaran kritis terhadap realitas (Freire, 1970). Namun, berbeda dari keduanya, Postman lebih menekankan sisi simbolik: ia ingin membangun kembali pendidikan lewat bahasa dan cerita, bukan lewat kebijakan atau metodologi.

Menariknya, di antara semua karya Postman, The End of Education memiliki nada yang paling lembut dan kontemplatif. Ia tidak lagi menulis dengan kemarahan terhadap media atau sistem, tetapi dengan rasa iba terhadap dunia yang kehilangan arah. Kalimat-kalimatnya penuh kesabaran seorang guru yang masih percaya pada murid-muridnya, meski tahu zaman tidak lagi ramah pada idealisme. Ia menulis bukan untuk melawan, melainkan untuk mengingatkan—bahwa di balik setiap inovasi, reformasi, dan modernisasi, pendidikan sejatinya tetaplah urusan tentang makna.

Postman menutup buku ini dengan nada yang hampir menyerupai doa: pendidikan, katanya, akan berakhir jika ia kehilangan alasan keberadaannya. Tetapi justru pada saat itu, pada “akhir” yang sunyi, kemungkinan untuk memulai kembali akan muncul. Ia percaya bahwa sekolah dapat menjadi tempat di mana manusia menemukan kembali arah moral dan spiritualnya—asal ia mau bertanya, bukan hanya mengajar.

Gambaran Isi Buku: Kembali Menemukan Makna dan Arah Sekolah

Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Alfred A. Knopf pada tahun 1995, dengan desain sampul khas terbitan Knopf—hitam sederhana, menampilkan tipografi serif klasik dengan judul besar The End of Education dan subjudul Redefining the Value of School. Sampul itu seolah menegaskan ironi judulnya: akhir pendidikan justru dimulai dari kebutuhan untuk menafsir ulang nilainya. Tidak ada gambar anak sekolah atau papan tulis; hanya teks dan ruang kosong—simbol yang pas bagi buku yang berbicara tentang hilangnya makna.

Dalam Pengantarnya, Postman menyatakan bahwa ini adalah buku pertamanya tentang pendidikan sejak Teaching as a Subversive Activity (1969). Ia mengaku menulis kembali karena “the world of education has not suffered from my absence, but I have” (Postman, 1995, p. ix). Pernyataan itu mengandung nada pribadi: seorang guru yang tidak bisa diam ketika melihat dunia belajar kehilangan rohnya. Ia menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya “to make a life, not merely to make a living” (Postman, 1995, p. xii). Dari awal sudah terasa, buku ini bukan sekadar kritik sistem, melainkan pencarian spiritual tentang hakikat belajar.

Buku The End of Education disusun dengan struktur yang cermat dan mengalir, memadukan analisis kultural dengan nada seorang guru yang berbicara penuh kelembutan dan humor halus. Ia dibuka dengan Preface yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dunia pemikiran Postman, di mana ia menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar urusan bagaimana mengajar, tetapi terutama mengapa manusia perlu belajar. Dalam bagian awal ini, Postman menulis bahwa sekolah semestinya tidak hanya mengajarkan “how to make a living” tetapi “how to make a life” (Postman, 1995, p. xii). Ia mengingatkan pembaca bahwa pendidikan sejati berlangsung sepanjang hidup dan tidak berhenti di ruang kelas; ia adalah perjalanan batin untuk menemukan makna, bukan sekadar keterampilan.

Buku ini kemudian terbagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama, yang terdiri dari empat bab, berfungsi sebagai diagnosis terhadap krisis makna dalam pendidikan modern. Postman menyebut bagian ini sebagai kisah tentang “para dewa yang gagal”—metafora bagi nilai-nilai dan ideologi yang dulu menopang sistem pendidikan, namun kini kehilangan kekuatannya. Dalam bab pertama, The Necessity of Gods, ia membedakan dua jenis persoalan pendidikan: yang bersifat teknis dan yang bersifat metafisik. Persoalan teknis menyangkut bagaimana proses belajar berlangsung, sedangkan persoalan metafisik menanyakan alasan mengapa pendidikan itu perlu. Ia menulis dengan gaya yang meditatif: “For school to make sense, the young, their parents, and their teachers must have a god to serve” (Postman, 1995, 8). Di sini, “god” dimaknai bukan sebagai sosok ilahi, melainkan sumber makna yang menuntun manusia.

Bab-bab berikutnya dalam bagian pertama menelusuri bagaimana pendidikan modern tersesat karena menggantikan nilai-nilai moral dan spiritual dengan mitos-mitos baru tentang efisiensi, teknologi, dan ekonomi. Dalam Some Gods That Fail, Postman menyebut bahwa sekolah kini terlalu percaya pada kemajuan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan, padahal ekonomi tidak pernah menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup manusia. Ia juga mengkritik ketergantungan buta pada teknologi, yang sering dianggap mampu menyelamatkan pendidikan, padahal hanya menambah kebingungan. Dalam Some New Gods That Fail, ia menyoroti “dewa-dewa baru” seperti multikulturalisme dan globalisasi. Meskipun mengandung niat baik, ide-ide itu sering berhenti sebagai jargon, tidak cukup memberi arah moral yang dalam bagi siswa. Bagian ini diakhiri dengan bab Gods That May Serve, di mana Postman mulai beralih dari kritik menuju harapan. Ia tidak ingin sekadar meruntuhkan, tetapi juga membangun kembali—menawarkan kemungkinan adanya narasi-narasi baru yang bisa menuntun pendidikan keluar dari krisis makna.

Bagian kedua buku ini menjadi inti dari keseluruhan gagasan Postman. Ia mempersembahkan lima narasi yang ia sebut sebagai “kisah-kisah penuntun” — bukan sistem, bukan teori, melainkan arah moral yang bisa menyalakan kembali makna dalam pendidikan. Ia tidak memaksa pembaca untuk mempercayainya, melainkan mengundang untuk merenunginya. Dalam pandangan Postman, manusia tidak bisa hidup tanpa cerita. Sekolah tanpa narasi ibarat tubuh tanpa jiwa; ia berfungsi, tapi tidak bernyawa.

Narasi pertama, Spaceship Earth, adalah ajakan untuk melihat bumi sebagai kapal angkasa kecil yang mengapung di semesta luas. Kita semua, kata Postman, adalah awak kapal yang bergantung satu sama lain demi kelangsungan hidup planet ini (Postman, 1995, p. 83). Ia menulis dengan nada moral yang universal: sekolah seharusnya mengajarkan kesadaran ekologis, rasa tanggung jawab terhadap alam, dan solidaritas antarmanusia.

Dalam konteks sekarang, gagasan ini terasa semakin relevan. Pendidikan yang hanya menyiapkan kompetisi tanpa empati telah gagal melahirkan manusia yang sadar lingkungan. Di sinilah Spaceship Earth menawarkan kosmologi baru: belajar sebagai bagian dari tugas menjaga kehidupan. Ia bukan hanya pelajaran biologi atau geografi, tetapi cara pandang spiritual terhadap bumi — bahwa pengetahuan adalah bentuk cinta pada kehidupan itu sendiri.

Narasi kedua, The Fallen Angel, menekankan bahwa sejarah kemajuan manusia sejatinya adalah sejarah kesalahan. Postman menulis, “The story of humanity is the story of error and correction” (Postman, 1995, p. 105). Dengan narasi ini, ia menolak kesombongan modernitas yang menganggap ilmu pengetahuan selalu benar. Ia ingin agar sekolah mengajarkan kerendahan hati intelektual: bahwa setiap pengetahuan lahir dari kekeliruan yang diperbaiki, dan setiap kebenaran adalah hasil kerja keras dari kesalahan yang diakui. Dalam konteks pendidikan kita, narasi ini mengingatkan pentingnya membangun budaya reflektif, bukan sekadar evaluatif. Kesalahan bukan alasan untuk dihukum, melainkan peluang untuk memahami lebih dalam.

Narasi ketiga, The American Experiment, memandang masyarakat sebagai proyek moral yang terus berubah, bukan tatanan yang sudah selesai. “The experiment,” tulis Postman, “is not America; it is humanity itself learning how to live in freedom” (Postman, 1995, p. 121). Ia mengajak sekolah untuk menumbuhkan keberanian berdialog, menghargai perbedaan pendapat, dan menempatkan demokrasi bukan sekadar sistem politik, tetapi etika hidup bersama. Dalam pendidikan Indonesia, semangat ini sejalan dengan nilai musyawarah dan gotong royong—bahwa berpikir berbeda bukanlah dosa, tetapi tanda kehidupan intelektual yang sehat.

Narasi keempat, The Laws of Diversity, adalah ode bagi perbedaan. Bagi Postman, keberagaman adalah hukum alam yang tak bisa dihapus. “Diversity is the law of life,” tulisnya (Postman, 1995, p. 139). Ia menolak homogenitas yang sering menjadi obsesi pendidikan modern, terutama dalam sistem ujian dan standarisasi. Sekolah, kata Postman, seharusnya menjadi tempat di mana perbedaan dirayakan, bukan diseragamkan. 

Dalam konteks Indonesia yang kaya budaya, bahasa, dan agama, narasi ini memiliki makna yang mendalam. Pendidikan yang baik bukanlah yang membuat murid berpikir seragam, melainkan yang menumbuhkan kepekaan terhadap keindahan dalam perbedaan.

Narasi terakhir, The Word Weavers/The World Makers, adalah puncak dari seluruh gagasan Postman — dan mungkin yang paling filosofis. Ia menulis bahwa manusia menciptakan dunia melalui kata-kata yang ia pilih dan narasi yang ia bangun. “We make the world by the words we use” (Postman, 1995, p. 162). Di sini, Postman tidak sekadar bicara tentang linguistik, tetapi tentang kekuatan spiritual bahasa. Kata-kata tidak hanya menggambarkan realitas, melainkan membentuknya. Sekolah, dalam pandangannya, harus menuntun murid memahami bahwa bahasa adalah alat penciptaan dunia. Ia mengingatkan bahwa setiap istilah yang digunakan dalam pelajaran—“ekonomi,” “keadilan,” “pembangunan,” “agama”—membawa visi tertentu tentang realitas. Karena itu, pendidikan bahasa bukan semata soal tata bahasa, melainkan latihan berpikir tentang dunia dan nilai-nilainya.

Kelima narasi itu bukanlah dogma, tetapi undangan untuk menafsirkan kembali tujuan belajar. Ia menawarkan fondasi moral bagi pendidikan yang telah kehilangan arah. Masing-masing kisah mengandung tema universal: tanggung jawab (dalam Spaceship Earth), kerendahan hati (dalam The Fallen Angel), kebebasan (dalam The American Experiment), kebersamaan (dalam The Laws of Diversity), dan penciptaan makna (dalam The Word Weavers). Bersama-sama, narasi ini membentuk mosaik pendidikan yang utuh: pendidikan yang memandang manusia bukan sekadar sebagai pekerja atau konsumen, tetapi sebagai makhluk pencari makna.

Dari sudut pandang spiritualitas pendidikan, lima narasi Postman dapat dibaca sebagai jalan menuju kesadaran diri. Ia tidak berbicara tentang agama secara eksplisit, tetapi tentang kesadaran yang bersifat religius dalam arti yang paling luas: kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan yang lebih tinggi dari sekadar bertahan hidup. Dalam konteks Indonesia, di mana pendidikan sering diukur dari hasil ujian dan sertifikasi, pesan Postman mengingatkan agar kita tidak melupakan dimensi rohaniah dari belajar. Belajar bukan hanya menguasai dunia, tetapi juga memahami tempat kita di dalamnya.

Postman menutup bagian ini dengan nada penuh harapan. Ia sadar bahwa narasi-narasi itu tidak akan segera mengubah sistem pendidikan, tetapi ia percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari perubahan cerita yang kita ceritakan kepada anak-anak kita. “Without a transcendent and honorable purpose,” tulisnya, “schooling must reach its finish” (Postman, 1995, p. 17). Namun, sebagaimana ia tegaskan di epilog, akhir dari pendidikan bukanlah kematian, melainkan kesempatan untuk memulai kembali—dengan makna yang lebih jernih dan manusiawi.

Jejak Filsafat Pendidikan dalam Gagasan Neil Postman

Membaca The End of Education serasa menapaki lintasan panjang sejarah pemikiran tentang pendidikan—sebuah perjalanan dari Plato hingga Al-Ghazali, dari Dewey hingga Iqbal. Postman bukan teolog, bukan pula ideolog. Ia seorang humanis yang berbicara dari persimpangan antara ilmu, moralitas, dan bahasa. Namun ide-idenya berakar dalam tradisi filsafat yang jauh lebih tua: keyakinan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi pencarian makna.

Dalam dunia filsafat Barat, Postman sering dibaca sebagai penerus tradisi Socratic inquiry, yaitu semangat bertanya untuk menemukan kebenaran. Seperti Socrates yang menolak mengajar dalam arti konvensional dan lebih suka berdialog, Postman juga menolak pendidikan yang bersifat mekanis. “Pertanyaan,” kata Socrates, “adalah awal dari kebijaksanaan.” Dalam konteks Postman, pertanyaan itu berubah menjadi: Untuk apa kita belajar?—pertanyaan yang ia warisi dari para pendahulunya, namun ia rumuskan ulang di tengah zaman teknologi.

Dari tradisi modern, pengaruh John Dewey terlihat jelas. Dalam Democracy and Education (1916), Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah proses sosial di mana manusia belajar hidup bersama secara demokratis. Ia menulis bahwa tujuan pendidikan bukanlah pengetahuan itu sendiri, melainkan “reconstruction or reorganization of experience which adds to the meaning of experience” (Dewey, 1916, 76). 

Gagasan ini sejalan dengan pandangan Postman bahwa pendidikan yang bermakna selalu memiliki “narrative center”—sebuah kisah yang memberi arah pada pengalaman. Bedanya, Dewey menekankan dimensi sosial dan pragmatis, sementara Postman lebih menekankan dimensi simbolik dan kultural. Keduanya sama-sama menolak pendidikan yang direduksi menjadi latihan teknis.

Sementara itu, Paulo Freire, dengan Pedagogy of the Oppressed (1970), menekankan pendidikan sebagai praksis pembebasan. Freire menolak “banking system of education”—metode di mana guru menabungkan pengetahuan ke dalam pikiran murid yang pasif. Ia menyebut bahwa pendidikan sejati adalah dialogical process yang memanusiakan kedua pihak. Postman tidak menggunakan bahasa politik seperti Freire, tetapi keduanya memiliki inti moral yang sama: pendidikan harus membangunkan kesadaran kritis. Jika Freire ingin membebaskan dari penindasan sosial, Postman ingin membebaskan dari penindasan makna.

Dalam horizon yang lebih pesimis, Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971) menyerukan pembongkaran lembaga sekolah modern yang ia sebut sebagai “ritual of progress.” Illich melihat sekolah sebagai simbol industrialisasi kesadaran—mengubah belajar menjadi produk. Postman lebih lembut: ia tidak ingin membongkar sekolah, tetapi menyembuhkan rohnya. Jika Illich menulis dengan nada revolusioner, Postman menulis dengan nada pastoral. Ia masih percaya pada sekolah, namun bukan sebagai institusi ekonomi, melainkan sebagai tempat lahirnya cerita kemanusiaan.

Dari tradisi eksistensialis, Postman juga memiliki gema dari Albert Camus dan Viktor Frankl. Camus, dalam The Myth of Sisyphus (1942), berbicara tentang absurditas hidup manusia yang terus mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya jatuh lagi. Namun dalam absurditas itu, kata Camus, manusia menemukan makna. Postman menyiratkan hal yang sama: pendidikan tetap harus dijalankan, meski dunia tampak kehilangan arah. Ia percaya bahwa makna tidak ditemukan dalam hasil akhir, tetapi dalam proses memahami dunia. Sementara Frankl, dalam Man’s Search for Meaning (1946), menulis bahwa manusia dapat bertahan dalam penderitaan apa pun “as long as he has a why to live.” Postman mengutip gagasan serupa melalui Nietzsche: “He who has a why to live can bear almost any how.” Maka bagi Postman, pendidikan adalah upaya menemukan “why” itu — alasan hidup yang membuat belajar menjadi tindakan spiritual.

Resonansi dengan Pemikiran Pendidikan Islam

Yang menarik, banyak gagasan Postman memiliki resonansi yang kuat dengan khazanah pendidikan Islam klasik, meski lahir dari konteks Barat sekuler. Dalam tradisi Islam, pendidikan (ta‘līm) dan pengasuhan (tarbiyah) selalu dipahami sebagai proses menyucikan jiwa dan membangun kesadaran tentang tujuan hidup. Al-Ghazali (w. 1111) dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menyebut bahwa ilmu sejati adalah “yang menuntun manusia menuju kebahagiaan abadi.” Ia menegaskan bahwa pendidikan bukanlah pengisian pikiran, melainkan penyucian hati (tazkiyat al-nafs). Jika Postman berbicara tentang “the metaphysical purpose of schooling,” Al-Ghazali telah lebih dahulu berbicara tentang maqāṣid al-ta‘līm—tujuan rohaniah belajar yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.

Dalam konteks yang lebih filosofis, Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037) melihat pendidikan sebagai sarana mengaktualkan potensi intelektual (‘aql) dan moral manusia. Dalam Kitāb al-Siyāsah, ia menulis bahwa anak didik harus dibimbing agar “jiwanya tumbuh seimbang antara akal dan adab.” Pemikiran ini sejalan dengan Postman yang menolak pendidikan yang hanya mengembangkan dimensi intelektual tanpa arah etis. Bagi keduanya, ilmu tanpa kebajikan adalah kegagalan.

Ibn Khaldūn (w. 1406) dalam Muqaddimah bahkan sudah mengkritik pendidikan mekanistik yang menekankan hafalan tanpa pemahaman. Ia menulis bahwa “pengajaran yang keras mematikan potensi belajar dan melemahkan jiwa anak.” Kritik ini terasa seperti gema abad ke-14 dari keluhan Postman terhadap sistem ujian dan kurikulum yang kehilangan jiwa. Keduanya sama-sama melihat bahwa pendidikan sejati menumbuhkan fitrah berpikir dan keingintahuan alami manusia, bukan menindasnya.

Dalam pemikiran Islam modern, Muhammad Iqbal (1877–1938) melalui The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930) berbicara tentang pentingnya menanamkan selfhood (khudī)—kesadaran diri yang kreatif dan bebas. Iqbal menolak pendidikan yang hanya menghasilkan peniru. Ia menulis, “The ultimate aim of education is to awaken in man the infinite possibilities of his self.” Semangat ini dekat dengan Postman yang ingin agar pendidikan menumbuhkan imajinasi moral dan tanggung jawab pribadi.

Demikian pula Syed Naquib al-Attas (1980) dalam The Concept of Education in Islam menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar membentuk manusia yang terampil, tetapi insan adabi—manusia beradab, yang memahami tempat segala sesuatu dan menempatkannya dengan benar. Dalam konteks Postman, “narratives that may serve” dapat dipandang sebagai usaha sekuler untuk membangun adab baru di tengah kekacauan nilai modern. Keduanya, meskipun datang dari dunia yang berbeda, berbagi keyakinan bahwa makna harus menjadi pusat pendidikan.

Persinggungan Universal: Mencari Tuhan yang Hilang dari Sekolah

Baik Postman maupun para pemikir klasik dan modern, dari Timur maupun Barat, bertemu dalam satu keyakinan: bahwa pendidikan kehilangan maknanya ketika terlepas dari nilai-nilai yang transenden. Postman menyebutnya kehilangan “Tuhan” dalam arti metaforis; Dewey menyebutnya kehilangan “experience with meaning”; Al-Ghazali menyebutnya hilangnya niyyah lillāh—niat untuk mencari ridha Ilahi. Dalam semua tradisi, pendidikan dipahami sebagai usaha mempersatukan pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas.

Dengan demikian, The End of Education tidak sekadar kritik terhadap sistem sekolah modern, melainkan seruan global untuk mengembalikan dimensi makna dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, yang berdiri di antara arus globalisasi dan akar spiritualitas Timur, pesan Postman seolah menjadi jembatan: agar kita tidak hanya membangun lembaga pendidikan, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang mengapa lembaga itu ada.

Maka, ketika Postman menulis bahwa “schooling must reach its finish if it has no transcendent purpose” (Postman, 1995, p. 17), ia sebenarnya sedang mengulangi apa yang sudah lama diucapkan oleh para ulama dan filsuf besar dunia: bahwa tanpa makna yang melampaui dunia, pendidikan hanyalah rutinitas tanpa jiwa. Ia bukan akhir dari pendidikan, tetapi panggilan untuk kembali ke asalnya—ke pencarian yang membuat manusia benar-benar hidup.

Penutup: Pendidikan sebagai Ziarah Makna

Setelah membaca The End of Education, saya merasa seperti menutup sebuah kitab renungan panjang tentang arti belajar di tengah dunia yang semakin bising. Neil Postman menulis bukan sebagai seorang teknokrat pendidikan, melainkan sebagai seorang penziarah yang mencari makna di antara reruntuhan zaman. Ia tidak berbicara tentang kebijakan, melainkan tentang jiwa; tidak menulis panduan reformasi, tetapi menyalakan kembali percakapan lama tentang mengapa kita belajar.

Buku ini mungkin tampak pesimistis di permukaan, tetapi sesungguhnya ia adalah ajakan untuk berharap—untuk menemukan makna baru di tengah kehilangan makna lama. Di balik kritiknya terhadap teknologi dan pasar, Postman menyembunyikan keyakinan yang lembut: bahwa manusia masih bisa menemukan makna sejati melalui pendidikan, jika pendidikan itu berani kembali pada asalnya—yakni pencarian tentang kebenaran, kebajikan, dan keindahan.

Ketika saya membandingkan pemikirannya dengan para filsuf dan ulama besar dari Timur dan Barat, saya mendapati gema yang sama di antara mereka: bahwa pendidikan selalu berawal dari tanya dan berakhir pada kesadaran. John Dewey menyebutnya “reconstruction of experience,” Paulo Freire menyebutnya “conscientization,” Al-Ghazali menyebutnya tazkiyat al-nafs. Semua menunjuk pada hal yang sama—pembentukan manusia yang utuh, yang berpikir dan berjiwa, yang mengerti hubungan dirinya dengan dunia dan dengan yang lebih tinggi darinya.

Barangkali itulah yang dimaksud Postman ketika ia menulis bahwa tanpa tujuan yang melampaui dunia, pendidikan akan kehilangan arah. Sekolah, seberapa modern dan canggih pun, tidak akan pernah hidup jika tidak memiliki kisah bersama yang menyalakan semangat. Kisah itu mungkin berbeda di setiap budaya—tentang Tuhan, tentang kemanusiaan, atau tentang tanggung jawab kita terhadap bumi—tetapi semuanya mengandung satu pesan: manusia belajar agar hidupnya bermakna.

Dalam konteks Indonesia, pesan Postman terasa dekat. Kita hidup di masa ketika pendidikan sering diukur dengan angka, peringkat, dan akreditasi; ketika semangat belajar perlahan digantikan oleh semangat berlomba. Namun di balik semua itu, masih ada ruang bagi kita untuk bertanya seperti Postman: untuk apa semua ini? Pertanyaan yang sederhana, tapi justru di situlah letak kesadaran bermula.

Mungkin pendidikan sejati bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, melainkan seberapa dalam kita memahami alasan mengapa kita ingin tahu. Ia bukan sekadar jalan menuju pekerjaan, tetapi perjalanan menuju pengenalan diri. Ia bukan sekadar sistem, melainkan ziarah makna.

Neil Postman menutup bukunya dengan nada yang tenang, seolah menyerahkan masa depan pendidikan pada nurani pembacanya. Ia menulis, “Without a narrative to sustain them, schools are houses built on sand” (Postman, 1995, p. 171). Barangkali benar, tanpa kisah yang memberi arah, sekolah akan kehilangan jiwanya. Tetapi selama masih ada guru yang mau bertanya, murid yang mau mendengar, dan manusia yang mau mencari makna, pendidikan tidak akan pernah benar-benar berakhir. Ia hanya berubah bentuk, menyesuaikan zaman, namun selalu menuju ke satu arah: kesadaran akan kehidupan itu sendiri.

Dan mungkin di sanalah, di titik paling sunyi dari perjalanan intelektual kita, pendidikan menemukan kembali asal-usulnya—sebuah percakapan antara manusia dan makna. Sebab sebagaimana setiap guru tahu, mengajar bukan sekadar menyampaikan pengetahuan, melainkan menyinari jiwa agar mau terus mencari. Dan di tengah zaman yang penuh kebisingan ini, barangkali tidak ada tugas yang lebih mulia daripada itu.

Daftar Referensi
Al-Ghazali. (1982). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Dewey, J. (1916). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Macmillan.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.
Frankl, V. (1946). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
Ibn Khaldūn. (1967). The Muqaddimah: An Introduction to History. Princeton: Princeton University Press.
Ibn Sīnā. (1952). Kitāb al-Siyāsah. Cairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā.
Illich, I. (1971). Deschooling Society. New York: Harper & Row.
Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. London: Oxford University Press.
London, S. (1996). Review: The End of Education: Redefining the Value of School [Review of the book The End of Education, by N. Postman]. Scott London Home Page. Retrieved from https://www.scottlondon.com/reviews/postman.html
Postman, N. (1992). Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. New York: Alfred A. Knopf.
Postman, N. (1995). The End of Education: Redefining the Value of School. New York: Alfred A. Knopf.
Postman, N., & Weingartner, C. (1969). Teaching as a Subversive Activity. New York: Delacorte Press.
Reeves, T. C. (1998). Future Schlock, The Computer Delusion, and The End of Education. Educational Technology Research and Development, 46(4), 7–15.
Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid