Malam Jumat Bersama Mazhab Frankfurt

 


Cak Yo

Seusai yasinan keluarga, di malam jumat ini, hujan turun gerimis kerap. Perut kenyang oleh hidangan nasi, ikan lele, lalaban dan sambal terasi serta segelas teh manis hangat. Dalam keadaan begitu, mata biasanya sepet dan tubuh minta berlabuh ke kasur. Tapi saya enggan tidur setelah makan, katanya itu bisa mendorong naiknya gula darah. Maka saya duduk di teras rumah, dengan lampu temaram, dan membaca sebuah buku tua filsafat Barat modern: The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance karya Rolf Wiggershaus (Polity Press, 1994). Buku setebal hampir delapan ratus halaman ini seolah batu besar dalam sungai, menghalangi arus dan membuat air berputar, melambat, lalu memantul ke arah tak terduga.

Sampul edisi pertama buku Rolf Wiggershaus tampak sederhana namun penuh wibawa, terasa berat, seperti sebuah batu nisan akademik. Latar hijau marmer kusam, seakan menegaskan bobot intelektual yang tersimpan di dalamnya. Dua foto hitam-putih menghiasi muka depan—gedung Institut für Sozialforschung dan wajah salah seorang tokohnya—seperti potret suram sebuah abad yang penuh luka sekaligus pencarian makna.

Tulisan judul The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance tercetak tegas, tanpa ornamen berlebihan, seolah mengingatkan bahwa isi buku ini lebih penting daripada kemasan. Dari ketebalan jilidnya, hampir delapan ratus halaman, pembaca sudah bisa membayangkan perjalanan panjang intelektual yang menunggu: penuh polemik, pengasingan, pertemuan, dan perpisahan. Sampul itu, dengan kesan kaku dan berat, seperti mengajak kita masuk ke sebuah ruang kuliah tua di Frankfurt, di mana kata-kata Horkheimer, Adorno, Benjamin, Fromm, dan Habermas masih bergaung, memanggil untuk dibaca ulang, direfleksikan, dan diperdebatkan kembali.

Sebaliknya, edisi terbaru, saya unduh dari internet archive USA, tampil lebih bersih dan modern. Font lebih ramping, tata letak lebih rapi, dan warna sampul lebih terang. Tak lagi ada marmer kusam atau foto hitam-putih yang menyerupai arsip, melainkan desain yang menekankan keterbacaan dan daya tarik visual bagi generasi pembaca baru. 

Jika edisi lama adalah pintu kayu tua yang berat untuk didorong, edisi terbaru adalah pintu kaca transparan yang mengundang orang untuk segera masuk. Perubahan sampul ini mencerminkan perjalanan teori kritis itu sendiri: dari ruang kuliah Jerman pascaperang yang kaku dan penuh luka, ke kelas-kelas universitas modern di berbagai belahan dunia—termasuk Indonesia—yang lebih terbuka dan reflektif.

Membaca buku tuan Rolf, saya teringat masa kuliah dulu, ketika sekilas membincang Mazhab Frankfurt bersama dosen filsafat saya, Dr. Budi Hardiman. Ia lulusan Jerman, mantan pastor yang keluar dari kepastoran demi menjalani hidup lebih “normal”: bisa menikah, bisa merasakan dunia tanpa sumpah selibat. Dia seorang dosen yang tidak saja fasih berbahada Jerman tapi juga fasih filsafat Jerman hingga ke detilnya. Di kelasnya, filsafat tak pernah hanya soal abstraksi kering; selalu ada kisah biografis, selalu ada politik yang menyelinap di baliknya.

Mazhab Frankfurt lahir dari sebuah institusi yang diberi nama Institut für Sozialforschung, berdiri di Frankfurt am Main pada 1923. Para penggagasnya percaya bahwa Marxisme perlu dimodifikasi, sebab dunia modern ternyata lebih rumit dari sekadar “basis” dan “superstruktur.” Kapitalisme bertahan bukan hanya lewat mesin produksi, tetapi juga lewat iklan, film, musik populer, dan televisi—medium-medium yang membentuk kesadaran. Dari situlah lahir istilah “teori kritis” (Kritische Theorie), yang membedakan diri dari “teori tradisional” yang dianggap terlalu positivistik dan steril.

Teori kritis sendiri mula-mula dipahami sebagai sebuah upaya filsafat untuk menghubungkan teori dengan praksis, pengetahuan dengan emansipasi. Dalam esai klasiknya “Traditional and Critical Theory” (1937), Max Horkheimer mendefinisikan teori kritis sebagai teori yang tidak hanya menjelaskan realitas, melainkan juga berusaha mengubahnya demi kebebasan manusia. Dari pengertian ini, teori kritis bergerak melintasi berbagai bidang: filsafat, sosiologi, ilmu politik, hingga studi budaya. Seiring waktu, teori kritis berkembang melampaui Frankfurt. 

Generasi pertama (Horkheimer, Adorno, Benjamin, Marcuse, Fromm, Pollock, Löwenthal, Neumann) bergulat dengan kapitalisme, fasisme, dan industri budaya. Generasi kedua (Habermas) menekankan komunikasi, diskursus, dan ruang publik. Generasi ketiga hingga kini—tokoh-tokoh seperti Axel Honneth (lahir 1949)—mengembangkan teori kritis ke arah recognition theory, menekankan pengakuan dan martabat dalam masyarakat demokratis.

Tokoh-tokoh mazhab ini berderet dengan karya monumental masing-masing. Max Horkheimer (1895–1973) menulis Eclipse of Reason (Oxford University Press, 1947), gugatan terhadap rasionalitas modern yang kehilangan arah moral. Theodor W. Adorno (1903–1969), bersama Horkheimer, menulis Dialectic of Enlightenment (Dialektik der Aufklärung, Querido Verlag, 1947), buku gelap yang menunjukkan bagaimana proyek pencerahan bisa melahirkan barbarisme. 

Sebelumnya, Walter Benjamin (1892–1940) menulis esai Das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischen Reproduzierbarkeit (The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, 1936, Schriften), renungan tentang “aura” karya seni yang kini terasa mendesak di era deepfake dan seni berbasis kecerdasan buatan. Herbert Marcuse (1898–1979), memengaruhi gerakan mahasiswa 1968 lewat One-Dimensional Man (Beacon Press, 1964), tentang manusia yang larut dalam konsumerisme dan kehilangan daya kritik.

Lalu ada Erich Fromm (1900–1980), psikoanalis sekaligus humanis, menulis Escape from Freedom (Farrar & Rinehart, 1941), membedah paradoks kebebasan modern. Leo Löwenthal (1900–1993) meneliti industri budaya dan literatur massal, relevan untuk membaca Netflix, TikTok, atau drama Korea sebagai medium ideologi. Friedrich Pollock (1894–1970) menekankan peran negara dalam menopang kapitalisme, analisis yang terbukti benar ketika krisis global memaksa negara turun tangan menyelamatkan pasar. 

Ada pula Franz Neumann (1900–1954) yang menulis Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (Oxford University Press, 1942), analisis tajam tentang Nazi Jerman. Dan Jürgen Habermas (1929–2023), generasi kedua Frankfurt, menulis The Theory of Communicative Action (Beacon Press, 1984), sekaligus mengembangkan teori ruang publik yang sering dikutip dalam diskusi demokrasi deliberatif di Indonesia.

Sejarah panjang dan kompleks Mazhab Frankfurt ini tidak hanya dicatat oleh Wiggershaus. Ada pula buku lain yang menjadi rujukan penting. Martin Jay menulis The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt School and the Institute of Social Research, 1923–1950 (University of California Press, 1973), yang menjadi pengantar klasik untuk memahami konteks awal institusi. Douglas Kellner menyusun Critical Theory, Marxism, and Modernity (Polity Press, 1989), menekankan hubungan antara Marxisme dan teori kritis. 

David Held menulis Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas (University of California Press, 1980), yang menjadi pegangan banyak mahasiswa di seluruh dunia. Axel Honneth, generasi ketiga, menulis Freedom’s Right: The Social Foundations of Democratic Life (Columbia University Press, 2014), membawa teori kritis ke arah teori pengakuan. Buku-buku ini, bersama Wiggershaus, menjadi fondasi sejarah Mazhab Frankfurt yang valid dan kaya data.

Selain Wiggershaus, ada beberapa judul lain tentang teori kritis, meski yang paling monumental tetap The Frankfurt School. Membacanya bukan hanya seperti menelusuri peta intelektual, melainkan juga menyaksikan pertempuran ide yang hidup.

Adapun buku tebal karya Rolf Wiggershaus ini adalah sebuah “biografi intelektual” tentang Mazhab Frankfurt. Ia tidak hanya menceritakan ide-ide para tokohnya, tetapi juga menelusuri jejak perjalanan lembaga yang menaunginya: Institut für Sozialforschung di Frankfurt am Main. Narasi dibuka dengan suasana pasca-Perang Dunia I, ketika Eropa tengah diguncang revolusi politik, ekonomi, dan sosial. Di sinilah muncul sekelompok pemikir muda yang ingin menggabungkan filsafat Marx dengan ilmu sosial, estetika, dan teori kebudayaan.

Bab awal menggambarkan berdirinya Institut pada 1923, didukung oleh Felix Weil, seorang dermawan muda keturunan Yahudi. Institut ini sejak awal bersifat unik: ia bukan sekadar lembaga riset, melainkan sebuah wadah perlawanan intelektual terhadap kapitalisme, fasisme, dan otoritarianisme. Wiggershaus menuturkan bagaimana Max Horkheimer, setelah menjadi direktur pada 1930, merumuskan visi “teori kritis” yang menentang “teori tradisional”. Horkheimer (w. 1973) menolak ilmu sosial yang hanya mendeskripsikan fakta; baginya, ilmu harus berpihak pada pembebasan manusia.

Bab-bab berikut mengisahkan pengasingan para pemikir Frankfurt ke Amerika Serikat akibat naiknya Hitler dan Nazi. Mereka hijrah ke Geneva, lalu ke New York dan Los Angeles. Wiggershaus menekankan paradoks ini: para pemikir yang mengkritik kapitalisme justru harus bertahan hidup di jantung kapitalisme Amerika. Di masa ini lahirlah karya besar Horkheimer dan Theodor W. Adorno (w. 1969), Dialectic of Enlightenment (1947), yang menunjukkan bagaimana proyek Pencerahan yang awalnya menjanjikan kebebasan, justru melahirkan dominasi baru lewat rasionalitas instrumental.

Bagian selanjutnya menyoroti figur Walter Benjamin (w. 1940), seorang outsider yang bersahabat dekat dengan Adorno. Benjamin dengan esainya The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936) memperlihatkan bagaimana teknologi bisa membongkar aura sakral seni sekaligus membuka ruang emansipasi baru. Erich Fromm (w. 1980) dengan Escape from Freedom (1941) menguraikan psikologi sosial fasisme. Herbert Marcuse (w. 1979) kemudian muncul sebagai ikon generasi 1960-an, terutama lewat One-Dimensional Man (1964), yang menginspirasi gerakan mahasiswa dan kaum kiri baru.

Kisah kembali ke Frankfurt pascaperang adalah babak lain. Institut dibuka kembali, tetapi kini dalam konteks Jerman Barat yang sedang membangun. Horkheimer dan Adorno menjadi figur penting dalam kehidupan intelektual republik baru, meski tetap kritis terhadap kapitalisme, otoritarianisme, dan kebudayaan massa. Wiggershaus tidak menutupi konflik internal: perselisihan tentang arah penelitian, perbedaan metode, hingga tensi antara generasi pertama dan generasi kedua.

Generasi kedua yang paling menonjol tentu Jürgen Habermas (w. 2024), yang membawa teori kritis ke arah baru. Jika Horkheimer dan Adorno pesimistis terhadap rasionalitas modern, Habermas justru melihat potensi pembebasan lewat rasionalitas komunikatif—konsep yang ia kembangkan dalam The Theory of Communicative Action (1984).

Buku Wiggershaus ditutup dengan refleksi tentang signifikansi politik dan intelektual Mazhab Frankfurt. Ia menegaskan bahwa teori kritis bukanlah doktrin beku, melainkan tradisi refleksi yang selalu berubah, menyesuaikan dengan tantangan zaman. Dari pergolakan fasisme, eksil di Amerika, hingga demokrasi pascaperang, teori kritis terus menjadi alat untuk membongkar dominasi, ideologi, dan ilusi kemajuan.

Dengan ratusan halaman catatan, bibliografi, dan arsip biografis yang sebelumnya jarang dibuka, karya ini bukan hanya sejarah, melainkan juga peta intelektual. Ia memperlihatkan wajah manusiawi para pemikir—persahabatan, kegagalan, ambisi, dan keraguan—di balik teori yang sering dianggap kaku.

Bagaimana dengan di Indonesia? Mazhab Frankfurt dengan teori kritisnya memang tidak sepopuler eksistensialisme atau strukturalisme, tetapi gema kritiknya terdengar di berbagai kampus.

Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, teori kritis dipakai untuk mengkaji media, budaya populer, dan gerakan sosial. Di Universitas Gadjah Mada, khususnya dalam ilmu komunikasi, konsep “industri budaya” dan “ruang publik” menjadi bahan kuliah rutin. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, teori kritis diajarkan dalam mata kuliah Filsafat Kontemporer dan Filsafat Sosial, membekali mahasiswa untuk membaca gejala kapitalisme global dengan perspektif kritis. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Habermas dan Marcuse menjadi bahan diskusi dalam kajian demokrasi dan filsafat politik. Teori kritis, dengan kata lain, sudah menyeberang dari Frankfurt ke ruang kelas di Jakarta, Yogyakarta, hingga Makassar.

Malam terus merayap meninggalkan sore. Gerimis tak lagi terdengar, hanya sisa titik air di daun mangga di halaman. Saya menutup buku Wiggershaus dengan satu kesadaran: Mazhab Frankfurt bukan sekadar sejarah filsafat Jerman, melainkan cermin kegelisahan manusia modern. Mereka mengingatkan, teknologi dan rasionalitas bisa berbalik menjadi kekuatan gelap jika tak dikawal oleh kritik.

Perut saya masih kenyang dan waktu tidur masih jauh. Ada rasa syukur yang sederhana: hidangan makan malam, keluarga besar yang berkumpul, dan doa bersama di malam Jum'at. Sesuatu yang jauh dari ruang seminar, jauh dari Frankfurt. Tetapi mungkin, di situlah letak relevansinya: teori kritis bukan hanya untuk ruang kuliah, melainkan untuk setiap sudut hidup yang terancam jadi mekanis, tak bernyawa.

Begitulah, hujan reda, buku kembali ditutup, dan saya belum juga mengantuk. Mungkin harus beralih ke buku lain. 

-Pageland, 11-09-2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

STEBI Global Mulia Bahas Masa Depan Filantropi Islam dan Sociopreneurship

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid