Membaca Kisah Orang-orang Besar: Pengaruhnya dalam Sejarah dan Inspirasi yang Dapat Diambil
Cak Yo
Prawacana
Saya hanyalah orang biasa, bukan siapa-siapa. Saya orang kecil yang menjalani hidup sehari-hari seperti kebanyakan orang. Namun, saya memiliki satu kegemaran yang membuat dunia saya terasa lebih luas: membaca kisah orang-orang besar. Saya mengagumi orang-orang hebat, bahkan mengagumi orang-orang hebat yang berada dalam lingkup kecil. Mereka yang dalam hidupnya, berada dalam pencapaian yang melebihi pencapaian saya, baik dari segi duniawi maupun ukhrawi. Saya berusaha lebih melihat sisi kelebihannya, mengakui keunggulan yang telah diraihnya daripada kekurangannya. Lebih-lebih kepada orang-orang besar yang mendunia, yang namanya hidup sepanjang masa, yang jasa-jasa dan warisan pemikirannya tercatat dalam sejarah dunia dan diakui berbagai bangsa. Ya, setiap bangsa memiliki tokoh-tokoh luar biasa yang mengubah sejarahnya, membentuk peradaban, dan meninggalkan jejak mendalam bagi generasi setelahnya.
Malam ini, setelah salat tarawih, di hadapan saya ada dua buku klasik tentang orang-orang besar: On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History karya Thomas Carlyle dan The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H. Hart. Saya membolak-balik halaman keduanya, membaca ulang gagasan-gagasannya, yang menginspirasi jutaan manusia. Dua buku ini membahas orang-orang besar dari sudut pandang yang berbeda, dan malam ini saya ingin menuliskan kembali isinya serta membandingkan bagaimana kedua penulis ini memandang sejarah melalui figur-figur luar biasa.
Sebelum itu, saya teringat pidato Sukarno tentang orang-orang besar yang ia sampaikan dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. pada tahun 1965. Dengan penuh semangat, Bung Karno pernah menyampaikan,
"History is the biography of great men," kata Thomas Carlyle. Sejarah adalah riwayat hidup daripada orang-orang besar. Benar sekali perkataan Thomas Carlyle ini. Tidak bisa riwayat Amerika ditulis tanpa menulis namanya Washington, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, dan lain-lain. Tidak bisa orang menulis sejarahnya Inggris tanpa menulis namanya William Pitt, Gladstone, atau Disraeli. Tidak bisa orang menulis sejarah Prancis tanpa menyebut namanya Mirabeau, Robespierre, Marat, Danton, Camille Desmoulins, Théroigne de Méricourt, Madame Roland, dan lain-lain. Tidak bisa orang menulis sejarah Jerman tanpa menyebut Frederick de Grote, Goethe, Karl Marx, dan Friedrich Engels. Tidak bisa orang menulis riwayat Rusia tanpa menyebut Peter the Great, Lenin, Trotsky, Stalin, Plekhanov, dan lain-lain. Tidak bisa orang menulis riwayat Tiongkok tanpa menyebut Dr. Sun Yat Sen atau Mao Tse Tung. Tidak bisa kita menulis sejarah Mesir tanpa menyebut Mustafa Kamil, Saad Zaghloul Pasha, atau Gamal Abdel Nasser. Tidak bisa orang menulis sejarah India tanpa menyebut Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Muhammad Ali, Shaukat Ali, dan Sarojini Naidu. Tidak bisa orang menulis sejarah Filipina tanpa menyebut Dr. José Rizal Mercado, Aguinaldo, atau Mabini. Tidak bisa orang menulis sejarah negara-negara lain tanpa menyebut orang-orang besar dari negeri itu. Tetapi di antara orang-orang besar yang disebutkan satu persatu itu, Muhammad bin Abdullah adalah yang terbesar, bukan hanya bagian dari sejarah Arab, bahkan bukan hanya satu zaman, tetapi sekalian zaman. Ajaran yang dibawanya adalah ajaran bagi segala zaman. Kita semua mencoba menjadi orang besar, beramal dan berpikir besar. Tetapi jika dibandingkan dengan apa yang dicapai Muhammad bin Abdullah, ukuran yang kita pakai tidak cukup. Dia bukan orang besar biasa. Jika Washington, Jefferson, Franklin adalah tokoh besar dalam sejarah Amerika, jika Disraeli, Gladstone adalah tokoh besar dalam sejarah Inggris, jika Marx dan Engels adalah tokoh besar dalam sejarah Jerman, maka Muhammad berada di tingkat yang jauh lebih tinggi daripada mereka. Ia adalah yang terbesar dari semua orang-orang besar."
Saya membaca pidato ini berulang-ulang, dan meresapi maknanya. Bung Karno, seperti Carlyle, percaya bahwa sejarah adalah kisah tentang orang-orang besar.
Riwayat Hidup Orang-orang Besar
Dari kegemaran saya membaca kisah orang-orang besar, saya membaca biografi mereka satu per satu. Saya ingin memahami bagaimana mereka membentuk dunia, bagaimana mereka berpikir, bertindak, dan mengubah peradaban. Setiap bangsa memiliki tokoh-tokoh besar yang meninggalkan jejak dalam sejarah, dan saya merasa seakan melakukan perjalanan melintasi waktu dan tempat saat membaca kisah mereka.
Kekaguman saya kepada orang-orang besar itu, membawa saya hanyut setiap membaca riwayat mereka. Saya membaca biografi Mahatma Gandhi, pemimpin gerakan kemerdekaan India yang memperjuangkan kebebasan melalui ahimsa (non-kekerasan). Ia menulis autobiografi berjudul The Story of My Experiments with Truth, diterbitkan oleh Navajivan Publishing House pada tahun 1927. Buku ini mengisahkan perjalanan spiritual dan perjuangan Gandhi dalam mencapai kemerdekaan India secara damai.
Saya membaca Jawaharlal Nehru, arsitek India modern dan perdana menteri pertama India, melalui autobiografinya berjudul An Autobiography, diterbitkan oleh Bodley Head pada tahun 1936. Dalam buku ini, Nehru menceritakan pengalaman hidupnya, pandangan politik, dan perjuangannya dalam gerakan kemerdekaan India.
Lalu riwayat hidup Subhas Chandra Bose, pemimpin revolusioner India yang memilih jalur militan dalam melawan kolonialisme, dijelaskan secara mendalam dalam buku Brothers Against the Raj: A Biography of Indian Nationalists Sarat and Subhas Chandra Bose karya Leonard A. Gordon, diterbitkan oleh Columbia University Press pada tahun 1990. Buku ini mengupas kehidupan dan perjuangan dua bersaudara dalam melawan penjajahan Inggris.
Di Mesir, negara yang terkenal dengan peradaban tingginya pada masa kuno, pada masa modern memiliki orang-orang besar, seperti Gamal Abdel Nasser, pemimpin Pan-Arabisme dan presiden Mesir, dapat diketahui biografinya dalam buku Nasser: A Biography karya Joel Gordon, diterbitkan oleh American University in Cairo Press pada tahun 2006. Buku ini mengulas perjalanan hidup Nasser dan perannya dalam politik Timur Tengah.
Demikian pula, orang besar Mesir lainnya, Anwar Sadat, presiden Mesir yang berperan penting dalam konflik dan perdamaian Timur Tengah, menulis autobiografi berjudul In Search of Identity: An Autobiography, diterbitkan oleh Harper & Row pada tahun 1978. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup Sadat, pandangan politiknya, dan upayanya dalam mencapai perdamaian di Timur Tengah.
Di Turki, ada pemimpin Turki yang kontroversial sejak masa hidupnya hingga meninggal dunia, Mustafa Kemal Atatürk, bapak pendiri Republik Turki yang mengubah negaranya menjadi negara sekuler modern, dapat dibaca biografinya dalam buku Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey karya Andrew Mango, diterbitkan oleh Overlook Press pada tahun 1999. Buku ini memberikan gambaran komprehensif tentang kehidupan dan reformasi yang dilakukan Atatürk.
Dan orang besar Turki yang saya anggap terbesar adalah Sultan Mehmed II (Muhammad al-Fâtih), penakluk Konstantinopel dan pengakhiri Kekaisaran Bizantium, dapat diketahui riwayat hidupnya antara lain dalam buku Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger, diterbitkan oleh Princeton University Press pada tahun 1978. Buku ini mengupas kehidupan dan pencapaian Mehmed II dalam sejarah Islam dan dunia.
Melompat ke Perancis, ada Napoleon Bonaparte, jenderal Prancis yang mengubah wajah Eropa melalui perang dan reformasi hukumnya, dibahas dalam buku Napoleon: A Life karya Andrew Roberts, diterbitkan oleh Penguin Books pada tahun 2014. Buku ini memberikan pandangan mendalam tentang kehidupan, strategi militer, dan warisan Napoleon.
Demikian pula, Charles de Gaulle, pemimpin Prancis selama Perang Dunia II dan pendiri Republik Kelima, menulis autobiografi berjudul The Complete War Memoirs of Charles de Gaulle, diterbitkan oleh Carroll & Graf Publishers pada tahun 1998. Memoar ini mengisahkan peran de Gaulle dalam Perang Dunia II dan pandangannya tentang politik Prancis.
Lalu ke Inggris, tak kurang-kurangnya orang-orang besar Inggris baik dalam politik, sastra, dan lainnya. Sebagai contoh adalah Winston Churchill, perdana menteri Inggris yang memimpin negaranya melewati Perang Dunia II, menulis autobiografi berjudul My Early Life: 1874-1904, diterbitkan oleh Thornton Butterworth pada tahun 1930. Buku ini mengisahkan masa muda Churchill, pengalaman militernya, dan awal karier politiknya.
William Shakespeare, dramawan dan penyair Inggris yang karyanya abadi sepanjang zaman, dibahas dalam buku Will in the World: How Shakespeare Became Shakespeare karya Stephen Greenblatt, diterbitkan oleh W. W. Norton & Company pada tahun 2004. Buku ini mengupas kehidupan Shakespeare dan bagaimana pengalamannya mempengaruhi karyanya.
Pemikir politik termashur John Locke, filsuf Inggris yang pemikirannya mempengaruhi dunia politik, dapat dibaca biografinya dalam buku John Locke: A Biography karya Maurice Cranston, diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 1957. Buku ini mengulas kehidupan, karya, dan pengaruh Locke dalam filsafat dan politik.
Dalam bidang ekonomi ada Adam Smith, ekonom Skotlandia yang dikenal sebagai bapak ekonomi modern, riwayat hidupnya dibahas dalam buku Adam Smith: An Enlightened Life karya Nicholas Phillipson, diterbitkan oleh Yale University Press pada tahun 2010. Buku ini memberikan gambaran tentang kehidupan dan pemikiran Smith yang mempengaruhi teori ekonomi.
Lalu ke negeri Van Orange, Belanda, ada Erasmus, pemikir Renaisans dari Belanda yang membawa revolusi dalam pendidikan, dapat diketahui perjalanan hidupnya dalam buku Erasmus of Rotterdam: A Biography karya Stefan Zweig, diterbitkan oleh Viking Press pada tahun 1934. Buku ini mengisahkan kehidupan, karya, dan pengaruh Erasmus dalam dunia intelektual Eropa.
Masih di Belanda, ada Ratu Wilhelmina, ratu Belanda yang memimpin selama Perang Dunia II, menulis autobiografi berjudul Lonely but Not Alone, diterbitkan oleh Harper & Brothers pada tahun 1960. Buku ini mengisahkan pengalaman Ratu Wilhelmina selama masa perang dan pandangannya tentang peristiwa dunia.
Barangkali orang Belanda yang justru anti-kolonial dan menentang kolonialisme adalah Multatuli, yang nama aslinya Eduard Douwes Dekker, penulis Belanda yang mengecam kolonialisme di Indonesia melalui novelnya Max Havelaar. Riwayat hidupnya dibahas dalam buku Multatuli: The Minstrel and the Prophet karya Siegfried Huigen, diterbitkan oleh Brill pada tahun 2008. Buku ini mengupas latar belakang kehidupan Dekker dan bagaimana karyanya mengguncang sistem kolonial di Hindia Belanda.
Dari Jerman yang terkenal banyak melairkan pemikir, filsuf, dan ahli politik itu saya mengenal orang-orang besar Jerman dengan gagasan-gagasan besarnya. Di sini, saya mengagumi Frederick II dari Prusia, atau Frederick de Grote, yang menulis Mémoires de Frédéric III, sebuah autobiografi yang mencerminkan pemikirannya tentang pemerintahan, perang, dan filsafat. Selain itu, biografi seperti Frederick the Great: A Life in Deed and Letters oleh Giles MacDonogh dan Frederick the Great oleh Tim Blanning memberikan analisis mendalam tentang kehidupannya. Johann Wolfgang von Goethe mendokumentasikan kehidupannya dalam Dichtung und Wahrheit (Poetry and Truth), sebuah autobiografi yang mencakup masa mudanya hingga 1775, sementara biografi seperti Goethe: Life as a Work of Art oleh Rüdiger Safranski dan Goethe: The Poet and the Age oleh Nicholas Boyle mengkaji peran serta pemikirannya dalam dunia sastra dan filsafat. Karl Marx tidak meninggalkan autobiografi, tetapi kehidupannya telah dikaji dalam berbagai biografi, seperti Karl Marx: A Biography oleh David McLellan, Karl Marx: Greatness and Illusion oleh Gareth Stedman Jones, serta Karl Marx: His Life and Environment oleh Isaiah Berlin. Friedrich Engels juga tidak menulis autobiografi, namun biografi seperti Friedrich Engels: A Biography oleh Gustav Mayer, The Frock-Coated Communist: The Revolutionary Life of Friedrich Engels oleh Tristram Hunt, dan Marx’s General: The Revolutionary Life of Friedrich Engels oleh Tristram Hunt memberikan gambaran komprehensif tentang kehidupannya sebagai intelektual dan revolusioner.
Di negeri beruang merah, ada Vladimir Lenin meskipun tidak menulis autobiografi, tetapi berbagai biografi seperti Lenin: A Biography oleh Robert Service, Young Stalin dan Stalin: The Court of the Red Tsar oleh Simon Sebag Montefiore, serta Lenin: The Man, the Dictator, and the Master of Terror oleh Victor Sebestyen mengupas kehidupannya dan pengaruhnya dalam revolusi Rusia. Sementara itu, Joseph Stalin juga tidak meninggalkan autobiografi, namun kehidupannya telah didokumentasikan dalam berbagai biografi, termasuk Stalin: A Biography oleh Robert Service, Stalin: The First In-depth Biography Based on Explosive New Documents from Russia’s Secret Archives oleh Edvard Radzinsky, dan Stalin: Paradoxes of Power oleh Stephen Kotkin. Leon Trotsky menulis autobiografinya sendiri berjudul My Life: An Attempt at an Autobiography, yang menjadi salah satu sumber utama tentang kehidupannya. Selain itu, beberapa biografi penting tentang Trotsky adalah Trotsky: A Biography oleh Robert Service, Trotsky: Downfall of a Revolutionary oleh Bertrand M. Patenaude, serta Trotsky: The Eternal Revolutionary oleh Dmitri Volkogonov, yang membahas perannya dalam Revolusi Rusia dan konflik dengan Stalin.
Di negeri Rusia ini, yang paling menonjol adalah Vladimir Lenin, pemimpin Revolusi Bolshevik yang mengubah Rusia menjadi Uni Soviet, dibahas dalam buku Lenin: A Biography karya Robert Service, diterbitkan oleh Harvard University Press pada tahun 2000. Buku ini menganalisis kehidupan Lenin, pemikirannya, dan bagaimana ia membentuk Uni Soviet.
Anda juga pasti mengenal sang diktator Soviet, Josef Stalin, pemimpin Uni Soviet yang membawa Rusia ke puncak kekuatan tetapi dengan harga yang mengerikan. Riwayat hidupnya dibahas dalam buku Stalin: Waiting for Hitler, 1929–1941 karya Stephen Kotkin, diterbitkan oleh Penguin Press pada tahun 2017. Buku ini menggambarkan kebijakan represif Stalin dan peranannya dalam Perang Dunia II.
Masih di Rusia, pujangga yang saya baca buku-bukunya, adalah Leo Tolstoy, novelis Rusia yang dikenal dengan karyanya War and Peace dan Anna Karenina. Riwayat hidupnya dapat dibaca dalam buku Tolstoy: A Russian Life karya Rosamund Bartlett, diterbitkan oleh Houghton Mifflin Harcourt pada tahun 2011.Buku ini mengupas kehidupan pribadi dan pengaruh spiritual Tolstoy dalam karyanya.
Di Rusia juga, Georgi Plekhanov saya mengetahui sedikit gagasan dan perjuangannya melalui berbagai tulisannya. Esai seperti "The Development of the Monist View of History" dan "The Role of the Individual in Hidtory" merefleksikan pandangannya tentang sejarah dan sosialisme. Selain itu, ada tulisan yang lebih komprehensif, "Georgi Plekhanov: Selected Philospohical Works" yang mengumpulkan banyak pemikirannya, memberikan gambaran lebih jelas tentang perjalanan intelektualnya.
Di negeri "Tirai Bambu" ada Mao Zedong, pemimpin Revolusi Komunis Cina dan pendiri Republik Rakyat Cina. Biigrafinya yang saya baca dengan sekali duduk adalah Mao: The Unknown Story karya Jung Chang dan Jon Halliday, diterbitkan oleh Jonathan Cape pada tahun 2005. Buku yang cukup tebal ini menyoroti aspek tersembunyi dari kehidupan Mao dan kebijakan revolusionernya.
Di negeri Cina ini, orang besar yang tak dapat dilewatkan adalah Sun Yat Sen, pendiri Republik Cina yang pertama dan tokoh revolusi. Biografinya dapat dibaca dalam buku Sun Yat-sen: A Biography karya Marie-Claire Bergère, diterbitkan oleh Stanford University Press pada tahun 1998. Buku ini menganalisis visi politik Sun Yat Sen dan perannya dalam modernisasi Cina. Paham nasionalismenya konon banyak mempengaruhi tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia.
Di Cina juga, Anda pasti mengenal nama Konfusius, filsuf Cina yang ajarannya masih menjadi dasar moralitas masyarakat Asia Timur, riwayat hidupnya dibahas dalam buku Confucius: A Life of Thought and Politics karya Annping Chin, diterbitkan oleh Yale University Press pada tahun 2007. Buku ini memberikan wawasan tentang kehidupan dan ajaran Konfusius serta dampaknya terhadap budaya Asia Timur.
Saya juga mengagumi orang-orang di negeri Paman Sam (Uncle Sam). Di sini ada George Washington, bapak pendiri Amerika Serikat dan presiden pertama, yang biografinya antara lain dibahas dalam buku Washington: A Life karya Ron Chernow, diterbitkan oleh Penguin Press pada tahun 2010. Buku ini menggambarkan kehidupan Washington sebagai pemimpin revolusi dan negarawan.
Demikian pula di Amerika ada Abraham Lincoln, presiden Amerika yang menghapus perbudakan, yang biografinya antara lain dibahas dalam buku Team of Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln karya Doris Kearns Goodwin, diterbitkan oleh Simon & Schuster pada tahun 2005. Buku ini menganalisis kepemimpinan Lincoln dalam menghadapi Perang Saudara Amerika.
Orang besar Amerika lainnya adalah Franklin D. Roosevelt, presiden Amerika yang memimpin negaranya melewati Depresi Besar dan Perang Dunia II, yang riwayat hidupnya dibahas antara lain dalam buku Franklin D. Roosevelt: A Political Life karya Robert Dallek, diterbitkan oleh Viking pada tahun 2017. Buku ini mengupas strategi politik Roosevelt dalam mengatasi krisis nasional dan global.
Bila Anda membaca sejarah perjuangan kulit hitam di Amerika, tentu Anda mengenal Martin Luther King Jr., pemimpin gerakan hak-hak sipil bagi warga kulit hitam Amerika. Sejarah hidupnya dibahas dalam buku antara lain dalam The Autobiography of Martin Luther King, Jr. yang disusun oleh Clayborne Carson, diterbitkan oleh Warner Books pada tahun 1998. Buku ini mencakup pidato, surat, dan pemikiran King selama perjuangannya.
Melompat ke Kuba ada José Martí, penyair dan pejuang kemerdekaan Kuba, dibahas dalam buku José Martí: A Revolutionary Life karya Alfred J. López, diterbitkan oleh University of Texas Press pada tahun 2014. Buku ini menyoroti gagasan revolusioner Martí dan perannya dalam kemerdekaan Kuba. Di sini juga ada Fidel Castro, yang terkenal itu. Ia adalah pemimpin revolusi Kuba yang mengguncang dunia dengan sosialismenya, riwayat hidupnya dibahas antara lain dalam buku Fidel Castro: My Life: A Spoken Autobiography, yang merupakan wawancara panjang dengan Ignacio Ramonet, diterbitkan oleh Scribner pada tahun 2008. Buku ini berisi refleksi Castro tentang perjuangannya dan kebijakan sosialismenya.
Mari kita melompat ke negeri yang dekat kita, Filipina. Di sini ada José Rizal, intelektual dan nasionalis Filipina yang melalui tulisannya membangkitkan kesadaran rakyat Filipina terhadap kolonialisme Spanyol. Ia dibahas dalam buku The First Filipino: A Biography of José Rizal karya León María Guerrero, diterbitkan oleh National Historical Institute pada tahun 1963. Buku ini menggambarkan kehidupan dan kontribusi Rizal dalam perjuangan kemerdekaan Filipina. Di Filipina juga ada Emilio Aguinaldo, pemimpin perjuangan kemerdekaan Filipina, yang riwayat hidupnya dapat dibaca dalam buku The Revolt of the Masses: The Story of Bonifacio and the Katipunan karya Teodoro Agoncillo, diterbitkan oleh University of the Philippines Press pada tahun 1956. Buku ini menyoroti peran Aguinaldo dalam perjuangan melawan penjajah.
Sebagai warga negara Indonesia, kita juga mengenal banyak orang-orang besar yang perjuangan dan jasa-jasanya tidak boleh kita lupakan. Untuk menyebut beberapa saja, di sini ada Sukarno, proklamator dan pemimpin revolusi yang membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Riwayat hidupnya banyak dituangkan dalam berbagai buku. Yang terkenal adalah buku autobiografinya berjudul Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, diterbitkan oleh Bobbs-Merrill pada tahun 1965. Buku ini menceritakan pengalaman dan pandangan politik Sukarno dalam memimpin Indonesia. Tidak terlewatkan, tokoh yang saya kagumi, Mohammad Hatta, tokoh proklamasi dan ekonom yang merancang sistem demokrasi Indonesia, dibahas dalam buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman karya Deliar Noer, diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1990. Buku tebal ini mengupas pemikiran politik dan ekonomi Hatta. Saya juga membaca riwayat hidup Sutan Sjahrir, pemikir yang tidak kuat kesepian sekaligus diplomat revolusi Indonesia, riwayat hidupnya dibahas dalam buku Sjahrir: Politik dan Perjuangan karya Rudolf Mrazek, diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1995. Buku ini menganalisis kontribusi Sjahrir dalam perjuangan diplomasi Indonesia.
Hampir saja saya melupakan tentara pejuang Jenderal Soedirman, panglima besar pertama TNI yang memimpin perang gerilya melawan Belanda. Kita dapat membaca riwayat hidupnya dalam buku Jenderal Soedirman: Pemimpin Sejati karya Tjokropranolo, diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1992. Buku ini menyoroti strategi militer dan kepemimpinan Soedirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sepertinya, saya juga tidak cukup membaca biografi orang-orang besar yang berperan dan berjasa dalam perjuangan, dalam gerakan politik. Saya juga suka membaca dari kalangan pemikir, filsuf, ilmuwan, dan sufi. Saya juga menelusuri karya-karya mereka, buku-buku yang membentuk peradaban dan terus dipelajari hingga kini. Dari India, saya membaca Bhashya karya Adi Shankaracharya, komentar mendalam atas Upanishad, Bhagavad Gita, dan Brahma Sutra, serta Raja Yoga, Karma Yoga, dan Jnana Yoga karya Swami Vivekananda yang menggambarkan spiritualitas India dalam perspektif modern. Rabindranath Tagore, penyair dan filsuf besar India, menulis Gitanjali, The Home and the World, dan Nationalism, yang menggambarkan keindahan sastra dan pemikiran nasionalisme India.
Dari Turki, saya membaca Jalaluddin Rumi, dengan karya besarnya Mathnavî atau Mathnawî, kumpulan puisi sufistik yang mengajarkan cinta ilahi. Saya juga membaca Badiuzzaman Said Nursi, dengan karyanya Risâle-e-Nûr, yang menjelaskan hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan modern.
Dari Prancis, saya membaca Discours de la méthode karya René Descartes, yang mendasari filsafat rasionalisme, serta Candide karya Voltaire, yang menyindir optimisme buta dan kebodohan manusia. Saya juga mendalami Du contrat social karya Jean-Jacques Rousseau, yang mempengaruhi gagasan demokrasi modern.
Dari Jerman, saya mempelajari Critique of Pure Reason karya Immanuel Kant, yang mendefinisikan ulang epistemologi modern, serta Phenomenology of Spirit karya Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang mengembangkan dialektika idealisme. Saya juga membaca The World as Will and Representation karya Arthur Schopenhauer, yang membahas filsafat pesimisme, serta Das Kapital karya Karl Marx, yang menjadi dasar teori sosialisme dan komunisme. Selain itu, saya mengagumi Thus Spoke Zarathustra karya Friedrich Nietzsche, yang memperkenalkan konsep "Übermensch" dan kritik terhadap agama.
Dalam filsafat saya mengagumi F. Hegel melalui beberapa buku biografinya yang terkenal antara lain Hegel: A Biography (Terry Pinkard), Hegel: His Life and Work (J.N. Findlay), dan Hegel: A Reinterpretation (Walter Kaufmann), yang membahas kehidupan serta pemikirannya secara mendalam. Jacques D’Hondt dalam Hegel: The Man, His Vision, and His Work mengulas aspek pribadi dan profesionalnya, sementara The Young Hegel (Georg Lukács) menyoroti perkembangan intelektualnya di masa muda.
Dalam pisikologi dan psikoanalisis saya mengagumi Sigmund Freud yang memiliki banyak biografi yang mengulas kehidupannya, seperti Freud: Eine Biographie oleh Peter Gay, yang juga tersedia dalam bahasa Inggris dengan judul Freud: A Life for Our Time. Selain itu, ada Freud: Der Mann, der das Unbewusste entdeckte oleh Élisabeth Roudinesco (Freud: In His Time and Ours dalam bahasa Inggris), yang membahasnya dalam konteks sejarah. Anak Freud, Ernst Freud, juga menulis Erinnerungen an Sigmund Freud (Sigmund Freud: His Life in Pictures and Words), yang berisi foto dan dokumen pribadi. Adapun pemikirannya dapat dibaca dalam karya-karya utama Freud meliputi Die Traumdeutung (The Interpretation of Dreams), Zur Psychopathologie des Alltagslebens (The Psychopathology of Everyday Life), dan Drei Abhandlungen zur Sexualtheorie (Three Essays on the Theory of Sexuality), yang membentuk dasar teori psikoanalisis.
Dari Inggris, saya membaca Two Treatises of Government karya John Locke, yang menjadi dasar teori liberalisme, serta Leviathan karya Thomas Hobbes, yang menjelaskan perlunya negara kuat untuk menjaga ketertiban. Saya juga mendalami The Origin of Species karya Charles Darwin, yang mengguncang dunia dengan teori evolusi, serta Novum Organum karya Francis Bacon, yang mengembangkan metode ilmiah.
Dari Belanda, saya membaca Ethica karya Baruch Spinoza, yang menjelaskan konsep Tuhan sebagai substansi alam semesta, serta In Praise of Folly karya Erasmus, yang mengkritik dogma gereja dan membela humanisme.
Dari Rusia, saya menikmati Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, yang mengeksplorasi moralitas dan psikologi manusia, serta War and Peace karya Leo Tolstoy, yang menggambarkan kompleksitas sejarah dan kehidupan manusia. Saya juga mendalami God and the State karya Mikhail Bakunin, yang menggagas teori anarkisme.
Dari Cina, saya membaca Analects karya Konfusius, yang menjadi dasar etika di Asia Timur, serta Tao Te Ching karya Laozi, yang mengajarkan kebijaksanaan Taoisme. Demikian pula pemikiran Mao Tse Tung antara lain melalui buku Quotations from Chairman Mao Tse-Tung, yang berisi pemikiran politik Mao Zedong.
Dari Amerika, saya mendalami Declaration of Independence karya Thomas Jefferson, yang merumuskan prinsip kebebasan dan hak asasi manusia, serta Self-Reliance karya Ralph Waldo Emerson, yang menekankan individualisme dan spiritualitas. Saya juga membaca Civil Disobedience karya Henry David Thoreau, yang menginspirasi gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Dari Kuba, saya menemukan Nuestra América karya José Martí, yang menggugah kesadaran nasionalisme Amerika Latin, serta pidato-pidato revolusioner Fidel Castro, yang mengubah sejarah politik Kuba.
Dari Filipina, saya membaca Noli Me Tangere dan El Filibusterismo karya José Rizal, yang membangkitkan nasionalisme Filipina melawan kolonialisme Spanyol.
Dari Indonesia, saya membaca Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno, yang merangkum gagasan dan pidato politiknya, serta Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta, yang membahas konsep demokrasi ekonomi. Saya juga membaca Madilog karya Tan Malaka, yang mengembangkan pemikiran materialisme, dialektika, dan logika, serta Taman Siswa karya Ki Hadjar Dewantara, yang merumuskan dasar pendidikan nasional. Saya juga mendalami Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan surat R.A. Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan.
Membaca karya-karya ini membuka wawasan saya tentang bagaimana pemikiran besar lahir dan berkembang. Dari berbagai zaman dan peradaban, para pemikir ini telah memberikan warisan yang terus menginspirasi dunia hingga kini.
Orang-orang Besar dalam On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History karya Thomas Carlyle
Buku On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History karya Thomas Carlyle adalah salah satu karya terpenting dalam filsafat sejarah abad ke-19. Buku ini merupakan kumpulan kuliah yang disampaikan Carlyle pada tahun 1840 dan diterbitkan pada tahun 1841. Dalam buku ini, Carlyle mengembangkan gagasannya bahwa sejarah bukanlah hasil dari kekuatan sosial atau ekonomi yang abstrak, tetapi lebih merupakan biografi dari individu-individu luar biasa yang ia sebut sebagai "pahlawan." Menurut Carlyle, para pahlawan ini adalah tokoh yang membentuk dunia melalui keberanian, kecerdasan, dan visi mereka.
Buku ini terdiri dari enam kuliah, masing-masing membahas berbagai tipe pahlawan yang menurut Carlyle memainkan peran penting dalam perkembangan peradaban manusia.
Bagian pertama berjudul, "The Hero as Divinity (Pahlawan sebagai Dewa)." Dalam kuliah pertamanya ini, Carlyle mengeksplorasi konsep pahlawan sebagai sosok ilahi dalam kepercayaan awal manusia. Ia menyoroti Odin, dewa utama dalam mitologi Norse, sebagai contoh bagaimana masyarakat purba memuja individu luar biasa sebagai dewa. Carlyle berargumen bahwa agama-agama kuno lahir dari kekaguman terhadap figur-figur hebat yang dianggap memiliki kekuatan dan kebijaksanaan luar biasa. Dalam peradaban awal, manusia membutuhkan figur yang bisa mereka jadikan panutan, dan mereka sering kali mengangkat individu-individu luar biasa ke tingkat ketuhanan.
Carlyle menekankan bahwa pemujaan terhadap pahlawan bukan sekadar ekspresi kekaguman, tetapi juga kebutuhan psikologis dan sosial. Menurutnya, pahlawan sebagai dewa adalah refleksi dari keinginan manusia untuk menemukan ketertiban dan makna dalam kehidupan mereka. Dalam peradaban yang belum memiliki konsep agama yang terstruktur, individu-individu besar diangkat menjadi sosok ilahi yang dihormati dan dipuja.
Bagian kedua, "The Hero as Prophet (Pahlawan sebagai Nabi)". Kuliah kedua Carlyle berfokus pada pahlawan dalam bentuk nabi atau pembawa wahyu, dan ia memilih Nabi Muhammad SAW sebagai contoh utama. Carlyle mengagumi keteguhan, kepemimpinan, dan visi Nabi Muhammad dalam menyebarkan ajaran Islam dan mengubah masyarakat Arab yang terpecah-pecah menjadi sebuah peradaban besar. Ia menekankan bahwa Muhammad bukan hanya seorang pemimpin agama, tetapi juga seorang reformis sosial dan politik yang membawa perubahan besar bagi dunia.
Carlyle menolak pandangan Barat yang sering meremehkan atau mencemooh Nabi Muhammad, dan ia justru menekankan kejeniusan serta keberaniannya dalam menghadapi tantangan besar. Menurut Carlyle, keberhasilan Muhammad bukan hanya karena wahyu yang diterimanya, tetapi juga karena karakternya yang kuat, kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan, dan kemampuannya dalam memimpin umatnya. Ia berpendapat bahwa Islam bukanlah sekadar hasil dari ajaran teologis, tetapi juga dari kepemimpinan yang efektif dan transformasi sosial yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Carlyle menyatakan bahwa seorang nabi bukan hanya pembawa pesan ilahi, tetapi juga seseorang yang memiliki kekuatan moral dan intelektual yang luar biasa. Pahlawan tipe ini memiliki visi yang lebih besar dari zamannya dan berani melawan arus demi membawa perubahan yang lebih baik.
Bagian ketiga, "The Hero as Poet (Pahlawan sebagai Penyair)". Dalam kuliah ketiga, Carlyle membahas pahlawan dalam bentuk penyair, yang ia anggap sebagai penjaga kebijaksanaan dan keindahan dalam peradaban manusia. Ia memilih Dante Alighieri dan William Shakespeare sebagai contoh utama.
Carlyle melihat penyair sebagai individu yang memiliki pemahaman mendalam tentang kehidupan, masyarakat, dan jiwa manusia. Dante, dengan Divine Comedy-nya, bukan hanya menulis puisi tetapi juga memberikan pandangan tentang moralitas, teologi, dan struktur alam semesta. Shakespeare, di sisi lain, mampu menangkap kompleksitas karakter manusia dan hubungan sosial dalam karyanya, yang menjadikannya sebagai salah satu pencerita terbesar sepanjang masa.
Menurut Carlyle, para penyair adalah pahlawan karena mereka mampu menginspirasi, mendidik, dan memberikan makna bagi kehidupan manusia. Mereka memiliki kepekaan terhadap realitas yang lebih dalam dan mampu menyampaikannya melalui bahasa yang indah dan penuh makna.
Bagian keempat, "The Hero as Priest (Pahlawan sebagai Pendeta)". Kuliah keempat membahas pahlawan dalam bentuk pemimpin keagamaan dan reformis, dengan Martin Luther dan John Knox sebagai contoh utama. Carlyle menganggap mereka sebagai figur yang berani melawan dogma yang dianggap menyesatkan dan membawa perubahan besar dalam agama Kristen melalui gerakan Reformasi.
Luther, dengan keberaniannya menantang Gereja Katolik dan menyebarkan gagasan bahwa manusia bisa berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara, dianggap Carlyle sebagai pahlawan yang membebaskan manusia dari belenggu otoritas keagamaan yang korup. John Knox, yang memimpin Reformasi Protestan di Skotlandia, juga dipuji sebagai tokoh yang memiliki keberanian moral dan intelektual yang luar biasa.
Carlyle menekankan bahwa para reformis ini adalah pahlawan karena mereka memiliki visi yang jelas tentang kebenaran dan berani melawan kekuatan yang ingin mempertahankan status quo. Mereka tidak hanya mengubah struktur agama, tetapi juga menciptakan dampak sosial dan politik yang luas.
Bagian kelima, "The Hero as Man of Letters (Pahlawan sebagai Intelektual)". Di sini Carlyle menyoroti Samuel Johnson, Jean-Jacques Rousseau, dan Robert Burns sebagai contoh pahlawan dalam bidang sastra dan pemikiran. Ia berargumen bahwa para intelektual memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat dengan gagasan dan pemikiran mereka.
Samuel Johnson dihormati karena kontribusinya dalam dunia sastra dan kritik sastra, sementara Rousseau dianggap sebagai pemikir revolusioner yang gagasannya mempengaruhi Revolusi Prancis. Robert Burns, seorang penyair rakyat Skotlandia, dipuji karena mampu mengekspresikan perasaan dan aspirasi rakyat biasa melalui puisinya.
Carlyle percaya bahwa para penulis dan filsuf memiliki kekuatan untuk mengubah dunia melalui kata-kata mereka. Mereka adalah pahlawan karena mereka membantu masyarakat memahami dirinya sendiri dan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kehidupan.
Pada bagian keenam berjudul, The Hero as King (Pahlawan sebagai Pemimpin)", Carlyle membahas Oliver Cromwell dan Napoleon Bonaparte sebagai contoh pahlawan dalam bentuk pemimpin politik dan militer. Ia menyoroti bagaimana kedua tokoh ini mengubah sejarah melalui kepemimpinan mereka yang kuat dan visi yang ambisius.
Cromwell dipuji karena keberaniannya dalam memimpin Revolusi Inggris dan menantang kekuasaan monarki. Napoleon, meskipun kontroversial, dianggap sebagai pemimpin yang memiliki kecerdasan strategi dan kemampuan administratif yang luar biasa.
Carlyle berpendapat bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah seseorang yang hanya berkuasa, tetapi seseorang yang memiliki visi dan keberanian untuk membawa perubahan besar. Pemimpin yang baik adalah mereka yang memahami kebutuhan rakyatnya dan mampu mengambil keputusan yang berani dan bijaksana.
Secara singkat, Buku On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History adalah refleksi dari keyakinan Carlyle bahwa sejarah dibentuk oleh individu-individu besar yang memiliki pengaruh luar biasa. Ia percaya bahwa masyarakat selalu membutuhkan figur pahlawan untuk memberi arah dan inspirasi.
Meskipun teori Carlyle tentang kepahlawanan sering dikritik sebagai terlalu menekankan pada individu dan mengabaikan faktor sosial serta ekonomi, buku ini tetap menjadi salah satu karya penting dalam filsafat sejarah. Konsepnya tentang hero-worship juga menjadi inspirasi bagi banyak pemikir dan politisi pada zamannya. Buku ini tetap relevan hingga saat ini karena menawarkan perspektif unik tentang bagaimana individu luar biasa dapat mengubah jalannya sejarah manusia.
Orang-orang Besar dan Paling Berpengaruh dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H. Hart
Michael H. Hart dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menyusun daftar tokoh-tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah berdasarkan dampak mereka terhadap dunia. Di peringkat pertama, Nabi Muhammad SAW dinilai sebagai tokoh yang tidak hanya membawa ajaran agama Islam tetapi juga membangun sistem politik yang kuat. Isaac Newton menempati posisi kedua berkat kontribusinya dalam fisika dan matematika, termasuk hukum gravitasi. Yesus Kristus berada di peringkat ketiga sebagai pendiri agama Kristen, diikuti oleh Buddha (Siddhartha Gautama) di posisi keempat yang mengajarkan ajaran spiritual di Asia. Konfusius, filsuf besar Tiongkok yang mempengaruhi etika dan sistem sosial Asia Timur, menempati urutan kelima. St. Paul, yang berperan dalam penyebaran agama Kristen, berada di posisi keenam, sementara Ts’ai Lun, penemu kertas dari Tiongkok, ada di peringkat ketujuh. Johann Gutenberg, yang menciptakan mesin cetak dan merevolusi dunia literasi, menduduki peringkat kedelapan. Christopher Columbus, penjelajah yang membuka jalan bagi kolonisasi Eropa di Amerika, berada di urutan kesembilan, diikuti oleh Albert Einstein di posisi kesepuluh dengan teori relativitasnya yang mengubah pandangan kita tentang fisika.
Di peringkat kesebelas hingga kedua puluh terdapat Louis Pasteur, Galileo Galilei, Aristoteles, Euclid, Musa, Charles Darwin, Qin Shi Huang, Augustus Caesar, Nikolaus Copernicus, dan Antoine Lavoisier. Mereka berkontribusi dalam berbagai bidang seperti sains, filsafat, agama, dan pemerintahan. Genghis Khan, yang membangun Kekaisaran Mongol, berada di urutan ke-21, diikuti oleh Adam Smith, William Shakespeare, John Dalton, Alexander Agung, Napoleon Bonaparte, Thomas Edison, Antony van Leeuwenhoek, William T.G. Morton, dan Guglielmo Marconi hingga posisi ke-30.
Selanjutnya, di antara tokoh-tokoh yang masuk dalam peringkat ke-31 hingga 50 terdapat Martin Luther, George Washington, Karl Marx, Orville dan Wilbur Wright, Genghis Khan, Adolf Hitler, Plato, Oliver Cromwell, Alexander Graham Bell, James Watt, Constantine Agung, Michael Faraday, James Clerk Maxwell, Sigmund Freud, Marc Chagall, Edward Jenner, Joseph Lister, Wilhelm Roentgen, Johann Sebastian Bach, dan Laozi.
Sementara itu, daftar ini juga mencakup tokoh-tokoh dalam bidang seni, musik, dan politik seperti Voltaire, Johannes Kepler, Nicolas Machiavelli, Thomas Malthus, Francisco Pizarro, Hernán Cortés, Thomas Jefferson, Jean-Jacques Rousseau, Henry Ford, Ludwig van Beethoven, Werner Heisenberg, Alexander Fleming, Simon Bolivar, Leonardo da Vinci, Michelangelo, Pope Urban II, ’Umar bin Khattab, Asoka, Menes, Charlemagne, Homer, Cyrus Agung, Peter Agung, Mencius, John F. Kennedy, Gregory Papanikolaou, dan Claude Monet hingga posisi ke-100.
Hart menyusun daftar ini berdasarkan dampak yang diberikan oleh masing-masing tokoh terhadap peradaban manusia, baik di bidang agama, ilmu pengetahuan, seni, politik, maupun teknologi. Meskipun daftar ini bersifat subjektif, banyak dari tokoh-tokoh tersebut memang memiliki pengaruh besar yang masih terasa hingga saat ini.
Perbandingan Buku Thomas Carlyle dan Michael H. Hart
Buku On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History karya Thomas Carlyle dan The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H. Hart sama-sama membahas tokoh-tokoh besar dalam sejarah, tetapi dengan pendekatan yang sangat berbeda. Carlyle berpendapat bahwa sejarah adalah biografi dari individu-individu luar biasa yang ia sebut sebagai "pahlawan." Ia percaya bahwa perubahan besar dalam dunia terjadi karena adanya individu dengan visi, keberanian, dan kekuatan moral yang mampu membimbing masyarakat. Sementara itu, Hart mengambil pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis analisis historis untuk menentukan siapa saja yang memiliki dampak paling besar terhadap dunia, baik dalam bidang agama, ilmu pengetahuan, politik, maupun budaya.
Dalam bukunya, Carlyle mengklasifikasikan pahlawan berdasarkan peran mereka dalam masyarakat, seperti pahlawan sebagai dewa, nabi, penyair, pendeta, intelektual, dan raja atau pemimpin politik. Ia menyoroti bagaimana individu seperti Odin, Nabi Muhammad SAW, Dante Alighieri, William Shakespeare, Martin Luther, John Knox, Samuel Johnson, Jean-Jacques Rousseau, Oliver Cromwell, dan Napoleon Bonaparte telah membentuk peradaban mereka. Carlyle lebih menekankan aspek moral dan spiritual dari kepemimpinan, serta bagaimana para pahlawan ini menginspirasi masyarakat melalui karakter dan tindakan mereka.
Sebaliknya, Michael H. Hart dalam The 100 menyusun daftar berdasarkan pengaruh historis yang dapat diukur, bukan hanya kepemimpinan moral atau inspirasi. Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat pertama karena perannya sebagai pemimpin agama dan politik yang membawa transformasi sosial besar. Isaac Newton menempati posisi kedua karena kontribusinya dalam ilmu fisika dan matematika, sedangkan Yesus Kristus berada di posisi ketiga karena ajarannya yang membentuk peradaban Kristen. Daftar Hart juga mencakup tokoh-tokoh ilmiah seperti Albert Einstein, Charles Darwin, dan Galileo Galilei, serta pemimpin politik seperti George Washington, Karl Marx, dan Napoleon Bonaparte.
Perbedaan mendasar lainnya adalah bahwa Carlyle lebih bersifat filosofis dan normatif, sementara Hart lebih empiris dan berbasis fakta. Carlyle melihat pahlawan sebagai individu yang harus dipuja dan diikuti, sementara Hart hanya mengukur dampak historis mereka tanpa mempertimbangkan apakah pengaruh mereka bersifat positif atau negatif. Misalnya, Hart memasukkan tokoh kontroversial seperti Adolf Hitler, karena meskipun tindakannya kejam, ia memiliki pengaruh besar dalam sejarah dunia. Carlyle, di sisi lain, lebih selektif dalam memilih pahlawan, hanya menyoroti mereka yang ia anggap memiliki nilai moral dan kepemimpinan sejati.
Dari segi tujuan, Carlyle ingin menginspirasi masyarakat untuk menghormati dan meneladani para pahlawan, sedangkan Hart bertujuan untuk memberikan analisis historis tentang siapa saja yang memiliki pengaruh paling besar terhadap dunia. Pendekatan Carlyle lebih subjektif dan idealis, sedangkan Hart menggunakan metodologi yang lebih objektif dalam pemeringkatan tokoh-tokohnya.
Secara keseluruhan, kedua buku ini memberikan wawasan berbeda tentang bagaimana individu besar membentuk sejarah. Carlyle lebih fokus pada aspek kepemimpinan, moralitas, dan inspirasi, sementara Hart lebih menekankan pada fakta dan dampak konkret yang ditinggalkan oleh para tokoh. Carlyle percaya bahwa sejarah digerakkan oleh individu luar biasa yang harus dihormati, sedangkan Hart menunjukkan bahwa sejarah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat diukur secara objektif.
Nabi Muhammad yang Terbesar
Nabi Muhammad saw. merupakan figur sejarah yang mendapatkan perhatian luas dari para pemikir Barat. Di antara mereka, Thomas Carlyle dalam On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841) dan Michael H. Hart dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) memberikan pandangan yang menarik mengenai Nabi Muhammad. Keduanya mengakui kehebatan dan pengaruh besar Nabi dalam sejarah dunia, meskipun mereka datang dari latar belakang dan perspektif yang berbeda.
Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841) menguraikan konsep kepahlawanan dalam berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang ia bahas adalah Nabi Muhammad, yang ia tempatkan dalam kategori "The Hero as Prophet" (Sang Pahlawan sebagai Nabi) (Carlyle, 1841, hlm. 45–75).
Dalam kuliah yang ia sampaikan di London, Carlyle membela Nabi Muhammad dari berbagai tuduhan yang kerap dilontarkan di Eropa pada masa itu, terutama anggapan bahwa Islam tersebar melalui pedang. Carlyle menyatakan:
"A false man found a religion? Why, a false man cannot build a brick house!"
(Seorang pembohong mendirikan sebuah agama? Seorang pembohong bahkan tidak dapat membangun sebuah rumah bata!) (Carlyle, 1841, hlm. 52).
Pernyataan ini menegaskan bahwa Carlyle menolak anggapan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembohong atau impostor. Ia berpendapat bahwa hanya seseorang dengan integritas, kebijaksanaan, dan spiritualitas yang tinggi yang mampu membangun sebuah gerakan keagamaan yang bertahan selama berabad-abad.
Carlyle juga menekankan kesederhanaan dan ketulusan Nabi Muhammad dalam menjalankan misinya. Menurutnya, Nabi bukanlah seorang pencari kekuasaan duniawi, melainkan seorang yang memiliki keyakinan mendalam terhadap kebenaran wahyu yang ia terima. Carlyle menulis:
"He was a man of truth and fidelity, true in what he did, in what he spoke, in his thoughts and in his actions."
(Ia adalah seorang yang jujur dan setia, jujur dalam perbuatannya, dalam ucapannya, dalam pikirannya, dan dalam tindakannya.) (Carlyle, 1841, hlm. 60).
Selain itu, Carlyle mengagumi kemampuan Nabi Muhammad dalam menginspirasi para pengikutnya. Baginya, Islam bukanlah agama yang berkembang melalui paksaan, tetapi karena ketulusan ajarannya dan keteguhan pemimpinnya dalam menghadapi tantangan.
Sedangkan Michael H. Hart, seorang astrofisikawan dan sejarawan, dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Keputusan Hart ini didasarkan pada analisis mendalam terhadap dampak historis berbagai tokoh dunia.
Hart menjelaskan bahwa pemilihan Nabi Muhammad di posisi pertama bukan karena faktor subjektif, melainkan karena pengaruh luar biasa yang beliau miliki, baik dalam aspek keagamaan maupun politik. Hart menyatakan:
"Muhammad was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level."
(Muhammad adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang sangat sukses baik di bidang keagamaan maupun sekuler.) (Hart, 1978, hlm. 3).
Hart mengakui bahwa Nabi Muhammad tidak hanya mendirikan agama Islam, tetapi juga memimpin komunitas Muslim secara langsung, membentuk sistem pemerintahan, dan meletakkan dasar-dasar hukum yang masih bertahan hingga kini. Menurutnya, banyak pemimpin agama besar lainnya—seperti Yesus atau Buddha—yang tidak memiliki peran langsung dalam urusan politik dan militer, sementara Nabi Muhammad memainkan peran sentral dalam kedua aspek tersebut.
Lebih lanjut, Hart menekankan bahwa ajaran Islam berkembang pesat dan tetap eksis hingga saat ini, dengan lebih dari satu miliar pengikut di dunia. Ia menulis:
"Today, thirteen centuries after his death, his influence is still powerful and pervasive."
(Hari ini, tiga belas abad setelah kematiannya, pengaruhnya masih tetap kuat dan luas.) (Hart, 1978, hlm. 4).
Selain itu, Hart juga mencatat bahwa Al-Qur'an sebagai kitab suci Islam tidak mengalami perubahan sejak pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang menurutnya menjadi faktor penting dalam kesinambungan ajaran Islam.
Meskipun Carlyle dan Hart berasal dari latar belakang yang berbeda, mereka sama-sama mengakui kehebatan Nabi Muhammad dalam sejarah dunia. Namun, ada beberapa perbedaan dalam pendekatan mereka:
Carlyle menekankan aspek kepahlawanan Nabi Muhammad dalam perspektif sejarah dan moralitas. Ia melihat Nabi sebagai sosok yang luar biasa karena ketulusan dan kesederhanaannya. Hart, di sisi lain, lebih fokus pada analisis kuantitatif tentang pengaruh jangka panjang Nabi Muhammad dibandingkan tokoh lain dalam sejarah. Carlyle menggarisbawahi aspek spiritualitas Nabi Muhammad dan menolaknya sebagai seorang impostor. Ia menekankan karakter pribadi Nabi yang luar biasa. Hart lebih menyoroti dampak praktis ajaran Islam dalam membentuk peradaban dan sistem politik yang bertahan hingga kini. Carlyle menulis dalam konteks filsafat kepahlawanan dan mengkritisi pandangan negatif yang berkembang di Eropa tentang Islam. Hart membuat perbandingan yang lebih luas dengan tokoh-tokoh dari berbagai bidang, termasuk sains, politik, dan agama.
Dengan demikian, baik Thomas Carlyle maupun Michael H. Hart memberikan penghormatan tinggi terhadap Nabi Muhammad dalam karya-karya mereka. Carlyle memandangnya sebagai pahlawan sejati dengan karakter yang luhur dan pengaruh yang mendalam dalam membentuk umat Islam. Hart, di sisi lain, menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah karena keberhasilannya dalam aspek keagamaan dan duniawi sekaligus.
Pandangan kedua pemikir ini menunjukkan bahwa bahkan dari perspektif non-Muslim, Nabi Muhammad tetap diakui sebagai sosok luar biasa yang membawa perubahan besar dalam peradaban manusia. Hal ini menjadi bukti bahwa keberhasilan dan keagungan Nabi Muhammad tidak hanya diakui dalam Islam, tetapi juga dihargai dalam kajian-kajian sejarah dan filsafat Barat.
Mencari Makna di Balik Kebesaran Tokoh Sejarah: Sebuah Refleksi
Dalam kehidupan yang sederhana dan berjalan seperti kebanyakan orang, saya menemukan dunia yang luas dalam lembaran-lembaran buku yang menceritakan kisah orang-orang besar. Malam ini, selepas salat tarawih, dua buku klasik tergeletak di hadapan saya: On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History karya Thomas Carlyle dan The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H. Hart. Dua karya ini membahas tokoh-tokoh besar dari sudut pandang yang berbeda, dan saya mencoba memahami bagaimana mereka melihat sejarah melalui figur-figur luar biasa ini.
Thomas Carlyle, seorang filsuf dan sejarawan abad ke-19, berpendapat bahwa sejarah pada dasarnya adalah biografi orang-orang besar. Baginya, perubahan peradaban terjadi karena kehadiran individu-individu yang memiliki visi, keberanian moral, dan kepemimpinan yang luar biasa. Ia mengklasifikasikan pahlawan ke dalam enam kategori, mulai dari nabi, penyair, reformis agama, hingga pemimpin politik. Carlyle memandang para pahlawan ini sebagai sosok yang harus dihormati dan dijadikan panutan oleh masyarakat.
Di sisi lain, Michael Hart mengambil pendekatan yang lebih empiris. Ia tidak menilai seseorang dari moralitas atau kepemimpinan mereka, tetapi dari pengaruh yang mereka tinggalkan dalam sejarah. Itulah sebabnya ia memasukkan figur-figur seperti Isaac Newton dan Albert Einstein, yang merevolusi ilmu pengetahuan, serta Napoleon dan Karl Marx, yang mengubah dinamika politik dunia. Pendekatan Hart lebih terukur, tetapi juga lebih netral—ia bahkan mencantumkan Adolf Hitler dalam daftar 100 orang paling berpengaruh, bukan karena ia mengaguminya, tetapi karena dampaknya terhadap dunia tidak bisa diabaikan.
Ketika membaca kembali gagasan Carlyle dan Hart, saya teringat pidato Bung Karno yang menggemakan pandangan Carlyle. Sukarno menekankan bahwa sejarah dunia tidak bisa dipisahkan dari biografi orang-orang besar. Ia menyebutkan nama-nama seperti Washington, Jefferson, Karl Marx, Lenin, hingga Mahatma Gandhi sebagai tokoh-tokoh yang mengubah jalannya sejarah. Namun, bagi Bung Karno, tidak ada tokoh yang lebih besar dari Nabi Muhammad SAW, yang bukan hanya membawa perubahan bagi Arab, tetapi bagi seluruh peradaban manusia.
Membaca riwayat hidup orang-orang besar justru saya teringat ungkapan Kang Dedi Mulyadi, sekarang Gubernur Jawa Barat. Beberapa tahub lalu dalam sambutannya ketika Pelantikan Majelis Pengurus Daerah KAHMI Bekasi, di mana saya termasuk presidiumnya ia memberika refleksi mendalam tentang pentingnya belajar dari berbagai lapisan masyarakat, baik dari mereka yang dianggap “orang kecil” maupun dari para pemikir besar dunia. Dalam pengalaman saya, momen pelantikan Majelis Daerah KAHMI Bekasi tahun 2017 menjadi titik tolak pemikiran bahwa kebijaksanaan tidak hanya dimiliki oleh mereka yang bergelar akademik tinggi atau berada di posisi elite, tetapi juga oleh orang-orang yang hidup sederhana di desa atau kampung.
Pernyataan Kang Dedy Mulyadi dalam sambutannya menegaskan bahwa dalam memahami kehidupan, kita harus bersedia belajar dari siapa saja, termasuk dari orang-orang kampung seperti Aki Uja, Aki Winta, Ma Onah, dan Ma Icih. Mereka mungkin tidak memiliki gelar akademik, tetapi menjalani kehidupan dengan prinsip silih asah, silih asih, silih asuh, dan silih wangi—empat nilai yang mencerminkan budaya gotong royong dan kearifan lokal dalam masyarakat Sunda.
Saya sendiri berasal dari latar belakang sederhana, dari keluarga petani yang mungkin dianggap sebagai “wong cilik” atau kaum Marhaen sebagaimana disebut oleh Bung Karno dalam bukunya Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Namun, justru dari sana muncul pelajaran bahwa kebesaran pemikiran tidak ditentukan oleh latar belakang sosial seseorang. Bapak saya, seorang petani kecil, ternyata memiliki pandangan luas terhadap kehidupan.
Dari sini, muncul pemahaman bahwa ilmu pengetahuan itu tidak terbatas. Tak peduli seberapa banyak kita belajar, ilmu yang kita miliki tetap tidak sebanding dengan ilmu Tuhan yang tak terhingga. Bahkan dibandingkan dengan para pemikir besar dunia sekalipun, ilmu kita hanyalah setetes dari samudra luas pengetahuan yang tak bertepi—seperti yang sering disebut dalam konsep ocean without shore.
Hal ini juga menegaskan bahwa belajar baik dari orang-orang besar maupun dari orang-orang kecil adalah proses tanpa akhir. Ilmu dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari pengalaman hidup sehari-hari maupun dari pemikiran para filsuf dan ilmuwan besar. Mencari ilmu adalah perjalanan seumur hidup, karena di setiap langkah dan setiap pertemuan, selalu ada hikmah yang bisa dipetik.
Pada akhirnya, kita mengerti bahwa kebijaksanaan tidak terbatas pada status sosial atau akademik seseorang. Orang-orang kampung yang hidup dengan nilai-nilai lokal, sebagaimana juga para pemikir besar, sama-sama memiliki sesuatu yang berharga untuk diajarkan. Maka, siapapun yang ingin memahami kehidupan dengan lebih dalam harus membuka diri untuk belajar dari siapa saja, tanpa memandang latar belakang mereka.
Membaca kehidupan orang-orang besar khususnya membawa saya pada pertanyaan mendasar: Apakah sejarah benar-benar hanya ditentukan oleh individu-individu besar? Ataukah ada faktor lain yang turut membentuk perjalanan peradaban? Apakah orang-orang kecil tidak memiliki pemikiran atau kebijaksanaan besar? Carlyle dan Hart, dengan pendekatan mereka masing-masing, menunjukkan bahwa individu memang memainkan peran penting. Namun, sejarah juga dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan seseorang untuk muncul sebagai tokoh besar. Sedangkan orang-orang kecil mungkin saja memiliki pemikiran atau kebijaksanaan yang besar, hanya mereka tidak dikenal banyak orang, tidak memiliki pengaruh besar pada dunia, meskipun bagi seseorang yang mengetahuinya bisa saja pemikiran orang-orang itu besar, hanya saja karena lingkupnya dan pengaruhnya yang kecil sehingga dalam lingkup dunia yang besar ini, pemikiran dan kebijaksanaa mereka adalah kecil.
Kesimpulan
Sejarah adalah kisah tentang orang-orang besar yang membentuk dunia dengan gagasan, kepemimpinan, dan tindakan mereka. Thomas Carlyle dan Michael H. Hart, meskipun berbeda pendekatan, sama-sama mengakui peran krusial individu dalam membentuk peradaban. Carlyle memandang pahlawan sebagai sosok yang harus diteladani karena kekuatan moral dan kepemimpinannya, sementara Hart lebih fokus pada dampak historis tanpa mempertimbangkan nilai moralnya. Kedua buku ini menguraikan orang-orang besar dan keduanya mengakui Nabi Muhammad yang terbesar.
Membaca kisah para tokoh besar bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga mengambil pelajaran untuk menghadapi masa depan. Meski bukan siapa-siapa, kita tetap bisa belajar, berpikir, dan berbuat sesuatu yang bermakna, sekecil apa pun itu, demi meninggalkan jejak bagi dunia.
Buku Thomas Carlyle dan Michael H. Hart memberikan wawasan yang berbeda, tetapi sama-sama berharga. Carlyle mengajarkan bahwa sejarah dibentuk oleh individu-individu luar biasa yang memiliki kekuatan moral dan visi besar. Hart menunjukkan bahwa pengaruh seseorang dalam sejarah bisa diukur berdasarkan dampak nyata yang mereka tinggalkan, terlepas dari apakah pengaruh itu baik atau buruk.
Sebagai orang biasa, saya menyadari bahwa tidak semua orang ditakdirkan menjadi tokoh besar yang mengubah dunia. Namun, bukan berarti kita tidak bisa belajar dari mereka. Setiap kita memiliki kesempatan untuk berpikir lebih besar, berbuat lebih banyak, dan meninggalkan jejak, sekecil apa pun itu, bagi dunia ini. Jika sejarah adalah kisah orang-orang besar, maka kehidupan kita adalah halaman kecil dalam buku besar itu—halaman yang tetap memiliki makna dan bisa memberi inspirasi bagi orang lain.
Sejarah memang sering kali ditulis dari perspektif individu-individu besar, tetapi di balik mereka ada konteks sosial yang memungkinkan perubahan terjadi. Carlyle melihat kepahlawanan sebagai hasil dari keunggulan moral dan visi individu, sementara Hart mengukurnya dari dampak yang nyata dan terukur.
Dari refleksi ini, ada satu hal yang bisa diambil: kita mungkin bukan "orang besar" dalam skala sejarah dunia, tetapi kita tetap bisa berkontribusi, sekecil apa pun itu. Setiap langkah kecil, setiap pemikiran yang baik, dan setiap tindakan positif bisa menjadi bagian dari narasi sejarah yang lebih luas. Bukankah kehidupan sendiri adalah bentuk kepahlawanan dalam skala yang lebih sederhana?
Referensi
Adams, C. (1965). Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Bobbs-Merrill.
Agoncillo, T. (1956). The Revolt of the Masses: The Story of Bonifacio and the Katipunan. University of the Philippines Press.
Ames, R. T., & Rosemont, H. (1998). The Analects of Confucius: A Philosophical Translation. Ballantine Books.
Anderson, B. R. O'G. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Cornell University Press.
Bartlett, R. (2011). Tolstoy: A Russian Life. Houghton Mifflin Harcourt.
Bergère, M.-C. (1998). Sun Yat-sen: A Biography. Stanford University Press.
Brown, J. M. (1991). Gandhi: Prisoner of Hope. Yale University Press.
Carson, C. (1998). The Autobiography of Martin Luther King, Jr. Warner Books.
Chang, J., & Halliday, J. (2005). Mao: The Unknown Story. Jonathan Cape.
Chernow, R. (2010). Washington: A Life. Penguin Press.
Chin, A. (2007). Confucius: A Life of Thought and Politics. Yale University Press.
Cleveland, W. L., & Bunton, M. (2016). A History of the Modern Middle East. Westview Press.
Dallek, R. (2017). Franklin D. Roosevelt: A Political Life. Viking.
Dewantara, K. H. (1952). Taman Siswa dan Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.
Dunn, J. (1984). Locke: A Very Short Introduction. Oxford University Press.
Fenby, J. (2010). The General: Charles de Gaulle and the France He Saved. Skyhorse.
Gilbert, M. (1991). Churchill: A Life. Henry Holt & Company.
Goodwin, D. K. (2005). Team of Rivals: The Political Genius of Abraham Lincoln. Simon & Schuster.
Gopal, S. (1976). Jawaharlal Nehru: A Biography. Harvard University Press.
Gordon, L. (1990). Brothers Against the Raj: A Biography of Indian Nationalists Subhas and Sarat Chandra Bose. Columbia University Press.
Greenblatt, S. (2005). Will in the World: How Shakespeare Became Shakespeare. W. W. Norton & Company.
Guerrero, L. M. (1963). The First Filipino: A Biography of José Rizal. National Historical Institute.
Huigen, S. (2008). Multatuli: The Minstrel and the Prophet. Brill.
Huizinga, J. (1957). Erasmus and the Age of Reformation. Harper.
Imber, C. (2002). The Ottoman Empire, 1300-1650: The Structure of Power. Palgrave Macmillan.
Kartini, R. A. (1960). Letters of a Javanese Princess. Oxford University Press.
Kersten, A. E. (1999). Wilhelmina: De Jonge Koningin. Balans.
Kissinger, H. (1982). Years of Upheaval. Little, Brown.
Kotkin, S. (2014). Stalin: Waiting for Hitler, 1929–1941. Penguin Press.
López, A. J. (2014). José Martí: A Revolutionary Life. University of Texas Press.
Mango, A. (1999). Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey. John Murray.
Markham, F. (1963). Napoleon and the Awakening of Europe. Hodder & Stoughton.
Majul, C. A. (1960). Mabini and the Philippine Revolution. Erehwon.
Mrazek, R. (1995). Sjahrir: Politik dan Perjuangan. LP3ES.
Noer, D. (1990). Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. LP3ES.
Pérez, L. A. (2006). José Martí: Cuban Patriot. University Press of Florida.
Pramoedya, A. T. (1985). Multatuli dan Max Havelaar. Hasta Mitra.
Ramonet, I. (2008). Fidel Castro: My Life: A Spoken Autobiography. Scribner.
Service, R. (2000). Lenin: A Biography. Harvard University Press.
Smith, A. (1776). An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. W. Strahan.
Smith, J. E. (2007). FDR. Random House.
Spence, J. D. (1990). The Search for Modern China. W. W. Norton & Company.
Szulc, T. (1986). Fidel: A Critical Portrait. Harper & Row.
Tjokropranolo. (1992). Jenderal Soedirman: Pemimpin Sejati. Gramedia.
Wilson, A. N. (1988). Tolstoy: A Biography. W. W. Norton & Company.
*Pagaulan-Cikarang, 26 Ramadhan 1446/Maret 2025
Komentar
Posting Komentar