Strategi Boikot terhadap Israel: Realitas dan Harapan

Cak Yo

Pada Sabtu malam selepas salat Magrib, saya mengantar anak sulung ke pesantren di Jatinangor. Perjalanan di malam Ahad ini, kami tempuh dengan menembus malam remang-remang lampu jalan tol dan terkadang lampu kendaraan-kendaraan lain, dari arah Bandung-Jakarta yang sering menyilaukan mata. Tol Cipularang mulai gelap berkabut, dan makin ke arah Bandung hujan lebat mengguyur menambah suasana dingin dan gelap. Saya fokus menyetir mobil sementara istri dan tiga anak yang tidur pulas sepanjang perjalanan. Kemudian tiba di pesantren sekitar pukul 21.00. Setelah beberapa waktu singkat melepas rindu dan memastikan semua kebutuhan anak terpenuhi, saya segera kembali ke Cikarang. Lelah menyetir pulang-pergi dalam semalam membuat rasa lelah dan kantuk tak tertahankan. Sesampainya di rumah, sekitar pukul 12 tengah malam, saya langsung terlelap hingga waktu Subuh tiba.

Usai salat Subuh, saya membuka ponsel dan menemukan sebuah postingan video dari pimpinan saya tentang aplikasi boikot terhadap Israel dengan judul, "No, Thanks". Bagi kita, Muslim dan siapapun yang memiliki rasa kemanusiaan, boikot terhadap Israel merupakan bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina. Postingan tersebut menggugah saya untuk lebih jauh menelaah isu boikot ini, tidak sekadar sebagai sikap politis, tetapi juga sebagai strategi gerakan yang sistematis.

Saya pun mencari buku-buku yang relevan dengan tema ini. Buku/kitab pertama yang saya temukan dan saya baca berjudul Istrātījiyyat al-Muqāṭaʿah Ḍidd al-Iḥtilāl al-Isrā'īlī wa Niẓām al-Abārthāyid: al-Wāqiʿ wa al-Ṭumūḥ, yang dalam bahasa Inggrisnya, "The Boycott of Israel as a Strategy: Reality and Ambitions," berarti “Strategi Boikot terhadap Pendudukan Israel dan Sistem Apartheid: Realitas dan Harapan”. Buku ini diterbitkan oleh al-Markaz al-‘Arabī li-l-Abḥāth wa Dirāsat al-Siyāsāt (Arab Center for Research and Policy Studies), sebuah lembaga riset terkemuka yang berbasis di Doha, Qatar. 

Kitab atau buku ini merupakan hasil kerja kolektif sejumlah penulis yang membahas dinamika gerakan boikot terhadap Israel dalam konteks perjuangan rakyat Palestina melawan kolonialisme dan apartheid modern. Buku ini segera saya baca pagi itu juga, disusul lima buku lainnya saya akses untuk mendalami perspektif dan pendekatan yang beragam tentang topik yang sama. Saya gunakan dalam tulisan ini, terjemahan judul Inggrisnya, The Boycott of Israel as a Strategy. 

Membaca buku The Boycott of Israel as a Strategy  ini memberi saya pemahaman yang menyeluruh mengenai sejarah, dinamika, serta tantangan dan harapan dari strategi boikot terhadap Israel. Buku ini tidak hanya memuat landasan teoritis dan historis gerakan boikot, tetapi juga memetakan spektrum aktor, mulai dari negara, organisasi masyarakat sipil, hingga individu yang terlibat dalam gerakan ini. Di tengah ketegangan global yang terus meningkat, boikot dipotret sebagai strategi perlawanan non-kekerasan yang terus mencari bentuk dan kekuatan yang efektif dalam menghadapi hegemoni Israel. Dari buku inilah kemudian saya membandingkan dengan lima buku lainnya, baik yang berasal dari sudut pandang aktivisme seperti karya Omar Barghouti, maupun yang bernuansa akademik-kritis seperti karya Steven Salaita dan Lisa Taraki. Gambaran umum buku-buku tersebut serta perbandingan ringkasnya saya tuangkan dalam catatan berikut, sebagai upaya untuk memahami isu boikot bukan sekadar aksi, tetapi juga sebagai strategi politik, wacana moral, dan instrumen advokasi hak asasi manusia di level global.

Buku The Boycott of Israel as a Strategy: Reality and Ambitions yang diterbitkan oleh Arab Center for Research and Policy Studies (ACRPS) merupakan hasil kumpulan makalah dari konferensi yang diselenggarakan oleh ACRPS di Hammamet, Tunisia pada 4–6 Agustus 2016. Buku setebal 448 halaman ini terbagi ke dalam dua bagian besar: bagian pertama mengulas sejarah dan perkembangan kampanye boikot di dunia Arab, sementara bagian kedua membahas pengalaman dan model kampanye boikot di tingkat internasional.

Dalam pengantar berjudul "Normalisasi Keanehan", Azmi Bishara mengupas konsep normalisasi, keterbatasan pemahamannya, serta tantangan melawan normalisasi di wilayah pendudukan. Ia menekankan bahwa negara-negara Arab yang menjadikan perjuangan Palestina sebagai bagian dari perjuangan mereka sendiri menolak untuk menerima Israel sebagai bagian alami dari kawasan ini. Penolakan ini bukan sekadar slogan, melainkan bentuk penolakan terhadap hubungan normal dengan Israel.

Boikot dan Perlawanan

Bab pertama yang ditulis Abdul Latif al-Hanachi mengupas akar sejarah boikot di Palestina saat masa pendudukan Inggris, di mana boikot menjadi alat perlawanan terhadap gerakan Zionis dan ekspansi kolonial.

Bab kedua oleh Ahmed Qasem Hussein membahas hambatan gerakan boikot di tingkat resmi, serta potensi untuk menjadikannya sebagai bagian dari perlawanan rakyat Palestina. Ia juga menyoroti sejarah perkembangan boikot resmi Arab pasca berdirinya negara Israel tahun 1948.

Michel Nofal di bab ketiga menyoroti pentingnya strategi nasional Palestina yang memanfaatkan keberhasilan internasional gerakan boikot, terutama di Barat dan Amerika Serikat, serta bahayanya jika sebagian politisi Palestina mendukung normalisasi dengan menutupi penjajahan dan kolonisasi Israel.

Hambatan dan Pengalaman

Ashraf Bader Othman di bab keempat menjelaskan strategi Israel dalam melawan gerakan boikot, yang memanfaatkan kelemahan baik di tingkat internasional maupun Palestina, serta minimnya peran institusi Arab atau Islam.

Bab kelima oleh Abu Bakr Abdelrazek dan Roba Al-Olona menganalisis dampak boikot ekonomi selama perang Gaza 2012 dan 2014 terhadap sektor swasta Palestina, serta pertumbuhan kesadaran nasional ekonomi Palestina.

Mona Awadallah di bab keenam meneliti kampanye boikot di Yordania melalui wawancara dengan 13 aktivis. Ia menyoroti kemunduran aktivitas anti-normalisasi karena berkurangnya kebebasan dan tekanan hukum terhadap para aktivis.

Rashid Isa Al-Jassim di bab berikutnya menelusuri sejarah boikot di Bahrain melalui arsip nasional dan wawancara lapangan. Ia menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mempengaruhi opini publik dan kebijakan melalui boikot.

Dari Afrika Selatan ke Eropa

Stephen Freeman di bab delapan mengulas faktor-faktor keberhasilan boikot dalam mengakhiri apartheid di Afrika Selatan, serta pelajaran yang bisa diambil oleh Palestina dari pengalaman tersebut, termasuk keterkaitan perjuangan lokal dan solidaritas internasional.

Osama Abu Arshid di bab sembilan membahas upaya Zionis untuk mendeligitimasi gerakan boikot di AS, termasuk undang-undang represif, tekanan terhadap mahasiswa, dan penggunaan birokrasi untuk membungkam dukungan terhadap Palestina.

Bab kesepuluh oleh Tariq Hamoud menyoroti kekhawatiran Israel terhadap gerakan boikot di Eropa, mengingat peran Eropa sebagai mitra historis proyek Zionis dan kerja sama ekonomi Euro-Israel.

Boikot Internasional

Amani Snawar pada bab sebelas meninjau resolusi Uni Eropa tahun 2015 yang mewajibkan pelabelan produk permukiman ilegal sebagai “permukiman Israel”, sebagai bentuk penegasan posisi hukum Uni Eropa terhadap wilayah pendudukan sejak 1967.

Emily Blizzard di bab dua belas mengulas peran media massa dan media sosial dalam membangun opini publik di Australia yang mendukung Palestina dan gerakan boikot, walaupun dalam konteks politik yang tidak bersahabat.

Jaringan Dukungan

Peter Slezk di bab tiga belas menyoroti pengalaman gerakan boikot di Australia dan jaringan pendukungnya, seperti “Australian Friends of Palestine Association” dan “BDS Australia”.

Bab empat belas oleh Kamal Marzouga mengkaji pertumbuhan dan tantangan kampanye boikot di Chili serta kontribusinya terhadap diskursus dan strategi.

Terakhir, Muhammad Nizari di bab kelima belas membahas tantangan boikot Israel di Malaysia, yang meski kuat dalam dukungan terhadap Palestina, menghadapi kendala seperti kurangnya partisipasi publik, ketergantungan pada perdagangan global, dan fokus pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi.

Perbandingan dengan Buku lain

Buku The Boycott of Israel as a Strategy: Reality and Ambitions yang diterbitkan oleh Arab Center for Research and Policy Studies (ACRPS) pada tahun 2023 menyajikan kajian multidisipliner mengenai boikot terhadap Israel dalam dimensi politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Buku ini mencermati sejarah, capaian, hambatan, dan kemungkinan masa depan strategi boikot dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dibandingkan dengan buku-buku lain yang membahas tema serupa, buku ini menonjol dalam pendekatannya yang kolektif dan berbasis riset institusional, bukan sekadar narasi aktivis atau kesaksian pribadi.

Sebagai contoh, karya Omar Barghouti Boycott, Divestment, Sanctions: The Global Struggle for Palestinian Rights lebih menonjolkan pendekatan normatif dan ideologis, karena ditulis langsung oleh salah satu pendiri gerakan BDS. Barghouti menekankan prinsip-prinsip moral universal dan hak asasi manusia sebagai landasan gerakan boikot, dan menyerukan partisipasi global yang luas, terutama di kalangan sipil dan institusi akademik (Barghouti, 2011). Namun, buku ini cenderung tidak membahas secara rinci hambatan struktural maupun politik regional yang dibahas secara lebih luas dalam buku ACRPS.

Sementara itu, buku Israeli Apartheid: A Beginner’s Guide oleh Ben White menelaah bagaimana tindakan dan kebijakan Israel terhadap Palestina dapat dikategorikan sebagai bentuk apartheid menurut hukum internasional. White menekankan bahwa diskriminasi struktural yang diberlakukan Israel melanggar prinsip-prinsip Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (White, 2009). Buku White ini berkontribusi dalam membangun dasar hukum internasional bagi seruan boikot, namun tidak menguraikan strategi atau dampak langsung dari gerakan tersebut secara operasional seperti yang dilakukan buku ACRPS.

Lebih lanjut, Lisa Taraki dalam buku suntingannya Academic Freedom and the Boycott of Israel fokus pada aspek akademik dan budaya dari gerakan boikot, terutama melalui inisiatif PACBI (Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel). Buku ini menyoroti bagaimana kebebasan akademik digunakan sebagai dalih untuk menolak boikot, padahal dalam praktiknya terjadi normalisasi penjajahan dan kolaborasi institusional dengan rezim penindas (Taraki, 2016). Jika dibandingkan, buku Taraki bersifat sektoral dan terbatas pada ruang akademik, sementara buku ACRPS menempatkan boikot sebagai bagian dari strategi nasional dan transnasional yang lebih luas.

Steven Salaita dalam Inter/Nationalism: Decolonizing Native America and Palestine menawarkan pendekatan komparatif yang menarik dengan mengaitkan perjuangan rakyat Palestina dengan perjuangan dekolonisasi penduduk asli Amerika. Salaita berpendapat bahwa solidaritas internasional harus dibangun atas dasar pengalaman bersama atas kolonialisme, dan dalam konteks itu, boikot menjadi tindakan solidaritas global yang sah dan strategis (Salaita, 2016). Namun, fokus buku ini tidak secara khusus menganalisis gerakan BDS ataupun strategi boikot sebagai tindakan kebijakan publik atau diplomasi sipil, seperti yang dibahas lebih sistematis dalam buku ACRPS.

Akhirnya, buku Human Shields: A History of People in the Line of Fire karya Neve Gordon dan Nicola Perugini, meskipun tidak berfokus pada boikot, memberikan gambaran tentang bagaimana Israel menggunakan narasi keamanan untuk membenarkan kekerasan terhadap warga sipil. Buku ini penting dalam mendukung argumen moral dan hukum untuk boikot, karena mengungkap bentuk-bentuk kekerasan struktural dan simbolik yang dilakukan Israel atas nama pertahanan diri (Gordon & Perugini, 2020). Informasi semacam ini menjadi pelengkap penting dalam memahami konteks lebih luas dari kampanye boikot, yang juga diulas dalam buku ACRPS dengan lebih banyak data empiris dan pendekatan lintas disiplin.

Kesimpulan

Kitab Istrātījiyyat al-Muqāṭaʿah atau The Boycott of Israel berdiri sebagai kontribusi komprehensif yang mengisi celah antara aktivisme dan kajian akademik, antara strategi lokal dan tekanan internasional. Jika sebagian besar buku lain menekankan narasi ideologis, pengalaman sektoral, atau argumen hukum, buku ini menegaskan pentingnya pendekatan strategis, terukur, dan berbasis penelitian dalam mendukung Palestina melalui boikot yang berkesinambungan dan terorganisir.

Referensi

Mu’assasat al-Markaz al-‘Arabī li-l-Abḥāth wa Dirāsat al-Siyāsāt. Istrātījiyyat al-Muqāṭaʿah Ḍidd al-Iḥtilāl al-Isrā'īlī wa Niẓām al-Abārthāyid: al-Wāqiʿ wa al-Ṭumūḥ. Doḥa: al-Markaz al-‘Arabī li-l-Abḥāth wa Dirāsat al-Siyāsāt, 2015.

Barghouti, Omar. Boycott, Divestment, Sanctions: The Global Struggle for Palestinian Rights. Chicago: Haymarket Books, 2011.

Gordon, Neve, and Nicola Perugini. Human Shields: A History of People in the Line of Fire. Oakland: University of California Press, 2020.

Salaita, Steven. Inter/Nationalism: Decolonizing Native America and Palestine. Minneapolis: University of Minnesota Press, 2016.

Taraki, Lisa, ed. Academic Freedom and the Boycott of Israel. Ramallah: Palestine Book Project, 2016.

White, Ben. Israeli Apartheid: A Beginner’s Guide. London: Pluto Press, 2009.

-Cikarang, 13 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam