Cermin Jiwa: Menyelami Pesan Abadi Ibn ‘Atā’ Allah al-Iskandarī
Cak Yo
Ada sebuah jam yang berdetak lambat di sudut kepala kita. Ia tidak menggantung di dinding, tidak pula bisa ditanya pukul berapa. Ia hanya berbisik: hidup sedang berlangsung, dan setiap detik adalah pintu yang ditutup dari belakang. Orang-orang sibuk menghitung laba-rugi, tetapi jarang sadar bahwa yang paling pasti sedang dicuri dari mereka adalah waktu.
Di jalan raya, sebuah bus kota mengangkut puluhan tubuh yang sama-sama asing. Mereka duduk berdekatan, tetapi di kepala masing-masing berputar kesepian yang tak bisa dibagikan. Kita menyangka modernitas memberi kita teman: ribuan nama di gawai, ratusan pesan dalam seminggu. Namun, semakin banyak wajah yang kita lihat, semakin sulit kita menemukan tatapan yang benar-benar melihat.
Kota ini seperti panggung sandiwara yang tidak pernah selesai. Semua orang bermain peran, dari seragam tukang parkir hingga jas pejabat. Tapi setiap malam, di depan cermin, topeng itu tak lagi melekat, dan wajah yang asli justru terasa paling asing. Apa yang lebih menakutkan selain ditipu diri sendiri hingga diri kehilangan kesejatian?
Agama, filsafat, sastra—semua pernah mencoba memberi jawaban. Tapi barangkali yang kita butuhkan bukan jawaban, melainkan keberanian untuk menatap retakan di dalam diri. Ada orang yang mencoba menutupnya dengan doa, ada yang dengan tawa keras di kafe, ada pula yang dengan ideologi. Tapi retakan itu tetap ada, menunggu kita mengakuinya.
Di kampung halaman, ada lelaki tua yang setiap sore duduk di beranda rumahnya, menatap sawah yang makin sempit. Ia tidak lagi bertanya kenapa dunia berubah. Ia hanya tahu, semakin sedikit tanah yang hijau, semakin banyak ruang kosong di hatinya. Kesunyian seperti itu tidak bisa dilawan dengan pembangunan, juga tidak bisa dipulihkan oleh teknologi.
Kita, barangkali, sedang belajar terlalu lambat: bahwa yang disebut kemajuan bisa juga berarti kehilangan. Dan bahwa yang disebut kehilangan kadang adalah satu-satunya jalan untuk menemukan kembali siapa kita.
Di titik inilah kata-kata Ibn ‘Aṭā’ Allah al-Iskandarī dalam The Refinement of Souls terasa seperti petunjuk dari abad yang jauh: bahwa waktu, kesepian, bahkan kehilangan, semuanya hanyalah cermin untuk melihat sejauh mana jiwa kita masih melekat pada dunia. Ia menulis bahwa orang yang sadar dekatnya kematian akan bergegas menyiapkan bekal; dan orang yang mampu menahan diri dari hawa nafsu adalah manusia sejati. Seakan-akan ia ingin mengingatkan: yang paling penting bukanlah apa yang kita miliki atau perankan, melainkan bagaimana kita membersihkan hati dari debu dunia, agar suatu saat bisa kembali jernih menerima cahaya.
Buku itu tipis, namun di dalamnya terhampar semesta pertanyaan yang tak selesai: The Refinement of Souls. Karya seorang sufi dari Iskandariyah, yang hidup di abad ke-7 H, namun kata-katanya masih seperti bisikan yang menyentuh saraf zaman kita hari ini. Buku ini adalah terjemahan dari Tāj al-‘Arūs al-Ḥāwī li-Taḥdhīb al-Nufūs, sebuah manual ringkas tentang penyucian jiwa yang ditulis oleh Ibn ‘Aṭā’ Allah al-Iskandarī, murid besar dari pendiri tarekat Syādhiliyah, Abū al-Ḥasan al-Syādhilī (Islamic Benefits, 2021).
Ia menulis tentang dosa, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menunjukkan bahwa setiap luka batin, sekecil apa pun, meninggalkan jejak. Ia bicara tentang taubat, bukan sebagai seremoni sesaat, melainkan sebuah jalan panjang: menolak untuk terus menjadi budak bagi diri sendiri. “Siapa yang sadar betapa dekat kematian, ia akan bergegas menyiapkan bekal,” katanya. Sebuah kalimat yang sederhana, tapi bila direnungkan, terasa seperti bel berbunyi di lorong kepala kita yang penuh kesibukan.
Buku ini bergerak dari satu tema ke tema lain dengan gaya ringkas, penuh aforisme. Ada bab tentang taubat yang digambarkan sebagai pintu pertama bagi seorang hamba untuk mendekat pada Allah. Lalu tentang efek dosa, yang disebut memiliki dampak ganda: lahiriah dan batiniah. Dosa lahiriah merusak tatanan sosial, sedangkan dosa batiniah merusak hati, membuatnya gelap hingga cahaya kebenaran sulit masuk. Ada pula pembahasan tentang mujāhadah—perjuangan melawan hawa nafsu—yang menjadi inti dari jalan spiritual. Bagi penulis, tanpa perlawanan pada nafsu, manusia hanya menjadi budak keinginan yang tak pernah kenyang.
Yang menggetarkan adalah cara penulisnya memadukan ayat-ayat suci, hadis, dan cerita. Ia menyinggung bahaya iri hati: “al-ḥasad jahlun ṣarf”—iri hati adalah kebodohan murni. Sebab orang yang iri seperti menolak keputusan Tuhan, seolah berkata bahwa rezeki yang dibagikan-Nya tidak adil. Ia juga memperingatkan terhadap kesenangan dunia: dunia adalah “dagangan murahan” yang jarang ada pembelinya, sebab nilainya terlalu rendah dibandingkan kehidupan abadi. Kritik ini terasa relevan di tengah budaya konsumsi hari ini, ketika kita dibujuk untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan demi citra semu.
Dalam bab tentang iman, ia bertanya: siapa manusia sejati? Bukan mereka yang bergelimang kuasa, melainkan mereka yang “mampu menjaga dirinya dari tunduk pada hawa nafsu.” Lalu tentang sahabat sejati, penulis menyebut bahwa kualitas pertemanan diukur dari seberapa jauh ia menuntunmu pada Tuhan. Ukuran ini terdengar asing di tengah pergaulan modern, ketika teman dianggap berharga karena jaringan, akses, atau hiburan yang bisa diberikannya.
Buku ini tidak hanya bicara soal etika pribadi, tapi juga soal pengalaman spiritual yang lebih halus. Ia menyinggung tentang muraqabah—kesadaran terus-menerus bahwa setiap gerak hati diawasi Tuhan. Ia menekankan khalwah, yakni pentingnya sesekali mengasingkan diri. Dalam kesunyian, seseorang bisa mendengar suara hatinya, yang biasanya tertutup oleh hiruk pikuk dunia. “Wahai hamba, larilah dari makhluk menuju Sang Pencipta,” tulisnya. Sebuah seruan yang kontras dengan gaya hidup urban, di mana orang justru lari dari sunyi karena takut bertemu dirinya sendiri.
Namun, jangan bayangkan ini buku yang manis dan lembut semata. Ia juga bisa keras: dunia ini remeh, katanya, jangan terlalu melekat. Hati yang terikat pada dunia seperti burung yang kakinya dirantai; bisa mengepak, tapi tak pernah benar-benar terbang. Kritiknya juga tajam pada akal manusia yang dibatasi ruang. “Al-‘uqūl maḥdūdah”—akal itu terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan rasional hanya bisa sampai pada permukaan, sementara inti hakikat membutuhkan cahaya ilham.
Yang menarik, buku ini juga menyinggung hikmah sebagai “rantai bagi orang beriman.” Hikmah—kebijaksanaan—bukan sekadar pengetahuan, melainkan kemampuan melihat sesuatu sesuai tempatnya. Ia lebih berharga dari emas, karena dengan hikmah, seseorang mampu menata hidupnya agar selaras dengan kebenaran.
Di bagian akhir, Ibn ‘Aṭā’ Allah menutup dengan munājāt, doa-doa pribadi yang ia bisikkan kepada Tuhannya. Doa-doa ini seperti membuka tirai hati seorang sufi: penuh kerendahan, penuh cinta, penuh pengakuan atas kelemahan diri. Dalam dunia yang terlalu bising, doa-doa itu terdengar seperti musik lembut yang menenangkan.
Jika dibandingkan dengan karya Ibn ‘Aṭā’ Allah yang lebih terkenal, al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah, terlihat jelas perbedaan gaya dan tujuan. The Refinement of Souls ditulis dalam bentuk manual etika spiritual yang sederhana, seolah ditujukan bagi murid-murid pemula di jalan sufi. Ia menekankan aspek praksis: taubat, mujahadah, muraqabah, khalwah, dan bahaya nafsu. Adapun al-Ḥikam merupakan kumpulan aforisme yang lebih padat dan reflektif, penuh paradoks spiritual, seperti “Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan saat terjadi kekeliruan.” Kalimat-kalimat semacam itu tidak menjelaskan langkah praktis secara detail, melainkan mengajak pembacanya merenung lebih dalam tentang hakikat tauhid, ikhlas, dan tawakkul.
Dengan kata lain, The Refinement of Souls bisa disebut sebagai pintu masuk menuju kedalaman al-Ḥikam. Karya pertama menata disiplin jiwa, mengajarkan kebersihan batin dari dosa, sedangkan karya kedua mengantar pembacanya pada kesadaran mistis yang lebih subtil: bahwa semua gerak lahiriah tak bermakna tanpa rahasia ilahi di baliknya. Dari sini terlihat metode Ibn ‘Aṭā’ Allah yang berlapis: ia tidak hanya seorang sufi yang mendalam dalam pengalaman spiritual, tetapi juga seorang pendidik. Ia menulis karya untuk beragam tingkatan pembaca—dari murid pemula yang membutuhkan panduan praktis hingga pencari hakikat yang memerlukan pencerahan aforistik.
Membaca The Refinement of Souls adalah seperti menatap cermin yang paling jujur. Di sana ada noda, ada debu, ada cahaya. Tugas kita hanya satu—membersihkannya. Dan barangkali, setelah itu, kita akan menemukan bahwa dunia tak lagi perlu ditaklukkan. Dunia cukup dititipi, lalu dilepaskan.
-Pageland, 23-09-2025

Komentar
Posting Komentar