Bukan Sekedar Dokumen: Mengelola Perguruan Tinggi Berbasis Outcome Mulai dari Transformasi Pola Kerja dan Budaya Mutu


Cak Yo

Pengantar

Sering kali institusi menganggap penerbitan dokumen seperti peraturan atau SK sudah cukup sebagai bukti kerja, padahal yang lebih penting adalah outcome yang nyata. Misalnya, jika pemerintah mengeluarkan peraturan perlindungan lingkungan tetapi tidak ada penurunan polusi atau peningkatan kualitas udara, maka itu belum bisa disebut sebagai kerja yang berhasil. Outcome yang diharapkan adalah perubahan nyata, seperti pengurangan emisi karbon atau pengelolaan sampah yang lebih baik.

Begitu juga dengan program bantuan sosial, seperti PKH, yang dianggap sukses hanya karena SK diterbitkan dan program dilaksanakan. Namun, outcome yang sesungguhnya terletak pada apakah bantuan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan, meningkatkan pendidikan, atau menurunkan angka stunting.

Contoh lain adalah program Gubernur Jawa Barat baru-baru ini, tentang siswa jalan kaki ke sekolah atau yang nakal dimasukkan ke barak militer. Keberhasilan program ini harus dilihat dari peningkatan kedisiplinan dan perubahan perilaku siswa, bukan hanya dari penerbitan kebijakan dan dilaksanakannya program. Jika program, seperti siswa nakal dimasukkan ke barak militer, tidak menghasilkan outcome yang diharapkan—seperti mengurangi tawuran pelajar, geng motor, narkoba, dan masalah disiplin lainnya—atau justru menimbulkan dampak negatif seperti trauma atau lainnya, maka program itu perlu dilakukan evaluasi. Jika hasilnya tidak signifikan, kebijakan tersebut harus ditinjau kembali dan disesuaikan atau dihentikan jika perlu. 

Dengan demikian, penerbitan dokumen atau kebijakan seperti peraturan, SK atau program kegiatan tidak cukup sebagai indikator keberhasilan. Keberhasilan seharusnya diukur berdasarkan outcome yang nyata, seperti perubahan yang terjadi di masyarakat atau dampak positif yang tercapai. Program dan kebijakan harus dievaluasi berdasarkan efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang diharapkan, bukan hanya dilihat dari aspek administratif. Jika hasil yang dicapai tidak sesuai harapan atau menimbulkan dampak negatif, kebijakan tersebut perlu disesuaikan atau dihentikan.

Bagaimana dengan di Lembaga Pendidikan?

Di banyak institusi pendidikan seperti perguruan tinggi, masih berkembang pemahaman keliru bahwa menyusun dokumen seperti  SK, proposal, atau surat edaran, SOP, dan sebagainya adalah bentuk utama dari “kerja.” Padahal, itu hanyalah permulaan. Itu baru tahap Penetapan. Kerja yang sesungguhnya adalah kerja yang menghasilkan outcome nyata, terukur, dan berdampak langsung pada mutu serta reputasi lembaga.

Ambil contoh kegiatan seminar. Banyak yang merasa tugasnya selesai saat proposal disetujui, acara berlangsung, dan dokumentasi terkumpul. Namun sejatinya, outcome dari seminar bukan hanya pada penyelenggaraannya, melainkan pada: (1)Terbitnya prosiding ber-ISBN/ISSN; (2) Publikasi ilmiah hasil seminar; (3) Hak Kekayaan Intelektual (HKI); (4) Tindak lanjut seperti seminar lanjutan, diseminasi ke media, dan pelaporan terukur; (5) Seminar menjadi bermakna bila berdampak pada rekognisi institusi dan penguatan luaran Tridharma.

Seminar atau kegiatan lainnya juga tidak berhenti di outcome-nya.  Lebih lanjut, apakah hasil seminar itu dievaluasi dan ditindaklanjuti? Apakah ada pengembangan program dari ide-ide yang muncul? Di sini pentingnya diseminasi dan rekognisi—yakni proses memperluas dampak dari suatu kegiatan, disertai bukti konkret seperti sertifikat, tautan media pemberitaan, atau pengakuan dari lembaga lain. Inilah yang memberi bobot pada kegiatan—bukan sekadar jumlah pesertanya, tapi bagaimana luaran kegiatan itu hidup dan bermanfaat secara nyata.

Outcome Tridharma Perguruan Tinggi

1. Outcome Pendidikan dan Pengajaran

Pengajaran tidak berhenti pada penyusunan RPS atau pelaksanaan kuliah. Ia harus menghasilkan luaran konkret yang terintegrasi dan berdampak, seperti: (1) Capaian pembelajaran lulusan (CPL) yang dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif; (2) Karya kolaboratif dosen-mahasiswa seperti buku, video pembelajaran, atau produk digital; (3) Artikel ilmiah hasil pembelajaran berbasis riset; (4) Produk pembelajaran yang masuk dalam kompetisi, pameran, dan konferensi; (5) Modul ajar inovatif yang mendapat rekognisi nasional/internasional; dan (6) Pengembangan microcredentials dan sertifikasi kompetensi bagi mahasiswa

2. Outcome Penelitian

Penelitian bukan sekadar laporan akhir hibah. Outcome-nya harus: (1) Diterbitkan di jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional bereputasi; (2) Mendapat HKI atau paten sederhana; (3) Diterjemahkan ke dalam kebijakan publik atau rekomendasi berbasis bukti; (4) Digunakan sebagai bahan ajar atau pengayaan kuliah; (5) Diseminasi dalam bentuk seminar, buku, atau kolaborasi dengan industri; dan (6) Menjadi dasar pengembangan prodi, roadmap institusi, atau community development.

3. Outcome Pengabdian kepada Masyarakat (PKM)

PKM tidak berhenti pada pelatihan atau penyuluhan, melainkan menghasilksn utcome yang meliputi: (1) Peningkatan kesejahteraan atau kapasitas mitra binaan secara terukur, misal program desa binaan makin sejahtera atau outcome lainnya; (2) Publikasi artikel PKM di jurnal pengabdian; (3) Produk hasil PKM yang digunakan masyarakat atau pemerintah daerah; (4) Kolaborasi multi pihak dan keberlanjutan program; (5) Rekognisi dalam bentuk penghargaan, MoU, atau media exposure. Ini hanya contoh outcome untuk satu program. Program lainnya juga mestinya menghasilkan outcome juga, bukan sekedar sertifikat atau laporan kegiatan.

Outcome dalam Unsur Penunjang lainnya

Kegiatan penunjang harus berdampak pada karier dan kompetensi dosen, antara lain: (1) Dosen melanjutkan studi lanjut (S3/postdoc) dengan beasiswa atau skema kompetitif; (2) Sertifikasi kompetensi dan pelatihan berbasis kebutuhan zaman (AI, ESG, dsb.); (3) Terlibat sebagai narasumber, asesor, reviewer, atau mitra pemerintah/lembaga profesional; (4) Promosi jabatan fungsional yang diikuti dengan portofolio luaran; dan (5) Portofolio dosen terintegrasi dalam sistem SISTER dan LKD berbasis bukti rekognisi.

Kerjasama dengan Mitra Perguruan Tinggi, Industri, dan Institusi lainnya

Dalam akreditasi, sebuah institusi sering mengajukan dokumen MoU, tanpa MoA atau realisasi dari MoU yang sudah ditandatangani baik MoU dengan sesama perguruan tinggi, industri atau institusi lainnya.  Banyak kampus bangga mengumumkan penandatanganan MoU (nota kesepahaman) dengan berbagai pihak. Tapi MoU tak ada nilainya (asesor tidak akan memberi nilai) jika tidak ditindaklanjuti menjadi MoA (Memorandum of Agreement), dan tidak berujung pada aksi nyata, seperti pertukaran dosen/mahasiswa, riset kolaboratif, beasiswa, magang, PKL, atau program bersama yang bisa diukur luaran dan dampaknya. 

Kebersihan, Kerapihan, dan Keindahan Sarana-Prasarana

Aspek ini sangat penting, meskipun sering dianggap sepele, padahal kebersihan dan estetika kampus adalah indikator mutu fisik dan budaya akademik. Outcome-nya tak sekadar visual, tapi juga: (1) Skor audit kebersihan dan lingkungan; (2) Foto before-after yang terdokumentasi; (3) Laporan pengendalian mutu kebersihan; (4) laporan kecukupan dan kebersihan sarana-prasaran termasuk untuk mereka yang berkebutuhan khusus; dan (5) Pengakuan (rekognisi) seperti green campus award atau MoU dengan instansi lingkungan

Standar Mutu sesuai siklus PPEPP

Suruh kegiatan baik akademik maupun non-akademik di perguruan tinggi harus mengikuti standar mutu nasional dengan memenuhi siklus PPEPP, yaitu: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. 

1. Penetapan

Tahap penetapan merupakan fondasi awal dari siklus PPEPP, yakni proses merumuskan standar, kebijakan, serta target capaian yang akan menjadi tolok ukur mutu. Dalam pendidikan, ini dapat berupa penetapan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL), struktur kurikulum, dan indikator kinerja dosen. Pada aspek penelitian, penetapan bisa melibatkan target luaran berupa jurnal terakreditasi nasional atau internasional. Dalam pengabdian, ditetapkan bentuk program PKM yang selaras dengan kebutuhan mitra dan indikator keberhasilannya. Untuk bidang penunjang dan pengembangan dosen, penetapan bisa berupa standar kualifikasi dosen, rencana pengembangan kompetensi, serta jenjang jabatan fungsional yang ditargetkan.

2. Pelaksanaan

Tahap ini merupakan implementasi nyata dari standar dan kebijakan yang telah ditetapkan. Di bidang pembelajaran, pelaksanaan terlihat dalam penyusunan RPS berbasis Outcome-Based Education (OBE), penggunaan metode active learning, serta asesmen berkelanjutan. Dalam penelitian, dosen melaksanakan riset sesuai proposal dan timeline yang disetujui, termasuk tahapan pengumpulan data dan penulisan artikel. Pengabdian kepada masyarakat dijalankan melalui kegiatan berbasis kebutuhan riil masyarakat dengan pendekatan partisipatif. Di bidang penunjang dan pengembangan dosen, pelaksanaan mencakup kegiatan seperti pelatihan, workshop, pengajuan kenaikan pangkat, serta partisipasi dalam seminar atau konferensi.

3. Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pelaksanaan kegiatan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Dalam pendidikan, evaluasi dapat berupa survei kepuasan mahasiswa, analisis nilai, atau monitoring RPS. Pada penelitian, evaluasi dilakukan oleh LPPM melalui laporan kemajuan dan hasil akhir riset. Evaluasi pengabdian dapat mencakup tingkat keterlibatan mitra, manfaat kegiatan, serta keberlanjutan dampaknya. Di sisi pengembangan dosen, evaluasi meliputi penilaian pencapaian angka kredit, keberhasilan sertifikasi, serta rekam jejak output ilmiah. Evaluasi ini menjadi sumber data penting untuk menentukan keberhasilan atau kekurangan dalam implementasi.

4. Pengendalian

Jika hasil evaluasi menunjukkan adanya penyimpangan atau ketidaksesuaian, maka langkah pengendalian diperlukan. Misalnya dalam pendidikan, jika pembelajaran tidak mencapai CPL, maka dilakukan pelatihan ulang dosen, revisi metode, atau supervisi kelas. Dalam penelitian, jika luaran belum tercapai, dilakukan mentoring atau pendampingan oleh reviewer. Pada pengabdian, pengendalian bisa berupa penyesuaian program atau pelibatan mitra baru. Untuk pengembangan dosen, pengendalian dapat berupa pendampingan dalam pengajuan sertifikasi, bantuan teknis pengisian BKD, atau konsultasi untuk peningkatan jabatan.

5. Peningkatan

Tahap akhir ini berfokus pada perbaikan dan pengembangan berkelanjutan, yang menjadikan PPEPP sebagai siklus dinamis dan bukan hanya linier. Dalam pembelajaran, peningkatan bisa mencakup pembaruan kurikulum, digitalisasi media ajar, dan integrasi MBKM. Di bidang penelitian, peningkatan dapat berupa penguatan klaster riset, pembentukan pusat studi, serta kolaborasi dengan mitra industri atau luar negeri. Pengabdian ditingkatkan dengan mengembangkan model PKM unggulan yang dapat direplikasi. Untuk pengembangan dosen, peningkatan bisa berupa pemberian insentif berbasis kinerja, dukungan studi lanjut, atau pemetaan karier berbasis kompetensi.

Selain dalam aspek Tridharma, penerapan siklus PPEPP (Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), juga harus diterapkan dalam pengelolaan Memorandum of Understanding (MoU) dan Memorandum of Agreement (MoA) di perguruan tinggi:

Siklus PPEPP merupakan pendekatan sistematis dalam penjaminan mutu yang diterapkan di berbagai bidang pengelolaan institusi, termasuk dalam kerja sama institusional. Dalam konteks MoU dan MoA, PPEPP digunakan untuk memastikan bahwa setiap tahapan kerja sama direncanakan dengan matang, dilaksanakan secara optimal, serta dievaluasi dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Hal ini menjadi bagian penting dari tata kelola kelembagaan, khususnya untuk mendukung indikator kinerja utama (IKU) perguruan tinggi.

(1) Perencanaan merupakan tahap awal yang mencakup identifikasi kebutuhan kerja sama strategis, analisis potensi mitra, serta perumusan tujuan dan ruang lingkup kerja sama. Dalam tahap ini, perguruan tinggi menyusun draft MoU atau MoA dengan memperhatikan kesesuaian dengan visi, misi, dan rencana strategis institusi. Perencanaan juga mencakup penetapan indikator keberhasilan kerja sama dan rencana aksi implementatif.

(2) Pelaksanaan melibatkan proses penandatanganan MoU atau MoA serta implementasi kerja sama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Kegiatan kerja sama dapat meliputi pertukaran mahasiswa dan dosen, kolaborasi penelitian, kegiatan pengabdian kepada masyarakat, atau bentuk lain yang relevan. Setiap pelaksanaan harus disertai dengan dokumentasi yang memadai untuk keperluan pelaporan dan audit mutu internal.

(3) Evaluasi dilakukan secara berkala untuk menilai efektivitas pelaksanaan kerja sama. Evaluasi mencakup pemantauan capaian, identifikasi kendala, serta pengumpulan umpan balik dari mitra kerja sama. Hasil evaluasi menjadi dasar dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya.

(4) Pengendalian bertujuan untuk memastikan bahwa pelaksanaan kerja sama berjalan sesuai dengan rencana. Apabila ditemukan penyimpangan atau hambatan, maka dilakukan tindakan korektif atau penyesuaian strategi. Pengendalian juga mencakup pembaruan data dan informasi kerja sama untuk menjaga akuntabilitas.

(5) Peningkatan merupakan upaya penyempurnaan yang berkelanjutan terhadap sistem dan kegiatan kerja sama. Berdasarkan hasil evaluasi dan pengendalian, institusi dapat memperluas ruang lingkup kerja sama, memperbarui isi MoU/MoA, atau mengembangkan model kerja sama baru yang lebih produktif dan berdampak luas.

Penerapan PPEPP dalam pengelolaan MoU dan MoA menunjukkan komitmen perguruan tinggi terhadap tata kelola kerja sama yang bermutu dan berkelanjutan. Dokumentasi dari setiap tahap dalam siklus ini juga menjadi bagian penting dalam pelaporan akreditasi dan kinerja institusi.

Siklus PPEPP ini juga berlaku dalam aspek kebersihan, kerapihan, dan keindahan kampus, sebagai berikut:

1. Penetapan:

Perguruan tinggi menetapkan standar operasional prosedur (SOP) untuk kebersihan, kerapihan, dan keindahan lingkungan (K3) kampus, termasuk indikator mutu seperti indeks kepuasan lingkungan minimal 85%, waktu respons aduan maksimal 1x24 jam, dan frekuensi perawatan taman dua kali seminggu. Outcome: Dokumen SOP K3 yang sah, indikator mutu yang terukur, dan target kepuasan yang tercatat.

2. Pelaksanaan:

Standar yang telah ditetapkan dijalankan oleh unit kerja terkait, seperti petugas kebersihan, tim taman, dan keamanan kampus. Kegiatan pelaksanaan juga melibatkan sivitas akademika dalam menjaga lingkungan bersih dan indah, seperti program Jumat Bersih atau lomba kelas terbersih. Outcome: Pelaksanaan rutinitas kebersihan sesuai SOP dan terciptanya partisipasi aktif warga kampus dalam menjaga kebersihan.

3. Evaluasi:

Evaluasi dilakukan melalui inspeksi rutin, audit mutu internal, survei kepuasan pengguna, dan laporan aduan. Hasil survei menunjukkan indeks kepuasan terhadap kebersihan kampus mencapai 82%, sedikit di bawah target. Outcome: Data kinerja aktual dan laporan temuan yang digunakan untuk analisis lebih lanjut.

4. Pengendalian:

Jika ditemukan penyimpangan dari standar, dilakukan tindakan korektif seperti rotasi petugas, pengadaan alat kebersihan tambahan, perbaikan sistem aduan, dan edukasi pengguna. Outcome: Tindak lanjut yang tepat untuk mengatasi masalah operasional, serta perbaikan dalam sistem pendukung yang lebih efisien.

5. Peningkatan:

Tahap peningkatan mencakup inovasi dan pengembangan berkelanjutan, seperti penerapan teknologi pelaporan digital, penambahan elemen artistik kampus (mural, taman tematik), serta pemberian insentif bagi unit terbersih. Outcome: Meningkatnya indeks kepuasan pengguna menjadi >90%, terciptanya estetika kampus yang lebih baik, serta peningkatan budaya mutu lingkungan yang berkelanjutan.

Penerapan standar kebersihan yang baik dan partisipasi aktif sivitas akademika akan mendapatkan rekognisi, baik internal maupun eksternal. Rekognisi ini bisa berupa penghargaan seperti Green Campus Award, sertifikasi lingkungan hidup dari pemerintah atau lembaga independen, atau pengakuan dalam forum akademik dan profesional. Rekognisi juga bisa datang dalam bentuk publikasi atau pemberian penghargaan kepada unit-unit yang berhasil menjaga kebersihan, kerapihan, dan keindahan kampus. Outcomenya misalnya: Meningkatkan reputasi kampus sebagai institusi yang peduli lingkungan, yang dapat dijadikan sebagai daya tarik untuk calon mahasiswa, dosen, dan mitra kerjasama.

Tantangan dan Kendala: Mulai dari Pola Pikir dan Pola Kerja

Mengelola perguruan tinggi berbasis luaran (outcome), dengan menggeser orientasi kerja dari output ke outcome tidak mudah. Di manapun perguruan tingginya di Indonesia, ada beberapa tantangan sekaligus kendala yang dihadapi yang meliputi: (1) Pola pikir administratif: menganggap tugas selesai saat dokumen diserahkan; (2) Minim integrasi Tridharma: tidak saling mendukung; (3) Dokumentasi luaran lemah atau tidak diverifikasi; (4) Budaya mutu yang masih rendah termasuk Standar Mutu sesuai siklus PPEPP belum dipahami secara menyeluruh; (5) Monitoring dan evaluasi luaran sering tidak berjalan; (6) Ketimpangan beban kerja dan luaran yang ditargetkan; (7) Sikap apatis atau rasa peduli dan rasa memiliki, serta tanggung jawab sivitas akademika masih rendah, misalnya tidak memprioritaskan tugas-tugas menjalankan Tridharma dan menghasilkan luaran (outcome).

Penutup:  Mulai dari Transformasi Pola Kerja hingga Bekerja yang Memberi Dampak

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah institusi—termasuk lembaga pendidikan—tidak cukup diukur dari banyaknya dokumen yang dihasilkan, melainkan dari seberapa besar dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat, sivitas akademika, dan para pemangku kepentingan. Penerbitan SK, MoU, laporan, atau SOP hanyalah langkah awal dalam siklus mutu. Esensi dari setiap kegiatan terletak pada outcome yang terukur, teruji, dan bermakna: apakah ada peningkatan kualitas lulusan, kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, kemanfaatan sosial, serta penguatan reputasi institusi.

Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma dari budaya administratif menuju budaya berbasis hasil dan dampak. Setiap kegiatan harus dirancang dengan orientasi outcome, dilaksanakan secara profesional, dievaluasi dengan jujur, dikendalikan dengan sistematis, dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Hanya dengan cara inilah perguruan tinggi dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai pusat pembelajaran, penelitian, dan pengabdian yang benar-benar memberi manfaat bagi bangsa dan umat manusia. Wallahu a'lam.

Cak Yo, 04 Mei 2025



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam