Sekali lagi Terjemahan Al-Qur'an Orientalis: Kritik terhadap Richard Bell
Cak Yo
Pengantar
Seperti yang saya janjikan dua hari lalu, saya akan mengulas buku The Qur'an: Translated with a Critical Re-arrangement of the Surahs yang merupakan hasil terjemahan dan studi kritis yang disusun oleh Richard Bell, seorang dosen Bahasa Arab di Universitas Edinburgh. Buku ini diterbitkan pada tahun 1937 oleh penerbit T. & T. Clark yang beralamat di 38 George Street, Edinburgh. Dalam buku yang terdiri dari 2 volume ini, Bell tidak hanya menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, tetapi juga melakukan penyusunan ulang surah-surah secara kritis berdasarkan pendekatan historis dan filologis. Karya ini menjadi salah satu rujukan penting dalam studi orientalis terhadap teks Al-Qur’an, khususnya dalam upaya memahami struktur pewahyuan dan kemungkinan kronologi penurunannya.
Seperti judul artikel ini, "Studi Kritis terhadap Terjemahan Al-Qur'an Richard Bell", saya tidak hanya menjelaskan isi buku, namun saya juga menyajikan analisis kritis terhadap terjemahan Al-Qur'an Bell. Sebagai bahan analisis, saya juga menguraikan bagaimana terjemahan Al-Qur'an para orientalis secara umum.
Terjemahan Al-Qur'an Orientalis
Sejarah penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa Eropa oleh para orientalis Barat dimulai sejak abad ke-12 M, seiring dengan meningkatnya interaksi antara dunia Islam dan Kristen. Terjemahan pertama yang diketahui secara luas adalah karya Robert of Ketton (Robertus Ketenensis), seorang ilmuwan Inggris yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin atas permintaan Peter the Venerable, kepala biara Cluny. Terjemahan ini diselesaikan pada tahun 1143 M dengan judul Lex Mahumet pseudoprophete. Tujuan utama dari proyek ini adalah apologetik, yakni untuk membekali para teolog Kristen dengan pengetahuan tentang ajaran Islam agar dapat menyanggahnya. Gaya terjemahan Robert tidak literal, melainkan parafrastik, dan penuh dengan bias interpretatif terhadap ajaran Islam (McAuliffe, 1991: 5).
Memasuki abad ke-17, muncul terjemahan André du Ryer, seorang diplomat Prancis yang menerbitkan L'Alcoran de Mahomet pada tahun 1647. Karya ini merupakan terjemahan langsung dari bahasa Arab ke Prancis dan merupakan terjemahan Eropa pertama yang tidak sepenuhnya bersifat teologis. Namun demikian, du Ryer tetap membawa prasangka dan asumsi orientalis khas masanya. Dua tahun kemudian, Alexander Ross, seorang pastor Inggris, menerjemahkan versi du Ryer ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Alcoran of Mahomet (1649). Karena tidak bersumber langsung dari teks Arab, terjemahan Ross banyak mengandung kekeliruan dan tetap dibalut dalam semangat polemis terhadap Islam (Burman, 2007: 215).
Pada abad ke-18, George Sale menerbitkan The Koran: Commonly Called the Alcoran of Mohammed (1734), yang menjadi salah satu terjemahan paling berpengaruh di kalangan pembaca Eropa hingga abad ke-19. Meskipun Sale bukan seorang Muslim dan tetap menulis dari perspektif Kristen, ia menunjukkan pendekatan yang lebih teliti dengan menambahkan pengantar panjang bertajuk Preliminary Discourse yang membahas sejarah Islam, biografi Nabi Muhammad, serta struktur Al-Qur’an. Ia juga mengacu pada tafsir-tafsir klasik dalam menyusun komentarnya. Terjemahannya, meskipun tetap tidak bebas dari bias, menandai pergeseran ke arah studi yang lebih ilmiah dan tekstual (Sale, 1734: vii–xviii).
Dalam perkembangan selanjutnya, orientalis Jerman memainkan peranan penting dalam studi Al-Qur’an, terutama melalui penerbitan edisi kritis teks Arab dan terjemahannya. Gustav Flügel, misalnya, menerbitkan edisi teks Arab Al-Qur’an yang sangat berpengaruh di kalangan akademik pada tahun 1834. Sementara itu, Ludovico Marracci, seorang imam Katolik dari ordo Theatines, menerbitkan Alcorani Textus Universus (1698), yang terdiri dari teks Arab, terjemahan Latin, serta komentar panjang yang berusaha menunjukkan inkonsistensi teologis Al-Qur’an dari sudut pandang Kristen (Burman, 2007: 144).
Abad ke-20 menjadi tonggak penting dalam sejarah terjemahan Al-Qur’an Barat karena munculnya upaya penerjemahan yang lebih bersifat akademis dan kritis. Richard Bell, orientalis asal Skotlandia, menerbitkan The Qur’ān: Translated with a Critical Re-arrangement of the Surahs (1937–1939), sebuah proyek yang tidak hanya berisi terjemahan, tetapi juga menyusun ulang surah-surah berdasarkan kronologi wahyu menurut teorinya. Bell juga menambahkan catatan tentang kemungkinan adanya interpolasi dalam teks Al-Qur’an, mencerminkan pendekatan filologis yang berkembang di kalangan orientalis pada masa itu (Bell, 1937: x–xii).
Setelah Bell, Arthur J. Arberry menerbitkan The Koran Interpreted (1955), yang sangat dihormati dalam kalangan akademik karena berupaya mempertahankan keindahan dan musikalitas teks Al-Qur’an. Arberry, berbeda dari pendahulunya, menghindari pendekatan polemis dan menyatakan niatnya untuk menyampaikan gaya bahasa Al-Qur’an dalam bentuk yang paling dekat dalam bahasa Inggris. Ia menolak istilah "translation" dan lebih memilih kata "interpretation" untuk menandai keterbatasan penerjemahan terhadap teks sakral yang dianggap tidak tertandingi oleh karya manusia (Arberry, 1955: vii–x).
Dalam tradisi berbahasa Jerman, terjemahan penting datang dari Rudi Paret yang menerbitkan Der Koran: Kommentar und Konkordanz (1962). Karya ini dikenal dengan pendekatan filologis yang sangat kuat, serta dilengkapi dengan komentar per ayat berdasarkan perbandingan dengan literatur Islam klasik dan Bibel (Nöldeke, 1860: 20; McAuliffe, 1991: 12).
Menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, pendekatan orientalis terhadap terjemahan Al-Qur’an semakin plural dan bersifat dialogis. Michael Sells, dalam Approaching the Qur’ān: The Early Revelations (1999), menekankan pendekatan estetis terhadap surah-surah Makkiyah, dengan mengajak pembaca mendekati teks secara fenomenologis, merasakan irama dan keindahan retorikanya. Ia juga menyediakan rekaman audio untuk membantu pembaca memahami irama bacaan Al-Qur’an (Sells, 1999: 1–15).
Selain tokoh-tokoh orientalis yang secara terbuka mengusung pendekatan filologis, apologetik, atau estetis terhadap Al-Qur’an, terdapat juga sejumlah tokoh Barat yang meskipun bukan sarjana orientalis dalam arti akademik, namun karyanya berpengaruh besar dalam penerimaan dan persebaran teks Al-Qur’an di dunia berbahasa Inggris. Salah satunya adalah Marmaduke Pickthall, seorang Inggris yang masuk Islam dan menerbitkan salah satu terjemahan paling terkenal berjudul The Meaning of the Glorious Koran pada tahun 1930. Pickthall menyusun terjemahan langsung dari bahasa Arab dan berupaya mempertahankan nuansa kesusasteraan dan keagungan gaya bahasa Al-Qur’an. Dalam pengantarnya, ia menegaskan bahwa karyanya bukanlah terjemahan penuh karena Al-Qur’an, sebagai wahyu ilahi, tidak dapat diterjemahkan sepenuhnya, tetapi hanya dapat ditafsirkan (Pickthall, 1930: vii).
Terjemahan Pickthall mendapat pengakuan luas di kalangan umat Islam dan dijadikan referensi oleh banyak komunitas Muslim di dunia berbahasa Inggris hingga kini. Gaya bahasa Inggris klasik yang digunakan—sering disebut “Biblical English”—menambah kesan sakral namun tetap dapat diakses oleh khalayak Barat. Ia juga menghindari interpretasi teologis pribadi dalam teksnya, menjadikan karyanya lebih netral dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya.
Pada masa kontemporer, muncul pula nama Thomas Cleary, seorang penerjemah dan penulis Amerika yang dikenal karena penerjemahan karya-karya spiritual Timur. Terjemahannya, The Qur’an: A New Translation (2004), menghindari bias ideologis dan menawarkan gaya bahasa yang jernih serta bersifat universal. Cleary memandang Al-Qur’an sebagai teks yang memiliki dimensi spiritual universal dan menghindari pendekatan dogmatis dalam penjelasan-penjelasannya (Cleary, 2004: ix–xii).
Selain itu, A. J. Droge, dalam terjemahannya The Qur’an: A New Annotated Translation (2013), mengusung pendekatan historis-kritis yang dipengaruhi oleh model studi Bibel. Droge menempatkan Al-Qur’an dalam konteks sejarah Arab pra-Islam dan menekankan unsur-unsur polemik dan responsif dalam struktur ayat-ayatnya. Ia juga menolak perlakuan teologis terhadap Al-Qur’an sebagai teks sakral, dan menganggapnya sebagai dokumen historis yang harus dibaca secara kritis, sehingga terjemahannya banyak dipakai dalam studi akademik sekuler (Droge, 2013: xiv–xvi).
Berbagai terjemahan ini menunjukkan adanya spektrum pendekatan dalam menerjemahkan Al-Qur’an di Barat—mulai dari yang apologetik, polemis, estetis, hingga akademis-kritis. Dari Pickthall yang mencoba menyelaraskan keindahan gaya Qur’ani dengan cita rasa estetika Inggris, hingga Droge yang memposisikannya sebagai teks sejarah religius, semua karya ini berkontribusi dalam memperkenalkan Al-Qur’an kepada pembaca non-Muslim dan memperluas kajian Islam di dunia Barat.
Richard Bell dan Karya-karyanya
Richard Bell (1876–1952) adalah seorang orientalis Skotlandia yang dikenal luas atas kontribusinya terhadap studi Al-Qur’an di dunia Barat, khususnya dalam pendekatan historis dan tekstual terhadap struktur dan isi Al-Qur’an. Ia lahir di Inggris dan menerima pendidikan di University of Edinburgh. Sebelum terjun secara penuh ke dunia akademik, Bell adalah seorang pastor gereja Skotlandia, dan pelayanannya di Timur Tengah—terutama di Suriah—menumbuhkan minatnya terhadap bahasa Arab dan studi Islam klasik (McAuliffe, 2006: 90).
Setelah kembali ke Inggris, Bell mengajar bahasa Arab dan studi Islam di University of Edinburgh. Di sana ia menjadi salah satu tokoh utama dalam perkembangan studi Islam di dunia berbahasa Inggris. Karya monumentalnya adalah The Qur’ān: Translated with a Critical Re-arrangement of the Surahs (1937–1939), sebuah proyek dua jilid yang tidak hanya menerjemahkan teks Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, tetapi juga mencoba menyusun ulang susunan surah-surah berdasarkan urutan kronologis pewahyuan menurut teorinya sendiri (Bell, 1937: vii). Hal ini menjadikannya sebagai salah satu orientalis pertama yang secara serius mengembangkan teori kronologi wahyu yang berbeda dari susunan mushaf standar.
Salah satu ciri khas pemikiran Bell adalah anggapannya bahwa teks Al-Qur’an mengalami proses redaksional yang kompleks. Ia berargumen bahwa Nabi Muhammad tidak hanya menerima wahyu secara pasif, tetapi juga terlibat aktif dalam redaksi dan penyusunan teks, bahkan menambahkan atau menyunting bagian-bagian tertentu seiring perubahan situasi dakwah (Bell, 1937: xi–xii). Dalam catatan pengantar terjemahannya, Bell menulis bahwa banyak ayat atau bagian ayat tampak “disisipkan” di tengah teks utama, yang menurutnya mengindikasikan adanya interpolasi atau penyesuaian terhadap konteks tertentu. Ini adalah pandangan yang cukup radikal pada zamannya, dan menjadi dasar bagi pendekatan filologis kritis terhadap teks Al-Qur’an yang dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Montgomery Watt (Watt, 1970: 25).
Bell juga menulis Introduction to the Qur’ān (1953), yang diterbitkan secara anumerta dan diedit oleh Watt. Dalam karya ini, ia menguraikan sejarah penyusunan Al-Qur’an, struktur isinya, gaya bahasanya, serta mencoba menjelaskan unsur-unsur naratif dan polemis dalam teks Qur’ani. Ia memandang Al-Qur’an tidak hanya sebagai teks keagamaan, tetapi juga sebagai dokumen sejarah yang merefleksikan perjuangan komunitas Muslim awal. Bell juga mencatat adanya pengaruh-pengaruh Yahudi dan Kristen dalam sejumlah bagian Al-Qur’an, terutama dalam narasi tentang para nabi (Bell, 1953: 45–49).
Pendekatan Bell terhadap Al-Qur’an sering dianggap kontroversial oleh kalangan Muslim karena dianggap menolak keutuhan dan orisinalitas wahyu. Namun di kalangan akademisi Barat, karyanya dipandang sebagai pelopor dalam studi historis-kritis terhadap Al-Qur’an, sejajar dengan pendekatan yang sebelumnya dilakukan terhadap Bibel. Gagasannya tentang struktur tematik dan analisis gaya bahasa Al-Qur’an membuka ruang diskusi tentang bagaimana teks tersebut berkembang dan diformulasikan dalam konteks sejarah kenabian Muhammad (McAuliffe, 2006: 91).
Meski demikian, pandangan Bell juga telah dikritik, bahkan di kalangan orientalis sendiri. Sejumlah sarjana menilai bahwa pendekatan redaksional Bell terlalu spekulatif dan tidak cukup didukung oleh bukti manuskrip yang memadai. Meski begitu, kontribusinya tetap dianggap penting karena membuka ruang metodologi baru dalam studi Qur’anik yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para sarjana seperti John Wansbrough, Michael Cook, dan Andrew Rippin.
Terjemahan Al-Qur'an Richard Bell
Karya monumental Richard Bell berjudul The Qur'an: Translated with a Critical Re-arrangement of the Surahs (1937) merupakan salah satu contoh paling representatif dari pendekatan historis-kritis dalam studi orientalis terhadap Al-Qur'an pada paruh pertama abad ke-20. Diterbitkan oleh T. & T. Clark di Edinburgh dan terbagi ke dalam dua jilid, karya ini tidak hanya menyuguhkan terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, tetapi juga mencerminkan agenda ilmiah tertentu yang hendak “membongkar” struktur teks wahyu tersebut melalui pendekatan analitis, kronologis, dan rekonstruktif. Bell, yang saat itu menjabat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, mengambil posisi yang sangat berbeda dari tradisi Muslim dalam melihat Al-Qur'an: ia memandang kitab suci ini bukan sebagai wahyu yang diturunkan secara langsung dan utuh dari Tuhan kepada Nabi Muhammad, tetapi sebagai produk historis yang berkembang secara bertahap dalam konteks politik dan sosial tertentu di Jazirah Arab abad ke-7 (Bell, 1937: Vol. I, p. 3–6).
Salah satu hal yang menonjol dari karya ini adalah metode penyusunan ulang surah-surah Al-Qur’an berdasarkan asumsi kronologis yang dikembangkan Bell sendiri. Ia tidak puas dengan susunan mushaf Utsmani yang diwarisi oleh umat Islam, yang menurutnya bersifat tematik dan tidak kronologis. Sebaliknya, Bell mencoba merunut wahyu berdasarkan peristiwa-peristiwa sejarah dalam kehidupan Nabi, dan dalam proses ini, ia secara bebas memindahkan bagian-bagian ayat dari satu surah ke surah lain yang dianggap lebih cocok dengan konteks yang ia rekonstruksi. Misalnya, sebagian ayat dari Surah al-Baqarah dipindahkan ke bagian lain dari Al-Qur’an karena Bell menganggap ayat tersebut lebih cocok jika dikaitkan dengan periode Madinah yang berbeda (Bell, 1937: Vol. I, p. x–xii). Pendekatan ini menjadikan karya Bell unik, tetapi sekaligus kontroversial.
Motivasi utama Bell dalam mengembangkan pendekatan ini adalah keinginannya untuk menelusuri perkembangan pemikiran teologis dan politik Nabi Muhammad sepanjang masa kenabiannya. Menurut Bell, pemikiran Muhammad berubah seiring waktu, dan perubahan itu dapat dibaca dari struktur dan gaya bahasa ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya, Bell beranggapan bahwa ayat-ayat Mekah lebih bersifat eskatologis dan puitis, sementara ayat-ayat Madinah lebih legalistik dan normatif. Perubahan gaya ini, menurut Bell, mencerminkan dinamika internal dari proses kenabian yang bersifat manusiawi (Bell, 1937: Vol. I, p. xx–xxv). Dalam hal ini, Bell sangat dipengaruhi oleh pendekatan historisis dalam studi Alkitab, yang lazim digunakan di kalangan sarjana Barat saat itu.
Namun, pendekatan Bell tidak lepas dari kritik. Banyak kalangan, baik dari dunia Islam maupun sesama sarjana Barat, menganggap rekonstruksi Bell terlalu spekulatif dan didasarkan pada asumsi yang tidak dapat diverifikasi secara tekstual. Bahkan murid dan penerus intelektualnya, W. Montgomery Watt, mengakui bahwa beberapa bagian dari penyusunan ulang Bell cenderung dipaksakan dan mengabaikan kompleksitas oralitas dan memorisasi dalam tradisi Islam. Watt, dalam pengantar karyanya Bell’s Introduction to the Qur’an, menyebut bahwa Bell mungkin terlalu fokus pada "logical development" dalam teks dan mengabaikan kemungkinan bahwa penyampaian wahyu juga melibatkan elemen retoris, estetis, dan spiritual yang tidak sepenuhnya tunduk pada logika kronologis (Watt, 1949: p. 15–18).
Dari perspektif Muslim, pendekatan Bell dianggap problematik karena secara langsung menolak keotentikan susunan mushaf yang telah dijaga melalui metode mutawātir (transmisi massal) dan ijmā‘ (konsensus ulama). Tradisi Islam menekankan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap namun telah dikodifikasi dengan cermat pada masa Nabi dan dikompilasi secara definitif pada masa Khalifah Utsman ibn ‘Affan. Proyek Bell yang merekonstruksi ulang urutan surah dianggap sebagai intervensi luar terhadap teks suci dan mengabaikan integritas pewarisan teks dalam tradisi Islam. Kritik ini bukan hanya berasal dari ulama, tetapi juga dari sarjana Muslim modern seperti Fazlur Rahman yang menolak pendekatan Bell karena tidak menghormati kerangka internal Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi (Rahman, 1984: p. 17–20).
Meskipun demikian, karya Bell tetap dianggap penting dalam sejarah studi Al-Qur’an karena menjadi salah satu upaya awal yang cukup sistematis dalam memahami teks suci ini secara historis dan filologis. Ia membuka jalan bagi studi-studi berikutnya yang lebih kritis dan interdisipliner, baik di kalangan orientalis maupun sarjana Muslim. Pendekatannya memicu diskusi tentang kronologi wahyu, struktur tematik, dan relasi antara konteks sejarah dengan redaksi teks. Dengan demikian, karya Bell layak dibaca tidak hanya sebagai produk dari suatu masa tertentu dalam sejarah orientalisme, tetapi juga sebagai bagian dari proses panjang dialog akademik mengenai Al-Qur’an di dunia modern.
Dalam Pengantar The Qur'an Richard menjelaskan bahwa lebih dari dua belas tahun yang lalu, kebutuhan akan sebuah terjemahan baru Al-Qur'an yang berangkat dari studi-studi kritis mulai mengemuka dalam benak penulis, seiring dengan persiapannya mengajar mata kuliah tentang asal-usul Islam. Pekerjaan ini awalnya dimulai dengan santai, tanpa disadari betapa berat dan kompleks usaha yang harus ditempuh. Dengan setiap revisi yang dilakukan, tugas tersebut justru semakin rumit. Penulis tidak mengklaim bahwa semua persoalan dalam studi Al-Qur'an telah terpecahkan—klaim demikian justru menandakan ketidaktahuan. Namun, ia berharap bahwa hasil kerjanya ini mewakili suatu kemajuan signifikan dalam memahami kitab suci ini, sehingga layak untuk dipublikasikan.
Tujuan utama dari usaha ini adalah untuk memahami kembali pernyataan-pernyataan Nabi Muhammad dalam konteks sejarahnya, dengan harapan dapat mendukung penafsiran tradisional. Dalam proses ini, komentar para mufassir klasik, terutama Baidawi, juga turut diperhatikan, meskipun kadang-kadang pendekatan mereka harus dikritisi. Bagi seorang orientalis, tentu tidaklah pantas untuk dengan gegabah mengoreksi pemahaman para ulama Muslim terhadap bahasa mereka sendiri. Akan tetapi, dogmatisme yang melekat pada sebagian tafsir tradisional serta kerumitan gramatikal ayat-ayat tertentu menimbulkan celah interpretasi yang dapat didekati dengan pendekatan modern yang lebih bebas dari asumsi teologis.
Perbaikan tekstual terhadap naskah dilakukan dengan kehati-hatian tinggi. Hal ini bukan karena keberpihakan apriori pada naskah yang ada, tetapi karena kajian terhadap bagian-bagian sulit justru seringkali menunjukkan bahwa teks tersebut dapat dipahami tanpa harus diubah. Sejauh ini belum tersedia edisi kritis Al-Qur'an yang dilengkapi apparatus criticus; penulis bekerja dengan menggunakan edisi Fluegel sambil membandingkan salinan-salinan Timur serta mencermati varian bacaan yang dicatat oleh Baidawi. Pengalaman ini menguatkan keyakinan bahwa para penyusun Al-Qur'an telah menjalankan tugasnya dengan sangat cermat. Edisi kritis semacam itu memang sedang disiapkan oleh Dr. Arthur Jeffery di Kairo.
Dalam menyusun terjemahan ini, penulis berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur'an telah berada dalam bentuk tertulis ketika mulai disusun, baik oleh Nabi Muhammad sendiri—sebagaimana diyakini oleh penulis—maupun oleh para juru tulis atas perintah beliau. Sepanjang pengerjaan, asumsi ini kian menguat. Bila terjemahan ini berhasil mengungkap logika yang terpendam dalam susunan teks yang tampak membingungkan, maka hipotesis tersebut mendapat pembenaran.
Kebingungan dalam teks kemungkinan besar bukan berasal dari kekacauan pemikiran atau gaya Nabi, tetapi dari proses penyusunan dokumen tertulis itu sendiri—seperti penambahan pinggir halaman, penghapusan dan penggantian teks, atau penyisipan bagian yang tertulis di belakang tetapi terbaca seolah bagian awal. Tambahan pula, Al-Qur'an banyak terdiri dari bagian-bagian pendek yang kemudian digabungkan dalam satu surah. Penulis cenderung mempercayai bahwa Nabi sendirilah yang menyatukan bagian-bagian ini, setidaknya sebagian besar dari proses tersebut.
Jika konteks sejarah pewahyuan dapat direkonstruksi secara lebih utuh, hal ini akan membantu menjelaskan mengapa Nabi Muhammad dapat meraih otoritas keagamaan yang kokoh di tengah kaumnya. Namun sayangnya, informasi sejarah sering kali kabur, bahkan untuk periode Madinah yang lebih dikenal. Untuk bagian-bagian Mekah, kita lebih banyak bergantung pada dugaan ketimbang bukti konkret.
Dengan tujuan memperjelas isi tiap bagian, penulis menambahkan judul-judul kecil yang merangkum tema utama dari setiap bagian serta memberi indikasi waktu turunnya wahyu, walau bersifat tentatif. Penentuan kronologi menyeluruh surah-surah dalam Al-Qur'an tetap merupakan tantangan besar yang harus ditangani oleh penelitian lebih lanjut. Kontribusi utama penulis adalah menata ulang isi surah-surah secara internal agar lebih koheren, bukan mengubah urutan surah secara keseluruhan.
Komposisi Al-Qur'an sendiri, menurut penulis, dapat dibagi ke dalam tiga periode: (1) periode awal yang hanya menyisakan fragmen-fragmen pendek berisi seruan kepada ketakwaan dan tanda-tanda Tuhan; (2) periode Al-Qur'an, yang mencakup akhir masa kenabian di Mekah dan masa awal di Madinah, saat wahyu mulai disusun lebih sistematis; dan (3) periode Kitab, sejak akhir tahun kedua Hijrah, ketika wahyu mulai membentuk struktur kitab yang utuh dan berdiri sendiri.
Ayat-ayat ditata menggunakan penomoran Fluegel. Di mana pembagian ayat menurut Fluegel tidak sejalan dengan makna alami teks, pembagian tersebut tetap ditampilkan di dalam teks (bukan di margin), namun rima dan struktur internal tetap diutamakan. Jika ada dua versi atau variasi tekstual yang berbeda, keduanya ditampilkan secara berdampingan dalam kolom paralel—kolom kiri menunjukkan bacaan awal, kolom kanan menampilkan versi pengganti.
Pengaturan spasi dan baris digunakan untuk menandai adanya penambahan, penghapusan, atau penempatan ulang teks. Penambahan kata dalam bahasa Inggris dilakukan sejauh diperlukan untuk memperjelas makna. Namun, pengaruh gaya bahasa Arab tetap dipertahankan sedekat mungkin dengan struktur aslinya, meskipun ini kadang menimbulkan kalimat-kalimat yang tampak canggung dalam bahasa Inggris.
Kritik terhadap Terjemahan Al-Qur'an Bell
Richard Bell dalam pengantarnya mencerminkan pendekatan filologis dan historis-kritis dalam studi Al-Qur’an, sebagaimana berkembang di kalangan orientalis Barat sejak abad ke-19. Penulis memperlihatkan niat untuk "memahami pernyataan-pernyataan Muhammad dalam latar historisnya" sebagai tujuan utama penerjemahan. Meskipun ia menyatakan bahwa ia tidak mengabaikan tafsir tradisional Muslim, ia tetap mengutamakan metode kritik teks dan analisis sejarah untuk menjelaskan struktur dan makna Al-Qur’an. Sebagai catatan kriris, tujuan Bell ini mirip dengan pendekatan historis-kritis dalam studi Bibel, yang mencoba memahami teks dalam konteks sejarah penulisnya (lihat John Barton, The Bible: The Basics, Routledge, 2010).
Penekanannya bahwa redaktur Al-Qur’an bekerja dari bahan-bahan tertulis menunjukkan pandangan bahwa Al-Qur’an telah melalui proses penyuntingan oleh manusia, bukan hanya sekadar produk pewahyuan ilahiah secara verbal. Hal ini sesuai dengan teori-teori yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Theodor Nöldeke dan Richard Bell, yang melihat proses kodifikasi Al-Qur’an sebagai upaya historis yang bisa direkonstruksi melalui analisis tekstual. Theodor Nöldeke dalam Geschichte des Qorāns (1860) dan Angelika Neuwirth, yang menegaskan bahwa mushaf merupakan hasil evolusi naratif yang kompleks.
Penulis mengusulkan bahwa kekacauan struktur Al-Qur’an, sebagaimana dikritik oleh sebagian orientalis, tidak disebabkan oleh cacat logika atau ekspresi Muhammad, melainkan oleh kekacauan transmisi tulisan, termasuk interpolasi, pemindahan bagian, dan marginalia yang masuk ke dalam teks utama. Ini adalah asumsi yang umum dalam kritik teks Barat tetapi bertentangan dengan keyakinan ulama Muslim yang memandang mushaf Utsmani sebagai final dan mutawatir secara lisan dan tertulis. Pendekatan semacam ini digunakan dalam kritik tekstual klasik, seperti yang diterapkan pada manuskrip Yunani kuno dan Bibel (lihat Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament, Oxford, 2005).
Upaya untuk membagi Al-Qur’an dalam tiga periode (fragmen awal, periode Al-Qur’an, dan periode Kitab) merupakan rekonstruksi hipotetis yang bersandar pada kronologi internal dan tema, bukan pada riwayat pewahyuan yang diterima dalam tradisi Islam. Hal ini menunjukkan perbedaan epistemologis yang mendasar antara pendekatan orientalis dan pendekatan tradisional Muslim. Klasifikasi ini menyerupai model Nöldeke tentang periode Mekkah awal, Mekkah tengah, Mekkah akhir, dan Madinah, yang secara metodologis dikembangkan dari analisis gaya bahasa dan isi ayat.
Adapun penggunaan apparatus kritikus dan teks paralel merupakan bentuk filologi modern yang bertujuan untuk memperlihatkan lapisan-lapisan redaksi. Namun, ini juga mengimplikasikan asumsi bahwa teks Al-Qur’an berkembang secara bertahap melalui modifikasi manusiawi, sebuah pandangan yang ditolak oleh mayoritas ulama tafsir Islam karena bertentangan dengan konsep kemu‘jizatan dan keutuhan Al-Qur’an sejak awal diturunkan.
Terakhir, meskipun penulis menunjukkan kehati-hatian dalam adopsi koreksi tekstual dan berterima kasih atas bantuan para kolega dalam revisi terjemahan, ia secara eksplisit menyatakan bahwa ia tidak bertujuan untuk keindahan sastra, melainkan ketepatan semantik. Ini menekankan orientasi akademik Barat yang mengedepankan makna literal ketimbang keindahan retoris Al-Qur’an, yang justru menjadi salah satu dimensi i‘jaz dalam tradisi Islam.
Richard Bell (1876–1952), seorang orientalis asal Skotlandia dan dosen Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, merupakan salah satu pelopor studi Al-Qur’an di Barat yang menggunakan pendekatan historis-kritis. Melalui karya monumentalnya, The Qur’an: Translated with a Critical Re-arrangement of the Surahs (1937–1939), dan Introduction to the Qur’an (1953), Bell memperkenalkan metode pembacaan ulang Al-Qur’an yang berbeda dari struktur mushaf Utsmani. Pendekatannya lebih menekankan pada rekonstruksi kronologis teks berdasarkan asumsi-asumsi historis mengenai periode kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang menurutnya berpengaruh dalam proses redaksional teks wahyu (Watt, 1970: ix–x).
Selain analisis kritis di atas, dapat pula dikemukan secara rinci kritik terhadap Richard Bell berikut ini:
1. Asumsi Dasar Pendekatan Bell
Bell berpijak pada asumsi bahwa Al-Qur’an merupakan dokumen sejarah yang berkembang secara bertahap. Ia menempatkan wahyu dalam kerangka pengalaman eksistensial Nabi Muhammad, dan karenanya meyakini bahwa penyusunan Al-Qur’an tidak sepenuhnya bersifat ilahiah dan tetap, melainkan turut dipengaruhi oleh situasi politik, sosial, dan psikologis Nabi (Bell, 1953: 99–103). Dengan kata lain, Bell menyamakan proses pewahyuan dalam Islam dengan proses penulisan Injil dalam Kekristenan, yang menurutnya juga mengalami proses redaksi panjang.
Pendekatan seperti ini pada dasarnya menafikan dimensi transendental Al-Qur’an sebagaimana diyakini dalam Islam. Dalam Islam, Al-Qur’an adalah kalām Allāh yang diturunkan kepada Nabi melalui malaikat Jibril dan dijaga baik secara hafalan (hifz) maupun tulisan (kitābah) oleh para sahabat. Oleh karena itu, asumsi bahwa Nabi turut mengedit, menyusun, dan mungkin menyisipkan fragmen-fragmen baru bertentangan secara diametral dengan doktrin Islam tentang otentisitas dan keutuhan Al-Qur’an (Rippin, 2001: 34).
2. Interpolasi dan Kronologisasi Spekulatif
Salah satu metode paling kontroversial yang digunakan Bell adalah interpolasi, yaitu tindakan menyisipkan atau memindahkan bagian-bagian ayat dan surah berdasarkan hipotesis kronologis pribadi. Bell membagi banyak ayat menjadi fragmen-fragmen kecil dan mengklaim bahwa bagian tertentu dari satu ayat mungkin diturunkan pada masa Mekah, sedangkan bagian lainnya pada masa Madinah. Ia kemudian menyusun ulang ayat-ayat tersebut ke dalam urutan yang ia anggap lebih “kronologis”, lalu memberikan tanda-tanda di dalam teks terjemahannya mengenai posisi yang ia anggap “seharusnya” (Robinson, 1996: 44–45).
Namun, pendekatan ini bersifat sangat spekulatif dan tidak didasarkan pada bukti manuskrip atau riwayat tafsir yang otoritatif. Tidak ada satu pun mushaf kuno yang mendukung klaim interpolatif Bell. Bahkan mushaf-mushaf awal seperti Mushaf ‘Utsmān, Mushaf San‘ā’, maupun manuskrip Topkapi dan Tashkent menunjukkan keseragaman dalam urutan dan isi surah. Karena itu, pendekatan Bell dianggap melanggar prinsip dasar kritik tekstual ilmiah yang harus berpijak pada evidence-based philology (Sinai, 2017: 12–13).
Di samping itu, metode Bell merefleksikan bias epistemologis yang umum di kalangan orientalis generasi awal. Mereka cenderung mendekati Al-Qur’an dengan asumsi bahwa semua teks agama besar memiliki proses historis yang panjang dan tidak utuh sejak awal. Mereka menganggap wahyu dalam Islam pun mengalami proses “evolusi tekstual” layaknya kitab suci lainnya. Pandangan ini tidak hanya problematis secara metodologis, tetapi juga mengabaikan tradisi intelektual Islam yang telah memiliki sistem verifikasi transmisi wahyu melalui isnād, qirā’āt, dan rasm al-mushaf (Neuwirth, 2010: 19–21).
3. Gaya Terjemahan dan Kehilangan Estetika
Kritik lain terhadap karya Bell adalah dari segi gaya terjemahannya yang kering, literal, dan terlalu teknis. Bell bukan menerjemahkan Al-Qur’an sebagai teks sastra atau wahyu yang menyentuh spiritualitas, melainkan sebagai objek filologis yang dipilah-pilah secara struktural. Akibatnya, pembaca tidak mendapatkan nuansa retoris, musikalitas, dan kedalaman spiritual yang terdapat dalam teks aslinya. Bahkan A.J. Arberry, yang juga merupakan orientalis Inggris, menyatakan bahwa karya Bell terlalu dingin dan bersifat analitis, serta tidak mampu menyampaikan “the majesty and cadence” dari Al-Qur’an (Arberry, 1955: x–xi).
Kritik serupa juga disampaikan oleh pembaca Muslim dan non-Muslim yang menilai bahwa pendekatan Bell mengabaikan konteks spiritual dan performatif dari pembacaan Al-Qur’an. Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an tidak sekadar dibaca tetapi dihayati, baik secara bunyi, irama, maupun makna. Ketika unsur musikalitas dan koherensi tematik dipecah-pecah dalam kerangka kronologis, pesan Al-Qur’an menjadi terdistorsi, tidak hanya secara linguistik tetapi juga secara teologis dan eksistensial (Robinson, 1996: 51).
4. Relevansi dan Respons Akademik Kontemporer
Meskipun Bell telah membuka ruang baru dalam kajian Al-Qur’an di Barat, karyanya saat ini dianggap sudah ketinggalan zaman oleh banyak sarjana kontemporer. Generasi baru seperti Angelika Neuwirth dan Nicolai Sinai menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif, filologis, dan kontekstual tanpa mengorbankan integritas struktur mushaf. Mereka juga lebih terbuka terhadap warisan intelektual Islam dan tidak tergesa-gesa mengedepankan hipotesis-hipotesis destruktif seperti interpolasi (Sinai, 2017: 15–16; Neuwirth, 2010: 8–9).
Lebih dari itu, perkembangan filologi digital, arkeologi manuskrip, dan studi intertekstualitas kini memungkinkan para peneliti untuk menilai sejarah teks Al-Qur’an dengan cara yang lebih empiris dan terukur. Tidak seperti era Bell, kini terdapat akses terhadap manuskrip kuno yang bisa dibandingkan secara langsung untuk menguji hipotesis tentang kronologi, redaksi, dan struktur. Dalam konteks ini, teori Bell cenderung bersifat pramodern dan kurang berbasis data.
Respons dari kalangan sarjana Muslim pun semakin kritis terhadap karya-karya orientalis klasik seperti Bell. Mereka menilai bahwa pendekatan seperti ini mencerminkan sisa-sisa proyek kolonialisme intelektual yang berusaha mendekonstruksi simbol-simbol spiritual dunia Islam melalui instrumen akademik Barat. Oleh karena itu, banyak sarjana Muslim menyerukan perlunya membangun kerangka epistemologis sendiri dalam membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, tanpa terjebak pada metode kritis-tekstual yang terlalu positivistik dan reduksionis (Nasr, 2006: 47–49).
Secara keseluruhan, terjemahan dan pendekatan Richard Bell terhadap Al-Qur’an mencerminkan satu fase penting dalam sejarah studi Islam di Barat, namun sarat dengan asumsi dan metode yang kini dipertanyakan. Bell mengabaikan prinsip-prinsip dasar transmisi wahyu dalam Islam, menginterpolasi teks secara spekulatif, dan menerjemahkan dengan gaya yang mengabaikan dimensi spiritual dan estetik Al-Qur’an. Meskipun karyanya memiliki nilai historis sebagai dokumentasi awal pendekatan kritis terhadap teks Al-Qur’an, penggunaannya harus dibarengi dengan kesadaran metodologis dan epistemologis yang kritis. Dalam era akademik kontemporer yang lebih terbuka dan berbasis bukti, pendekatan Bell lebih cocok dipelajari sebagai objek studi orientalisme, bukan sebagai model studi Al-Qur’an itu sendiri.
Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Barat telah menjadi perhatian serius sejak era kolonial. Para orientalis, terutama dari Eropa, menerjemahkan Al-Qur’an bukan hanya sebagai sarana akademik, tetapi juga sebagai alat polemik dan dakwah Kristen. Meskipun beberapa di antaranya berupaya objektif, mayoritas membawa bias teologis, filosofis, bahkan ideologis, yang mempengaruhi keakuratan, makna, dan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Bell merupakan salah satu sarjana Barat yang fokus kepada studi Al-Qur'an termasuk menerjemahkan Al-Qur'an. Secara umum dapat dikemukakan pula kritik terhadap studi Al-Qur'an orientalis sebagai berikut:
1. Reduksi Makna Spiritual dan Theologis
Orientalis seringkali menerjemahkan istilah-istilah kunci dalam Al-Qur’an secara sekular dan minimalis. Misalnya, kata taqwā kerap diterjemahkan hanya sebagai "fear of God" (takut kepada Tuhan), padahal dalam tradisi Islam, taqwā mencakup cinta, kesadaran, dan pengabdian kepada Allah secara menyeluruh (QS al-Baqarah [2]:2) (Abdul-Raof, 2010: 134). Terjemahan yang mereduksi makna ini mengaburkan dimensi etika-spiritual yang menjadi inti ajaran Islam.
Sebagai contoh, terjemahan Richard Bell (1937) cenderung menggambarkan wahyu Al-Qur’an secara psikologis dan retoris, bukan sebagai komunikasi ilahi. Ia sering menambahkan komentar dalam terjemahan yang memperlihatkan keraguannya atas keaslian ayat atau struktur wahyu (Bell, 1937: xvii–xviii). Pendekatan ini secara tidak langsung mendistorsi makna Al-Qur’an yang diyakini umat Islam sebagai kalām Allāh.
2. Penggunaan Istilah-istilah Teologi Kristen
Beberapa orientalis menggunakan istilah dari teologi Kristen untuk menerjemahkan konsep-konsep Islam. Misalnya, kata rasūl atau nabī seringkali diterjemahkan sebagai “apostle” atau “prophet” dalam pengertian Kristen, yang membawa konotasi yang berbeda. Ini menyebabkan kekeliruan dalam memahami fungsi kerasulan dalam Islam, yang tidak identik dengan misi penebusan atau doktrin inkarnasi seperti dalam Kristen (Rippin, 2001: 86–87).
Pada terjemahan George Sale (1734), salah satu versi awal dan berpengaruh di dunia Barat, banyak istilah penting diterjemahkan secara bias. Misalnya, dīn diterjemahkan sebagai “religion” secara umum, tanpa memperlihatkan makna “cara hidup” dan sistem hukum yang terkandung dalam istilah tersebut. Lebih dari itu, dalam pengantar (Preliminary Discourse), Sale menyebut Al-Qur’an sebagai “an imposture,” mencerminkan niat polemis dan apologetik (Sale, 1734: vii).
3. Distorsi Struktural dan Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an yang ritmis, penuh pengulangan retoris, dan padat makna seringkali diabaikan atau dilucuti dalam terjemahan orientalis. Terjemahan mereka cenderung datar, naratif, dan logis, sesuai dengan struktur prosa Barat. Ini tampak dalam terjemahan N.J. Dawood yang menghilangkan susunan surat tradisional dan menyusunnya menurut kronologi versi Nöldeke, dengan alasan “kemudahan pembaca” (Dawood, 2003: xii), namun justru menghilangkan susunan tematik dan keutuhan pesan wahyu yang diyakini umat Islam.
Selain itu, Dawood tidak menyertakan bismillāh di awal sebagian surat dan beberapa istilah disesuaikan dengan istilah Alkitabiah, yang dapat menyesatkan pembaca awam tentang konsep-konsep Islam.
4. Kecenderungan Ideologis dan Polemik
Beberapa orientalis menerjemahkan dengan tujuan mendiskreditkan Islam. Terjemahan Ludovico Marracci (1698), misalnya, disertai dengan komentar panjang yang menyerang doktrin Islam. Ia menyatakan bahwa Al-Qur’an mengandung “kesalahan logika” dan “ketidakjelasan moral” (Marracci, 1698: 5–6). Terjemahannya disertai catatan apologetik Kristiani dan berfungsi sebagai alat pembanding dengan Injil, bukan sebagai usaha akademik yang netral.
Demikian pula, Alexander Ross (1649), penerjemah Al-Qur’an pertama ke dalam bahasa Inggris, secara terbuka menyatakan bahwa ia menerjemahkan bukan untuk memahami Islam, tetapi agar orang Kristen bisa “melawannya dengan argumen yang benar” (Ross, 1649: Epistle to the Reader).
5. Respons dan Upaya Perbaikan
Kritik terhadap terjemahan orientalis mendorong lahirnya terjemahan dari kalangan Muslim seperti Abdullah Yusuf Ali (1934) dan Muhammad Asad (1980), yang berupaya menyelaraskan antara keindahan sastra, akurasi bahasa, dan pesan spiritual. Mereka menyertakan catatan tafsir untuk menjelaskan konteks dan menghindari ambiguitas. Terjemahan-terjemahan ini dianggap sebagai koreksi atas bias orientalis dan sebagai representasi suara internal Islam.
Namun demikian, beberapa terjemahan Barat mutakhir seperti oleh A. J. Droge (2013) dan Thomas Cleary (2004) menunjukkan adanya kemajuan dalam hal netralitas, meski tetap berada dalam kerangka studi akademik Barat. Droge misalnya, bersikap lebih hati-hati dalam menghindari penilaian teologis, dan menekankan bahwa terjemahannya “tidak menggantikan teks Arab” (Droge, 2013: viii).
Terjemahan Al-Qur’an oleh orientalis termasuk oleh Richard Bell menyimpan banyak problem epistemologis, linguistik, dan teologis. Terjemahan itu, meskipun berkontribusi pada penyebaran teks Al-Qur’an di Barat, seringkali tidak mewakili makna asli dan esensi spiritual Islam. Maka dari itu, pembaca perlu berhati-hati dan kritis dalam menggunakan terjemahan Barat, terutama untuk tujuan akademik dan keagamaan. Upaya umat Islam untuk menerjemahkan dan menjelaskan Al-Qur’an sesuai dengan maqāṣid dan kerangka keilmuannya sendiri merupakan kebutuhan mendesak dalam menghadapi dominasi narasi orientalis.
Kontribusi dan Pengaruh Richard Bell dalam Studi Al-Qur'an dan Terjemahannya.
Richard Bell (1876–1952) adalah seorang teolog Presbiterian dan sarjana bahasa Semitik dari Universitas Edinburgh, Skotlandia. Ia menjadi salah satu pelopor studi kritis terhadap Al-Qur’an di dunia akademik Barat pada awal abad ke-20. Ketertarikannya terhadap Islam bermula dari pengabdiannya sebagai pendeta di Sudan, di mana ia langsung berinteraksi dengan masyarakat Muslim dan mengalami ketertarikan intelektual terhadap ajaran Islam, khususnya Al-Qur’an sebagai teks keagamaannya yang utama (Bell, 1953, 3–5). Setelah kembali ke Inggris, ia mengabdikan dirinya pada studi Islam secara akademik, dengan fokus utama pada sejarah dan struktur teks Al-Qur’an. Ia dianggap memiliki kontribusi dalam studi Al-Qur'an sebagai berikut:
Pertama, Kritik Terhadap Struktur Mushaf dan Hipotesis Redaksional. Salah satu sumbangan utama Bell adalah usahanya menyusun ulang urutan surah dan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan asumsi kronologis dan evolusi gagasan dalam teks. Dalam karya monumentalnya The Qur’ān: Translated with a Critical Rearrangement of the Surahs (1937), Bell secara eksplisit menyatakan bahwa mushaf Utsmani, yang dijadikan rujukan utama umat Islam, tidak mencerminkan urutan pewahyuan yang asli. Ia percaya bahwa penyusunan Al-Qur’an pasca wafat Nabi Muhammad, khususnya pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, telah mengalami intervensi redaksional yang signifikan (Bell, 1937, vol. 1, xix–xxii).
Berdasarkan metode kritik tekstual, Bell melakukan rekonstruksi urutan kronologis ayat-ayat dengan memperhatikan gaya bahasa, penggunaan kata, tema teologis, serta situasi historis yang disimpulkannya dari isi teks. Ia bahkan menunjukkan bahwa sebagian surah terdiri dari potongan-potongan yang berasal dari masa pewahyuan yang berbeda, dan mengindikasikan adanya "penyisipan" (interpolasi) dalam beberapa bagian (Bell, 1937, vol. 2, 3–5). Dalam versi terjemahannya, Bell menandai bagian-bagian yang dianggap hasil interpolasi dengan tanda kurung, menunjukkan bahwa bagian tersebut kemungkinan bukan bagian asli dari wahyu awal.
Kedua, Pandangan tentang Wahyu dan Peran Nabi Muhammad. Pandangan Bell terhadap wahyu sangat berbeda dari konsep tradisional Islam. Ia tidak menerima bahwa Al-Qur’an sepenuhnya bersumber dari Tuhan secara langsung, melainkan melihatnya sebagai gabungan antara inspirasi religius dan proses penyusunan intelektual oleh Nabi Muhammad sendiri. Menurut Bell, Nabi tidak selalu menjadi penerima pasif wahyu, melainkan sering berperan sebagai penyusun aktif terhadap isi dan bentuk wahyu tersebut, tergantung pada kebutuhan situasional dakwahnya (Bell, 1953, 8–10).
Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa dalam surah-surah Madaniyah, terdapat perubahan gaya dan konten yang mencerminkan kondisi politik dan sosial Nabi di Madinah, serta respons terhadap perkembangan umat Islam dan relasi dengan Yahudi dan Kristen. Bell berpendapat bahwa perubahan semacam itu menunjukkan adanya kemungkinan revisi terhadap wahyu sebelumnya, bahkan kemungkinan Nabi menghapus atau mengganti bagian-bagian tertentu (Bell, 1953, 56–60).
Bagi Bell, Al-Qur’an adalah dokumen historis sekaligus refleksi dari jiwa dan pengalaman Muhammad sebagai tokoh religius dan pemimpin masyarakat. Karena itu, pendekatan yang digunakannya bersifat historis-kritis, yang membedah teks Al-Qur’an layaknya karya sastra atau dokumen sejarah yang terbuka terhadap analisis sumber, susunan, dan motif pengarang.
Ketiga, Terjemahan dan Tujuan Akademik. Proyek terjemahan Bell atas Al-Qur’an tidak semata-mata bertujuan untuk menyediakan padanan bahasa Inggris dari teks Arab. Ia menggunakan terjemahan itu sebagai alat untuk memperkenalkan pendekatan kritis terhadap teks Al-Qur’an kepada audiens Barat. Terjemahannya bersifat analitik, dengan catatan kaki dan komentar yang menjelaskan setiap perubahan susunan, hipotesis interpolasi, serta tafsiran atas konteks pewahyuan yang ia rekonstruksi. Ia menyusun surah-surah berdasarkan urutan pewahyuan versi dirinya, bukan berdasarkan mushaf standar (Bell, 1937, vol. 1, xxi–xxiv).
Dengan demikian, Bell menempatkan terjemahan sebagai perangkat studi kritis, bukan sekadar translasi. Ia menganggap bahwa hanya dengan pendekatan semacam ini, sarjana Barat dapat memahami "evolusi doktrinal" Islam awal sebagaimana tercermin dalam teks Qur’ani.
Adapun pengaruh dan kritik terhadap pendekatannya bahwa pemikiran Bell memberikan pengaruh signifikan terhadap studi Qur’an di dunia Barat, terutama melalui muridnya, W. Montgomery Watt, yang kemudian menjadi salah satu figur penting dalam kajian Islam. Watt mengembangkan teori Bell secara lebih hati-hati dan simpatik. Ia menyetujui banyak aspek pendekatan Bell, namun berusaha memoderasi kesimpulan-kesimpulan ekstrem yang cenderung meragukan keotentikan seluruh wahyu (Watt, 1970, 112–115).
Pemikiran dan metode Richard Bell memberi pengaruh signifikan terhadap perkembangan studi kritis Al-Qur’an di dunia akademik Barat, baik secara langsung melalui karya-karyanya, maupun secara tidak langsung melalui murid dan para pengikut intelektualnya. Bell menjadi representasi penting dari gelombang kedua orientalisme pasca-Reynold Nicholson, yang mulai meninggalkan pendekatan apologetik atau polemis dan beralih pada analisis filologis, sejarah, dan kritik teks terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Bell memberikan landasan awal bagi terbentuknya pendekatan redaksional terhadap Qur’an yang kemudian berkembang pesat di paruh kedua abad ke-20.
Salah satu murid Bell yang paling berpengaruh adalah W. Montgomery Watt, yang tidak hanya meneruskan proyek Bell dalam memahami kehidupan dan wahyu Nabi Muhammad secara historis, tetapi juga memperkenalkan pendekatan Bell kepada audiens yang lebih luas melalui buku-buku populernya seperti Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina. Dalam pengantar edisi baru Introduction to the Qur’an, Watt menyatakan bahwa meskipun pandangan Bell dianggap kontroversial, pendekatannya tetap bernilai sebagai model studi kritis terhadap struktur Al-Qur’an (Watt, 1970). Bahkan, banyak pemikir orientalis pasca-Watt yang menganggap karya Bell sebagai rujukan awal dalam memahami dinamika penyusunan teks Al-Qur’an.
Pengaruh Bell juga terlihat dalam perkembangan pendekatan historis-kritis yang menginspirasi para sarjana seperti John Wansbrough, Michael Cook, Patricia Crone, dan Andrew Rippin. Meskipun pendekatan mereka berbeda dan cenderung lebih radikal, namun gagasan dasar bahwa Al-Qur’an dapat diteliti secara ilmiah melalui metodologi sejarah, kritik sumber, dan filologi, merupakan kelanjutan dari kerangka yang telah diletakkan oleh Bell. Misalnya, Wansbrough dalam Qur'anic Studies menerapkan pendekatan analisis literer yang lebih strukturalis terhadap Qur’an, namun secara ideologis ia tetap berpijak pada asumsi bahwa teks ini merupakan hasil proses redaksional yang panjang dalam komunitas Muslim awal, suatu gagasan yang telah dimunculkan terlebih dahulu oleh Bell (Wansbrough, 1977).
Lebih jauh lagi, metode Bell mendorong berkembangnya genre terjemahan kritis terhadap Qur’an. Sebelum Bell, sebagian besar terjemahan Barat terhadap Qur’an masih bercorak polemis atau apologetik, seperti terjemahan George Sale (1734). Namun setelah Bell, muncullah karya-karya terjemahan yang lebih akademik dan disertai dengan komentar kritis, seperti terjemahan A. J. Arberry dan N. J. Dawood, meskipun mereka tidak seketat Bell dalam penyusunan ulang surah. Arberry secara khusus mengakui bahwa pendekatan Bell membuka jalan bagi pembacaan Qur’an sebagai teks sastra, dengan memperhatikan gaya, ritme, dan struktur komposisinya (Arberry, 1955).
Namun demikian, pengaruh Bell tidak hanya terbatas pada kalangan orientalis. Karya-karya Bell juga memancing respons dari para sarjana Muslim kontemporer yang mulai mengembangkan pendekatan ilmiah terhadap Al-Qur’an, baik untuk mengkritik orientalisme maupun untuk menyesuaikan metodologi modern dengan epistemologi Islam. Misalnya, Fazlur Rahman mengkritik pendekatan Bell yang terlalu menekankan peran aktif Nabi dalam menyusun wahyu, tetapi pada saat yang sama ia juga membuka ruang bagi analisis historis terhadap perkembangan isi Qur’an, termasuk kronologi pewahyuan dan konteks sosialnya (Rahman, 1984).
Dalam literatur akademik mutakhir, pengaruh Bell masih terus dibahas dan dievaluasi ulang. Sebagian peneliti menganggap pendekatan Bell terlalu spekulatif karena minimnya data manuskrip pada masanya. Namun perkembangan studi paleografi Qur’an dan penemuan manuskrip-manuskrip kuno seperti Sana’a Palimpsest memberikan dimensi baru dalam menilai validitas asumsi Bell. Walaupun banyak hipotesis Bell kini dipertanyakan, semangat kritis dan keberaniannya untuk membedah struktur Qur’an tetap diapresiasi sebagai tonggak penting dalam sejarah studi teks suci Islam di dunia akademik Barat (Sadeghi & Goudarzi, 2012).
Meskipun demikian, pendekatan Bell telah menuai kritik tajam, baik dari kalangan Muslim maupun dari sarjana Barat yang lebih baru. Sarjana Muslim menilai bahwa Bell gagal memahami kerangka epistemologi Islam, khususnya terkait konsep wahyu dan transmisi lisan yang kuat dalam tradisi Qur’ani. Kritik juga datang dari pendekatan post-orientalis yang menolak sikap skeptis total dan menuntut adanya pembacaan yang lebih sensitif terhadap konteks keimanan umat Islam (Mustafa, 2007, 44–46).
Selain itu, upaya Bell dalam menyusun ulang teks Al-Qur’an dianggap terlalu spekulatif dan tidak memiliki dasar manuskrip yang kuat. Hal ini berbeda dengan pendekatan sarjana teks Alkitab, yang memiliki ribuan naskah pembanding. Dalam kasus Al-Qur’an, manuskrip-manuskrip kuno justru menunjukkan tingkat keseragaman yang tinggi, sehingga dugaan interpolasi Bell tidak mendapat dukungan tekstual yang cukup (Sadeghi & Goudarzi, 2012, 1–25).
Richard Bell menempati posisi penting dalam sejarah studi Al-Qur’an di Barat sebagai pelopor pendekatan historis-kritis dan redaksional terhadap teks Qur’ani. Meskipun teorinya menuai kontroversi dan kritik keras, karya-karyanya tetap menjadi tonggak awal dalam tradisi orientalis mengenai Qur’an. Terjemahan dan analisis Bell memperkenalkan metode baru yang berpengaruh bagi generasi sarjana sesudahnya, tetapi juga membuka perdebatan panjang tentang batas-batas akademik dalam mempelajari kitab suci umat beragama.
Dengan demikian, warisan intelektual Richard Bell tidak hanya mencakup karya-karyanya secara langsung, tetapi juga memengaruhi arah dan orientasi metodologis studi Al-Qur’an di Barat, serta membentuk debat panjang antara pendekatan orientalis dan pemikiran Islam modernis. Keberadaannya dalam sejarah studi Qur’an patut ditempatkan sebagai salah satu figur transisi dari orientalisme klasik menuju studi Qur’an yang lebih teknis, kritis, dan terlepas dari motif-motif teologis dominan masa kolonial.
Kesimpulan
Studi terhadap terjemahan dan pendekatan Richard Bell dalam The Qur’ān: Translated with a Critical Re-arrangement of the Surahs menunjukkan bahwa karyanya merupakan tonggak penting dalam sejarah studi kritis Al-Qur’an di Barat. Bell tidak hanya menerjemahkan teks Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, tetapi juga menyusun ulang surah-surah berdasarkan dugaan kronologi pewahyuan serta memberikan catatan kritis mengenai interpolasi dan struktur teks. Pendekatannya menggabungkan metode filologis, sejarah, dan kritik sumber yang kemudian mengilhami generasi orientalis berikutnya, seperti W. Montgomery Watt, John Wansbrough, dan Michael Cook.
Namun demikian, karya Bell tidak lepas dari kritik. Secara metodologis, penyusunan ulang surah yang dilakukannya sering kali bersifat spekulatif dan tidak memiliki landasan manuskrip yang memadai. Asumsinya tentang interpolasi dalam teks Al-Qur’an kerap dianggap mengabaikan tradisi oral dan upaya kodifikasi oleh para sahabat Nabi. Selain itu, gaya terjemahan Bell yang terlalu teknis dan kadang kaku membuat pembaca awam kesulitan memahami keindahan retoris Al-Qur’an, berbeda dari pendekatan A. J. Arberry yang lebih estetis. Kritik utama lainnya terletak pada bias orientalis Bell yang, meskipun lebih halus dibanding generasi sebelumnya, tetap menampilkan Al-Qur’an sebagai produk sejarah semata dan cenderung menyepelekan aspek wahyu yang diyakini oleh umat Muslim.
Dengan segala kontribusi dan keterbatasannya, karya Bell tetap penting sebagai bahan kajian akademik dalam memahami bagaimana Al-Qur’an ditelaah dalam perspektif non-Muslim. Namun, ia juga mengingatkan kita akan pentingnya pendekatan yang seimbang—antara ketelitian ilmiah dan penghormatan terhadap makna spiritual teks—dalam studi terhadap kitab suci.
Referensi
Abdel Haleem, M. A. S. (2004). The Qur’an: A new translation. Oxford University Press.
Abdul-Raof, H. (2010). Schools of Qur’anic exegesis: Genesis and development. Routledge.
Arberry, A. J. (1955). The Koran interpreted. Oxford University Press.
Bell, R. (1937–1939). The Qur’an: Translated with a critical re-arrangement of the surahs (Vols. 1–2). T. & T. Clark.
Bell, R. (1953). Introduction to the Qur’an. Edinburgh University Press.
Burman, T. E. (2007). Reading the Qur’an in Latin Christendom, 1140–1560. University of Pennsylvania Press.
Dawood, N. J. (2003). The Koran. Penguin Classics.
Droge, A. J. (2013). The Qur’an: A new annotated translation. Equinox Publishing.
Marracci, L. (1698). Alcorani textus universus. Padua: Typographia Seminarii.
McAuliffe, J. D. (1991). Qur’anic Christians: An analysis of classical and modern exegesis. Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic science: An illustrated study. World Wisdom.
Neuwirth, A. (2010). Scripture, poetry and the making of a community: Reading the Qur’an as a literary text. Oxford University Press.
Nöldeke, T. (1860). Geschichte des Qorāns (Vol. 1). Dieterich'sche Verlagsbuchhandlung.
Rahman, F. (1984). Major themes of the Qur’an (2nd ed.). University of Chicago Press.
Rippin, A. (2001). The Qur’an and its interpretative tradition. Routledge.
Robinson, N. (1996). Discovering the Qur’an: A contemporary approach to a veiled text. SCM Press.
Ross, A. (1649). The Alcoran of Mahomet. London: Printed by W. T. for R. Mynne.
Sadeghi, B., & Goudarzi, M. (2012). Ṣan‘ā’ 1 and the origins of the Qur’ān. Der Islam, 87(1–2), 1–129.
Sale, G. (1734). The Koran: Commonly called the Alcoran of Mohammed. London: C. Ackers for J. Wilcox.
Sells, M. A. (1999). Approaching the Qur’an: The early revelations. White Cloud Press.
Sinai, N. (2017). The Qur’an: A historical-critical introduction. Edinburgh University Press.
Wansbrough, J. (1977). Qur’anic studies: Sources and methods of scriptural interpretation. Oxford University Press.
Watt, W. M. (1970). Bell’s introduction to the Qur’an. Edinburgh University Press.
*Cak Yo, 04-04-2025
.jpeg)

.jpeg)
Komentar
Posting Komentar