Hegel tentang Fenomonologi Jiwa

 

Cak Yo

Kopi yang masih panas mengepul disajikan istriku. Asapnya menipis perlahan, tetapi hawa hangatnya masih terasa di udara yang mulai malam. Di saung kecil di halaman rumah, waktu seakan berhenti. Tidak ada suara serangga malam dan desir angin juga enggan datang. Di lantai, sebuah buku tebal terbuka di bagian pengantar. Halaman-halamannya penuh istilah yang rumit dan kalimat yang berputar seperti tangga spiral tanpa ujung. Judulnya saja sudah terasa berat di lidah: The Phenomenology of Spirit karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel (edisi asli bahasa Jerman: Phänomenologie des Geistes, Leipzig: Joseph Anton Goebhardt, 1807; edisi Inggrisnya diterjemahkan dengan analisis teks oleh A.V. Miller, Oxford University Press, 1977). Buku itu bukan bacaan ringan; ia adalah batu ujian bagi siapa pun yang mencoba memahami jalan pikiran filsafat modern.

Namun, kata “spirit” dalam judulnya sering disalahpahami oleh pembaca Timur. Ia tidak identik dengan ar-rūḥ dalam pengertian Islam atau tasawuf. Bukan seperti Kitāb al-Rūḥ karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang berbicara tentang hakikat ruh dan kehidupan setelah mati, atau Hādī al-Arwāḥ ilā Bilād al-Afrāḥ, yang menggambarkan perjalanan ruh menuju negeri kebahagiaan. “Spirit” dalam pengertian Hegel bukanlah entitas rohaniah yang ditiupkan Tuhan ke dalam jasad manusia, melainkan kesadaran yang tumbuh, bergerak, dan berevolusi melalui sejarah manusia. Ia bukan “ruh” dalam makna religius atau spiritual, melainkan “jiwa” dalam makna filosofis — jiwa yang berpikir, merefleksikan dirinya sendiri, dan membangun dunia melalui kesadaran.

Di Barat, kata spirit telah lama melepaskan diri dari makna sakralnya. Ia bukan lagi napas ilahi yang menandai kehidupan, melainkan konsep yang dipahami secara rasional dan historis. Dalam Phenomenology of Spirit, Hegel berbicara tentang perjalanan kesadaran manusia dari tahap paling sederhana — kesadaran akan dunia di luar diri — menuju kesadaran akan dirinya sendiri, dan akhirnya mencapai kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari keseluruhan semesta. Itulah “roh” dalam pengertian Hegel: kesadaran universal yang melalui perjalanan panjang untuk mengenal dirinya secara mutlak.

Menariknya, karya besar ini lahir dari keputusasaan. Ketika menulis Phenomenology of Spirit pada tahun 1806 hingga awal 1807, Hegel hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Ia bukanlah seorang akademikus yang hidup dalam kenyamanan dan kestabilan finansial, melainkan seorang Privatdozent — dosen bebas di Universitas Jena yang menggantungkan hidupnya pada dukungan kecil dari lingkungan dan sisa warisan ayahnya yang telah meninggal. Pada saat itu, ia berusia tiga puluh tujuh tahun, tidak memiliki pekerjaan tetap, dan sedang menanti kelahiran anaknya yang lahir di luar nikah. Kota Jena sendiri tengah dilanda kekacauan akibat perang Napoleon. Namun, di tengah keterhimpitan itulah, Hegel menulis buku yang kelak dianggap sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern.

Buku ini, sebagaimana diakuinya sendiri, merupakan “perjalanan penemuan” — bukan sekadar perjalanan intelektual, melainkan juga eksistensial. Ia menulis bukan karena ambisi pribadi, tetapi karena keyakinan bahwa dunia Eropa modern membutuhkan sebuah sintesis baru antara akal dan sejarah. Menurut Hegel, kesadaran manusia telah tercerai-berai setelah masa Pencerahan dan Revolusi Prancis; melalui Phenomenology of Spirit, ia ingin menunjukkan bagaimana kesadaran manusia dapat menemukan kembali dirinya, bukan dengan melarikan diri dari dunia, tetapi dengan memahami dunia secara total.

Konsep “jiwa” sendiri memiliki riwayat panjang dalam sejarah filsafat. Di masa Yunani kuno, Plato memahami jiwa (psyche) sebagai entitas abadi yang terperangkap dalam tubuh. Ia adalah bagian dari dunia ide yang sempurna dan hanya dapat mencapai kebenaran sejati ketika melepaskan diri dari belenggu material. Sementara itu, Aristoteles dalam De Anima menganggap jiwa bukan sesuatu yang terpisah dari tubuh, melainkan bentuk (form) dari kehidupan itu sendiri — prinsip yang menjadikan makhluk hidup sebagai makhluk hidup.

Dalam tradisi filsafat Islam, para filsuf besar seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes) memberikan sumbangan penting terhadap konsep jiwa. Konsep jiwa ("al-nafs") dalam filsafat Ibn Sīnā, misalnya, menempati posisi sentral dalam sistem metafisikanya. Jiwa, menurutnya, merupakan substansi immaterial yang menjadi penggerak tubuh, tetapi eksistensinya tidak bergantung pada materi. Jiwa diciptakan langsung oleh Tuhan dan berperan sebagai prinsip kehidupan. Ibn Sīnā membaginya ke dalam tiga tingkatan: "jiwa nabātīyah", yang berfungsi untuk tumbuh dan berkembang; "jiwa ḥayawānīyah", yang berkaitan dengan persepsi dan gerak; serta "jiwa nāṭiqah", yang memungkinkan manusia memahami hakikat universal dan berhubungan dengan "al-ʿaql al-faʿʿāl" (akal aktif). Dalam Kitāb al-Shifāʾ (Dār al-Maʿārif, 1952), ia menegaskan bahwa jiwa rasional bersifat abadi dan kebahagiaan sejati (al-saʿādah al-ḥaqīqiyyah) hanya dapat dicapai melalui pembebasan jiwa dari keterikatan dunia materi. Sementara dalam Aḥwāl al-Nafs (Dār al-Nahḍah al-ʿArabīyah, 1970), ia menguraikan bahwa kesempurnaan jiwa dicapai melalui penyatuan antara daya pikir, imajinasi, dan moralitas, yang pada akhirnya membawa jiwa menuju pencerahan intelektual dan spiritual.  Dalam Kitāb al-Nafs (bagian dari al-Shifāʾ), menyatakan bahwa jiwa manusia adalah substansi rohaniah yang bersifat immaterial namun berhubungan erat dengan tubuh. Ia memperkenalkan argumen terkenal tentang “manusia terbang” (flying man argument) untuk membuktikan kesadaran diri tanpa kehadiran tubuh. Jiwa, baginya, adalah cermin kesadaran yang dapat mengenal dirinya tanpa perantara. 

Berbeda dari Ibn Sīnā, al-Kindī  dalam Risālah fī al-Nafs (Maktabat al-Maʿārif, 1950) memandang jiwa sebagai entitas cahaya ilahiah yang berasal dari dunia atas dan sementara terperangkap dalam tubuh manusia. Jiwa harus dibersihkan dari pengaruh materi melalui filsafat dan amal kebajikan agar dapat kembali ke asalnya. Adapun al-Fārābī, dalam Risālah fī al-ʿAql (Dār al-Mashriq, 1983) dan Kitāb Ārāʾ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Dār al-Mashriq, 1986), menekankan dimensi rasional dari jiwa dengan membangun teori hierarki akal—dari "al-ʿaql bi al-quwwah" hingga "al-ʿaql al-faʿʿāl"—sebagai proses kenaikan intelektual manusia. Pandangan serupa tentang jiwa juga ditemukan pada Ikhwān al-Ṣafāʾ, yang dalam Rasāʾil Ikhwān al-Ṣafāʾ (Dār Ṣādir, 1957) menggambarkan jiwa sebagai entitas kosmik yang berasal dari dunia akal, lalu turun ke alam materi untuk diuji, dan harus kembali ke kesempurnaan asalnya melalui ilmu dan kebajikan. Sementara itu, Abū Bakr al-Rāzī dalam Al-Ṭibb al-Rūḥānī (Dār al-Andalus, 1950) menyoroti aspek moral dan terapeutik jiwa, dengan menekankan bahwa keseimbangan antara akal dan nafsu adalah kunci kesehatan spiritual.

Dari keseluruhan pemikiran tersebut, tampak bahwa Ibn Sīnā berhasil mensintesiskan tiga kecenderungan besar dalam filsafat Islam klasik: spiritualisme ilāhīyah al-Kindī, rasionalisme kosmologis al-Fārābī, dan etika penyucian jiwa ala Ikhwān al-Ṣafāʾ, menjadi satu sistem metafisika yang komprehensif dan bernuansa mistik-filosofis. Pandangan ini kemudian memengaruhi filsafat skolastik Latin dan bahkan para pemikir Eropa abad pertengahan seperti Thomas Aquinas, yang menggabungkan teologi Kristen dengan logika Aristoteles dan metafisika Ibn Sīnā.

Memasuki zaman modern, René Descartes mengubah orientasi pembahasan tentang jiwa menjadi persoalan subjek dan kesadaran. Dalam Meditationes de Prima Philosophia (1641), ia memulai dengan premis “Cogito ergo sum” — aku berpikir, maka aku ada. Jiwa atau mind menjadi pusat eksistensi manusia, sumber segala pengetahuan dan kepastian. Namun, Immanuel Kant, dalam Kritik der reinen Vernunft (1781), menolak pandangan bahwa jiwa dapat diketahui sebagai substansi metafisik. Bagi Kant, jiwa hanyalah bentuk kesadaran yang menyatukan pengalaman melalui kategori-kategori akal budi. Ia bukan objek pengetahuan, melainkan kondisi kemungkinan bagi pengetahuan itu sendiri.

Dari titik inilah Hegel berangkat. Ia menolak dikotomi Descartes antara jiwa dan dunia, antara subjek dan objek. Dalam pandangannya, kesadaran tidak mungkin berdiri sendiri, karena ia selalu terlibat dalam proses sejarah dan interaksi sosial. Jiwa atau spirit bagi Hegel bukanlah “sesuatu” yang sudah jadi, melainkan gerak yang menempuh jalan dialektis: dari kesadaran (yang menyadari dunia luar), menuju kesadaran diri (yang menyadari dirinya melalui yang lain), lalu menuju semangat (Geist) kolektif yang mewujud dalam budaya, etika, dan negara.

Pandangan ini kemudian diteruskan dan ditafsir ulang oleh banyak pemikir setelahnya. Martin Heidegger, misalnya, dalam Sein und Zeit/Being and Time (1927) menggeser pembicaraan tentang “jiwa” menjadi soal keberadaan (Dasein) — manusia yang “berada-di-dunia” dan sadar akan kefanaannya. Sementara itu, Jean-Paul Sartre memandang kesadaran sebagai kebebasan radikal yang menolak segala esensi yang telah ditentukan. Dalam dunia psikoanalisis, Sigmund Freud dan Carl Jung membawa pembahasan jiwa ke wilayah bawah sadar dan simbol arketipal, menyingkap lapisan-lapisan terdalam yang sebelumnya tak terpikirkan oleh para filsuf rasionalis.

Kembali ke Hegel. Membuka halaman pertama The Phenomenology of Spirit  terasa seperti melangkah ke hutan yang sunyi. Pohon-pohonnya adalah konsep-konsep besar, dan setiap cabang berkelok menantang pembaca yang terbiasa berjalan di jalan lurus logika. Buku ini dimulai bukan dengan ajaran, tapi dengan perjalanan — bukan tentang dunia, melainkan tentang kesadaran manusia itu sendiri. Dalam Kata Pengantar  panjang dari J.N. Findlay, Hegel seolah memperingatkan: tidak ada jalan pintas menuju kebenaran. Setiap pengetahuan harus ditempa oleh pengalaman. Ia menulis, pengetahuan sejati bukan yang langsung hadir di depan mata, melainkan yang lahir dari gerak dialektika: dari penyangkalan, konflik, lalu penyatuan di tingkat yang lebih tinggi.

Setelah pengantar itu, buku mulai menelusuri lapisan-lapisan kesadaran, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Di bagian Consciousness, Hegel berbicara tentang kesadaran yang baru belajar melihat dunia: bagaimana manusia pertama-tama mengenal kenyataan melalui pancaindra. Tapi, seperti anak kecil yang baru belajar bicara, kesadaran ini belum bisa membedakan mana yang unik dan mana yang umum. Ia terjebak pada yang konkret, tetapi juga tidak bisa lepas dari yang abstrak. Dunia indrawi, yang tampak sederhana, ternyata menyembunyikan jurang kontradiksi. Maka, kesadaran harus naik tingkat menjadi Perception, lalu Understanding — memahami bahwa di balik benda-benda, ada hukum dan kekuatan yang membuat segala sesuatu bekerja. Seperti ilmuwan yang meneliti alam, kesadaran mulai curiga bahwa di balik warna dan bentuk, ada struktur yang lebih dalam.

Namun di situ pula muncul kesadaran baru: bahwa segala pengamatan pada akhirnya tak berarti tanpa “aku” yang mengamati. Maka dimulailah bab Self-Consciousness. Inilah bagian yang paling terkenal, terutama lewat alegori “Tuan dan Budak”. Dua kesadaran bertemu, saling menguji, saling menantang. Yang satu berkuasa, yang lain tunduk — tapi justru yang tunduk, melalui kerja dan refleksi, akhirnya mengenal dirinya dengan lebih mendalam. Dari sinilah lahir gagasan bahwa kesadaran diri tidak muncul dalam kesendirian, melainkan lahir dalam relasi dan konflik. Tak ada “aku” tanpa “yang lain”.

Hegel kemudian membawa kita ke tahap berikutnya: Reason. Setelah manusia sadar akan dirinya, ia mulai menggunakan akal untuk menata dunia. Di sini muncul idealisme modern — keyakinan bahwa dunia bisa dijelaskan secara rasional, bahwa setiap sesuatu tunduk pada hukum nalar. Tapi Hegel tidak berhenti di sana. Baginya, akal murni tak cukup; akal juga harus mengenal batasnya. Dunia tidak selalu berjalan sesuai logika manusia. Maka reason yang terlalu percaya diri justru terperangkap oleh dirinya sendiri, dan harus mencari makna di luar ruang pikirannya.
Lalu muncullah Spirit — roh, atau mungkin lebih tepat: jiwa kolektif. Di sinilah kesadaran individu bergabung menjadi kesadaran sosial. Manusia tak lagi hanya berpikir tentang dirinya, melainkan hidup dalam kebiasaan, etika, dan institusi bersama. Spirit adalah semangat zaman: ia berbicara lewat bahasa, hukum, seni, dan moralitas. Dalam bagian ini, Hegel menulis dengan kehangatan seorang sejarawan dan ketelitian seorang teolog. Ia percaya bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan peristiwa, tapi perjalanan ruh umat manusia untuk mengenal dirinya sendiri.

Bagian berikutnya, Religion, memperlihatkan bagaimana semangat itu mengambil bentuk kepercayaan. Bagi Hegel, agama adalah tahap di mana kesadaran berusaha memahami kebenaran mutlak melalui simbol dan imajinasi. Dalam agama-agama awal, manusia menyembah alam; dalam agama seni, manusia menggambarkan Tuhan dengan wajah dan bentuk; hingga akhirnya dalam agama wahyu — terutama Kristen, menurut Hegel — kesadaran menyadari bahwa yang ilahi hadir dalam manusia itu sendiri. Namun agama masih bekerja dengan gambaran dan metafora. Kebenaran sejati, kata Hegel, baru bisa tercapai ketika simbol-simbol itu diserap oleh pikiran.

Maka tibalah kita di bagian terakhir: Absolute Knowing. Di sini kesadaran mencapai puncaknya. Subjek dan objek menyatu. Dunia dan pikiran tidak lagi terpisah, karena kesadaran memahami bahwa seluruh perjalanan yang dilaluinya — dari penglihatan indrawi hingga iman — adalah bagian dari dirinya sendiri. Kebenaran bukan sesuatu di luar sana, tetapi proses panjang di dalam diri manusia. Dalam puncak ini, Hegel seperti menutup lingkaran besar: kesadaran telah melalui dunia, hanya untuk menemukan dirinya sebagai dunia itu sendiri.

Bila dibaca pelan-pelan, Phenomenology of Spirit terasa seperti autobiografi jiwa manusia. Dari anak kecil yang heran pada warna bunga, menjadi pemikir yang ragu pada pikirannya sendiri, lalu menjadi warga dunia yang memahami bahwa kebebasan sejati hanya lahir dari pengakuan terhadap yang lain. Dalam dunia yang serba cepat hari ini, mungkin inilah pelajaran yang paling sederhana dari Hegel: bahwa perjalanan menuju kebenaran tidak pernah instan, dan kesadaran yang sejati hanya tumbuh dari pengalaman yang dijalani dengan sabar.

Sambil membaca buku di malam Jumat yang sepi sedikit dihangatkan dengan kedatangan saudara-saudara yang biasa ngopi bareng. Sesekali bunyi kendaraan berat menderu diselingi suara motor dan mobil-mobil kecil  dari jalan raya, menandai malam yang semakin menjauh dari sore. Namun, di kepala, satu kalimat dari Hegel terus berputar: bahwa kesadaran, agar sampai pada kebenaran, harus menempuh seluruh pengalaman dunia.

Mungkin di situlah letak perbedaan paling mendasar antara ruh dalam pandangan para sufi dan spirit dalam filsafat Hegel. Ruh para sufi ingin kembali kepada asalnya — menuju Tuhan yang menjadi sumber segala keberadaan. Sedangkan spirit Hegel ingin memahami seluruh perjalanan dirinya di dunia, memahami setiap langkah dan kesalahannya, hingga akhirnya menyadari bahwa ia, dunia, dan pikiran adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Dan pada titik itulah, di antara kopi yang mulai mendingin dan halaman buku yang belum selesai dibaca, kesunyian malam berubah menjadi ruang renung. Antara Timur dan Barat, antara ruh yang ingin pulang dan spirit yang ingin memahami, manusia tetap mencari makna dirinya — di antara waktu, sejarah, dan kesadaran yang terus berputar tanpa akhir.

Dan akhirnya, membaca berapa pun banyaknya buku, disadarkan oleh firman Tuhan dalam Qur’an Suci, pengetahuan manusia tentang roh atau jiwa itu hanyalah secuil saja. Itupun mungkin hanya “yang di permukaan saja.” Mungkin itu sebabnya judul buku Hegel Phenomenology of Spirit, bukan The Essence of Spirit, bukan hakikatnya. Karena barangkali ia sadar bahwa tentang itu, iapun tidak tahu.
Dan di situlah kerendahan hati seorang pemikir besar diuji. Ia tidak menulis tentang "hakikat", karena hakikat bukan milik manusia. Ia hanya mencoba menyingkap fenomenanya — bagaimana roh menampakkan diri, bergerak, berubah, mencari dirinya sendiri di tengah sejarah, kesadaran, dan dunia. Dalam bahasa yang lain, Hegel menulis tentang perjalanan jiwa yang berusaha mengenali bayangannya sendiri, dalam kaca sejarah dan nalar. Ia seperti seseorang yang berdiri di depan cermin besar dan melihat bukan wajahnya, tapi gerak pikir yang berusaha mengerti siapa dirinya.

Namun setiap kali sampai pada kesimpulan, cermin itu berkabut lagi. Ada yang tak tertangkap, tak bisa dijelaskan oleh logika, tak bisa dirangkum oleh sistem. Mungkin itulah sebabnya Al-Qur’an berkata: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. al-Isrā’: 85).

Ayat itu seperti menutup lingkaran panjang dari dialog antara filsafat dan wahyu. Dari para pemikir Yunani yang memandang jiwa sebagai psyche — prinsip kehidupan yang membuat manusia bergerak dan berpikir — sampai para filsuf Muslim seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā yang membedahnya dalam kerangka akal aktif dan potensial, semuanya berusaha menyingkap sesuatu yang, pada akhirnya, tetap misteri. Ibn ‘Arabī bahkan melangkah lebih jauh: roh baginya adalah nafas Ilahi, “nafas ar-Rahman,” yang terus mengalir dalam segala wujud. Maka, mempelajari jiwa bukan sekadar persoalan intelektual, tapi ziarah ke dalam rahasia Tuhan yang menitis dalam diri manusia.

Di Barat, perjalanan itu diteruskan oleh Descartes dengan “Cogito ergo sum” — aku berpikir maka aku ada — seakan-akan kesadaran menjadi bukti keberadaan. Tapi bagi Kant, kesadaran bukan sekadar bukti, melainkan struktur yang memungkinkan pengetahuan. Lalu datang Heidegger, yang membalik semua itu: manusia bukan sekadar subjek yang berpikir, melainkan Dasein, keberadaan yang selalu dalam dunia, selalu gelisah karena tahu ia menuju ketiadaan.

Dan Hegel? Ia memandang roh bukan entitas diam, melainkan proses — sejarah yang berpikir, kesadaran yang berkembang, pengalaman yang menumbuhkan diri menuju pengetahuan absolut. Tapi seperti semua peziarah, mungkin ia tahu bahwa setiap langkah menuju “absolut” selalu berakhir di tepi misteri.

Maka barangkali benar, pengetahuan tentang roh hanyalah “sedikit.” Tapi justru dari yang sedikit itulah manusia menulis, menafsir, dan bertanya — tentang dirinya, tentang Tuhannya, tentang makna menjadi ada. Sebab tanpa bertanya tentang roh, manusia barangkali hanya tubuh tanpa arah, berjalan tapi tak tahu kemana.
Inilah mungkin yang dimaksud Hegel dengan fenomenologi: perjalanan panjang roh yang menatap dirinya sendiri, tapi selalu di antara cahaya dan bayangan.
-Pageland, 16-10-2025


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid