Humor di Era Awal Islam: Analisis Qur'an, Hadis, dan Kesarjanaan Muslim
Cak Yo
Seorang nenek datang kepada Nabi SAW meminta doa agar masuk surga. Nabi menjawab, “Di surga tidak ada orang tua renta seperti engkau,” lalu nenek itu pergi menangis. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa Allah menciptakan penghuni surga dalam keadaan muda (QS Al-Waqi’ah: 35-36). -H.R. al-Tirmidhî-
Prolog
Siang ini, setelah tidur cukup lama dan membiarkan tubuh beristirahat dari kesibukan pagi, aku terbangun dengan perasaan ringan. Di meja masih tergeletak buku Knowledge Triumphant karya Franz Rosenthal yang pagi tadi sempat kubaca dan kutulis ulasannya—sebuah bacaan yang menuntut keseriusan dan kedalaman berpikir. Tapi kali ini, aku ingin sesuatu yang lebih lembut, yang tetap bernilai tapi tidak terlalu berat untuk dicerna di tengah udara hangat menjelang sore.
Mataku lalu tertuju pada satu lagi karya Rosenthal: Humor in Early Islam. Judulnya saja sudah membuatku tersenyum kecil. Ada semacam ironi yang menenangkan di sana—seorang sarjana besar yang menulis dengan kedalaman filologis, tetapi kali ini memilih tema yang ringan: tawa. Mungkin inilah sisi lain dari peradaban Islam yang sering kita lupakan, bahwa para ulama dan penyair masa lalu bukan hanya serius dan penuh hikmah, tetapi juga tahu bagaimana tertawa dengan elegan.
Sambil menunggu azan Asar, aku membuka halaman pertamanya. Udara siang ini terasa lembut, pohon mangga di halaman bergerak pelan, dan cahaya matahari menyelinap di sela dedaunannya. Di antara gemericik air kolam kecil, aku mulai membaca dan menuliskan kesan-kesan itu—bukan untuk siapa-siapa sebenarnya, hanya untuk diriku sendiri. Tapi siapa tahu, catatan sederhana ini suatu hari bisa berfaedah bagi mereka yang berkenan membacanya: tentang bagaimana tawa juga punya tempat dalam keislaman, tentang bagaimana ilmu kadang berwajah lembut dan tersenyum.
Dan di sela waktu yang pelan itu, aku merasa seolah Rosenthal sedang berbicara langsung dari halaman bukunya—mengajak untuk memahami bahwa di balik kesungguhan agama, ada ruang kecil bagi kelucuan yang mendidik hati, bagi senyum yang menenangkan jiwa.
Siapa Franz Rosenthal?
Saya pertama kali mengenal nama Franz Rosenthal lewat karya terjemahannya atas Muqaddimah Ibn Khaldûn yang monumental itu. Tiga jilid tebal yang diterbitkan oleh Princeton University Press pada tahun 1958 seolah membuka jendela baru ke dunia pemikiran Islam klasik yang begitu kaya, rasional, dan mendalam.
Salah satu bagian yang paling berkesan adalah pembukaan al-Muqaddimah, ketika Ibn Khaldun menulis:
إن الاجتماع الإنساني ضروري. ويعبر الحكماء عن هذا بقولهم: الإنسان مدني بالطبع.» (inna al-ijtimā‘ al-insānī ḍarūrī… al-insānu madanīyyun biṭ-ṭab‘), yang diterjemahkan Rosenthal sebagai, “Human society is necessary. The individual human being cannot exist by himself without association with others for the purpose of cooperation.” (Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal, Princeton: Princeton University Press, 1958, vol. 1, 45).
Dalam bahasa Indonesia, kalimat ini bermakna: “Masyarakat manusia adalah suatu keharusan. Seorang manusia tidak dapat hidup sendirian tanpa berhubungan dengan orang lain demi tujuan kerja sama.” Kutipan ini bukan hanya pembuka, tetapi sekaligus fondasi pemikiran Ibn Khaldun tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial (al-insān madanīyyun biṭ-ṭab‘), yang menjadi dasar bagi teori besar tentang ‘umrān—konsep peradaban dan dinamika kehidupan masyarakat manusia yang terus berkembang.
Kalimat sederhana itu, bagi saya, bukan sekadar pernyataan sosiologis, tetapi semacam refleksi spiritual tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang hanya dapat menjadi dirinya dalam kebersamaan. Dari kalimat pertama itu saya tahu, Rosenthal tidak hanya menerjemahkan teks, melainkan juga menerjemahkan ruh—membawa semangat pemikiran Islam klasik menyeberang ke dunia modern tanpa kehilangan makna asalnya.
Franz Rosenthal lahir di Berlin pada 31 Agustus 1914. Di bawah bimbingan Hans Heinrich Schaeder di Universitas Berlin, ia menekuni bahasa-bahasa Semitik dengan kesungguhan yang jarang dimiliki sarjana muda pada masa itu. Disertasinya pada 1936, "Die Sprache der palmyrenischen Inschriften und ihre Stellung innerhalb des Aramäischen", menjadi pintu masuk bagi kecintaannya terhadap dunia Timur. Namun sejarah Eropa membawa arah hidupnya berubah. Ketika Nazi berkuasa, Rosenthal, harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Ia kemudian hijrah ke Amerika Serikat dan menapaki perjalanan akademik yang panjang—mengajar di Hebrew Union College dan Johns Hopkins University, sebelum akhirnya menetap di Yale University sebagai Sterling Professor of Arabic, jabatan akademik tertinggi di bidang studi Arab. Ia wafat di New Haven, Connecticut, pada 8 April 2003, meninggalkan jejak keilmuan yang tak ternilai.
Karya-karya Rosenthal menunjukkan perpaduan antara kecermatan filologis dan kepekaan kemanusiaan yang mendalam. Ia menulis dan menerjemahkan dengan hati yang penuh hormat kepada dunia Islam. Di antara karya besarnya adalah The Technique and Approach of Muslim Scholarship (1947), A History of Muslim Historiography (1952), Humor in Early Islam (1956), The Muslim Concept of Freedom Prior to the Nineteenth Century (1960), Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (1970), The Herb: Hashish versus Medieval Muslim Society (1971), “Sweeter than Hope”: Complaint and Hope in Medieval Islam (1983), dan The History of al-Ṭabarī, Volume I (1989). Setiap judul seolah menjadi percakapan antara masa silam dan masa kini, antara teks Arab klasik dan pembaca modern yang haus makna.
Namun di antara semua itu, The Muqaddimah: An Introduction to History tetap menjadi mahakaryanya yang paling dikenal. Terjemahan tiga jilidnya bukan hanya hasil kerja keras seorang ahli bahasa, melainkan karya hidup seorang pencinta teks. Rosenthal menulis pengantar lebih dari seratus halaman, menjelaskan konteks sosial dan intelektual Ibn Khaldun dengan penuh ketelitian dan rasa hormat. Ia menyebut Muqaddimah sebagai “the most comprehensive and penetrating analysis of human civilization ever written before the modern age.”
Dalam pandangannya, Ibn Khaldûn adalah pemikir universal yang menulis tentang peradaban manusia dengan kedalaman yang melampaui zamannya. Dengan kejernihan bahasanya, Rosenthal menjadikan Muqaddimah bukan hanya bacaan ilmiah, tetapi juga cermin bagi siapa pun yang ingin memahami hakikat sejarah dan masyarakat manusia. Dan di situlah, saya kira, letak keagungan seorang Franz Rosenthal—seorang penjaga cahaya ilmu yang menjembatani Timur dan Barat, lalu pergi meninggalkan kita dengan cahaya yang tak pernah padam.
Namun, sore ini saya tidak akan membahas The Muqaddimah karya besar Ibn Khaldun dalam terjemahan Franz Rosenthal yang monumental itu, melainkan salah satu karyanya yang lain — sebuah buku yang justru memperlihatkan sisi lain dari kecendekiawanannya: Humor in Early Islam (Leiden: Brill, 1956). Edisi terbaru buku ini dengan pengantar Geert Jan van Gelder diterbitkan Leiden & Boston: Brill, 2011.
Buku ini tidak tebal, namun sarat makna dan menyingkap wajah kemanusiaan Islam yang jarang dibicarakan dalam studi akademik: dunia tawa, canda, dan kelucuan di masa klasik. Di tengah reputasinya sebagai orientalis yang serius dan sangat teliti dalam menelusuri teks-teks Arab kuno, Rosenthal dalam buku ini seolah sedang beristirahat sejenak — mengajak pembaca melihat bahwa dalam sejarah peradaban Islam, bahkan para ulama, qadhi, dan sufi pun tak luput dari kehangatan humor. Membacanya pada sore yang tenang sambil menunggu azan asar seperti menemukan ruang jeda di antara baris-baris wacana ilmiah yang biasanya kaku: sebuah pengingat bahwa ilmu dan tawa sesungguhnya bersumber dari semangat yang sama — rasa ingin tahu dan kasih terhadap kehidupan.
Humor Nabi dan Kaum Cendekia Muslim
Buku Humor in Early Islam karya Franz Rosenthal mungkin tampak kecil dan sederhana bila disandingkan dengan karya monumentalnya, Knowledge Triumphant dan terjemahan Ibn Khaldûn. Namun di balik sampul biru tua berlogo Brill yang bersahaja itu, tersimpan dunia yang hangat, jenaka, dan dalam pada saat yang bersamaan. Diterbitkan pertama kali oleh E. J. Brill di Leiden tahun 1956, buku ini terdiri dari sekitar 140 halaman, tanpa ilustrasi, tetapi dipenuhi kutipan dari teks-teks klasik Arab yang dirangkai dengan cermat.
Hurufnya kecil, margin rapat, gaya penulisannya khas Rosenthal: padat, berdisiplin, tapi di antara kalimat akademisnya kadang muncul senyum yang tersembunyi. Membacanya seperti berbincang dengan seorang guru besar yang tiba-tiba berseloroh di tengah kuliah filsafat dan pemikiran Islam yang serius.
Franz Rosenthal membuka bukunya dengan pengamatan yang halus dan filosofis: tawa, katanya, adalah bagian tak terpisahkan dari setiap peradaban. Dalam setiap masyarakat, humor berfungsi sebagai cermin moral dan spiritual, tempat manusia mengenali dirinya sendiri melalui kejenakaan.
Dunia Islam awal—yang kerap digambarkan keras, asketis, dan penuh aturan—menurut Rosenthal justru menyimpan lapisan kelucuan yang cerdas dan lembut. Melalui kisah, anekdot, dan satire, para penulis Arab klasik menertawakan keangkuhan, kebodohan, serta kemunafikan, bukan untuk menghina, tetapi untuk menegur dengan kasih. “Laughter in Islam was a grace of the soul, not a rebellion against seriousness,” tulisnya dengan elegan (Rosenthal, 1956, hlm. 4). Tawa dalam Islam, bagi Rosenthal, adalah keanggunan jiwa—bentuk kesadaran spiritual, bukan pelarian dari keseriusan.
Buku ini disusun secara tematis namun terasa cair, bergerak dari teologi menuju kehidupan sosial. Rosenthal memulai dari fondasi keagamaan humor dalam Islam, menekankan bahwa Nabi Muhammad saw. dikenal ramah dan sering tersenyum tanpa kehilangan wibawa. Ia mengutip sejumlah hadis sahih tentang momen ringan dalam kehidupan Nabi, seperti ketika seorang nenek tua bertanya apakah dirinya akan masuk surga. Nabi menjawab, “Tidak ada nenek tua di surga,” lalu menambahkan dengan lembut, “Karena Allah akan menjadikanmu muda kembali di sana” (Rosenthal, 1956, hlm. 10). Bagi Rosenthal, kisah ini menunjukkan bahwa humor dapat menjadi bentuk kasih sayang spiritual—tawa yang mengajarkan kebenaran tanpa melukai.
Dari sini, Rosenthal beralih ke wilayah sosial dan adab, tempat humor menjadi medium kritik moral. Ia menelusuri kisah-kisah dari Kitāb al-Bukhala’ karya al-Jāḥiẓ, yang penuh anekdot tentang orang-orang kikir dengan perilaku menggelikan: seorang pelit yang memadamkan lampu saat jamuan makan agar tamunya tak melihat sedikitnya hidangan; seorang hakim yang berpura-pura bodoh demi menjaga citra rendah hati. Rosenthal menafsirkan kisah-kisah itu bukan sekadar untuk tertawa, melainkan sebagai potret manusia yang berjuang antara cita-cita moral dan kelemahannya sendiri (hlm. 27–31).
Ia juga mengutip cerita dari Nawādir al-Jāḥiẓ dan al-Faraj baʿda al-Shiddah, di mana tawa hadir di tengah kesulitan. Dalam salah satu kisah, seorang tawanan perang berkata kepada penjaganya, “Jika engkau membunuhku, engkau akan kehilangan teman bicara yang baik.” Rosenthal membaca kalimat ini sebagai bukti bahwa tawa bisa menjadi spiritual survival, strategi bertahan hidup yang lahir dari iman terhadap kebijaksanaan Ilahi (hlm. 38).
Rosenthal kemudian membedakan dua jenis humor: "folk humor" dan "intellectual humor". Humor rakyat, menurutnya, hidup di pasar dan majelis umum—cerita pendek yang menertawakan pedagang licik, pelayan cerdas, atau pejabat dungu. Salah satu contohnya ialah kisah penjual yang menawarkan kudanya yang kurus dengan berkata, “Ia tidak makan banyak.” Pembeli menimpali, “Itu karena ia tak pernah diberi makan” (hlm. 45). Humor sederhana seperti ini, tulis Rosenthal, merupakan sindiran sosial yang tajam terhadap kerakusan dan kemunafikan.
Adapun humor cendekia berkembang di kalangan adīb, para sastrawan dan filsuf yang bermain kata dengan kecerdikan tinggi. Dalam karya Abu Hayyān al-Tawḥīdī, misalnya, muncul refleksi jenaka: “Manusia tertawa karena ia sadar bahwa keseriusannya sendiri kadang hanyalah sandiwara.” Rosenthal menafsirkan tawa ini sebagai bentuk intellectual humility—kerendahan hati intelektual yang menyadari keterbatasan nalar (hlm. 52–56).
Salah satu kalimat paling reflektif dalam buku ini berbunyi, “The believer laughs not because he forgets God, but because he remembers that he is not God” (Rosenthal, 1956, 61). Kalimat itu menjadi poros spiritual seluruh karyanya: tawa dalam Islam bukanlah pelarian dari Tuhan, tetapi pengakuan akan kefanaan manusia di hadapan-Nya.
Rosenthal juga menyinggung kisah-kisah historis: Umar ibn al-Khattab yang tertawa melihat seseorang terjatuh karena sandal putus dan menjelaskan bahwa ia tertawa bukan karena mengejek, melainkan karena menyadari keanehan hidup yang membuat manusia kecil di hadapan takdir (hlm. 64); Abu Nuwas yang melalui puisinya mengejek kemunafikan sosial dengan tawa sebagai bentuk kebebasan batin—“a laugh against hypocrisy, not against faith” (hlm. 70). Di tangan Rosenthal, tokoh-tokoh ini bukan sosok aneh dalam sejarah Islam, melainkan bagian dari keseimbangan batin yang utuh antara iman dan kecerdasan.
Rosenthal juga mengutip pandangan al-Ghazālī tentang fungsi moral humor. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, al-Ghazālī menulis bahwa tawa adalah tarwīḥ al-qulūb—pelepas ketegangan hati. Rosenthal menjelaskan bahwa tawa yang terjaga adabnya justru menyehatkan jiwa dan memperlembut hati yang keras oleh keseriusan hidup (hlm. 83–86). Karena itu, ia menegaskan bahwa Islam membatasi humor agar tidak merendahkan orang lain atau mencela agama, tetapi tidak pernah melarangnya secara mutlak.
Metodologinya sangat filologis: Rosenthal memeriksa manuskrip, konteks penulis, dan situasi sosial setiap kisah. Ia tidak memperlakukan lelucon sebagai hiburan semata, melainkan sebagai “textual fossils” — fosil teks yang mengandung data sosial, moral, dan psikologis masyarakat Arab awal (hlm. 92). Ia mengutip al-Aghānī karya Abū al-Faraj al-Iṣfahānī dan kisah al-Ashʿabī, pelawak Irak yang terkenal karena menjawab setiap pertanyaan dengan kelucuan penuh makna. Ketika ditanya apakah ia mencari ilmu, ia menjawab, “Tidak, aku mencari yang lebih cepat kenyang.” Rosenthal menilai jawaban ini sebagai ekspresi realisme sosial yang lembut: humor sebagai topeng ketabahan (mask of endurance) (hlm. 95).
Dalam kesimpulan yang singkat tetapi tajam, Rosenthal menulis: “A civilization that laughs at itself is a civilization at peace with itself” (hlm. 104). Ia menegaskan bahwa kemampuan menertawakan diri adalah tanda kedewasaan peradaban. Dunia Islam awal, katanya, telah mencapai harmoni antara kesalehan dan tawa, antara ilmu dan kehangatan manusiawi. Bagi Rosenthal, humor bukan penghinaan terhadap kesucian, melainkan penghormatan terhadap kemanusiaan—pengakuan bahwa manusia tetap rapuh meski berilmu.
Menutup buku kecil ini, pembaca seakan diajak berjalan di jalan-jalan Baghdad abad ke-9, mendengar canda para penyair, celoteh pedagang, dan senyum para ulama. Tawa mereka bukan tawa kosong, melainkan cara menjaga kewarasan di tengah dunia yang tak pasti. Rosenthal—dengan ketelitian ilmiah dan empati humanistik—berhasil menunjukkan bahwa di balik kedalaman tradisi intelektual Islam, tersimpan hangatnya kemanusiaan yang menertawakan diri tanpa kehilangan hormat pada Tuhan.
Buku ini, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan satu hal penting: bahwa ilmu dan tawa lahir dari sumber yang sama — rasa ingin tahu yang tulus terhadap hidup. Dan mungkin, seperti yang ingin disampaikan Rosenthal tanpa perlu menuliskannya, seorang ilmuwan sejati bukan hanya yang mampu berpikir jernih, tetapi juga yang masih bisa tersenyum di tengah keseriusan ilmunya.
Humor in Early Islam bukan buku tentang lelucon, melainkan tentang kearifan dalam tertawa. Dan mungkin, di antara semua karyanya, inilah yang paling manusiawi. Jika Knowledge Triumphant atau Terjemahan Ibn Khaldûn adalah monumen bagi kejayaan akal Islam, maka Humor in Early Islam adalah taman kecil di sisinya—tempat Rosenthal mengajak kita duduk sejenak, tersenyum, dan berkata: “Ilmu yang benar tidak membuatmu kaku. Ia membuatmu memahami tawa sebagai bagian dari hikmah.”
Dalam sebuah resensi buku ini oleh Gert Borg (Radboud University Nijmegen, Belanda) dicatat bagaimana buku Humor dalam Islam Awal karya Franz Rosenthal, dengan pengantar Geert Jan van Gelder dalam edisi terbaru (Brill Classics in Islam: 6, Leiden & Boston: Brill, 2011), menyoroti sisi manusiawi dan “humanis” dari peradaban Islam awal, serta pentingnya humor sebagai elemen budaya yang sering terabaikan dalam kajian modern. Meskipun karya ini pertama kali diterbitkan pada 1956, relevansinya tetap kuat, dan pengantar baru oleh Van Gelder memberikan perspektif segar yang menambah pemahaman pembaca.
Buku ini menantang anggapan umum yang jarang mengaitkan humor dengan Islam; dalam media modern, citra Islam sering dikaitkan dengan ketegangan, kemarahan, atau konflik politik. Namun, Rosenthal menunjukkan bahwa sejarah budaya Muslim tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan humor, tawa, dan kegembiraan, yang menjadi bagian penting dari kehidupan sosial dan budaya pada masa awal Islam. Judul buku ini tepat karena mengaitkan humor dengan periode dan wilayah tertentu—“Islam Awal”—sehingga batasan geografis dan linguistik lebih jelas dibandingkan jika digunakan judul umum seperti “Humor Arab” atau “Humor di Dunia Muslim.”
Dalam pengantarnya, Van Gelder menekankan kompleksitas budaya Muslim dan keragaman ilmu pengetahuan Arab, di mana humor tidak hanya fenomena abstrak, melainkan memiliki konteks sosial dan intelektual yang kaya. Ia juga menyoroti kesulitan lintas budaya dalam memahami lelucon, karena humor sering tergantung pada pengetahuan konteks budaya dan referensi tertentu.
Rosenthal memusatkan bahasannya pada kisah Asy'ab ibn Jubayr (w. 154/771), seorang humoris dan penyanyi Madinah yang terkenal karena keserakahannya. Buku ini membagi biografi Asy'ab menjadi dua aspek: riwayat historis dan legenda yang menyertainya, serta membahas lelucon politik, agama, ritual, dan anti-klerekal, banyak di antaranya berlatar perkotaan dan masih relevan secara budaya hingga kini.
Meskipun tidak semua kisah lucu, mereka tetap menambah pemahaman tentang kehidupan sosial dan budaya Arab awal. Buku ini juga menyinggung isu teknis seperti isnad dalam cerita, yang kadang mengalihkan perhatian dari inti humor, dan ditutup dengan lampiran tentang teori tawa dari tradisi Yunani, Kristen awal, dan Arab, serta indeks kata-kata langka yang bermanfaat untuk studi teks-teks sejenis (Gert Borg, “Resensi: Humor in Early Islam,” Studies in Islamic Culture, Vol. 4, No. 1 (Musim Dingin/Musim Semi 2013): 95-97).
Membaca kembali Humor in Early Islam hari ini seperti menyusuri wajah lain dari peradaban Islam—wajah yang hangat, terbuka, dan manusiawi. Rosenthal menulis bukunya pada pertengahan abad ke-20, ketika studi Islam di Barat masih didominasi oleh minat terhadap teologi, hukum, dan filsafat, namun nyaris tidak menyentuh aspek keseharian umat Muslim. Dengan memilih tema yang “ringan” seperti humor, Rosenthal sebenarnya sedang melakukan langkah ilmiah yang berani: ia menolak melihat Islam semata sebagai sistem doktrin, melainkan juga peradaban yang hidup dan tersenyum.
Humor dalam Tinjauan Qur'an, Hadis, dan Kesarjanaan Muslim
Rosenthal menegaskan bahwa tawa bukanlah sesuatu yang di luar etika or agama pada tradisi Islam awal, melainkan bagian dari kehidupan sosial dan spiritual yang teratur; humor berfungsi sebagai cermin moral yang menegur tanpa melukai (Rosenthal, 1956).
Hal ini selaras dengan sikap Al-Qur’an yang mengatur tata tutur dan menghentikan olok-olok: Allah memperingatkan agar kaum beriman tidak saling mengejek atau merendahkan satu sama lain (Q.S. al-Hujurāt:11), yang memberi dasar normative bahwa humor boleh ada sepanjang tidak melecehkan atau memecah persaudaraan. Di sisi lain, sunnah menunjukkan bahwa Nabi Saw. bukan figur yang kaku tanpa senyum; beliau tersenyum dan sesekali bercanda dengan para sahabat, bahkan menyatakan bahwa tersenyum pada saudaramu adalah sedekah (tahlīl dari riwayat-riwayat tentang senyum Nabi; lihat Jamiʻ at-Tirmidhī). Sikap ini mendukung pembacaan Rosenthal: humor yang sopan dapat menjadi sarana kasih sayang dan pelonggaraan jiwa (Tirmidhī, t.t.; lihat juga periwayatan tentang senyum Nabi pada Anas bin Mālik).
Para sahabat dan tabi‘in juga memberi contoh bagaimana kelucuan dapat hadir dalam kehidupan beragama tanpa merusak keseriusan ibadah; misalnya riwayat-riwayat yang mencatat percakapan ringan Nabi dengan sahabat (Ash-Shama’il; lihat riwayat tentang Nabi yang bercanda tetapi tetap berkata benar) yang kerap dipakai ulama untuk menegaskan batas-batas humor: boleh, namun tidak berdusta atau menghina. Aturan hadits lain menegaskan larangan berdusta demi membuat orang tertawa—peringatan moral yang jelas bahwa bentuk humor yang menghalalkan dusta adalah tercela (hadits tentang “celaka orang yang berdusta untuk membuat orang tertawa”). Dengan demikian dasar-dasar tekstual Islam sama-sama membolehkan tawa yang terjaga dan melarang humor yang melanggar kebenaran atau martabat manusia (Sunnah.com; IslamQA; lihat juga Rosenthal, 1956, 10–12).
Dalam khazanah klasik, para sufi dan ahli adab mengembangkan etika tertawa (adab al-ḍaḥik). Al-Ghazālī, misalnya, membahas fungsi kelonggaran hati (tarwīḥ al-qulūb) dan memperingatkan agar tawa tidak menghilangkan rasa takut akan Tuhan—tawa harus melembutkan, bukan mematikan kehati-hatian spiritual (al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn).
Ibn ʿArabī dan pemikir-pemikir tasawuf lain memandang tawa juga sebagai rahmah yang memampukan manusia menghadapi kegundahan eksistensial; tawa, dalam beberapa ungkapan sufistik, adalah tanda pengakuan akan keterbatasan diri di hadapan Yang Maha Kuasa (lihat pemikiran sufistik dikompilasikan dalam karya-karya Ibn ʿArabī dan komentarnya). Rosenthal membaca semua ini sebagai aspek ma‘rifah yang membuat tradisi Islam seimbang: akal dan rasa, disiplin dan kelonggaran batin (Rosenthal, 1956, 60–86).
Di ranah adab dan sastra, penulis-penulis klasik seperti al-Jāḥiẓ, Abu al-Faraj al-Isfahānī (al-Aghānī), dan kumpulan anekdot (nawādir) merekam humor rakyat dan humor cendekia yang berfungsi mengkritik kebodohan, kikir, dan kemunafikan—bentuk satire sosial yang berbasis konteks moral. Rosenthal menafsirkan contoh-contoh ini bukan semata untuk hiburan, melainkan sebagai “data budaya” yang menyingkap struktur sosial dan nilai masyarakat (Rosenthal, 1956, 27–45). Klasik-klasik itu menampilkan dua batas penting: (1) humor sebagai koreksi sosial yang halus; (2) larangan menghina agama, merendahkan manusia, atau berdusta demi tawa.
Kajian modern tentang simbol, ritual, dan humor menguatkan pembacaan Rosenthal: studi antropologi simbolik seperti Clifford Geertz menunjukkan bagaimana praktik budaya (termasuk humor) memediasi makna sosial dan membangun kohesi simbolik; kajian media dan etika religius kontemporer (mis. Hirschkind) memperlihatkan bagaimana ekspresi-ekspresi emosional—termasuk canda—bekerja dalam ranah publik keagamaan untuk mengatur moralitas dan relasi sosial (Geertz, 1973; Hirschkind, 2006). Dalam studi-studi etnografi Muslim kontemporer, ditemukan bahwa humor masih dipakai sebagai alat coping, kritik sosial, dan penguatan solidaritas—sebuah resonansi yang memperlihatkan relevansi Rosenthal bagi studi kontemporer.
Dengan demikian, pembacaan Rosenthal tentang humor dalam Islam abad pertengahan berdiri pada fondasi tekstual dan historis yang kuat: Al-Qur’an dan Sunnah menetapkan prinsip-prinsip adab; sahabat dan tabi‘un memberi contoh keseharian; ulama-sufi mengembangkan etika tertawa yang halus; penulis adab merekam praktik kritik moral melalui lelucon; dan sarjana modern menemukan di situ lapisan makna yang relevan untuk hari ini. Rosenthal menempatkan humor bukan sebagai pengecilan wibawa agama, melainkan sebagai alat spiritual dan sosial—cara manusia menjaga kerendahan hati, meringankan beban, dan mengoreksi diri secara beradab (Rosenthal, 1956, 61, 83–86).
Penutup: Humor sebagai Kebijaksanaan yang Lembut
Dalam masyarakat yang kian tegang antara kesalehan dan fanatisme, humor sering dianggap ancaman. Namun Rosenthal seolah berbisik dari masa lalu: ketika tawa hilang dari ruang keagamaan, yang tersisa hanyalah kesombongan yang menyaru sebagai kesucian. Tawa yang dijaga oleh adab bukan sekadar canda, melainkan napas lembut yang menjaga manusia agar tetap rendah hati di hadapan Tuhannya.
Dalam renungannya, Rosenthal menyebut humor sebagai “the social soul of knowledge” — jiwa sosial dari ilmu pengetahuan. Ia menunjukkan bahwa ilmu sejati tidak membekukan manusia dalam dogma, tetapi menghangatkannya dalam empati. Dengan demikian, humor bukanlah kelalaian intelektual, melainkan bentuk kebijaksanaan yang lembut: cara mengetahui dunia tanpa kehilangan rasa kasih.
Membaca Humor in Early Islam di abad ke-21 terasa seperti meneguk air bening dari mata air lama — jernih, menyejukkan, dan menghidupkan. Di tengah kebisingan politik agama dan ideologi yang kaku, Rosenthal mengingatkan bahwa salah satu tanda peradaban Islam yang sehat ialah kemampuannya menertawakan diri tanpa kehilangan rasa hormat kepada Yang Maha Tinggi.
Mungkin di sanalah kebijaksanaan paling dalam dari karya kecil ini: bahwa tertawa, dalam makna spiritualnya, adalah bentuk tafakur — cara lain untuk mengenali kefanaan diri, dan di dalamnya, menemukan syukur yang paling murni.
Referensi
Al-Ghazālī, A.H. (2017). Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn. 5 vols. Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmîyah.
Al-Qur’an. (n.d.). Surat al-Ḥujurāt [49]:11.
Al-Tirmidzi, A. (2008). Al-Jāmiʿ al-mukhtaṣar min al-sunan ʿan Rasūlillāh wa maʿrifatu al-ṣaḥīḥ wa al-maʿlūl wa mā ʿalayhi al-ʿamal (Kitāb al-Fitan wa al-Malāḥim, Hadīth No. 2517). Riyadh: Maktabah al-Maʿārif.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early 'Abbasid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries). Routledge.
Borg, G. (2013). Resensi: Humor in Early Islam. Studies in Islamic Culture, 4(1), 95–97.
IslamQA. https://islamqa.info/
Hirschkind, C. (2006). The Ethical Soundscape: Cassette Sermons and Islamic Counterpublics. Columbia University Press.
Ibn Khaldun. (2005). The Muqaddimah: An Introduction to History (F. Rosenthal, Trans.; Bollingen Series, Vol. 43). Princeton University Press.
Rosenthal, F. (1956). Humor in Early Islam. Leiden: E. J. Brill.
Rosenthal, F. (2011). Humor in Early Islam. Pengantar Geert Jan van Gelder. Leiden & Boston: Brill.
Rosenthal, F. (1968). Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Brill.
Rosenthal, F. (1970). The Classical Heritage in Islam. Routledge & Kegan Paul.
Rosenthal, F. (1971). Man versus Society in Medieval Islam. Brill.
Rosenthal, F. (1990). The Muslim Concept of Freedom Prior to the Nineteenth Century. Brill.
-Cikarang, 26-10-2025

Komentar
Posting Komentar