Terjemahan Kritis terhadap Al-Qur'an oleh Sarjana Barat: Kritik terhadap Buku The Critical Qur'an karya Robert Spencer

Cak Yo

Mudik ke Sumedang kali ini terasa berbeda. Sejak siang, hujan tak berhenti mengguyur, membuat udara semakin dingin dan suasana semakin syahdu. Di tengah cuaca yang menggigil ini, saya duduk santai di teras rumah, membuka The Critical Qur'an: Explained from Key Islamic Commentaries and Contemporary Historical Research karya Robert Spencer. Meskipun penulisnya terkenal kontroversial dan kritis terhadap Islam, buku ini menawarkan perspektif menarik, dengan menggabungkan tafsir klasik dan analisis sejarah kontemporer, memberikan kedalaman baru dalam memahami Al-Qur'an.

Sambil menikmati setiap halaman, secangkir kopi hangat menemani saya, aroma khasnya menyatu dengan udara segar yang dibawa hujan. Tak ketinggalan, goreng uli yang masih hangat dan renyah memberi rasa kenyang yang pas. Setiap tegukan kopi dan gigitan goreng uli membawa ketenangan di tengah hujan yang terus mengguyur. Di Sumedang yang tenang ini, membaca buku sambil menikmati hidangan sederhana seperti ini, rasanya memberi makna tersendiri. Sayapun menuliskan isi buku ini, mengkritisinya dengan membandingksn dengan karya-karya terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris dan merekomendasikan terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris yang lebih baik untuk dibaca dan dirujuk daripada karya Spencer ini.

Buku The Critical Qur'an: Explained from Key Islamic Commentaries and Contemporary Historical Research adalah karya Robert Spencer yang diterbitkan oleh Bombardier Books, sebuah imprint dari Post Hill Press, pada tahun 2021. Buku ini mencoba memberikan penjelasan mengenai Al-Qur’an dengan mengacu pada berbagai tafsir Islam klasik serta penelitian sejarah kontemporer.

Robert Spencer dikenal sebagai seorang penulis yang sering membahas isu-isu Islam dan jihad dari perspektif kritis. Dalam buku ini, ia mengklaim menyajikan analisis terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan membandingkan berbagai tafsir serta perspektif akademik yang lebih luas.

Meskipun buku ini mengangkat kajian historis dan tafsir, karya-karya Robert Spencer umumnya kontroversial, terutama di kalangan akademisi dan umat Muslim, karena pendekatannya yang cenderung skeptis terhadap Islam. Banyak kritik yang menilai bahwa Spencer sering mengabaikan konteks historis dan teologis Islam yang lebih mendalam, sehingga interpretasinya dinilai bias dan tidak seimbang.

Dari sisi penerbit, Bombardier Books dan Post Hill Press dikenal sebagai penerbit yang sering menerbitkan buku-buku dengan perspektif konservatif dan kontroversial.

Secara keseluruhan, The Critical Qur'an bisa menjadi bacaan bagi mereka yang ingin memahami bagaimana sebagian pihak di Barat mengkaji Al-Qur'an secara kritis. Namun, penting untuk membaca buku ini dengan pemahaman yang lebih luas, membandingkannya dengan sumber-sumber tafsir otoritatif dalam Islam serta kajian akademik yang lebih berimbang.

Saya akan mengulas buku Spencer ini sekaligus mengkritisinya mana-mana yang perlu untuk dikritisi. Secara umum kritik terhadap karya-karya sarjana Barat tentang Islam telah banyak dilakukan baik oleh sesama sarjana Barat sendiri maupun oleh sarjana Muslim.

Spencer dan Karya-karyanya

Robert Spencer adalah seorang penulis yang sangat terkenal karena karya-karyanya yang kritis terhadap Islam dan dunia Muslim. Buku-bukunya sering dianggap kontroversial dan mendapat kecaman dari kalangan akademisi dan pembela hak asasi manusia, terutama karena pandangannya yang keras terhadap ajaran Islam. Salah satu bukunya yang paling terkenal adalah The Politically Incorrect Guide to Islam (and the Crusades) (2005), yang diterbitkan oleh Regnery Publishing. Dalam buku ini, Spencer mengklaim bahwa Islam memiliki kaitan erat dengan kekerasan dan penindasan, serta mengkritik sejarah hubungan Islam dengan Perang Salib. Buku ini berfokus pada narasi bahwa banyak ajaran Islam memiliki dampak negatif dalam sejarah, terutama dalam konteks konflik-konflik besar seperti Perang Salib.

Buku berikutnya yang sangat kontroversial adalah The Truth About Muhammad: Founder of the World's Most Intolerant Religion (2006), yang juga diterbitkan oleh Regnery Publishing. Dalam buku ini, Spencer menilai Nabi Muhammad sebagai figur yang penuh dengan kekerasan, berfokus pada aspek kehidupan pribadi dan kepemimpinan Muhammad yang dipandangnya mendukung perang dan penindasan. Spencer mengkritik secara mendalam berbagai ajaran dan tindakan Muhammad, dengan menyoroti perang-perang yang dilakukan oleh Nabi dan pendiriannya tentang hukum-hukum yang menurutnya bisa dianggap intoleran terhadap non-Muslim.

Selain itu, Spencer juga menulis Stealth Jihad: How Radical Islam is Subverting America Without Guns or Bombs (2008), yang diterbitkan oleh Regnery Publishing. Dalam buku ini, Spencer berargumen bahwa Islam radikal tengah melakukan infiltrasi di Amerika Serikat, dengan menggulingkan nilai-nilai Barat dan merusak struktur sosial tanpa menggunakan kekerasan fisik. Menurut Spencer, ancaman Islam radikal muncul melalui cara-cara yang lebih halus dan tidak langsung, seperti melalui kebijakan pendidikan, media, dan sistem politik yang dianggap menguntungkan bagi Islam.

Salah satu karya Spencer yang lebih mendalam adalah The Critical Qur'an: Explained from Key Islamic Commentaries and Contemporary Historical Research (2021), yang diterbitkan oleh Bombardier Books. Buku ini menawarkan analisis terhadap Al-Qur'an dengan pendekatan yang lebih kritis dan konfrontatif, di mana Spencer menggabungkan komentar-komentar dari berbagai ulama Islam tradisional dengan riset kontemporer untuk menilai teks-teks utama dalam Al-Qur'an. Dalam buku ini, Spencer mencoba untuk menunjukkan bahwa banyak ajaran dalam Al-Qur'an dapat dipahami dengan cara yang mendukung radikalisasi dan ekstremisme, serta mempertanyakan interpretasi moderat terhadap teks tersebut.

Karya-karya Spencer ini sering kali mendapatkan kritik dari banyak pihak yang menuduhnya sebagai Islamofobik. Para kritikus berargumen bahwa pendekatan Spencer terhadap Islam sangat dipengaruhi oleh pandangan yang keliru dan bermasalah tentang agama ini, serta bahwa buku-bukunya sering kali mengabaikan konteks sejarah dan budaya yang lebih luas. Banyak akademisi dan tokoh Islam membantah klaim-klaim Spencer, menekankan bahwa pandangannya tidak mencerminkan keberagaman dan kedalaman ajaran Islam, yang jauh lebih kompleks dan beragam daripada yang digambarkan dalam karya-karyanya.

Namun demikian, meskipun mendapat kecaman luas, buku-buku Spencer tetap banyak dibaca oleh mereka yang sependapat dengan pandangannya. Karyanya masih menjadi sumber utama bagi mereka yang melihat Islam sebagai ancaman bagi nilai-nilai Barat, dan tetap menjadi referensi dalam diskusi tentang hubungan antara Islam dan dunia Barat, terutama dalam konteks terorisme dan radikalisasi. Buku-buku Spencer menunjukkan bagaimana pandangan Islamofobik dapat dipromosikan dalam literatur populer, dan bagaimana hal ini mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap agama Islam dan pengikutnya.

Terjemahan Kritis Al-Qur'an Spencer

Dalam Pengantar buku Critical Qur'an, Robert Spencer menjelaskan bahwa buku ini dirancang untuk memberikan wawasan kepada pembaca berbahasa Inggris mengenai Al-Qur'an serta bagaimana teks tersebut ditafsirkan dalam Islam. Tujuan utama buku ini adalah menyoroti bagaimana para komentator Muslim memahami bagian-bagian tertentu dalam Al-Qur'an yang sering kali menjadi titik perdebatan, terutama bagi pembaca non-Muslim. Bagian-bagian ini meliputi perintah untuk berjihad, aturan-aturan Syariah yang dianggap membatasi hak-hak perempuan, serta aspek lainnya yang sering kali tidak dijelaskan secara langsung dalam banyak edisi Al-Qur'an yang diterbitkan sebelumnya. Biasanya, dalam terjemahan atau tafsir yang bersifat apologetik, isu-isu sensitif ini ditampilkan dengan pendekatan yang lebih halus atau bahkan disamarkan. Namun, dalam buku ini, setiap aspek dibahas secara rinci tanpa ada yang ditutupi.

Buku ini juga menyajikan pengantar umum mengenai berbagai permasalahan yang terdapat dalam Al-Qur'an. Hal ini jarang ditemukan dalam tradisi Islam, sebab dalam pendekatan keagamaan, Al-Qur'an dianggap sebagai teks yang sempurna, tetap tidak berubah sejak diturunkan, dan tidak dapat dimodifikasi. Status Al-Qur'an sebagai kitab suci utama dalam Islam tidak dapat dilebih-lebihkan dalam pemahaman Muslim tradisional.

Marmaduke Pickthall, seorang mualaf Inggris yang menerjemahkan Al-Qur'an, menggambarkan kitab ini sebagai "simfoni yang tidak tertandingi, yang melodinya mampu menggerakkan hati manusia hingga meneteskan air mata." Sementara itu, ulama Islam Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah inti dari segala aspek Islam, mulai dari hukum, pemikiran, spiritualitas, etika, hingga seni. Semua unsur dalam tradisi Islam berasal dari ajaran Al-Qur'an, baik secara eksplisit maupun implisit.

Bagi umat Islam di seluruh dunia, Al-Qur'an dianggap sebagai firman Tuhan yang sempurna dan tidak berubah, yang diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad tanpa ada kesalahan atau distorsi sedikit pun.

Menurut keyakinan Islam, teks ini tetap tidak berubah sejak pertama kali dikodifikasi oleh Khalifah Utsman pada tahun 653 M. Al-Qur'an bagi Muslim bukan hanya kitab suci, tetapi juga pedoman hidup yang abadi dan relevan sepanjang zaman. Namun, bagi pembaca non-Muslim, memahami teks ini bukanlah hal yang mudah. Salah satu alasannya adalah struktur penyusunannya yang tidak berdasarkan kronologi atau topik tertentu, melainkan lebih kepada panjang surah. Surah pertama yang pendek, Al-Fatihah, menjadi pengecualian, sementara 113 surah lainnya umumnya disusun dari yang terpanjang hingga yang terpendek.

Menurut tradisi Islam, wahyu pertama yang diterima oleh Muhammad bukanlah surah 1, melainkan surah 96. Sementara itu, wahyu terakhir yang diterima, yang konon turun di akhir hayatnya, adalah surah 110, bukan surah terakhir dalam susunan Al-Qur'an.

Lebih jauh, Al-Qur'an tidak memiliki alur naratif tunggal seperti kitab-kitab sejarah. Sebaliknya, ia berisi kumpulan khotbah dan perintah yang mencakup berbagai topik tanpa keterkaitan yang jelas satu sama lain. Ini menambah kesulitan bagi pembaca yang mencari kesinambungan dalam teks.

Menurut tradisi Islam, Malaikat Jibril mulai menyampaikan wahyu kepada Muhammad pada tahun 610 M. Proses ini berlangsung selama 23 tahun, di mana beberapa bagian wahyu dicatat sementara lainnya dihafal oleh para sahabat Nabi. Ketika Muhammad wafat pada tahun 632 M, Al-Qur'an belum terkumpul dalam satu kitab. Para sahabat awalnya enggan mengodifikasi teks tersebut karena Nabi sendiri tidak melakukannya. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya penghafal Al-Qur'an yang gugur dalam pertempuran, muncul desakan untuk mengumpulkan dan membakukan teksnya.

Konon, pada tahun 653 M, Khalifah Utsman menyusun satu versi standar Al-Qur'an dan memerintahkan pembakaran varian lainnya. Namun, klaim bahwa Al-Qur'an telah dibakukan secara sempurna sejak saat itu tidak didukung oleh bukti kontemporer. Sebaliknya, ada indikasi bahwa variasi dalam teks tetap ada selama beberapa abad berikutnya.

Para akademisi mencatat bahwa meskipun Al-Qur'an Utsmani diduga telah didistribusikan ke seluruh dunia Islam, hampir tidak ada jejak fisik atau kutipan eksplisit dari kitab ini selama empat dekade setelah penyusunannya. Baru pada awal abad ke-8 M, referensi mengenai Al-Qur'an mulai muncul dalam literatur, baik Muslim maupun non-Muslim.

Tradisi Islam menyatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh cara bacaan yang berbeda (ahruf). Para ulama menginterpretasikan pernyataan ini sebagai perbedaan dalam dialek atau cara pengucapan. Namun, kenyataannya, perbedaan ini lebih dari sekadar variasi fonetik.

Sekitar 300 tahun setelah Muhammad, seorang ulama bernama Ibn Mujahid (860–936 M) menetapkan tujuh bacaan (qira'at) utama Al-Qur'an. Bacaan ini berasal dari berbagai kota di dunia Islam: Nafi' dari Madinah, Ibn Kathir dari Mekkah, Ibn Amir dari Damaskus, Abu Amr dari Basra, Asim dari Kufah, Hamza dari Kufah, dan Al-Kisa'i dari Kufah.

Kemudian, empat bacaan tambahan ditambahkan, menjadikan totalnya 14 varian. Meskipun demikian, hanya dua varian utama yang masih digunakan secara luas hingga hari ini: Bacaan Hafs dari Asim, yang mendominasi dunia Islam saat ini dan Bacaan Warsh dari Nafi', yang banyak digunakan di Afrika Utara.

Edisi Al-Qur'an yang digunakan secara luas saat ini adalah versi Kairo 1924, yang didasarkan pada bacaan Hafs. Versi ini diterima secara luas sebagai standar, meskipun varian bacaan lainnya masih bertahan di beberapa wilayah.

Beberapa akademisi Barat meneliti bukti sejarah terkait Al-Qur'an dan menemukan adanya variasi tekstual serta indikasi bahwa teks ini mengalami penyuntingan selama beberapa abad pertama Islam. Mereka berpendapat bahwa kodifikasi Al-Qur'an mungkin terjadi lebih lambat dari yang diklaim oleh tradisi Islam, dan prosesnya melibatkan banyak tahap revisi sebelum mencapai bentuk akhirnya.

Para peneliti juga mencatat bahwa gagasan bahwa Al-Qur'an tidak berubah sejak diturunkan sering kali digunakan sebagai argumen apologetik untuk menutup ruang kajian kritis terhadap teks ini. Namun, bukti manuskrip menunjukkan bahwa perubahan, variasi, dan proses standarisasi terjadi secara bertahap.

Buku Critical Qur'an berusaha memberikan wawasan tentang bagaimana Al-Qur'an dipahami dalam Islam serta bagaimana teksnya berkembang dari masa ke masa. Dengan menyoroti berbagai tafsir dan varian teks, buku ini ingin mengajak pembaca untuk melihat Al-Qur'an sebagai dokumen sejarah yang dapat dikaji dengan metode akademik, bukan hanya sebagai teks keagamaan yang bersifat tetap dan tidak berubah.

Ketika Spencer menguraikan tentang Surah 1: Al-Fatihah (Pembukaan), ia menjelaskan bahwa Al-Fatihah adalah surah pertama dalam Al-Qur'an dan merupakan doa yang paling sering dibaca dalam ajaran Islam. Setiap Muslim yang menjalankan lima salat wajib setiap hari akan mengucapkan Al-Fatihah sebanyak tujuh belas kali dalam rangkaian ibadah tersebut.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda bahwa Allah tidak pernah menurunkan sesuatu yang setara dengan Umm Al-Quran—sebutan lain bagi Al-Fatihah—baik dalam Taurat maupun Injil.

Hadis lain menyebutkan bahwa malaikat Jibril memberikan kedudukan khusus bagi surah ini. Dikisahkan bahwa saat Jibril sedang bersama Muhammad, ia mendengar suara dari langit, lalu berkata: "Hari ini, sebuah gerbang di surga telah dibuka, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya." Setelah itu, seorang malaikat turun melalui gerbang tersebut—malaikat yang sebelumnya belum pernah turun ke bumi. Malaikat itu menyampaikan kepada Muhammad bahwa ia menerima dua cahaya istimewa yang belum pernah diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya, yaitu Al-Fatihah dan ayat terakhir dari surah Al-Baqarah. Malaikat itu juga menambahkan bahwa setiap kali ayat-ayat tersebut dibaca, akan ada keberkahan di dalamnya.

Selain membawa berkah, Al-Fatihah juga dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa seorang yang mengalami gangguan mental dapat disembuhkan hanya dengan pembacaan surah ini.

Secara ringkas, Al-Fatihah menggambarkan banyak konsep utama dalam Islam, seperti Allah sebagai Tuhan seluruh alam, satu-satunya yang layak disembah, sumber pertolongan, serta hakim yang penuh kasih di Hari Kiamat.

Karena Al-Fatihah merupakan bagian penting dalam doa Muslim, sebagian besar ulama berpendapat bahwa surah ini diturunkan di Mekkah, pada masa-masa awal kenabian Muhammad. Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi, pernah mengatakan bahwa Al-Fatihah berasal dari sebuah "harta karun" di bawah singgasana Ilahi. Seorang ulama abad ke-11, Al-Wahidi, meriwayatkan bahwa beberapa ulama percaya Al-Fatihah adalah wahyu pertama yang diterima Muhammad, bukan surah 96 (Al-'Alaq), seperti yang umum diyakini. Pendapat ini juga didukung oleh Zamakhshari, seorang cendekiawan abad ke-12, yang menyebutkan bahwa banyak komentator Al-Qur'an di masanya menganggap Al-Fatihah sebagai wahyu pertama.

Namun, pandangan bahwa Al-Fatihah adalah wahyu pertama hanya dipegang oleh sebagian kecil ulama. Sebagian besar ulama saat ini meyakini bahwa surah 96, atau setidaknya bagian awalnya, merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad.

Ada juga catatan sejarah yang menunjukkan perbedaan dalam penerimaan surah ini pada awal Islam. Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat Nabi, bahkan tidak memasukkan Al-Fatihah dalam mushaf Al-Qur'an versinya. Beberapa ulama Islam awal lainnya juga menyatakan keraguan mengenai statusnya.

Keunikan Al-Fatihah dibandingkan bagian lain dalam Al-Qur'an adalah bahwa surah ini berbentuk doa yang dipanjatkan oleh orang beriman kepada Allah, bukan wahyu langsung dari Allah kepada Muhammad. Menurut ajaran Islam, setiap bagian dalam Al-Qur'an adalah firman Allah. Oleh karena itu, dalam Al-Fatihah, orang beriman harus memahami bahwa Allah sedang mengajarkan bagaimana cara mereka harus berdoa dan memuji-Nya, meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan demikian.

Analisis Kritis terhadap Buku The Critical Qur'an karya Robert Spencer dan Kaitannya dengan Islamofobi

Buku The Critical Qur'an: Explained from Key Islamic Commentaries and Contemporary Historical Research karya Robert Spencer merupakan salah satu upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan yang disebutnya sebagai "kritikal". Buku ini mengklaim menggunakan berbagai tafsir Islam klasik serta penelitian sejarah kontemporer untuk menjelaskan isi Al-Qur'an. Namun, analisis terhadap buku ini menunjukkan sejumlah kelemahan mendasar, baik dalam hal metodologi, bias ideologis, maupun selektivitas sumber. Selain itu, buku ini juga berkaitan erat dengan narasi Islamofobia yang berkembang di Barat.

1. Pendekatan dan Metodologi. Dalam buku ini, Spencer mengadopsi pendekatan historis-kritis yang umum digunakan dalam studi tekstual, khususnya dalam kajian Bibel di Barat. Pendekatan ini berusaha membaca Al-Qur'an dalam konteks sejarahnya serta meneliti bagaimana ayat-ayatnya ditafsirkan oleh berbagai mufasir sepanjang sejarah Islam. Secara teoritis, pendekatan ini dapat memberikan wawasan yang kaya, terutama ketika dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai sumber dan perspektif yang berbeda.

Namun, dalam praktiknya, Spencer lebih cenderung menggunakan pendekatan selektif dengan menekankan interpretasi yang sesuai dengan pandangan kritisnya terhadap Islam. Dalam studinya tentang Al-Qur'an, ia kerap mengutip tafsir klasik seperti Tafsir al-Jalalayn (al-Suyuti & al-Mahalli, abad ke-15), Tafsir al-Tabari (abad ke-10), dan Tafsir Ibn Kathir (abad ke-14), tetapi jarang memberikan ruang bagi tafsir yang lebih moderat dan filosofis seperti Tafsir al-Razi (abad ke-13). Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai objektivitas analisisnya, karena dalam kajian akademik yang lebih luas, tafsir tidak bisa diperlakukan secara selektif tanpa mempertimbangkan latar belakang pemikiran dan metodologi yang digunakan oleh masing-masing mufasir (Nasr, 2015).

Selain itu, Spencer tampaknya tidak terlalu memperhitungkan perbedaan mazhab dalam Islam yang memengaruhi cara penafsiran Al-Qur’an. Dalam sejarah Islam, penafsiran Al-Qur'an tidak monolitik; ada perbedaan mendasar antara pendekatan Sunni, Syiah, Mu'tazilah, hingga tafsir kontemporer yang lebih hermeneutis (Rahman, 1980). Spencer tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap keragaman ini, yang berakibat pada penyajian tafsir yang cenderung simplistis dan tidak mencerminkan spektrum pemikiran Islam yang luas.

2. Kritik terhadap Isi dan Kesimpulan

(a) Bias Ideologis dalam Interpretasi. Salah satu kritik utama terhadap buku ini adalah adanya bias ideologis dalam interpretasinya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Spencer telah lama dikenal sebagai kritikus Islam, dan banyak karyanya cenderung mendukung narasi bahwa Islam adalah agama yang berbahaya bagi peradaban Barat (Esposito, 2011). Dalam The Critical Qur'an, ia menggunakan pendekatan yang serupa, di mana ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad, hubungan Muslim dan non-Muslim, serta hukum Islam ditafsirkan dengan nada yang menguatkan stereotip negatif tentang Islam.

Sebagai contoh, ketika membahas ayat-ayat yang berkaitan dengan peperangan, Spencer menafsirkan ayat tersebut dalam konteks yang seolah-olah menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kekerasan secara inheren. Pendekatan ini mengabaikan konteks sejarah dan tafsir alternatif yang lebih bernuansa. Dalam kajian akademik yang lebih seimbang, ayat-ayat tersebut biasanya dikaji dalam konteks peperangan yang terjadi pada masa awal Islam, di mana umat Islam menghadapi ancaman eksistensial (Reynolds, 2018).

(b). Selektivitas Sumber. Meskipun Spencer mengklaim menggunakan tafsir Islam klasik, ia hanya mengutip sumber-sumber tertentu yang mendukung argumennya. Ia mengandalkan Tafsir Ibn Kathir dan Tafsir al-Tabari, yang memang memiliki kecenderungan skripturalis, tetapi mengabaikan tafsir yang lebih filosofis dan kontekstual seperti Tafsir al-Razi atau al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi (al-Dzahabi, 1976).

Lebih jauh lagi, ia jarang mengutip karya-karya sarjana Muslim kontemporer yang telah memberikan analisis kritis terhadap Al-Qur’an dengan pendekatan yang lebih objektif dan akademik. Misalnya, Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1980) mengajukan pendekatan historis yang lebih sistematis dalam memahami teks Al-Qur’an dalam konteks sosialnya, sementara Spencer tampaknya hanya fokus pada aspek yang dapat mendukung argumen negatifnya.

Robert Spencer dan Islamofobia di Barat

Robert Spencer bukan satu-satunya akademisi Barat yang dianggap memiliki bias terhadap Islam. Sejumlah sarjana dan tokoh Barat lainnya juga telah mempromosikan narasi Islamofobia, di antaranya: Pertama, Bat Ye’or (Gisèle Littman), yang terkenal dengan konsep "Eurabia", teori konspirasi yang menyatakan bahwa Islamisasi Eropa adalah proyek jangka panjang yang didukung oleh elit politik Barat (Ye’or, 2005). Kedua, Daniel Pipes, yang sering mengklaim bahwa Islam adalah ancaman bagi peradaban Barat dan menyebarkan narasi bahwa Muslim di Barat tidak bisa dipercaya (Pipes, 2002). Ketiga, Ayaan Hirsi Ali, yang dalam berbagai bukunya menyebut Islam sebagai agama yang mendukung kekerasan dan penindasan terhadap perempuan tanpa mempertimbangkan kompleksitas sejarah dan budaya Muslim (Ali, 2010).

Islamofobia yang dipromosikan oleh tokoh-tokoh ini berbahaya karena dapat meningkatkan prasangka terhadap komunitas Muslim di Barat dan memperburuk ketegangan sosial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Runnymede Trust (1997), Islamofobia didefinisikan sebagai pandangan yang menganggap Islam sebagai "monolitik, statis, dan inferior terhadap peradaban Barat". Narasi semacam ini sering kali digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap Muslim dan kebijakan-kebijakan yang bersifat represif, seperti larangan jilbab di beberapa negara Eropa atau kebijakan imigrasi yang diskriminatif terhadap Muslim.

Buku The Critical Qur'an karya Robert Spencer dapat menjadi bacaan bagi mereka yang ingin melihat perspektif kritis terhadap Al-Qur'an, tetapi pembaca harus berhati-hati dalam menerima kesimpulannya. Dengan keterbatasan dalam metodologi, selektivitas sumber, dan bias ideologis, buku ini lebih cocok dikategorikan sebagai literatur polemik daripada sebagai kajian akademik yang objektif.

Lebih jauh lagi, buku ini tidak bisa dilepaskan dari tren Islamofobia yang berkembang di Barat, di mana narasi yang menyudutkan Islam digunakan untuk mendukung kebijakan anti-Muslim. Oleh karena itu, dalam memahami Al-Qur'an dan Islam secara keseluruhan, sangat penting bagi pembaca untuk merujuk pada kajian akademik yang lebih objektif, seperti yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, John L. Esposito, dan Seyyed Hossein Nasr, yang berusaha menghadirkan pemahaman yang lebih komprehensif dan kontekstual.

Terjemahan Al-Qur'an Sarjana Barat

Penerjemahan Al-Qur'an oleh sarjana Barat, mencerminkan hubungan yang sangat kompleks antara tradisi intelektual Barat dan teks suci Islam. Penerjemahan ini tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami makna teks, tetapi juga sebagai sarana untuk merefleksikan pergeseran sosial, politik, dan religius di dunia Barat. Dari terjemahan awal yang dilakukan oleh Robert of Ketton pada abad ke-12 hingga terjemahan kontemporer yang dihasilkan oleh para sarjana seperti M.A.S. Abdel Haleem dan Thomas Cleary, kita dapat melihat bahwa penerjemahan Al-Qur'an telah mengalami banyak transformasi dalam hal metode, tujuan, dan interpretasi.

Pada abad ke-12, Robert of Ketton menjadi sarjana Barat pertama yang menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Latin. Meskipun ketidakpahaman terhadap bahasa Arab dan budaya Islam sangat kuat pada saat itu, penerjemahan ini lebih bertujuan untuk menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang terpisah dan berbeda secara fundamental dengan ajaran Kristen. Ketton bekerja dalam konteks Eropa yang tengah berada di bawah pengaruh kuat Kristen dan menyusun Al-Qur'an untuk memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara keduanya (Halevi, 2009).

Pada abad ke-18, dengan terjemahan George Sale (1734), pendekatan yang lebih kritis mulai muncul. Meskipun Sale lebih terinformasi tentang Islam dan bahasa Arab daripada penerjemah sebelumnya, karyanya masih dipengaruhi oleh sikap negatif terhadap Islam. Sale berusaha menampilkan Al-Qur'an sebagai sebuah teks yang meragukan, dengan menyoroti beberapa ajaran yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Hal ini mencerminkan pandangan orientalis pada masa itu yang melihat Islam sebagai "heretical" atau sesat dalam konteks tradisi Kristen (Said, 1978). Namun, meskipun memiliki kecenderungan itu, Sale juga menyediakan penjelasan yang lebih terperinci mengenai teks-teks Al-Qur'an, memberikan kontribusi terhadap pemahaman lebih dalam tentang agama Islam di Barat.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak sarjana yang mengembangkan pendekatan lebih ilmiah dalam menerjemahkan Al-Qur'an. Muhammad Marmaduke Pickthall, seorang Muslim yang memeluk Islam, menerjemahkan Al-Qur'an pada tahun 1930 dengan berjudul The Meaning of the Glorious Koran. Pickthall berusaha mempertahankan keindahan bahasa Arab dalam terjemahannya sambil memberikan penjelasan yang lebih seimbang tentang ajaran Islam (Pickthall, 1930). Meskipun demikian, Pickthall tidak sepenuhnya menghindari bias orientalis dalam interpretasinya terhadap teks, seperti penekanan pada perbedaan antara Islam dan Kristen. Namun, terjemahannya membuka ruang bagi pemahaman yang lebih nuansial dan berbasis pada makna rohaniah, ketimbang hanya sekadar membandingkan kedua agama tersebut secara teologis.

Sebagai contoh lain, terjemahan Al-Qur'an oleh Arthur J. Arberry (1955) bertujuan untuk mendekatkan pembaca pada keindahan sastra Al-Qur'an, sambil tetap setia pada bentuk dan struktur teks aslinya. Arberry, yang memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, memberikan pembaca pengalaman yang lebih estetis dalam membaca Al-Qur'an, meskipun ia tidak menghindari kritik terhadap ajaran Islam (Arberry, 1955). Salah satu kekurangan utama dari terjemahan ini adalah bahwa Arberry, meskipun menghargai keindahan sastra, kadang-kadang terjebak dalam interpretasi yang cenderung idealis dan tidak mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah di balik wahyu tersebut (Halevi, 2009).

Terjemahan Al-Qur'an di abad ke-21, seperti karya M.A.S. Abdel Haleem dalam The Qur'an: A New Translation (2004) dan Thomas Cleary dalam The Qur'an: A New Translation (2004), menunjukkan upaya yang lebih besar untuk menghadirkan teks dengan cara yang lebih kontekstual dan relevan bagi pembaca modern. Abdel Haleem menekankan pentingnya konteks sejarah dan sosial dalam memahami wahyu, serta berusaha untuk membuat terjemahannya lebih dapat dipahami oleh pembaca non-Arab tanpa mengurangi keakuratan teks asli (Haleem, 2004). Terjemahannya berusaha menghindari kesalahan yang dilakukan oleh penerjemah sebelumnya yang mungkin tidak memperhatikan pentingnya konteks dalam menyampaikan pesan-pesan Al-Qur'an.

Sementara itu, karya Thomas Cleary juga berfokus pada dimensi mistis dan kontemplatif Al-Qur'an, mencerminkan peningkatan pemahaman tentang aspek batiniah dari teks tersebut. Cleary lebih banyak menekankan pada pesan universal dari Al-Qur'an, yang dapat diterima oleh pembaca dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Namun, seperti halnya dengan karya-karya sebelumnya, terjemahan Cleary tidak sepenuhnya bebas dari interpretasi subyektif yang dipengaruhi oleh pandangan pribadi dan orientalis dalam konteks keagamaan dan budaya Barat (Cleary, 2004).

Secara keseluruhan, penerjemahan Al-Qur'an oleh sarjana Barat dari abad ke-15 hingga abad ke-21 menunjukkan perubahan besar dalam cara pemahaman terhadap Islam. Dari terjemahan yang penuh dengan prasangka dan ketidaktahuan pada awalnya, hingga upaya yang lebih ilmiah dan kontemporer dalam menghadirkan teks tersebut dengan cara yang lebih adil dan kontekstual pada abad ke-21. Namun, meskipun banyak terjemahan yang berusaha untuk menjadi lebih objektif, beberapa masih dipengaruhi oleh bias orientalis yang mencerminkan pandangan negatif terhadap Islam.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun terjemahan Barat memiliki kontribusi besar terhadap pemahaman global tentang Al-Qur'an, mereka tetap hanya salah satu interpretasi dari teks yang lebih besar dan lebih kompleks. Oleh karena itu, pembaca yang tertarik untuk memahami Al-Qur'an dengan lebih mendalam seharusnya melihat terjemahan ini sebagai bagian dari proses dialog antara budaya, bukan sebagai representasi final dari makna yang terkandung dalam Al-Qur'an.

Terjemahan dalam Bahasa Inggris yang Direkomendasikan

Karena ada beberapa terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris yang dinilai kontroversial, maka sebaiknya membaca atau merujuk kepada terjemahan Al-Qur'an yang recommended. Berikut adalah beberapa rekomendasi terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris yang diakui baik oleh kalangan akademis maupun umat Islam secara umum:

1. M.A.S. Abdel Haleem – The Qur'an: A New Translation (2004). Terjemahan ini dianggap sangat baik karena memadukan kesetiaan terhadap teks Arab dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca modern. M.A.S. Abdel Haleem memberikan penekanan pada konteks sosial dan historis dalam setiap ayat. Terjemahannya juga dikenal lebih mengutamakan kedalaman makna dan keindahan sastra Al-Qur'an. Terjemahan ini banyak dipuji karena keberhasilannya menyampaikan pesan universal Al-Qur'an dengan jelas dan elegan.

2. Saheeh International – The Qur'an: A Translation (1997). Saheeh International menawarkan terjemahan yang lugas dan akurat, tanpa terlalu banyak tambahan penjelasan atau interpretasi. Terjemahan ini berfokus pada penyajian makna teks Al-Qur'an dalam bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca awam. Banyak orang menyukai terjemahan ini karena jelas dan bebas dari bahasa yang membingungkan, serta tetap menjaga kesetiaan terhadap makna asli.

3. Thomas Cleary – The Qur'an: A New Translation (2004). Thomas Cleary dikenal karena pendekatannya yang lebih spiritual dan filosofis dalam menerjemahkan Al-Qur'an. Terjemahan ini sangat cocok bagi pembaca yang tertarik pada dimensi mistis dan kontemplatif Al-Qur'an, serta bagi mereka yang tertarik dengan ajaran tasawuf. Cleary berfokus pada makna batiniah dari wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad.

4. Pickthall – The Meaning of the Glorious Koran (1930). Terjemahan karya Muhammad Marmaduke Pickthall, seorang Muslim asal Inggris, adalah salah satu yang pertama kali diakui luas di dunia Barat. Meskipun menggunakan bahasa Inggris klasik, terjemahan ini tetap dihargai karena kesetiaannya terhadap teks aslinya dan kemampuannya untuk menyampaikan nuansa Al-Qur'an dengan jelas.

5. Abdullah Yusuf Ali – The Meaning of the Holy Qur'an (1934). Salah satu terjemahan yang paling terkenal dan digunakan luas, terjemahan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1934. Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan yang sangat rinci melalui catatan kaki, yang menjelaskan konteks historis, sosial, dan linguistik di balik ayat-ayat Al-Qur'an. Meskipun bahasa yang digunakan terkesan klasik dan kadang-kadang berat, terjemahan ini masih dianggap sebagai salah satu terjemahan yang paling penting dan komprehensif. Yusuf Ali tidak hanya fokus pada terjemahan kata demi kata, tetapi juga berusaha menyampaikan makna yang lebih dalam dari teks Al-Qur'an.

6. Muhammad Asad – The Message of the Qur'an (1980). Muhammad Asad, seorang mantan Yahudi yang kemudian menjadi seorang Muslim, dikenal dengan terjemahannya yang sangat intelektual dan berbasis pada pemikiran filosofis serta analisis sosial. Terjemahan The Message of the Qur'an pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 dan menjadi sangat populer karena pendekatan rasional dan mendalam yang diambil Asad dalam menyampaikan makna Al-Qur'an. Asad menggunakan bahasa Inggris yang jelas dan lugas, serta memberikan penjelasan yang mengacu pada konteks sosial dan historis, serta relevansi ayat-ayat Al-Qur'an dengan masalah-masalah kontemporer. Terjemahan ini juga dilengkapi dengan catatan kaki yang mendalam dan refleksi filosofis yang sangat berguna untuk pembaca yang ingin memahami Al-Qur'an dengan perspektif yang lebih luas.

The Message of The Qur'an (6 Volume Set) oleh Muhammad Asad adalah edisi komprehensif dan terkini dari salah satu terjemahan dan tafsir Bahasa Inggris yang paling dihormati terhadap Al-Qur'an. Set enam volume ini diterbitkan dalam bentuk paperback dan disajikan dalam kotak yang praktis, dirancang untuk kemudahan dalam pembawaannya, menjadikannya sangat ideal bagi para pelajar dan pembaca yang ingin belajar sambil bepergian. Setiap volume memuat teks asli Al-Qur'an dalam bahasa Arab, disertai dengan terjemahan bahasa Inggris dan komentar yang mendalam dari Asad, serta transliterasi bahasa Arab yang telah dirumuskan dalam huruf Latin. Selain itu, set ini juga mencakup panduan pelafalan, indeks nama-nama dan konsep-konsep kunci yang telah disusun ulang, serta karya seni asli oleh seniman Muslim terkenal, Dr. Ahmed Moustafa.

Terjemahan Muhammad Asad sangat dihormati karena kedalaman intelektualnya dan seringkali merujuk pada tafsir-tafsir klasik Islam, seperti yang ditulis oleh Al-Zamakhshari. Pengalaman unik Asad, mulai dari kehidupan awalnya di Teluk hingga perannya sebagai duta besar Pakistan untuk PBB, memberikan wawasan yang berharga tentang asal-usul Al-Qur'an dan relevansinya yang abadi di dunia modern. Edisi ini bukan hanya sebuah terjemahan, tetapi juga sebuah kajian tafsir yang kaya akan penjelasan mendalam mengenai teks-teks Al-Qur'an, sehingga sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin memahami makna dan konteksnya secara lebih luas.

Set ini diterbitkan oleh Dar al-Andalus pada tahun 1980, dan hingga kini tetap menjadi salah satu karya terjemahan yang paling dihormati dan banyak digunakan di kalangan pembaca dan peneliti bahasa Inggris.

Penting untuk dicatat bahwa The Meaning of the Holy Qur'an oleh Yusuf Ali dan The Message of the Qur'an oleh Muhammad Asad, memiliki pendekatan yang berbeda. Yusuf Ali lebih fokus pada penjelasan teks dengan tambahan informasi yang kaya tentang latar belakang historis dan sosial. Sementara Muhammad Asad, dengan latar belakangnya yang intelektual, memberikan penekanan pada pemahaman yang lebih modern dan rasional terhadap teks Al-Qur'an. Keduanya memberikan pandangan yang kaya dan mendalam, menjadikan keduanya pilihan penting bagi pembaca yang ingin memahami Al-Qur'an dalam bahasa Inggris.

Kritik terhadap Orientalis dan Orientalisme

Orientalis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut para sarjana atau ilmuwan Barat yang mengkaji budaya, sejarah, dan bahasa-bahasa Timur, termasuk Islam, dengan perspektif akademis dan intelektual. Namun, dalam perkembangan studi Orientalisme, terdapat banyak kritik terhadap metodologi dan tujuan yang dimiliki oleh banyak orientalis. Kritik ini sering kali berfokus pada bias, asumsi yang tidak adil, serta dampak politik dan sosial dari Orientalisme yang lebih luas. Berikut adalah beberapa kritik utama terhadap Orientalis dan Orientalisme.

1. Orientalisme Sebagai Alat Kolonialisasi

Salah satu kritik paling mendalam terhadap Orientalisme adalah bahwa orientalis seringkali bertindak sebagai agen kolonial, yang memandang dunia Timur, termasuk dunia Islam, sebagai "lahan kosong" yang perlu dijajah, dipahami, dan diatur. Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978) menekankan bahwa studi tentang Timur (Orientalisme) pada dasarnya adalah konstruksi yang didorong oleh kepentingan politik dan ekonomi Barat. Menurut Said, orientalis Barat membangun citra dunia Timur yang "lengah," "terbelakang," dan "eksotis" untuk justifikasi imperialisme dan kolonialisasi. Konsep ini berperan untuk mendukung struktur kekuasaan Barat dan memberi landasan intelektual untuk intervensi dan dominasi politik di wilayah Timur.

Said berargumen bahwa Orientalisme lebih dari sekadar studi akademik, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat kekuasaan politik dan dominasi ekonomi Barat. Dalam hal ini, Orientalisme tidak hanya mencerminkan studi ilmiah semata, tetapi lebih kepada pemahaman dunia Timur yang dibentuk oleh persepsi Barat, yang sering kali bersifat merendahkan dan mengabaikan kompleksitas serta keberagaman budaya Timur.

2. Konstruksi Stereotip tentang Islam dan Timur

Salah satu kritik utama terhadap Orientalis adalah kecenderungannya untuk menciptakan gambaran stereotip tentang Timur, khususnya Islam. Banyak orientalis mengklasifikasikan Islam sebagai agama yang terbelakang, fanatik, dan tidak rasional. Misalnya, dalam karya-karya awal orientalis seperti The History of the Saracens (1855) oleh Sir William Muir, Islam digambarkan sebagai agama yang lahir dari kekerasan dan penaklukan, dengan pengaruh besar pada masyarakat Timur yang dianggap sebagai dunia yang lebih rendah dibandingkan dengan peradaban Barat.

Studi tentang sejarah Islam oleh orientalis sering kali diwarnai oleh perspektif yang tidak adil, yang mengabaikan kontribusi besar peradaban Islam dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan arsitektur. Beberapa orientalis juga gagal memahami kompleksitas teks-teks Islam, serta peran yang dimainkan oleh konteks sosial, politik, dan sejarah dalam pengembangan agama dan kebudayaan Islam.

Sebagai contoh, penelitian terhadap Al-Qur'an sering kali mengabaikan aspek keberagaman tafsir dan konteks historis yang membentuknya. Orientalis terkadang terlalu fokus pada kritik terhadap otoritas keagamaan atau tradisi hukum Islam, tanpa memberikan penekanan pada kontribusi spiritual dan intelektual yang sangat kaya dari tradisi Islam itu sendiri.

3. Pandangan Subyektif dan Bias dalam Penelitian

Kritik lain yang sering diajukan terhadap Orientalis adalah ketidakmampuan mereka untuk melepaskan diri dari bias pribadi atau budaya mereka. Banyak orientalis, meskipun sering mengklaim objektivitas ilmiah, terjebak dalam asumsi-asumsi budaya dan sosial yang lebih besar yang mempengaruhi penelitian mereka. Sebagai contoh, banyak orientalis yang berasal dari negara-negara kolonial atau negara dengan pandangan dominan terhadap agama Kristen, yang kemudian menilai agama Islam melalui lensa teologi Kristen, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan konsep-konsep yang ada dalam Islam sendiri.

Penelitian yang dipengaruhi oleh bias ini dapat menimbulkan kesalahpahaman yang besar dan bahkan menyebarkan kesan negatif terhadap Islam dan kebudayaan Timur. Kritikus terhadap Orientalisme berpendapat bahwa banyak orientalis gagal untuk memahami agama dan budaya yang mereka teliti secara mendalam dan sering kali menulis berdasarkan pandangan yang terlalu sederhana dan mendiskreditkan.

4. Pengabaian Terhadap Perspektif Timur

Dalam banyak karya orientalis, sering kali terdapat kecenderungan untuk mengabaikan atau meremehkan perspektif orang Timur sendiri. Menurut kritik ini, para orientalis sering kali berbicara tentang dunia Islam tanpa memberi ruang bagi suara-suara dari dalam dunia Islam itu sendiri. Peneliti Barat tidak jarang berasumsi bahwa mereka lebih tahu tentang realitas budaya dan sosial Timur daripada orang-orang yang sebenarnya tinggal dan hidup dalam budaya tersebut.

Ini menciptakan ketimpangan dalam representasi yang ada, di mana suara dan pandangan orang Timur seringkali dipinggirkan, dan pandangan Barat menjadi dominan. Sebagai contoh, dalam kajian sejarah Islam, narasi yang dibangun oleh orientalis sering kali mengabaikan pengaruh besar ulama, filsuf, dan ilmuwan Muslim dalam mengembangkan pemikiran Islam dan dunia ilmiah pada umumnya.

5. Menjaga Keberlanjutan Orientalisme dalam Studi Islam Kontemporer

Meskipun banyak kritik terhadap Orientalisme, dampaknya tetap terlihat dalam banyak penelitian dan studi Islam kontemporer. Bahkan, beberapa orientalis kontemporer masih melanjutkan pendekatan yang lebih kritis terhadap Islam, tanpa benar-benar memahami atau mengakui perkembangan positif dalam dunia Muslim. Dalam beberapa kasus, pendekatan ini masih digunakan untuk mengeksploitasi ketegangan sosial dan politik antara dunia Barat dan Islam.

Kritikus kontemporer menekankan bahwa studi tentang Islam harus lebih inklusif, tidak hanya dari sudut pandang Barat, tetapi juga harus membuka ruang bagi suara-suara Muslim dan perspektif mereka terhadap agama dan kebudayaan mereka sendiri. Peneliti Muslim dan non-Muslim yang simpatik terhadap Islam kini lebih menekankan pentingnya studi Islam yang adil, transparan, dan bebas dari prasangka budaya.

Kritik terhadap Orientalis dan Orientalisme sangat penting dalam mendekonstruksi pandangan Barat yang merendahkan terhadap dunia Timur dan Islam. Orientalisme telah lama dianggap sebagai sebuah cara untuk memanipulasi pengetahuan demi mendukung kekuasaan politik Barat, dan banyak studi yang dilakukan oleh orientalis berpotensi menghambat pemahaman yang lebih adil dan seimbang tentang Islam. Oleh karena itu, penting untuk terus mengembangkan pendekatan yang lebih kritis, inklusif, dan dialogis dalam studi Islam, yang memperhitungkan perspektif dari dalam tradisi Islam itu sendiri.

Orientalis Barat yang Simpati terhadap Islam

Dalam sejarah studi Islam, beberapa orientalis Barat menunjukkan pendekatan yang lebih simpatik terhadap Islam, berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam dan berimbang, meskipun tetap dalam konteks dominasi budaya Barat. Orientalis-Orientalis ini sering kali mengkritik pandangan negatif yang berkembang di Barat dan mencoba untuk menghargai nilai-nilai dan kontribusi budaya Islam terhadap peradaban dunia.

1. Edward Said

Edward Said, seorang intelektual dan ahli sastra asal Palestina, adalah salah satu orientalis Barat paling berpengaruh dalam kajian pascakolonial. Karyanya yang monumental, Orientalism (1978), meskipun lebih dikenal karena kritiknya terhadap pandangan dominan Barat terhadap Timur, juga menunjukkan bahwa ada tempat bagi studi Islam yang lebih menghargai kekayaan dan kompleksitas budaya Timur. Said memandang bahwa orientalisme sering kali berfungsi untuk membenarkan kolonialisme, tetapi ia juga memberikan ruang bagi studi yang lebih adil terhadap Timur, termasuk Islam. Dengan mengkritik pendekatan yang bias, Said membuka jalan bagi pendekatan yang lebih humanis dan kritis dalam memahami Islam dan Timur.

2. Arthur Jeffrey

Arthur Jeffrey adalah seorang orientalis asal Inggris yang terkenal dengan kontribusinya dalam studi teks-teks Islam, terutama dalam analisis terhadap Al-Qur'an. Dalam karya-karyanya, Jeffrey menunjukkan minat yang mendalam terhadap pemahaman teks-teks Islam secara lebih objektif dan ilmiah. Bukunya yang paling terkenal, The Foreign Vocabulary of the Qur’an (1938), mencoba menganalisis istilah-istilah asing dalam Al-Qur'an dan bagaimana kata-kata tersebut berhubungan dengan konteks historis dan linguistik yang lebih luas. Pendekatan Jeffrey menunjukkan usaha untuk memahami Al-Qur'an dalam kerangka ilmiah dan kritis, dengan penghargaan terhadap tekstualitasnya.

3. Gustave von Grunebaum

Gustave von Grunebaum adalah seorang orientalis Jerman yang dikenal atas kontribusinya dalam memahami peradaban Islam. Ia menulis karya-karya penting yang mencoba memberikan perspektif yang lebih netral dan berbasis pada sejarah mengenai peradaban Islam. Dalam bukunya Islam: A Historical Introduction (1955), von Grunebaum memberikan penjelasan tentang sejarah Islam yang luas, mencakup tidak hanya aspek keagamaan, tetapi juga aspek budaya dan politik. Ia menekankan bahwa Islam memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya dunia, dan bahwa peradaban Islam harus dilihat dalam konteks positif dan berkembang.

4. Maxime Rodinson

Maxime Rodinson adalah seorang orientalis asal Perancis yang dikenal karena pemikirannya yang lebih simpatik terhadap Islam dan budaya Arab. Dalam bukunya yang terkenal Muhammad (1961), Rodinson menulis biografi Nabi Muhammad dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan menghargai konteks sosial dan historisnya. Meskipun Rodinson seorang ateis, ia menilai Muhammad sebagai seorang pemimpin yang memiliki visi besar dan mampu membawa perubahan sosial yang signifikan dalam masyarakat Arab. Rodinson berusaha untuk menghapuskan stereotip tentang Muhammad dan Islam yang sering kali dipandang secara negatif di Barat, dan ia menganggap Nabi Muhammad sebagai seorang tokoh historis yang sangat berpengaruh.

5. Louis Massignon

Louis Massignon, seorang orientalis Perancis, adalah salah satu sarjana Barat yang sangat terpesona oleh mistisisme Islam, khususnya dalam tradisi Sufisme. Massignon dikenal karena kedekatannya dengan ajaran-ajaran mistik dalam Islam dan kontribusinya dalam menjembatani pemahaman antara Islam dan Kristen. Karyanya yang paling terkenal, The Passion of al-Hallaj (1921), mengkaji kehidupan dan ajaran al-Hallaj, seorang sufi yang dihukum mati oleh penguasa Islam karena klaimnya sebagai seorang yang bersatu dengan Tuhan. Massignon tidak hanya menghormati kedalaman spiritual dalam Islam, tetapi juga menekankan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang Islam dapat membantu meredakan ketegangan antaragama, khususnya antara Islam dan Kristen.

6. Richard Bell

Richard Bell adalah seorang orientalis asal Inggris yang fokus pada studi Al-Qur'an dan tafsir. Dalam bukunya The Qur’an: A Textual History (1928), Bell menganalisis teks Al-Qur'an dengan menggunakan metode kritis, tetapi ia juga mengakui keindahan dan keagungan sastra yang terkandung dalam Al-Qur'an. Bell memberikan perhatian khusus pada latar belakang historis dan sosial dari ayat-ayat Al-Qur'an, serta menyadari pentingnya teks ini dalam membentuk kehidupan spiritual umat Islam. Meski beberapa pandangannya kritis terhadap otoritas tradisional dalam Islam, ia juga menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap pentingnya Al-Qur'an sebagai teks yang sangat berpengaruh.

7. Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis Hungaria yang sering dianggap sebagai pendiri ilmu hadits dalam studi Islam. Dalam karyanya Introduction to Islamic Theology and Law (1910), Goldziher memberikan analisis yang mendalam tentang perkembangan teologi Islam dan hukum Islam. Meskipun ia mengkritik beberapa aspek tradisi Islam, terutama dalam hal hadits, ia juga menghargai banyak aspek intelektual dan spiritual dalam agama Islam. Goldziher menekankan pentingnya memahami Islam sebagai sebuah tradisi yang dinamis, dengan penghargaan terhadap perkembangan teologis dan hukum yang telah mengisi sejarah panjang agama ini.

Pentingnya Pandangan Simpatik dari Orientalis

Pandangan yang lebih simpatik terhadap Islam dari orientalis ini memainkan peran penting dalam mengoreksi banyak stereotip negatif tentang Islam yang berkembang di Barat. Mereka memberikan kontribusi penting dalam membuka ruang bagi dialog antara Timur dan Barat, serta mengurangi ketegangan yang sering muncul akibat ketidakpahaman. Pendekatan yang lebih netral dan ilmiah dari orientalis-Orientalis ini telah membantu masyarakat Barat untuk lebih memahami Islam dan peran pentingnya dalam sejarah dunia. Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya menghargai keberagaman budaya dan agama dalam dunia yang semakin terhubung.

Kritik Robert Spencer dan Orientalisme Simpatik dalam Kajian Islam

Kajian tentang Islam di Barat berkembang melalui berbagai pendekatan, dari yang sangat kritis hingga yang simpatik terhadap tradisi Islam. Robert Spencer, dalam karyanya The Critical Qur'an, mewakili pendekatan yang sering dikritik sebagai selektif dan bias, sedangkan para orientalis seperti Edward Said, Louis Massignon, dan Maxime Rodinson mengadopsi pendekatan yang lebih akademik dan berusaha memahami Islam dalam konteks sosial, historis, dan intelektualnya.

1. Robert Spencer dan Pendekatan Islamofobia

Robert Spencer dikenal sebagai tokoh kontroversial dalam kajian Islam di Barat. Karyanya, The Critical Qur'an, mencoba mengkritisi isi Al-Qur'an dengan menyoroti ayat-ayat yang dapat ditafsirkan secara problematis dalam konteks modern, terutama yang berkaitan dengan jihad, hak perempuan, dan hubungan Muslim dengan non-Muslim.

Pendekatan Spencer sering kali dianggap selektif karena ia cenderung mengabaikan keberagaman tafsir dalam Islam dan hanya memilih penafsiran yang menguatkan narasi negatifnya. Ia banyak mengandalkan tafsir yang dianggap skripturalis dan konservatif tanpa mempertimbangkan perbedaan mazhab atau pendekatan hermeneutis yang lebih luas. Sebagai contoh, ia sering mengutip tafsir klasik yang mendukung pandangannya tetapi mengabaikan tafsir-tafsir yang lebih kontekstual dan progresif.

Spencer juga dikenal memiliki keterkaitan dengan kelompok-kelompok Islamofobia di Barat dan sering digunakan sebagai referensi oleh kelompok-kelompok politik konservatif yang ingin menjustifikasi kebijakan anti-Muslim. Dengan demikian, meskipun ia mengklaim pendekatannya akademik, banyak akademisi yang melihatnya lebih sebagai aktivis politik ketimbang seorang cendekiawan Islam.

2. Orientalis Simpatik dan Pendekatan Akademik

Berbeda dengan Spencer, banyak orientalis Barat yang mencoba memahami Islam secara lebih adil dan bernuansa. Edward Said, dalam bukunya Orientalism, mengkritik pendekatan kolonial Barat terhadap Islam yang sering kali memandangnya sebagai “yang lain” secara negatif. Said berpendapat bahwa banyak studi tentang Islam di Barat dipengaruhi oleh bias kolonial, di mana Islam digambarkan sebagai agama yang stagnan dan inferior dibandingkan dengan Barat.

Louis Massignon, seorang orientalis Prancis, adalah contoh lain dari akademisi yang mendekati Islam dengan simpati dan penghormatan. Ia mengkaji tokoh-tokoh sufi seperti Al-Hallaj dan berusaha memahami spiritualitas Islam dari dalam. Massignon bahkan dikenal sebagai pembela Islam di dunia Barat, sering kali menentang stereotip negatif yang disebarkan oleh orientalis konservatif.

Maxime Rodinson, seorang sejarawan Marxis, juga memberikan perspektif yang berbeda terhadap Islam. Dalam bukunya Muhammad, ia meneliti kehidupan Nabi Muhammad dengan pendekatan sejarah kritis tanpa niat mendiskreditkan Islam. Rodinson mengakui bahwa Islam berkembang dalam konteks sosial dan ekonomi tertentu, tetapi ia tidak menggunakan pendekatan yang reduksionis atau menjelekkan Islam seperti yang dilakukan Spencer.

3. Perbandingan Robert Spencer dan Orientalis Simpatik

Pendekatan Robert Spencer sangat berbeda dengan pendekatan para orientalis simpatik. Berikut adalah perbandingan antara keduanya:

Studi Islam di Barat tidak bersifat monolitik. Ada akademisi seperti Robert Spencer yang lebih banyak menggunakan Islam sebagai objek kritik politik, sementara ada juga orientalis seperti Edward Said, Louis Massignon, dan Maxime Rodinson yang berupaya memahami Islam dalam konteks yang lebih luas dan bernuansa.

Pendekatan selektif yang digunakan Spencer berisiko memperkuat narasi Islamofobia dan menyederhanakan kompleksitas Islam, sedangkan pendekatan orientalis simpatik mencoba memahami Islam dengan lebih adil dan kontekstual. Oleh karena itu, bagi siapa saja yang ingin mendalami Islam melalui perspektif akademik, penting untuk membedakan antara kritik yang didasarkan pada kepentingan politik dan studi yang benar-benar bertujuan memahami Islam sebagai tradisi intelektual dan spiritual yang kaya.

Pendekatan Robert Spencer sangat berbeda dibandingkan dengan pendekatan para orientalis simpatik. Spencer menggunakan metode yang selektif, di mana ia hanya menyoroti tafsir-tafsir tertentu yang cenderung skripturalis dan konservatif untuk mendukung narasi negatifnya terhadap Islam. Sebaliknya, orientalis simpatik seperti Edward Said, Louis Massignon, dan Maxime Rodinson mengadopsi pendekatan akademik yang lebih luas, dengan menelaah Islam secara historis, sosial, dan filosofis.

Dari segi metodologi, Spencer cenderung mengabaikan keberagaman tafsir dalam Islam dan hanya menggunakan sumber-sumber yang menguatkan kritiknya, sementara orientalis simpatik memanfaatkan berbagai pendekatan seperti kajian filologis, analisis sejarah sosial, dan penelitian antropologis untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh. Dalam hal tujuan, karya Spencer lebih bersifat polemik dan skeptis terhadap Islam, sedangkan orientalis simpatik bertujuan memahami Islam dalam konteksnya yang lebih luas, baik sebagai sistem kepercayaan maupun sebagai tradisi intelektual.

Dampak dari pendekatan keduanya juga sangat kontras. Spencer sering dikaitkan dengan narasi Islamofobia di Barat dan banyak digunakan oleh kelompok politik konservatif yang ingin membangun citra negatif Islam. Sebaliknya, orientalis simpatik justru berkontribusi pada kajian akademik Islam yang lebih objektif dan mendorong dialog antaragama. Dari segi sumber referensi, Spencer terbatas pada tafsir tertentu dan tidak mempertimbangkan keberagaman mazhab, sedangkan orientalis simpatik menggunakan berbagai sumber, mulai dari tafsir klasik hingga penelitian modern yang lebih komprehensif.

Dengan melihat perbedaan tersebut, jelas bahwa pendekatan Spencer lebih banyak berorientasi pada kritik ideologis terhadap Islam, sementara para orientalis simpatik berusaha memahami Islam sebagai fenomena historis dan intelektual yang kompleks. Oleh karena itu, bagi akademisi dan pembaca yang ingin mempelajari Islam secara lebih objektif, penting untuk mempertimbangkan pendekatan yang digunakan oleh para orientalis simpatik yang lebih berorientasi pada kajian akademik yang berimbang.

Terjemahan Al-Qur’an Spencer dengan Terjemahan lainnya

Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris memiliki berbagai pendekatan yang mencerminkan latar belakang keilmuan, ideologi, dan tujuan masing-masing penerjemah. The Critical Qur’an karya Robert Spencer berbeda secara signifikan dari terjemahan yang lebih diterima di kalangan akademik dan umat Islam, seperti karya Abdullah Yusuf Ali, Muhammad Asad, dan M.A.S. Abdel Haleem. Spencer mengadopsi pendekatan yang sangat kritis terhadap Islam dengan menafsirkan ayat-ayat secara harfiah dan selektif, terutama dalam isu-isu kontroversial seperti jihad, hubungan Muslim dan non-Muslim, serta hukum Islam. Sayangnya, pendekatan ini mengabaikan prinsip hermeneutika Islam yang membedakan antara ayat-ayat yang bersifat universal dan partikular, serta tidak memperhitungkan tafsir yang lebih moderat dan filosofis. Akibatnya, kesimpulan yang dihasilkan dalam bukunya lebih bersifat polemis daripada akademik.

Sebaliknya, Abdullah Yusuf Ali dalam The Meaning of the Holy Qur’an berusaha memberikan pemahaman yang lebih mendalam dengan mencantumkan catatan kaki yang kaya akan konteks historis, sosial, dan linguistik. Meskipun bahasanya klasik dan kadang terasa berat, pendekatan ini membantu pembaca memahami latar belakang pewahyuan setiap ayat dengan lebih objektif. Sementara itu, Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an mengadopsi pendekatan yang lebih filosofis dan rasional, dengan menekankan hubungan antara teks Al-Qur’an dan realitas kontemporer. Sebagai seorang intelektual Muslim yang pernah beragama Yahudi, Asad berupaya menjembatani pemahaman antara dunia Islam dan Barat, menjadikan terjemahannya sangat relevan bagi pembaca modern yang mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai Al-Qur’an.

Pendekatan yang lebih kontekstual juga terlihat dalam terjemahan The Qur’an: A New Translation karya M.A.S. Abdel Haleem. Terjemahan ini banyak dipuji karena bahasanya yang elegan dan mudah dipahami, sekaligus tetap setia terhadap makna asli teks Arab. Abdel Haleem tidak hanya menerjemahkan kata per kata, tetapi juga menyajikan makna yang lebih luas dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempertimbangkan aspek sejarah dan sosial. Pendekatan ini berbeda secara mendasar dari Spencer, yang lebih banyak mengisolasi ayat-ayat tanpa memberikan latar belakang historis yang memadai. Selain itu, beberapa terjemahan lain seperti karya Muhammad Marmaduke Pickthall dan Saheeh International juga menawarkan perspektif yang lebih netral dan bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih akurat terhadap Al-Qur’an.

Dari perbandingan ini, terlihat bahwa The Critical Qur’an tidak dapat disamakan dengan terjemahan Al-Qur’an yang diakui luas dalam dunia akademik maupun komunitas Muslim. Jika tujuan pembaca adalah memahami Al-Qur’an secara komprehensif dan objektif, maka terjemahan karya Yusuf Ali, Asad, atau Abdel Haleem jauh lebih direkomendasikan. Buku Spencer, dengan pendekatan yang selektif dan bias ideologisnya, lebih cocok dikategorikan sebagai literatur polemik daripada sebagai kajian akademik yang serius. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang ingin menggali makna Al-Qur’an dengan pendekatan yang lebih mendalam dan berimbang, rujukan kepada terjemahan yang lebih kontekstual dan reflektif menjadi sangat penting.

Terjemahan Al-Qur'an oleh sarjana Barat, termasuk karya Robert Spencer dalam The Critical Qur'an, harus dipahami dalam konteks sejarah panjang penerjemahan Al-Qur'an yang telah berlangsung sejak abad ke-12. Sejak Robert of Ketton hingga penerjemah modern seperti M.A.S. Abdel Haleem dan Thomas Cleary, pendekatan terhadap teks suci ini mengalami transformasi dari sekadar alat polemik menjadi kajian yang lebih objektif. Namun, Spencer tampaknya kembali ke model awal yang lebih bersifat polemis daripada akademik. Jika George Sale pada abad ke-18 masih menampilkan sikap kritis terhadap Islam tetapi tetap memberikan penjelasan yang mendalam, Spencer justru mengisolasi ayat-ayat tertentu untuk menegaskan pandangan negatifnya terhadap Islam, tanpa mempertimbangkan konteks linguistik, historis, dan hermeneutis yang lebih luas.

Bagi pembaca yang ingin memahami Al-Qur'an secara mendalam dalam bahasa Inggris, disarankan untuk merujuk kepada terjemahan yang lebih akademis dan netral, seperti karya Yusuf Ali, Asad, atau Abdel Haleem, daripada menggunakan The Critical Qur'an, yang cenderung selektif dan bias dalam menyajikan interpretasi ayat-ayat suci.

Kesimpulan

Buku The Critical Qur'an karya Robert Spencer menawarkan sebuah interpretasi yang kritis terhadap Al-Qur'an, tetapi pendekatan yang diambil cenderung selektif dan bias ideologis. Meskipun mengklaim menggunakan tafsir klasik dan penelitian sejarah, Spencer lebih fokus pada tafsir yang mendukung pandangannya tentang Islam yang negatif, mengabaikan tafsir yang lebih moderat dan filosofis, serta tidak memperhitungkan keragaman mazhab dalam penafsiran Al-Qur'an. Metodologi yang digunakan juga kurang memperhatikan konteks sosial, sejarah, dan perkembangan hukum Islam, yang penting dalam memahami teks agama secara holistik.

Buku ini dapat memberi wawasan bagi mereka yang ingin melihat perspektif yang kritis terhadap Al-Qur'an, tetapi kesimpulan-kesimpulan yang ditarik sering kali terkesan polemis dan tidak mencerminkan kajian akademik yang objektif. Untuk pemahaman yang lebih seimbang, kajian Al-Qur'an sebaiknya melibatkan berbagai perspektif dari tradisi Islam sendiri dan kajian kritis yang lebih mendalam. Oleh karena itu, meskipun buku ini menarik untuk dibaca, pembaca harus berhati-hati dalam menerima analisisnya, mengingat bias dan keterbatasan yang ada.

Terjemahan Al-Qur'an oleh sarjana Barat, termasuk karya Robert Spencer dalam The Critical Qur'an, harus dipahami dalam konteks sejarah panjang penerjemahan yang telah ada sejak abad ke-12. Meskipun terdapat transformasi dalam pendekatan penerjemahan dari sekadar alat polemik menjadi kajian yang lebih objektif, Spencer kembali mengadopsi model orientalis klasik yang lebih fokus pada polemik dan pandangan negatif terhadap Islam. Berbeda dengan penerjemah seperti George Sale, Muhammad Marmaduke Pickthall, Abdullah Yusuf Ali, M.A.S. Abdel Haleem, Thomas Cleary, dan Asad yang berusaha memberikan terjemahan yang lebih kontekstual dan mendalam, Spencer cenderung mengisolasi ayat-ayat tertentu tanpa mempertimbangkan konteks linguistik, historis, dan hermeneutis yang lebih luas.

Penerjemahan yang dilakukan oleh Pickthall dan Yusuf Ali menampilkan usaha untuk memahami Al-Qur'an dengan nuansa spiritual dan moral yang lebih mendalam, sementara Abdel Haleem dan Cleary lebih menekankan pentingnya konteks sosial dan historis dalam memahami teks tersebut. Sebaliknya, pendekatan Spencer cenderung membatasi pemahaman Islam dalam kerangka konflik dengan Barat, tanpa memberikan ruang untuk mendalami dimensi lebih dalam dari Al-Qur'an.

Oleh karena itu, jika tujuan pembaca adalah untuk memahami Al-Qur'an dengan pendekatan akademik yang serius, terjemahan dari para sarjana seperti Pickthall, Yusuf Ali, Abdel Haleem, atau Asad jauh lebih direkomendasikan. Dalam kajian akademik dan studi perbandingan agama, penting untuk membedakan antara penerjemahan yang didorong oleh pemahaman yang tulus dan yang bertujuan untuk memperkuat narasi tertentu tanpa mempertimbangkan kekayaan tafsir Islam yang lebih luas.

Referensi

Abdel Haleem, M. A. S. (2004). The Qur'an: A New Translation. Oxford University Press.

Arberry, A. J. (1955). The Qur'an Interpreted. Macmillan.

Asad, M. (1980). The message of the Qur'an: Translated and explained. Dar al-Andalus.

Bell, R. (1928). The Qur’an: A Textual History. Oxford University Press.

Cleary, T. (2004). The Qur'an: A New Translation. Shambhala.

Goldziher, I. (1910). Introduction to Islamic Theology and Law. Harvard University Press.

Halevi, L. (2009). Islamic Studies: History, Interpretation, and Law. Princeton University Press.

Jeffrey, A. (1938). The Foreign Vocabulary of the Qur’an. Baroda: Oriental Institute.

Massignon, L. (1921). The Passion of al-Hallaj. Librairie Orientaliste Paul Geuthner.

Muir, W. (1855). The History of the Saracens. John Murray.

Pickthall, M. M. (1930). The Meaning of the Glorious Koran. George Allen & Unwin Ltd.

Rodinson, M. (1961). Muhammad. Pantheon Books.

Sale, G. (1734). The Koran, Commonly Called the Alcoran of Mohammed. Printed for C. Ackers.

Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.

Spencer, R. (2022). The Critical Qur’an: Explained from Key Islamic Commentaries and Contemporary Historical Research. Bombardier Books.

von Grunebaum, G. (1955). Islam: A Historical Introduction. Harper & Row.

Yusuf Ali, A. (1934). The Meaning of the Holy Qur'an. Amana Publications.

Yusuf Ali, A. (1987). The Holy Qur'an: Translation and commentary. Tahrike Tarsile Qur'an.

*Sumedang, 3 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam