Dari Nyala Api Akademik ke Ibadah Ilmiah: Spirit, Nilai, dan Peta Jalan Penulisan Tesis Mahasiswa Pascasarjana

Yoyo Hambali*

Pengantar: Dari Percakapan Medsos ke Kesadaran Akademik

Saya selalu berusaha mengikuti perkembangan mahasiswa sarjana dan pascasarjana STEBI Global Mulia, termasuk di grup WhatsApp mereka. Grup itu kadang seperti ruang kecil yang riuh oleh notifikasi, tetapi di sanalah denyut kehidupan akademik kampus terasa paling nyata. Kemarin, dalam perjalanan takziah ke Ciamis—ketika jalan menurun, mendaki, berkelok, dan udara dingin menembus kaca mobil—saya membuka grup mahasiswa pascasarana sekadar ingin tahu. Namun yang saya temukan bukan obrolan ringan, melainkan percakapan serius tentang judul tesis. Ya, mahasiswa semester pertama pascasararjana sudah ramai membicarakan tema penelitian, bahkan sudah menulis banyak judul tesis mereka.

Saya tertegun dan terharu. Biasanya, semangat semacam ini baru muncul setelah semester kedua atau bahkan ketiga. Tapi mereka berbeda—antusias, ingin cepat melangkah, dan sudah menatap kemungkinan publikasi di jurnal nasional maupun internasional. Sebagai bagian dari manajemen dan dosen, saya tahu betapa sulitnya menyalakan api akademik semacam ini. Maka di tengah perjalanan itu, saya tersenyum kecil dan berpikir: “Api ini harus dijaga.”

Sebagai respon spontan, pagi harinya, saya pun mengirimkan beberapa buku ke grup itu. Empat buku yang pernah menjadi teman setia saya dalam perjalanan menulis tesis dan disertasi—bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga bagi para dosen pembimbing yang ingin terus belajar. Buku-buku itu adalah How to Write a Thesis karya Rowena Murray (2006), Writing a Scientific-Style Thesis: A Guide for Graduate Research Students karya Dermot Burns (2017), Guide for Thesis and Academic Writing dari Centria University of Applied Sciences (2016), dan How to Write a Philosophy Paper karya James S. Stramel (1995). Empat buku dari empat dunia yang berbeda, namun semuanya berbicara tentang hal yang sama: bagaimana menulis dengan disiplin, kejelasan, dan integritas.

Dari Murray ke Stramel: Peta Jalan Menulis Tesis dengan Integritas dan Kejernihan

Menulis tesis bukan sekadar menyusun bab demi bab menuju kelulusan; ia adalah proses menemukan cara berpikir yang jernih, disiplin, dan berintegritas. Empat buku utama—How to Write a Thesis karya Rowena Murray (2006), Writing a Scientific-Style Thesis karya Dermot Burns (2017), Guide for Thesis and Academic Writing terbitan Centria University of Applied Sciences (2016), dan How to Write a Philosophy Paper karya James S. Stramel (1995)—menawarkan panduan yang saling melengkapi dalam membentuk kebiasaan menulis yang ilmiah sekaligus bermakna. Dari Murray hingga Stramel, terbentang satu benang merah: bahwa menulis adalah latihan berpikir dan latihan kejujuran. Murray mengajarkan kedisiplinan dan refleksi diri; Burns menegaskan struktur dan logika ilmiah; Centria menekankan etika dan keteraturan akademik; sedangkan Stramel mengasah kejelasan argumen dan nalar kritis. Bersama-sama, keempatnya membentuk peta jalan yang menuntun mahasiswa pascasarjana untuk menulis bukan sekadar memenuhi syarat akademik, tetapi menapaki perjalanan intelektual menuju integritas dan kejernihan.

Rowena Murray menulis How to Write a Thesis seperti seorang mentor yang sabar menemani mahasiswa di tengah rasa takut dan keraguan (Murray, 2006). Bab pertamanya, How to Write 1000 Words an Hour, cukup mengguncang. Murray tidak sedang bicara tentang kecepatan, melainkan tentang konsistensi. Menurutnya, menulis sedikit tetapi rutin lebih berharga daripada menulis banyak tetapi jarang. Ia menulis dengan empati terhadap mahasiswa yang sering menunda karena takut salah. Murray seolah berbisik: “Menulis adalah berpikir yang terlihat.” Kata-kata itu sering saya ulang di kelas, terutama ketika mahasiswa berkata bahwa mereka belum siap menulis karena “datanya belum cukup.” Padahal, menulis itu sendiri bagian dari proses berpikir. Dengan menulis, kita menemukan arah dan kejernihan.

Yang saya sukai dari buku Murray adalah caranya menyusun langkah-langkah praktis tanpa kehilangan kedalaman. Ia memberi checklist, prompts, dan reflection questions di setiap bab, seolah menuntun pembaca untuk berdialog dengan diri sendiri. Ada satu bagian yang sangat relevan dengan mahasiswa kita: tentang pentingnya peer support. Murray percaya menulis bukan perjalanan soliter; mahasiswa perlu komunitas—kelompok kecil tempat mereka berbagi naskah dan memberi umpan balik. Mungkin inilah yang sedang tumbuh di grup WhatsApp itu: benih kecil sebuah writers’ community di kampus kita.

Buku Writing a Scientific-Style Thesis karya Dermot Burns (2017) menawarkan pendekatan yang lebih sistematis, bahkan cenderung matematis. Burns, dari National University of Ireland, Galway, dikenal dengan ketelitian dalam logika ilmiah. Namun di balik ketegasannya, terselip pesan universal: menulis ilmiah berarti menyampaikan pemikiran dengan jernih dan bertanggung jawab. Ia menekankan empat prinsip utama: kejelasan (clarity), konsistensi (consistency), objektivitas (objectivity), dan keterbacaan (readability). Dalam pandangannya, tesis yang baik bukan hanya berisi data, tetapi juga argumen yang tersusun secara logis dan dapat diuji. Ia bahkan menyebut setiap bagian tesis—dari abstract hingga discussion—sebagai “bab dari sebuah kisah ilmiah”.

Saya sangat menyukai gagasan ini. Burns mengubah pandangan terhadap tesis: bukan sekadar laporan formal, tetapi kisah intelektual yang harus mengalir dan masuk akal. Ini sangat relevan bagi mahasiswa Ekonomi Syariah, yang sering kali harus menjembatani antara teks normatif dan analisis empiris. Burns membantu kita merajut keduanya dalam satu narasi ilmiah yang koheren dan elegan.

Dari Finlandia, Guide for Thesis and Academic Writing (Centria University of Applied Sciences, 2016) tampak sederhana—penuh format kutipan dan aturan teknis—namun justru di situlah nilainya. Buku ini berbicara dengan nada moral yang kuat: menulis adalah bagian dari integritas akademik. Plagiarisme, sekecil apa pun, adalah bentuk ketidakjujuran ilmiah. Dalam konteks pendidikan tinggi Islam, pesan ini terasa sangat spiritual: menulis adalah amanah, sebuah tanggung jawab intelektual yang tidak bisa diremehkan (Centria University, 2016).

Buku ini juga menekankan pentingnya academic literacy: kemampuan membaca kritis, berpikir jernih, dan menulis dengan kesadaran penuh. Saya sering membayangkan buku seperti ini diterjemahkan dan dijadikan pedoman resmi penulisan tesis di STEBI Global Mulia. Sebab di balik semua panduan teknisnya, ada pesan moral yang dalam: menulis adalah cermin kejujuran berpikir.

Buku keempat, How to Write a Philosophy Paper karya James S. Stramel (1995), mungkin paling sederhana—hanya sekitar 70 halaman—namun sarat makna. Stramel menulis dengan gaya langsung dan lugas: rumuskan pertanyaan, jelaskan posisi Anda, uji argumen lawan, dan simpulkan dengan adil. Ia mengingatkan bahwa tulisan akademik pada hakikatnya adalah argumen, bukan deskripsi (Stramel, 1995).

Bagi mahasiswa Ekonomi Syariah, buku ini penting terutama dalam penulisan kerangka teoritik. Banyak mahasiswa terjebak pada uraian deskriptif yang panjang tanpa arah argumentatif. Stramel menegaskan, berpikir akademik adalah berpikir kritis. Tulisan ilmiah tidak diukur dari panjangnya halaman, tetapi dari ketajaman logika dan kejelasan posisi intelektual. Saya sering berkata di kelas: “Menulis tesis adalah berdialog dengan pikiran sendiri.” Stramel menegaskan hal yang sama: menulis berarti menguji keyakinan kita di hadapan logika dan bukti.

Keempat buku ini, jika dibaca bersamaan, sesungguhnya sedang berbicara tentang hal yang sama—discipline, integrity, and clarity of thought. Nilai-nilai yang bukan sekadar akademik, melainkan juga spiritual. Dari sudut fungsi dan manfaatnya, keempat buku ini dapat dipandang sebagai peta jalan bagi mahasiswa dan dosen dalam menumbuhkan nyala api akademik yang berkelanjutan. How to Write a Thesis karya Rowena Murray berfungsi sebagai panduan reflektif yang menanamkan kebiasaan menulis dengan disiplin dan kesadaran diri. Buku Writing a Scientific-Style Thesis karya Dermot Burns memberikan manfaat praktis dengan menegaskan struktur ilmiah, logika empiris, dan validitas metodologis yang menjadi tulang punggung setiap karya penelitian. Sementara How to Write a Philosophy Paper karya James S. Stramel membentuk kemampuan analitis dan nalar kritis mahasiswa, menuntun mereka untuk menulis dengan ketajaman argumentatif dan kejujuran berpikir. Adapun Guide for Thesis and Academic Writing terbitan Centria University of Applied Sciences berfungsi sebagai rujukan institusional yang menjaga keseragaman format, gaya akademik, dan etika penulisan dalam bingkai internasional.

Jika diibaratkan, keempatnya seperti empat penjuru yang menjaga keseimbangan proses penulisan: Murray memberi jiwa, Burns memberi kerangka, Stramel memberi arah berpikir, dan Centria memberi tata bentuk. Melalui fungsi-fungsi ini, nyala api akademik tidak hanya menyala di ruang baca dan laboratorium, tetapi juga dalam hati setiap penulis yang menjadikan tulisan sebagai jalan pengabdian ilmiah.

Menulis Tesis sebagai Spirit Intelektual dan Praktik Ilmiah

Buku-buku penting dalam tradisi penulisan akademik modern di atas—menawarkan fondasi metodologis dan filosofis yang berbeda, tetapi saling melengkapi dalam membentuk tradisi penulisan ilmiah di tingkat pascasarjana. Keempatnya mewakili empat horizon: Murray dengan pendekatan humanistik dan reflektif, Burns dengan sistematika ilmiah yang ketat, Centria UAS dengan panduan institusional yang normatif, dan Stramel dengan rasionalitas filosofis yang kritis. Keempat buku ini dapat dibaca sebagai satu kesatuan wacana tentang bagaimana mahasiswa dan peneliti tidak hanya menulis untuk lulus, tetapi membangun struktur berpikir ilmiah yang matang dan etis. Dari titik inilah berbagai buku lain tentang penulisan akademik dapat dipahami—sebagai percakapan lintas disiplin mengenai praktik menulis yang tidak pernah berhenti berevolusi.

Menulis tesis sering kali menjadi perjumpaan paling sunyi antara intelektualitas dan kesabaran. Dalam sunyi itu, sederet buku menjadi penuntun bagi para penulis akademik untuk tidak tersesat di rimba metodologi dan logika ilmiah. Di antara panduan yang paling sering direkomendasikan, karya Rowena Murray, How to Write a Thesis (3rd ed. Maidenhead: Open University Press, 2006) tampil seperti sebuah “kitab pegangan” bagi mahasiswa pascasarjana yang mencari keseimbangan antara disiplin menulis dan refleksi diri. Murray tidak hanya menawarkan teknik menulis yang sistematis, tetapi juga strategi mengelola waktu, motivasi, dan tekanan psikologis selama menulis. Pendekatannya yang humanistik menekankan bahwa menulis tesis bukan sekadar proses intelektual, melainkan juga perjalanan eksistensial—menemukan suara akademik di tengah tuntutan akademia yang serba produktif.

Sementara itu, Dermot Burns, Writing a Scientific-Style Thesis: A Guide for Graduate Research Students (Galway: National University of Ireland, 2017) menawarkan perspektif yang lebih empiris dan berbasis penelitian. Buku ini ditulis dengan latar universitas riset Eropa dan memberikan panduan langkah demi langkah dalam struktur penulisan ilmiah: mulai dari perumusan masalah, kajian pustaka, hingga presentasi data. Gaya Burns lebih metodologis daripada retoris; ia menekankan “kejelasan logika” dan “keberlanjutan argumen”—dua kualitas yang sering menjadi batu sandungan mahasiswa pascasarjana di bidang sains dan sosial. Sebaliknya, James S. Stramel, How to Write a Philosophy Paper (Los Angeles: Loyola Marymount University, 1995) membawa kita pada tradisi penalaran konseptual yang khas filsafat. Panduan ringkas ini berisi esensi retorika akademik: bagaimana membangun argumen yang valid, menjaga koherensi logis, dan menghindari falasi. Stramel menulis dengan gaya pedagogis yang mengingatkan pada tradisi Aristotelian—menuntun pembaca untuk berpikir sebelum menulis, menimbang sebelum menyimpulkan. Dalam konteks pendidikan Islam atau humaniora, gaya Stramel ini sangat relevan karena menekankan adab al-bath wa al-munāarah—etika berpikir dan berdialog sebelum menghasilkan teks ilmiah.

Di sisi lain, Centria University of Applied Sciences, Guide for Thesis and Academic Writing (Kokkola: Centria UAS Publications, 2016) merepresentasikan model institusional—panduan teknis yang menggabungkan standar universitas dengan praktik akademik internasional. Buku ini bersifat normatif, mengatur format, sitasi, dan gaya penulisan yang seragam. Meski kurang reflektif, ia penting bagi mahasiswa yang memerlukan kerangka formal untuk memenuhi tuntutan administrasi akademik. Adapun karya klasik Patrick Dunleavy, Authoring a PhD: How to Plan, Draft, Write and Finish a Doctoral Thesis or Dissertation (London: Palgrave Macmillan, 2003) menempatkan proses penulisan dalam konteks “otorial”—menulis sebagai tindakan kepengarangan ilmiah. Dunleavy mendorong pembaca agar tidak hanya menjadi peneliti, tetapi juga “penulis buku” dalam arti sejati. Ia menekankan pentingnya argumen besar (big argument), alur tesis yang terstruktur, dan kemampuan mempertahankan orisinalitas dalam tekanan akademik yang hierarkis.

Untuk memperkuat basis metodologis, Chris Hart, Doing a Literature Review: Releasing the Research Imagination (London: SAGE Publications, 1998) hadir sebagai teks fundamental. Hart menegaskan bahwa tinjauan pustaka bukan sekadar daftar bacaan, melainkan ruang konseptual di mana penulis bernegosiasi dengan wacana yang sudah ada. Ia menyebutnya “imajinasi riset”—kemampuan untuk melihat celah teori dan membangun landasan argumen baru di atasnya. Dalam aspek kebahasaan, Adrian Wallwork, English for Writing Research Papers (3rd ed. Cham: Springer, 2016) menjadi panduan teknis paling efektif untuk penulis non-native English. Wallwork menekankan kesederhanaan struktur kalimat, kejelasan istilah, dan strategi menghindari ambiguitas—keterampilan yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa internasional, termasuk dari dunia Islam, yang menulis disertasi dalam bahasa Inggris.

Sementara itu, Helen Sword, Stylish Academic Writing (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2012) tampil sebagai antitesis terhadap gaya akademik yang kaku. Sword menyerukan agar tulisan ilmiah tidak kehilangan keindahan retorika dan gaya personal. Ia memadukan etika ilmiah dengan estetika bahasa—bahwa gaya bukan musuh substansi, tetapi jembatan agar argumen ilmiah dapat hidup dan memikat. Dalam nada yang lebih sosiologis, Howard S. Becker, Writing for Social Scientists: How to Start and Finish Your Thesis, Book, or Article (2nd ed. Chicago: University of Chicago Press, 2007) memandang menulis sebagai praktik sosial. Ia menelusuri psikologi akademik—rasa takut, ragu, dan perfeksionisme yang sering menghambat penulisan. Becker mendorong “menulis seperti berbicara”, menolak jargon yang tidak perlu, dan menjadikan teks ilmiah sebagai produk dialog manusiawi.

Senada dengan itu, Robert Boice, Professors as Writers: A Self-Help Guide to Productive Writing (Stillwater, OK: New Forums Press, 1990) adalah semacam terapi bagi akademisi yang terjebak dalam kebuntuan menulis. Ia menawarkan strategi “low-stress productivity”: menulis sedikit tapi rutin, menjaga ritme berpikir, dan tidak terjebak pada ambisi kesempurnaan.

Pendekatan pedagogis yang lebih progresif ditawarkan oleh Pat Thomson dan Barbara Kamler, Helping Doctoral Students Write: Pedagogies for Supervision (London: Routledge, 2006). Buku ini menyoroti relasi bimbingan akademik—bagaimana dosen pembimbing dapat memfasilitasi dialog intelektual dengan mahasiswa. Tulisan mereka menggeser paradigma bimbingan dari kontrol ke kolaborasi, menjadikan proses menulis tesis sebagai praktik belajar sosial yang emansipatoris. Terakhir, Paul J. Silvia, How to Write a Lot: A Practical Guide to Productive Academic Writing (Washington, DC: American Psychological Association, 2007) mengajarkan bahwa produktivitas menulis bukan hasil inspirasi, tetapi disiplin. Silvia merumuskan “hukum produktivitas akademik”: jadwal tetap, tujuan realistis, dan evaluasi terukur.

Dari Murray hingga Silvia, seluruh karya ini menunjukkan bahwa menulis tesis bukan sekadar kerja intelektual, melainkan latihan spiritual dalam disiplin, logika, dan kebijaksanaan. Jika Murray menuntun penulis menemukan suara diri, maka Burns dan Hart mengajarkan struktur dan fondasi, sementara Sword dan Becker mengingatkan agar tulisan tetap berjiwa manusia. Dalam dunia akademik yang kian birokratis, membaca dan mempraktikkan panduan-panduan ini menjadi cara untuk menjaga bahwa menulis ilmiah masih tentang mencari makna, bukan sekadar memenuhi format.

Menulis sebagai Ibadah Intelektual

Pada akhirnya, saya semakin yakin bahwa menulis bukan sekadar keterampilan, tetapi bentuk ibadah intelektual. Di kampus seperti STEBI Global Mulia—yang berpijak pada nilai syariah dan tradisi keilmuan Islam—setiap aktivitas akademik harus mengandung kesadaran spiritual. Seperti dikatakan oleh al-Ghazālī dalam Iyā’ ʿUlūm al-Dīn, ilmu yang tidak melahirkan amal adalah ibarat pohon tanpa buah; dan amal tanpa keikhlasan hanyalah gerak tanpa makna (Al-Ghazālī, 2017). Maka, menulis tesis atau artikel ilmiah bukan hanya persoalan metodologi, tetapi juga niat, adab, dan kesungguhan jiwa.

Saya teringat pada pandangan Patrick Dunleavy (2003) yang menyebut tesis sebagai “the public voice of private thought.” Kalimat ini seakan menyentuh inti dari pendidikan Islam itu sendiri: setiap gagasan pribadi harus diuji, disusun, dan dipublikasikan demi kemaslahatan publik. Dalam konteks inilah, STEBI Global Mulia perlu memaknai menulis sebagai bagian dari jihad ilmiah—upaya menyumbangkan akal dan pena demi kemuliaan ilmu.

Helen Sword (2012) menulis bahwa akademisi sejati tidak hanya berpikir dengan otak, tetapi juga dengan hati. “Good academic writing,” katanya, “is a form of moral clarity.” Kalimat ini mengingatkan kita pada hakikat keilmuan Islam yang berakar pada adl (keadilan) dan sidq (kejujuran). Ketika seorang mahasiswa menulis dengan hati yang jujur, ia sedang menegakkan keadilan ilmiah; dan ketika seorang dosen membimbing dengan sabar, ia sedang meneladani adab al-‘ālim—adab seorang pendidik yang menyalakan cahaya tanpa menguasai nyala itu.

Howard S. Becker (2007) mengingatkan, “Writing is thinking made visible.” Maka menulis di STEBI Global Mulia seharusnya menjadi proses berpikir yang terlihat dan terarah. Setiap kalimat dalam tesis mestinya menunjukkan refleksi, bukan sekadar kutipan. Setiap bab harus menjadi ruang kontemplasi, bukan hanya formalitas administratif. Karena di situlah perbedaan antara pendidikan tinggi Islam dan sekadar pelatihan teknis: yang satu membentuk manusia berilmu, yang lain hanya mencetak lulusan.

Buku Helping Doctoral Students Write karya Thomson dan Kamler (2006) memberi inspirasi bagi visi bimbingan akademik di kampus Islam. Mereka menyebut pembimbing sebagai intellectual midwife—bidan intelektual yang membantu melahirkan pemikiran mahasiswa. Peran ini sangat indah bila dikaitkan dengan konsep murabbī dalam tradisi Islam: dosen bukan sekadar pengajar, tetapi penumbuh. Ia menuntun mahasiswa menulis bukan hanya untuk mendapatkan gelar, tetapi untuk menemukan dirinya sendiri.

Penutup: Nyala Kecil di Ujung Pena

Dalam semangat itu, STEBI Global Mulia perlu menanamkan budaya menulis yang berjiwa ikhlāṣ dan istiāmah. Seorang mahasiswa yang menulis dengan disiplin setiap hari sesungguhnya sedang menjalankan dzikr akademik—mengingat Tuhan melalui ilmu. Paul J. Silvia (2007) menyebut kebiasaan menulis sebagai ritual productivity, sementara dalam kacamata tasawuf, ia tidak ubahnya riyāah al-qalam—latihan spiritual melalui pena.

Karena itu, kampus harus menjadi ruang yang menumbuhkan spiritual writing habit: budaya menulis yang berakar pada nilai syariah dan berorientasi global. Buku-buku yang diulas di atas bisa dijadikan bahan ajar dalam Writing Workshop dosen dan mahasiswa, agar STEBI tidak hanya menghasilkan lulusan, tetapi juga penulis, peneliti, dan pemikir yang beradab. Dan bila outcome perkuliahan berupa karya-karya penelitian mahasiswa publish di jurnal nasional bahkan internasional, maka harapan untuk memperoleh akreditasi Unggul akan terwujud.

Bayangkan jika setiap mahasiswa STEBI menulis dengan kesadaran bahwa setiap kata akan dipertanggungjawabkan, bahwa setiap ide adalah amanah, dan setiap tulisan adalah bentuk syukur atas anugerah berpikir. Maka menulis tidak lagi terasa berat; ia menjadi bagian dari ibadah harian. Sebab pena, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, adalah saksi atas ilmu dan amal manusia: “Alladzi ‘allama bil-qalam”—Tuhan yang mengajar manusia dengan pena.

Di situlah puncak makna menulis di perguruan tinggi Islam: bukan sekadar menyelesaikan tesis, tetapi menghidupkan ruh keilmuan. Sebab menulis yang jujur adalah doa yang panjang; dan doa yang ditulis dengan ilmu akan terus bergema, bahkan setelah penulisnya tiada.

Maka ketika saya membaca semangat mahasiswa pascasarjana di grup WhatsApp—yang tengah merancang judul, berdiskusi, bahkan merencanakan publikasi ilmiah—saya merasa bahagia. Ada nyala kecil yang tumbuh di tengah kesibukan kuliah dan pekerjaan mereka. Nyala itu tidak boleh padam. Tugas kita sebagai manajemen dan dosen hanyalah menjaga agar api itu tetap hidup: meniupnya ketika redup, melindunginya dari hembusan rasa malas, dan membiarkannya menyala terang—menjadi cahaya bagi kampus, dan kelak, bagi masyarakat yang lebih luas.

Daftar Referensi

Al-Ghazālī, A. H. (2017). Iyā’ ʿUlūm al-Dīn (5 vols.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Becker, H. S. (2007). Writing for social scientists: How to start and finish your thesis, book, or article (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Boice, R. (1990). Professors as writers: A self-help guide to productive writing. Stillwater, OK: New Forums Press.

Burns, D. (2017). Writing a scientific-style thesis: A guide for graduate research students. Galway: National University of Ireland.

Centria University of Applied Sciences. (2016). Guide for thesis and academic writing. Kokkola: Centria UAS Publications.

Dunleavy, P. (2003). Authoring a PhD: How to plan, draft, write and finish a doctoral thesis or dissertation. London: Palgrave Macmillan.

Hart, C. (1998). Doing a literature review: Releasing the research imagination. London: SAGE Publications.

Murray, R. (2006). How to write a thesis (3rd ed.). Maidenhead: Open University Press.

Silvia, P. J. (2007). How to write a lot: A practical guide to productive academic writing. Washington, DC: American Psychological Association.

Stramel, J. S. (1995). How to write a philosophy paper. Los Angeles: Loyola Marymount University.

Sword, H. (2012). Stylish academic writing. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Thomson, P., & Kamler, B. (2006). Helping doctoral students write: Pedagogies for supervision. London: Routledge.

Wallwork, A. (2016). English for writing research papers (3rd ed.). Cham: Springer.

 

*  Penulis saat ini sebagai Ketua STEBI Global Mulia Cikarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid