Menggali Literatur tentang Muhammad al-Fâtih Sang Penakluk Konstantinopel dan Spirit Perjuangannya

Cak Yo

“Hey Constantinople! Either I take you, or you take me!”; “In order to see the boundaries of the probabilities, need to try impossible”; "Work to spread Islam because it is the duty of the rulers of the earth". - Muhammad al-Fâtih/Mehmed II

Pendahuluan

Hari itu, kurang lebih 9 bulan lalu, saya melangkah memasuki kampus Global Mulia yang megah, dengan perasaan yang bercampur antara rasa penasaran, bahagia dan harapan. Sebagai seseorang yang mengagumi sejarah Islam, terutama kisah Sultan Muhammad Al-Fatih, saya merasa tertarik ketika mendengar bahwa kampus ini memiliki sebuah masjid yang dinamai Masjid Muhammad Al-Fatih. 

Nama itu bukan sekadar nama, tetapi membawa makna mendalam—mengingatkan kita pada sosok pemimpin yang luar biasa, penakluk Konstantinopel, dan seorang cendekiawan Muslim yang menggabungkan ilmu, strategi, dan keimanan dalam kepemimpinannya.

Masjid Muhammad Al-Fatih merupakan bagian integral dari Yayasan Global Insan Mulia, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh K.H. Teguh Wibowo, S.E., M.Si., M.M. Penamaan masjid ini dipastikan terinspirasi oleh semangat dan kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih, Penakluk Konstantinopel.

Saat pertama kali berada dalam masjid itu, saya langsung merasakan aura ketenangan, terutama karena waktu itu, dalam hidup saya, saya sedang berada di persimpangan jalan. Saya sangat membutuhkan kekuatan rohani yang dapat membimbing saya untuk menata diri agar lebih baik. Saya membutuhkan tempat yang dapat mengobati kehampaan spiritual saya. Dan di masjid itu, saya merasakan ketenangan itu. Seolah menemuksn oase di tengah padang pasir yang panas, saya terhanyut dalam refleksi diri dan atmosfir spiritual yang membuat saya meneteskan air mata. 

Setelah cukup lama berada dalam masjid, saya berjalan keluar menuju teras masjid. Pada dinding terasnya, terpampang biografi Muhammad Al-Fatih, yang merangkum perjalanan hidupnya dari seorang pemuda pembelajar hingga menjadi pemimpin besar yang mengukir sejarah dunia. Saya mendekat dan membaca setiap detailnya dengan penuh kekaguman. Di situ tertulis bagaimana sejak kecil, Muhammad Al-Fatih telah ditempa dengan ilmu Al-Qur’an, strategi perang, dan filsafat pemerintahan. Syaikh Aq Syamsuddin, guru spiritualnya, memainkan peran penting dalam membentuk kepribadiannya, mengajarkan kepadanya bahwa kemenangan tidak hanya datang dari kekuatan militer, tetapi juga dari keyakinan yang kokoh dan strategi yang matang.

Di teras masjid saya duduk sejenak, merenungkan betapa relevannya nama masjid ini dengan visi Yayasan dan visi lembaga pendidikannya yang sudah saya baca sebelumnya di salah satu dinding kampus—sebuah visi yang sejatinya mencerminkan semangat Muhammad Al-Fatih. Ia adalah pemimpin yang tidak hanya berperang dengan pedang, tetapi juga dengan ilmu dan strategi ekonomi. Setelah menaklukkan Konstantinopel, ia menjadikan kota itu sebagai pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia, membuka pintu bagi para ilmuwan, pedagang, dan intelektual dari berbagai belahan dunia untuk berkontribusi dalam pembangunan peradaban Islam.

Nama Masjid Muhammad Al-Fatih di Kampus Global Mulia tentu diharapkan bukan sekadar nama, melainkan simbol harapan dan visi besar yang ingin diwujudkan oleh civitas akademika. Masjid ini diambil dari nama Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel, yang dikenal bukan hanya sebagai pemimpin militer ulung tetapi juga sebagai sosok yang cerdas, religius, dan visioner.

Khasanah tentang Muhammad al-Fâtih Sang Penakluk Konstantinopel

Saat mendalami sejarah Muhammad Al-Fatih, saya menemukan banyak narasi yang tersebar luas di berbagai sumber, mulai dari kitab klasik Utsmani hingga kajian akademik modern. Setiap sumber memberikan perspektif yang unik, memperkaya pemahaman tentang sosok pemimpin ini, bukan hanya sebagai penakluk Konstantinopel tetapi juga sebagai arsitek peradaban Islam yang menggabungkan kekuatan militer, diplomasi, dan intelektualitas.

Dalam khazanah literatur Islam, beberapa kitab klasik memberikan gambaran langsung tentang masa pemerintahan Muhammad Al-Fatih. Salah satu yang penting adalah Menâkıb-ı Sultan Mehmed Han karya Aşıkpaşazade, seorang sejarawan Utsmani abad ke-15 yang menjadi saksi hidup berbagai peristiwa pada masa Sultan Muhammad II. Kitab ini menyoroti hubungan erat antara Al-Fatih dan guru sufinya, Syaikh Aq Syamsuddin, yang menanamkan keyakinan bahwa menaklukkan Konstantinopel adalah bagian dari nubuat Rasulullah Saw. (Aşıkpaşazade, Menâkıb-ı Sultan Mehmed Han, İstanbul Üniversitesi Yayınları, 1928). Selain itu, Târîkh al-Fattâh juga menjadi sumber berharga, karena tidak hanya mendokumentasikan kemenangan militer Al-Fatih tetapi juga kebijakan pemerintahan yang ia terapkan setelah penaklukan Konstantinopel, termasuk toleransi terhadap non-Muslim dan reformasi hukum berbasis syariat (Al-Halabi, Târîkh al-Fattâh, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).

Sementara itu, literatur modern dalam bahasa Inggris dan Arab memberikan analisis yang lebih sistematis mengenai sosok Al-Fatih. Dalam kajian akademik, buku Mehmed the Conqueror and His Time karya Halil Inalcik memberikan perspektif yang lebih luas mengenai dampak ekonomi dan sosial dari ekspansi Muhammad Al-Fatih. Inalcik menjelaskan bahwa keberhasilan Al-Fatih bukan hanya karena keunggulan militernya, tetapi juga karena kebijakan administrasi yang mampu mengintegrasikan beragam kelompok etnis dan agama ke dalam Kesultanan Utsmani (Inalcik, Mehmed the Conqueror and His Time, Princeton University Press, 1978).

Selain biografi, beberapa buku sejarah memberikan analisis mendalam tentang penaklukan Konstantinopel dan transformasi Turki sebagai kekuatan besar. Buku 1453: The Holy War for Constantinople and the Clash of Islam and the West karya Roger Crowley, misalnya, menggambarkan peristiwa penaklukan dengan sangat rinci, berdasarkan sumber-sumber Kristen dan Muslim. Crowley menyoroti bagaimana Al-Fatih menggunakan teknologi baru, termasuk meriam raksasa buatan Orban, untuk menghancurkan tembok Konstantinopel yang selama berabad-abad dianggap tak tertembus (Crowley, 1453: The Holy War for Constantinople and the Clash of Islam and the West, Hyperion, 2005). Perspektif lain dapat ditemukan dalam buku Osman’s Dream: The History of the Ottoman Empire oleh Caroline Finkel, yang menjelaskan bagaimana kemenangan Al-Fatih membuka jalan bagi transformasi Konstantinopel menjadi Istanbul, ibu kota peradaban Islam yang baru (Finkel, Osman’s Dream: The History of the Ottoman Empire, John Murray, 2005).

Dalam literatur Barat ada buku The Grand Turk: Sultan Mehmed II—Conqueror of Constantinople and Master of an Empire karya John Freely adalah biografi mendalam tentang Sultan Mehmed II, yang menyoroti perjalanannya sejak masa muda, pendidikan, strategi militer, hingga penaklukan Konstantinopel pada 1453. Buku ini juga mengulas kebijakan politik, reformasi hukum, dan ambisi ekspansinya yang luas. Dengan gaya naratif yang menarik dan riset sejarah yang kuat, Freely menggambarkan Mehmed II sebagai penakluk ulung sekaligus pemimpin visioner yang membangun Istanbul sebagai pusat peradaban Islam.

Selain itu, buku yang sangat bagus berjudul Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger adalah salah satu studi akademik paling mendalam tentang Sultan Mehmed II. Buku ini mengkaji perjalanan hidupnya, mulai dari pendidikan dan latar belakangnya hingga strategi militernya dalam menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Babinger juga menganalisis reformasi yang dilakukan Mehmed dalam administrasi, hukum, dan militer, serta ambisi ekspansinya yang luas. Berbeda dengan biografi populer, karya ini berbasis penelitian sumber primer dari berbagai bahasa, menjadikannya referensi utama bagi akademisi yang ingin memahami peran Mehmed II dalam sejarah Utsmani dan dunia.

Dalam literatur bahasa Arab kitab Fātih al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. Ali Muhammad Al-Salabi adalah biografi mendalam tentang Sultan Muhammad al-Fatih, yang menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Buku ini menguraikan latar belakang politik Dinasti Ottoman, pendidikan dan kepemimpinan Sultan, strategi militernya dalam pengepungan Konstantinopel, serta dampak jangka panjang dari penaklukan tersebut. Al-Salabi juga menggambarkan karakter Muhammad al-Fatih sebagai pemimpin visioner, adil, dan religius, menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Buku ini penting bagi akademisi dan pembaca yang ingin memahami sejarah Ottoman secara komprehensif.

Selain itu ada kitab al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Muḥammad Muṣṭafā Ṣafwat yang juga  mengupas kehidupan dan kepemimpinan Sultan Muḥammad al-Fātiḥ. Dibanding aṣ-Ṣallābī, Ṣafwat lebih menekankan analisis strategi militer dan kebijakan pemerintahan, sementara aṣ-Ṣallābī mengaitkan penaklukan Konstantinopel dengan aspek spiritual dan nubuat Islam. Kedua buku ini memberikan wawasan yang saling melengkapi tentang peran al-Fātiḥ dalam membangun kejayaan Utsmaniyah serta pengaruhnya terhadap peradaban Islam dan dunia.

Satu lagi literatur bahasa Inggris yang saya baca dan mengingat pentingnya buku ini, saya bahas di sini, yaitu buku The Fall of Constantinople to the Ottomans: Context and Consequences karya Michael Angold, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2012 oleh Pearson Education Limited dan kemudian diterbitkan ulang oleh Routledge pada tahun 2014, membahas kejatuhan Konstantinopel dari perspektif historis dan dampak jangka panjangnya.

Dari berbagai bacaan ini, saya melihat Muhammad Al-Fatih bukan sekadar sosok yang disebut dalam buku sejarah sebagai seorang penakluk, tetapi juga sebagai pemimpin visioner yang memahami pentingnya ilmu, strategi, dan toleransi dalam membangun peradaban. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari jatuhnya Konstantinopel, tetapi juga dari bagaimana ia mengelola kota tersebut setelah penaklukan, menjadikannya pusat ilmu dan budaya yang berkembang pesat di bawah Kesultanan Utsmani. Keunggulan Al-Fatih bukan hanya dalam pedang, tetapi juga dalam pena—ia adalah contoh nyata bahwa kejayaan Islam dibangun di atas ilmu dan iman.

Biografi Muhammad Al-Fatih (1432–1481 M)

Muhammad Al-Fatih atau Sultan Muhammad II Ia lebih dikenal sebagai penguasa Kesultanan Utsmaniyah yang terkenal karena keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M, sebuah kota yang selama lebih dari seribu tahun tak terkalahkan oleh pasukan Muslim.

Sejak kecil, Muhammad Al-Fatih mendapatkan pendidikan yang ketat dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk fikih, matematika, strategi militer, serta berbagai bahasa seperti Arab, Persia, dan Latin. Guru spiritualnya, Syaikh Aq Syamsuddin, menanamkan dalam dirinya cita-cita besar untuk menaklukkan Konstantinopel, sebagaimana nubuat Rasulullah Saw., "Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya." (HR. Ahmad)

Pada usia 21 tahun, dengan strategi militer yang brilian dan inovasi seperti penggunaan meriam raksasa, Al-Fatih berhasil menembus benteng kuat Konstantinopel, menjadikan kota itu sebagai ibu kota baru Kesultanan Utsmaniyah dengan nama Istanbul. Keberhasilannya ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga simbol dari kejayaan ilmu dan peradaban Islam.

Setelah penaklukan, Al-Fatih dikenal sebagai pemimpin yang adil dan visioner. Ia mengembangkan Istanbul menjadi pusat ilmu, seni, dan perdagangan. Banyak madrasah, masjid, serta pusat keilmuan Islam didirikan di bawah kepemimpinannya.

Muhammad Al-Fatih wafat pada tahun 1481 M dalam usia 49 tahun, namun warisannya sebagai pemimpin besar Islam tetap dikenang sepanjang sejarah.

Biografi ini menjadi pengingat bagi setiap mahasiswa, dosen, dan jamaah yang datang ke Masjid Muhammad Al-Fatih bahwa kejayaan Islam dibangun di atas ilmu, iman, dan keberanian. Semangat Al-Fatih dalam menuntut ilmu, mengembangkan peradaban, dan membangun kekuatan umat diharapkan menjadi inspirasi bagi generasi Muslim masa kini untuk terus belajar, berjuang, dan mengabdi demi kemajuan Islam.

Karena ketertarikan saya terhadap sosok Muhammad al-Fatih sebagai penakluk Konstantinopel, saya membaca beberapa buku yang mengupas berbagai aspek kehidupannya, strategi militernya, dan kebijaksanaannya sebagai Sultan. Saya membaca The Grand Turk karya John Freely dan Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger yang memberikan perspektif akademik dengan pendekatan sumber primer, meskipun dengan sudut pandang Eropa yang terkadang menyoroti sisi kontroversialnya. Sementara itu, al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ: Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah karya Muḥammad Muṣṭafā Ṣafwat serta Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. ‘Alī Muḥammad al-Ṣallābī lebih berorientasi pada sudut pandang Islam, dengan Ṣafwat menampilkan narasi heroik dan al-Ṣallābī mengaitkan peristiwa sejarah dengan konsep keislaman. Dengan membaca keempat buku ini, saya mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang Mehmed II, baik dalam konteks politik dan militer global maupun dalam kerangka visi Islamnya. Demikian pula buku The Fall of Constantinople to the Ottomans: Context and Consequences karya Michael Angold, yang membahas kejatuhan Konstantinopel dari perspektif historis dan dampak jangka panjangnya.

Berikut saya uraikan kelimaliteratur tersebut dan saya buat perbandingsn di antara keempatnya.

The Grand Turk: Sultan Mehmed II—Conqueror of Constantinople and Master of an Empire karya John Freely

Buku The Grand Turk: Sultan Mehmed II—Conqueror of Constantinople and Master of an Empire karya John Freely (Penerbit: The Overlook Press, New York, 2009), dengan jumlah halaman 319, merupakan salah satu biografi paling menarik tentang Sultan Mehmed II (Muhammad Al-Fatih), sosok yang dikenang sebagai penakluk Konstantinopel dan pemimpin besar yang mengubah wajah dunia Islam dan Eropa. John Freely, seorang sejarawan dan penulis produktif yang banyak menulis tentang sejarah Turki dan Kesultanan Utsmani, menyajikan kisah Mehmed II dengan gaya naratif yang mengalir dan kaya akan detail sejarah.

Buku ini tidak hanya menggambarkan peristiwa penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 tetapi juga menjelaskan perjalanan hidup Mehmed II sejak masa kecilnya, pendidikannya, strategi militernya, kebijakan politik dan administratifnya, serta visinya dalam membangun Istanbul sebagai pusat kekuatan dunia Islam.

John Freely memulai buku ini dengan menguraikan latar belakang Sultan Mehmed II, yang lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, ibu kota Kesultanan Utsmani saat itu. Ayahnya, Sultan Murad II, mempersiapkan Mehmed untuk menjadi seorang pemimpin besar dengan memberikan pendidikan terbaik di zamannya. Sejak kecil, Mehmed dididik oleh para ulama dan cendekiawan terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu agama, filsafat, matematika, astronomi, dan strategi militer. Salah satu guru yang paling berpengaruh dalam hidupnya adalah Syaikh Aq Syamsuddin, seorang ulama sufi yang menanamkan keyakinan dalam diri Mehmed bahwa ia ditakdirkan untuk menaklukkan Konstantinopel (Freely, The Grand Turk, 22-40).

Pada usia 12 tahun, Mehmed II sempat naik takhta setelah ayahnya turun secara sukarela. Namun, situasi politik yang tidak stabil memaksa Sultan Murad II untuk kembali memerintah. Pengalaman ini memperkuat mental dan wawasan Mehmed dalam memahami dinamika politik dan militer di usianya yang masih muda (Freely, The Grand Turk, 41-55).

Bagian terpenting dalam buku ini adalah kisah epik penaklukan Konstantinopel. Freely menggambarkan bahwa sejak Mehmed II kembali naik takhta pada 1451 setelah kematian ayahnya, ia langsung mulai merencanakan ekspedisi besar untuk merebut kota yang selama berabad-abad menjadi benteng kuat Kekaisaran Bizantium.

Freely menjelaskan secara rinci persiapan Mehmed dalam membangun pasukan yang sangat kuat, termasuk penggunaan meriam raksasa yang dibuat oleh insinyur asal Hungaria bernama Orban. Meriam ini mampu menghancurkan tembok Konstantinopel yang telah berdiri selama lebih dari seribu tahun. Mehmed juga menunjukkan kejeniusannya dalam taktik perang dengan mengangkut kapal-kapal Utsmani melewati daratan menuju Tanduk Emas untuk mengepung kota dari berbagai sisi (Freely, The Grand Turk, 123-145).

Setelah pengepungan selama lebih dari 50 hari, akhirnya pada 29 Mei 1453, Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Utsmani. Mehmed II memasuki kota dengan penuh kemenangan dan langsung menuju Hagia Sophia, gereja terbesar di dunia saat itu, yang kemudian ia ubah menjadi masjid sebagai simbol kejayaan Islam. Freely menyoroti bahwa meskipun penaklukan ini penuh dengan kekerasan, Mehmed II segera mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan kota, mengundang kembali penduduk yang melarikan diri, serta memberikan kebebasan beribadah bagi umat Kristen dan Yahudi (Freely, The Grand Turk, 146-170).

Setelah menaklukkan Konstantinopel, Mehmed II memulai proyek besar untuk menjadikan kota ini sebagai ibu kota baru Kesultanan Utsmani. Freely menjelaskan bagaimana ia membangun kembali kota yang hancur akibat perang, membangun masjid, madrasah, pasar, dan infrastruktur lainnya yang menjadikan Istanbul sebagai pusat peradaban Islam (Freely, The Grand Turk, 180-195).

Mehmed juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang menghargai ilmu pengetahuan. Ia mengundang ilmuwan dan cendekiawan dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Persia, Italia, dan Arab, untuk berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di Istanbul. Bahkan, Mehmed sendiri fasih dalam beberapa bahasa, termasuk Turki, Arab, Persia, Yunani, dan Latin, menunjukkan ketertarikannya yang besar terhadap berbagai budaya (Freely, The Grand Turk, 205-220).

Dalam bidang hukum dan pemerintahan, Mehmed II memperkenalkan berbagai reformasi yang memperkuat administrasi negara dan mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan wilayah-wilayah yang dikuasai. Ia juga menerapkan sistem militer yang lebih terorganisir dengan memperkuat pasukan Janissary sebagai unit elit yang sangat disiplin (Freely, The Grand Turk, 225-240).

Mehmed II tidak berhenti setelah menaklukkan Konstantinopel. Freely menjelaskan bagaimana sang sultan terus memperluas wilayah Utsmani dengan menaklukkan Serbia (1459), Bosnia (1463), Albania (1478), dan berbagai wilayah di Anatolia serta Laut Hitam. Salah satu ambisi terbesarnya adalah menaklukkan Roma, pusat Kekristenan di Eropa, namun rencana ini terhenti setelah kematiannya yang mendadak pada 3 Mei 1481 (Freely, The Grand Turk, 250-270).

Freely juga membahas teori-teori mengenai kematian Mehmed II. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia meninggal karena sakit, tetapi ada juga spekulasi bahwa ia diracun oleh orang-orang di lingkaran istananya yang khawatir dengan ambisi ekspansinya yang semakin luas (Freely, The Grand Turk, 275-290).

John Freely dalam The Grand Turk memberikan gambaran yang sangat lengkap dan menarik tentang Sultan Mehmed II. Buku ini tidak hanya menyoroti kejayaan militernya dalam menaklukkan Konstantinopel tetapi juga memperlihatkan sisi lain dari kepemimpinan Mehmed II sebagai seorang intelektual, reformis, dan pemimpin visioner yang membangun Kesultanan Utsmani menjadi kekuatan global.

Dengan gaya penulisan yang naratif dan berbasis riset sejarah yang kuat, buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam dan dunia. Mehmed II bukan hanya seorang penakluk, tetapi juga seorang pembangun peradaban yang warisannya masih terasa hingga hari ini.

Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger

Buku Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger, diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Ralph Manheim, disunting dan diberi pengantar oleh William C. Hickman (Penerbit: Princeton University Press, 1978), jumlah halaman 619, adalah salah satu biografi paling komprehensif dan akademik tentang Sultan Mehmed II (Mehmed Sang Penakluk). Berbeda dengan karya-karya populer lainnya, buku ini didasarkan pada penelitian yang sangat mendalam terhadap sumber-sumber primer dan sekunder dari berbagai bahasa, termasuk dokumen-dokumen Utsmani, Bizantium, Latin, dan Persia.

Babinger, seorang sejarawan Jerman yang merupakan pakar dalam sejarah Utsmani awal, menyusun buku ini pertama kali dalam bahasa Jerman dengan judul Mehmed der Eroberer und seine Zeit. Karya ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ralph Manheim dan diterbitkan oleh Princeton University Press sebagai bagian dari Bollingen Series XCVI pada tahun 1978. Buku ini tetap menjadi referensi utama bagi akademisi yang meneliti era Sultan Mehmed II dan Kesultanan Utsmani pada abad ke-15.

Babinger memulai bukunya dengan menjelaskan latar belakang keluarga Mehmed II, menggambarkan bagaimana dinasti Utsmani berkembang dari kerajaan kecil di Anatolia menjadi kekuatan besar di dunia Islam dan Eropa. Sultan Mehmed II lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, anak dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun.

Pendidikan Mehmed sangat dipersiapkan untuk kepemimpinan. Babinger menyoroti bagaimana Mehmed dibimbing oleh para ulama dan intelektual terbaik pada masanya, seperti Molla Gürani dan Syaikh Aq Syamsuddin, yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu mulai dari teologi Islam, filsafat Yunani, sejarah dunia, strategi militer, hingga bahasa asing seperti Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Mehmed memiliki ketertarikan khusus pada Alexander Agung dan Julius Caesar, yang menjadi inspirasinya dalam membangun imperium Utsmani (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, 23-45).

Selain itu, Babinger juga mencatat bagaimana Mehmed menunjukkan kecerdasan luar biasa sejak kecil. Saat berusia 12 tahun, ia sempat diangkat sebagai sultan setelah ayahnya turun takhta secara sukarela, meskipun akhirnya Murad II harus kembali memerintah karena tekanan dari faksi militer Utsmani dan ancaman dari luar (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, 46-58).

Bagian terbesar dari buku ini membahas peristiwa penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453. Babinger memberikan analisis mendalam mengenai strategi Mehmed dalam menaklukkan kota yang telah bertahan lebih dari seribu tahun sebagai ibu kota Kekaisaran Bizantium.

Babinger menguraikan bagaimana Mehmed II secara sistematis merencanakan pengepungan kota. Ia membangun Benteng Rumeli Hisarı di tepi Bosporus untuk memutus jalur bantuan Bizantium, mengembangkan teknologi meriam besar dengan bantuan insinyur Orban, dan merancang strategi inovatif seperti mengangkut kapal-kapalnya melewati daratan untuk memasuki Tanduk Emas.

Setelah pengepungan selama 53 hari, pada 29 Mei 1453, Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan pasukan Utsmani. Babinger menyoroti bagaimana Mehmed memasuki kota dengan penuh wibawa, langsung menuju Hagia Sophia yang kemudian diubah menjadi masjid. Meski terjadi penjarahan pada hari pertama, Mehmed segera mengeluarkan kebijakan untuk menstabilkan kota dan memastikan bahwa penduduk Kristen tetap bisa menjalankan ibadah mereka di gereja-gereja yang masih tersisa (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, 150-175).

Setelah penaklukan Konstantinopel, Mehmed II memulai era baru dalam sejarah Utsmani dengan menjadikan kota ini sebagai ibu kota baru. Babinger menggambarkan bagaimana Mehmed membangun kembali kota yang hancur akibat perang dan mengubahnya menjadi pusat kekuatan politik, ekonomi, dan intelektual dunia Islam.

Di bawah kepemimpinannya, Mehmed II menerapkan berbagai reformasi yang memperkuat birokrasi Utsmani. Ia menyusun sistem hukum yang lebih terstruktur, mengembangkan sistem pajak yang lebih efisien, serta menata kembali struktur militer dan administrasi negara. Salah satu kebijakannya yang paling signifikan adalah menciptakan sistem millet, yang memberikan otonomi kepada komunitas agama non-Muslim untuk mengatur urusan mereka sendiri di bawah pengawasan negara (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, 190-210).

Mehmed II juga dikenal sebagai seorang patron seni dan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan sekolah-sekolah, mengundang cendekiawan dari Persia, Italia, dan Arab, serta mendorong penerjemahan karya-karya filsafat dan sains dari berbagai tradisi intelektual ke dalam bahasa Turki dan Arab (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time,  230-250).

Babinger menunjukkan bahwa Mehmed II tidak berhenti setelah menaklukkan Konstantinopel. Ia terus memperluas wilayah Utsmani dengan menaklukkan Serbia (1459), Morea (1460), Trabzon (1461), Bosnia (1463), Albania (1478), serta berbagai wilayah di Anatolia dan Laut Hitam. Salah satu ambisi terbesarnya adalah menaklukkan Roma, yang ia pandang sebagai langkah logis berikutnya setelah Konstantinopel, namun rencana ini terhenti karena kematiannya yang tiba-tiba pada 3 Mei 1481 (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, 320-340).

Babinger juga membahas berbagai teori mengenai penyebab kematiannya, termasuk dugaan bahwa ia diracun oleh orang-orang dalam lingkaran istananya sendiri yang khawatir dengan ambisi ekspansinya yang semakin luas (Babinger, Mehmed the Conqueror and His Time, hlm. 350-360).

Dengan demikian, Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger adalah studi yang sangat mendalam tentang Sultan Mehmed II. Buku ini bukan hanya membahas aspek militer dan politiknya, tetapi juga memberikan wawasan tentang kepribadiannya, pemikirannya, dan dampak jangka panjang dari pemerintahannya terhadap dunia Islam dan Eropa.

Berbeda dengan karya-karya lain yang lebih populer dan naratif, Babinger menggunakan pendekatan akademik dengan analisis yang ketat terhadap sumber-sumber sejarah. Oleh karena itu, buku ini sangat direkomendasikan bagi akademisi, sejarawan, dan siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang Sultan Mehmed II dan peran pentingnya dalam sejarah dunia. Sebagaimana diuraikan Babinger, warisan Mehmed II sebagai seorang penakluk, reformis, dan pemimpin visioner terus dikenang hingga hari ini. Dengan penaklukan Konstantinopel, ia membuka jalan bagi Kesultanan Utsmani untuk menjadi salah satu imperium terbesar dalam sejarah, yang bertahan selama lebih dari lima abad.

Fātih al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya al-Salabî

Kitab ini ditulis oleh Dr. Ali Muhammad Al-Salabi dsn diterbitkan oleh Penerbit Mu'assasah Iqra' li al-Nashr wa al-Tawzi' wa al-Tarjamah, tahun 1436 H/2005 M. Kitab Fātih al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. Ali Muhammad Al-Salabi merupakan salah satu karya sejarah yang paling komprehensif mengenai kehidupan dan pencapaian Sultan Muhammad al-Fatih, tokoh besar dalam sejarah Islam yang berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Buku ini tidak hanya berfokus pada peristiwa penaklukan itu sendiri, tetapi juga menggambarkan latar belakang politik, sosial, dan militer Kekaisaran Ottoman dari awal berdirinya hingga masa pemerintahan Muhammad al-Fatih.

Bagian pertama buku ini menguraikan kebangkitan Dinasti Ottoman dan faktor-faktor yang memungkinkan ekspansinya di Anatolia dan Eropa. Dr. Al-Salabi mengawali pembahasannya dengan Osman I, pendiri dinasti, yang dikenal sebagai pemimpin visioner dengan kombinasi keberanian, kebijaksanaan, dan semangat keislaman yang kuat.

Setiap sultan setelah Osman I memiliki peran dalam membentuk dan memperluas kekaisaran. Orhan, putra Osman, dikenal karena reformasi militernya dan pembentukan institusi pendidikan Islam. Murad I membawa ekspansi lebih jauh ke wilayah Balkan, menghadapi perlawanan dari kekuatan Kristen Eropa, termasuk dalam Pertempuran Kosovo. Bayezid I atau Yıldırım (Si Kilat) dikenal karena kecepatan militernya, tetapi ia mengalami kemunduran besar dalam perang melawan Timur Lenk. Murad II, ayah Muhammad al-Fatih, mengkonsolidasikan kembali kekaisaran setelah periode kekacauan, dan mempersiapkan putranya untuk menjadi pemimpin yang unggul.

Kitab ini kemudian beralih ke masa pemerintahan Muhammad al-Fatih, yang naik takhta pada usia muda. Dr. Al-Salabi menyoroti pendidikan dan pelatihan yang diterima oleh Muhammad al-Fatih sejak kecil, termasuk bimbingan dari para ulama besar seperti Sheikh Aq Shams al-Din. Pendidikan ini tidak hanya mencakup ilmu agama, tetapi juga strategi militer, administrasi pemerintahan, dan diplomasi.

Sebagai seorang pemimpin, Muhammad al-Fatih memiliki visi besar untuk menjadikan Kekaisaran Ottoman sebagai kekuatan dunia. Salah satu misinya yang paling utama adalah menaklukkan Konstantinopel, kota yang telah lama menjadi pusat peradaban Bizantium dan dianggap sebagai benteng terakhir Kekaisaran Romawi Timur.

Penaklukan Konstantinopel merupakan bagian paling penting dari buku ini, di mana Dr. Al-Salabi menguraikan dengan sangat rinci persiapan militer, strategi pengepungan, serta berbagai tantangan yang dihadapi oleh pasukan Ottoman.

Muhammad al-Fatih memahami bahwa Konstantinopel memiliki pertahanan yang sangat kuat, dengan tembok ganda yang sulit ditembus dan posisi geografis yang menguntungkan. Untuk mengatasi ini, ia melakukan sejumlah inovasi militer, termasuk membangun meriam raksasa yang dirancang oleh insinyur Hungaria, Orban. Meriam ini mampu menghancurkan tembok pertahanan yang selama berabad-abad tidak tertembus.

Selain itu, salah satu strategi paling brilian Muhammad al-Fatih adalah memindahkan kapal-kapal Ottoman melewati daratan di sekitar Tanduk Emas, sehingga ia bisa mengepung kota dari berbagai arah. Kejutan taktis ini mengguncang pertahanan Bizantium dan menunjukkan kecerdasan militernya.

Setelah pertempuran sengit, pada tanggal 29 Mei 1453, pasukan Ottoman akhirnya berhasil menembus kota, menandai berakhirnya Kekaisaran Bizantium. Dalam buku ini, Dr. Al-Salabi menyoroti bagaimana Muhammad al-Fatih, setelah kemenangan tersebut, menunjukkan sikap yang penuh kebijaksanaan dan keadilan. Ia memberikan perlindungan kepada penduduk Kristen dan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid, tetapi tetap mengizinkan kebebasan beragama bagi warga yang tetap tinggal di kota tersebut.

Dr. Al-Salabi tidak hanya membahas peristiwa penaklukan itu sendiri, tetapi juga menganalisis dampaknya terhadap dunia Islam dan Eropa. Penaklukan ini menjadikan Ottoman sebagai kekuatan besar yang semakin diperhitungkan di panggung internasional. Di sisi lain, bagi dunia Kristen, jatuhnya Konstantinopel menjadi pukulan besar, yang kemudian memicu berbagai perubahan geopolitik, termasuk pencarian jalur perdagangan baru yang akhirnya membawa pada zaman penjelajahan Eropa.

Penaklukan ini juga memiliki dampak besar dalam penyebaran ilmu dan kebudayaan. Muhammad al-Fatih dikenal sebagai pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan dan seni. Ia mendirikan berbagai madrasah, mendukung penerjemahan buku-buku penting, dan menjadikan Istanbul sebagai pusat intelektual Islam.

Dalam buku ini, Dr. Al-Salabi juga menggambarkan Muhammad al-Fatih sebagai pemimpin yang memiliki berbagai sifat unggul, termasuk keberanian, kecerdasan, kesabaran, dan ketegasan. Ia dikenal sebagai pemimpin yang selalu berada di garis depan bersama pasukannya, memberikan contoh kepemimpinan yang kuat. Selain itu, ia juga seorang administrator yang visioner, yang mampu mengelola wilayah yang luas dengan sistem pemerintahan yang efisien.

Muhammad al-Fatih juga dikenal karena komitmennya terhadap Islam. Ia menerapkan hukum Islam secara adil, membangun masjid dan lembaga pendidikan, serta menjaga hubungan baik dengan ulama. Dr. Al-Salabi menekankan bahwa kepemimpinan Muhammad al-Fatih adalah perpaduan antara kekuatan militer, kebijakan politik yang cerdas, dan spiritualitas yang mendalam.

Salah satu bagian menarik dalam buku ini adalah pembahasan mengenai wasiat Muhammad al-Fatih kepada putranya. Dalam wasiatnya, ia menekankan pentingnya menegakkan keadilan, menjaga agama, tidak tergoda oleh kekayaan, serta selalu mendukung ulama dan ilmuwan. Wasiat ini mencerminkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang ia pegang teguh sepanjang hidupnya.

Buku ini juga mengisahkan bagaimana Sultan Muhammad al-Fatih wafat pada usia yang relatif muda, yaitu 49 tahun. Kematian mendadaknya memunculkan berbagai spekulasi, termasuk dugaan bahwa ia diracun oleh agen-agen musuhnya. Meskipun demikian, warisannya tetap hidup, dan ia dikenang sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah Islam.

Dengan demikian, kitab Fātih al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. Ali Muhammad Al-Salabi merupakan karya yang sangat komprehensif dan mendalam dalam membahas kehidupan, kepemimpinan, serta pencapaian Muhammad al-Fatih. Buku ini tidak hanya menyajikan fakta sejarah, tetapi juga menganalisis strategi militer, kebijakan politik, serta nilai-nilai Islam yang menjadi landasan bagi kepemimpinannya.

Dengan gaya penulisan yang sistematis dan berbasis pada sumber sejarah yang kuat, buku ini menjadi referensi penting bagi siapa saja yang ingin memahami lebih jauh tentang sejarah Islam, khususnya peran Kekaisaran Ottoman dalam peradaban dunia.

Kitab al-Sulţân Muhammad al-Fâtih: Fâtih al-Qusțanțîniytah karya Mustafa Safwat

Kitab Al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ: Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah karya Muhammad Mustafa Safwat, yang diterbitkan oleh Hindawi Foundation pada tahun 2017, merupakan salah satu biografi dalam bahasa Arab yang mengupas secara komprehensif perjalanan hidup dan kepemimpinan Sultan Mehmed II atau Muhammad Al-Fatih. Buku ini tidak hanya berisi narasi sejarah, tetapi juga memberikan analisis mengenai strategi militer, kebijakan pemerintahan, serta dampak jangka panjang dari penaklukan Konstantinopel terhadap dunia Islam dan Eropa.

Penulis memulai dengan menggambarkan masa kecil Mehmed II di lingkungan istana Utsmani, di mana ia mendapat pendidikan intensif dalam berbagai bidang ilmu, termasuk agama Islam, hukum syariah, strategi militer, dan politik. Ayahnya, Sultan Murad II, memastikan bahwa putranya dikelilingi oleh para cendekiawan dan ulama terkemuka, termasuk Syaikh Aq Syamsuddin, yang tidak hanya berperan sebagai guru agama, tetapi juga sebagai mentor spiritual yang membentuk visi besar Mehmed II dalam menaklukkan Konstantinopel. Selain itu, penulis menekankan bagaimana Mehmed II memiliki kecerdasan luar biasa dengan menguasai berbagai bahasa, seperti Arab, Persia, Yunani, Latin, dan Turki Utsmani, yang membantunya dalam diplomasi dan strategi pemerintahan.

Bagian utama buku ini berfokus pada peristiwa penaklukan Konstantinopel pada 1453, yang dipersiapkan Mehmed II dengan strategi militer yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Salah satu langkah awal yang ditekankan dalam buku ini adalah pembangunan Benteng Rumeli Hisarı di sisi Eropa Selat Bosporus, yang bertujuan untuk memblokade bantuan dari Kekaisaran Bizantium dan sekutu-sekutunya. Langkah ini menjadi kunci dalam melemahkan pertahanan Konstantinopel sebelum serangan besar-besaran dilancarkan.

Selain itu, buku ini juga menyoroti peran teknologi dalam perang, terutama penggunaan meriam raksasa yang dirancang oleh insinyur asal Hongaria bernama Orban. Meriam ini, dengan daya ledak luar biasa, berhasil menghancurkan tembok Konstantinopel yang telah bertahan selama lebih dari seribu tahun. Namun, strategi paling inovatif yang dikupas dalam buku ini adalah pemindahan kapal Utsmani melalui daratan di sekitar Tanduk Emas. Dengan cara ini, Mehmed II berhasil mengecoh pertahanan Bizantium yang telah memasang rantai besi raksasa untuk menghalangi kapal Utsmani memasuki pelabuhan. Serangan puncak pada 29 Mei 1453 akhirnya mengakhiri era Kekaisaran Bizantium, menjadikan Mehmed II sebagai penguasa baru Konstantinopel.

Setelah penaklukan, buku ini menguraikan bagaimana Mehmed II tidak hanya dikenal sebagai penakluk, tetapi juga sebagai pemimpin yang memiliki visi besar dalam membangun kembali Konstantinopel sebagai ibu kota Islam. Salah satu kebijakan awalnya adalah mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, namun ia tetap memberikan kebebasan beribadah kepada komunitas Kristen dan Yahudi. Ia juga mengundang penduduk dari berbagai wilayah untuk menetap di Konstantinopel, sehingga kota ini berkembang menjadi pusat peradaban Islam yang multikultural.

Selain itu, Mehmed II membangun banyak madrasah, masjid, dan sistem administrasi yang efisien, yang menjadikan Kesultanan Utsmani semakin kuat dalam bidang politik, ekonomi, dan militer. Buku ini juga menyoroti bagaimana Mehmed II menerapkan kebijakan pemerintahan yang canggih untuk memastikan stabilitas wilayah yang baru ditaklukkan, termasuk menerapkan sistem hukum yang fleksibel bagi komunitas non-Muslim dengan tetap mempertahankan supremasi hukum Islam sebagai dasar negara.

Selain membahas kebijakan internal, penulis juga menyoroti ekspansi wilayah yang dilakukan Mehmed II setelah penaklukan Konstantinopel. Dalam beberapa dekade berikutnya, Mehmed II memperluas kekuasaannya hingga ke Balkan, Anatolia, dan beberapa wilayah di Italia. Ia berhasil menaklukkan Serbia, Bosnia, Albania, dan merebut benteng-benteng penting dari Kekaisaran Romawi Suci. Penulis menggambarkan bagaimana Mehmed II tidak hanya berperan sebagai pemimpin militer, tetapi juga sebagai arsitek peradaban yang membangun pondasi Kesultanan Utsmani sebagai kekuatan besar di dunia Islam dan Eropa selama berabad-abad.

The Fall of Constantinople to the Ottomans: Context and Consequences karya Michael Angold

Selain keempat buku di atas, saya juga membaca buku The Fall of Constantinople to the Ottomans: Context and Consequences karya Michael Angold. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2012 oleh Pearson Education Limited dan kemudian diterbitkan ulang oleh Routledge pada tahun 2014, membahas kejatuhan Konstantinopel dari perspektif historis dan dampak jangka panjangnya. Diterbitkan sebagai bagian dari Taylor & Francis Group, buku ini menyoroti faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya ibu kota Bizantium serta bagaimana peristiwa tersebut membentuk dinamika geopolitik Eropa dan dunia Islam. 

Buku ini membahas jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 dari perspektif yang lebih luas, tidak hanya sebagai peristiwa militer tetapi juga sebagai titik balik sejarah global. Angold menghindari pendekatan naratif konvensional dan lebih memilih untuk menganalisis signifikansi historis dari peristiwa ini, termasuk dampaknya terhadap dunia Yunani, Barat, Rusia, dan Kekaisaran Ottoman. Ia membandingkan kejatuhan Konstantinopel tahun 1453 dengan peristiwa serupa pada tahun 1204, ketika kota ini direbut oleh pasukan Perang Salib Keempat dan Venezia. Perbedaan utama, menurut Angold, adalah bahwa peristiwa 1204 menghancurkan Byzantium secara politik tetapi tidak menghapusnya secara budaya dan intelektual, sementara tahun 1453 menandai berakhirnya Byzantium sepenuhnya dan mengubah peta kekuasaan dunia.

Buku ini memberikan perspektif yang lebih dalam mengenai bagaimana jatuhnya Konstantinopel tidak hanya menandai akhir Kekaisaran Bizantium tetapi juga memicu berbagai perubahan global yang masih terasa hingga saat ini.

Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kesultanan Ottoman pada 1453 merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia. Peristiwa ini telah menjadi bahan kajian bagi banyak sejarawan, termasuk Sir Steven Runciman dalam karyanya The Fall of Constantinople 1453, yang dianggap sebagai salah satu narasi sejarah terbaik mengenai peristiwa ini. Namun, bahkan Runciman sendiri mulai meragukan apakah masih perlu ada buku lain yang membahas topik ini, terutama karena detail pengepungan telah diuraikan dengan sangat baik oleh Sir Edwin Pears dalam The Destruction of the Greek Empire, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1903.

Meski demikian, minat terhadap jatuhnya Konstantinopel tidak pernah surut. Banyak sejarawan terus menulis tentangnya, seperti M. Philippides dan W.K. Hanak, yang dalam kajian mereka menyajikan rekonstruksi rinci dan meyakinkan mengenai pengepungan serta kejatuhan kota tersebut. Namun, tujuan saya bukanlah untuk memberikan narasi baru mengenai peristiwa tersebut, melainkan untuk menyoroti makna historisnya. Salah satu pertanyaan utama yang muncul adalah apakah jatuhnya Konstantinopel merupakan titik balik sejarah. Jika kita mengambil pendekatan ini, kita akan lebih menyoroti latar belakang dan dampaknya dibandingkan peristiwa itu sendiri. Namun, sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita memahami gambaran singkat mengenai hari-hari terakhir Konstantinopel pada April dan Mei 1453.

Sultan Mehmed II, yang naik takhta pada tahun 1451 setelah kematian ayahnya, Murad II, menghadapi tantangan besar dalam mengkonsolidasikan kekuasaannya. Keputusan Mehmed II untuk menaklukkan Konstantinopel merupakan cerminan dari kegagalan sistem politik yang selama lima dekade terakhir memungkinkan Kekaisaran Bizantium bertahan meskipun dalam kondisi yang sangat lemah. Mehmed II juga memiliki alasan pribadi untuk menaklukkan kota tersebut, karena ia menganggap Bizantium sebagai dalang di balik ketidakstabilan dalam istana Ottoman, terutama selama masa kecilnya.

Ketika Mehmed II masih berusia 12 tahun, ayahnya turun takhta dan menyerahkan pemerintahan kepadanya pada 1444. Namun, banyak pihak dalam istana Ottoman, termasuk Vezir Agung Çandarli Halil Pasha, menentang kepemimpinan Mehmed yang masih sangat muda. Keputusan ini menciptakan ketegangan politik yang besar, dan akhirnya Murad II kembali mengambil alih kekuasaan setelah hanya beberapa tahun. Situasi ini membuat Mehmed II menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu yang luar biasa untuk memperkuat posisinya setelah akhirnya naik takhta secara penuh pada tahun 1451.

Penaklukan Konstantinopel menjadi pilihan yang jelas. Selain sebagai pusat kekaisaran Bizantium yang melemah, kota ini juga memiliki posisi strategis yang menghubungkan Eropa dan Asia serta mengendalikan rute perdagangan yang penting. Lebih dari itu, penaklukan Konstantinopel akan menegaskan otoritas mutlak Mehmed II atas kerajaan Ottoman dan menyingkirkan pengaruh politik dari faksi-faksi yang mendukung status quo, terutama yang dipimpin oleh Çandarli Halil Pasha.

Sementara itu, di pihak Bizantium, situasi tidak kalah rumit. Kekaisaran sudah dalam kondisi yang sangat lemah baik secara militer maupun politik. Kaisar John VIII Palaiologos meninggal pada tahun 1448 tanpa meninggalkan ketentuan suksesi yang jelas. Saudara tertuanya, Constantine XI Drageses, akhirnya naik takhta, tetapi proses peralihannya penuh dengan intrik dan ketidakpastian. Saudara-saudaranya sendiri, terutama Demetrios, mencoba merebut kekuasaan.

Di sisi lain, kebijakan Constantine XI dalam mendukung penyatuan Gereja Ortodoks dengan Gereja Katolik Roma juga menimbulkan ketegangan internal yang besar. Banyak warga Konstantinopel menolak persekutuan dengan Gereja Latin, meskipun kaisar melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan bantuan militer dari Eropa Barat. Ketegangan ini semakin meningkat dengan kedatangan Kardinal Isidore pada tahun 1452, yang memimpin upacara persatuan gereja di Hagia Sophia. Langkah ini tidak populer di kalangan rakyat, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap iman Ortodoks.

Secara militer, Konstantinopel sangat rentan. Kekaisaran tidak memiliki pasukan besar untuk mempertahankan kota, dan pasukan bayaran yang mereka sewa dari Eropa Barat hanya berjumlah kecil. Kekaisaran Bizantium juga mengalami kesulitan dalam mengumpulkan dana untuk memperbaiki tembok kota dan membeli persenjataan baru. Sementara itu, Mehmed II dengan cermat merencanakan pengepungan dengan membangun benteng Rumeli Hisari di sisi Eropa Selat Bosporus untuk memutus jalur suplai Konstantinopel dari Laut Hitam.

Jatuhnya Konstantinopel bukan hanya akhir dari Kekaisaran Bizantium tetapi juga awal dari perubahan besar dalam peta politik dan budaya dunia. Dari perspektif Islam dan dunia Ottoman, peristiwa ini menandai transformasi kesultanan menjadi kekaisaran global. Mehmed II, yang kemudian dikenal sebagai al-Fatih (Sang Penakluk), menjadikan Konstantinopel sebagai ibu kota baru Ottoman dan mengonsolidasikan kekuasaannya sebagai penguasa Islam yang paling berpengaruh.

Di sisi lain, bagi dunia Kristen, kejatuhan Konstantinopel dianggap sebagai bencana besar. Banyak orang Yunani melarikan diri ke Eropa Barat, membawa serta ilmu pengetahuan, naskah klasik, dan warisan intelektual Bizantium. Para cendekiawan Yunani yang bermigrasi ke Italia berperan penting dalam mempercepat Renaissance, karena mereka membawa serta teks-teks klasik yang sebelumnya kurang dikenal di Eropa Barat.

Selain itu, jatuhnya Konstantinopel mempercepat eksplorasi laut oleh bangsa-bangsa Eropa. Dengan rute perdagangan ke Asia melalui darat kini berada di bawah kendali Ottoman, bangsa Eropa mulai mencari jalur alternatif melalui laut, yang akhirnya mengarah pada penjelajahan Samudra Atlantik dan penemuan dunia baru oleh Christopher Columbus dan Vasco da Gama.

Dengan demikian, jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 memang dapat dianggap sebagai salah satu titik balik sejarah. Peristiwa ini tidak hanya menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur tetapi juga memicu perubahan besar dalam politik, agama, dan perdagangan dunia. Dunia Islam mengalami kebangkitan dengan Ottoman sebagai pemimpin baru, sementara dunia Kristen menghadapi tantangan baru yang akhirnya memicu ekspansi maritim dan intelektual.

Dengan kata lain, kejatuhan Konstantinopel bukan sekadar peristiwa militer, tetapi juga simbol dari pergeseran besar dalam dinamika global yang membentuk dunia modern.

Dari kejatuhan Konstantinopel dapat dipetik beberapa pelajaran sebagai berikut:

1. Pentingnya Inovasi Militer dan Teknologi. Penaklukan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah menunjukkan pentingnya inovasi dalam strategi perang. Penggunaan meriam raksasa memungkinkan Ottoman menghancurkan tembok kota yang sebelumnya dianggap tidak tertembus. Pelajaran dari sini adalah bahwa inovasi teknologi bisa menjadi faktor penentu kemenangan dalam perang maupun persaingan di berbagai bidang.

2. Strategi dan Kepemimpinan yang Visioner. Sultan Mehmed II memiliki visi strategis yang kuat, seperti membangun Benteng Rumeli Hissar untuk mengendalikan Selat Bosporus sebelum menyerang Konstantinopel. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat dan perencanaan jangka panjang sangat penting dalam mencapai tujuan besar.

3. Kelemahan Internal Bisa Menjadi Faktor Kehancuran. Kekaisaran Bizantium mengalami perpecahan internal yang melemahkan pertahanannya, termasuk konflik politik dan persaingan antarbangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa kestabilan internal, sebuah bangsa atau organisasi lebih rentan terhadap ancaman dari luar.

4. Dampak Perubahan Geopolitik. Kejatuhan Konstantinopel mengubah jalur perdagangan dunia dan memicu Zaman Penjelajahan oleh bangsa Eropa. Ini mengajarkan bahwa perubahan besar dalam peta politik dan ekonomi dunia bisa menciptakan tantangan sekaligus peluang baru bagi pihak lain.

5. Pentingnya Diplomasi dan Aliansi yang Kuat. Bizantium tidak mendapat dukungan yang cukup dari negara-negara Eropa lainnya, yang menyebabkan mereka semakin terisolasi. Ini menunjukkan pentingnya membangun hubungan yang kuat dengan sekutu dalam menghadapi ancaman besar.

6. Perpindahan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Banyak cendekiawan Yunani melarikan diri ke Eropa Barat setelah kejatuhan Konstantinopel, membawa serta manuskrip klasik yang berkontribusi pada Renaisans Eropa. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan kebudayaan bisa berpindah mengikuti peristiwa sejarah dan dapat menjadi katalis bagi kebangkitan peradaban lain.

7. Ketahanan Infrastruktur Bisa Menentukan Umur Peradaban.Tembok Theodosius yang selama berabad-abad melindungi Konstantinopel akhirnya tidak mampu menghadapi teknologi perang baru. Ini menjadi pengingat bahwa infrastruktur pertahanan, ekonomi, atau sistem pemerintahan harus terus diperbarui agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan baru.

Dari berbagai pelajaran ini, jelas bahwa jatuhnya Konstantinopel bukan hanya sekadar peristiwa militer, tetapi juga momen yang mengubah sejarah dunia dalam berbagai aspek.

Perbandingan Kelima Karya tentang Muhammad al-Fatih

Keempat karya di atas, yaitu The Grand Turk karya John Freely, Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger, al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ: Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah karya Muḥammad Muṣṭafā Ṣafwat, serta Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. ‘Alī Muḥammad al-Ṣallābī—menampilkan pendekatan historiografi yang beragam terhadap sosok Mehmed II. Perbedaan ini terlihat dalam cara mereka mengolah sumber sejarah, tujuan penulisan, serta fokus analisis yang diusung. Jika The Grand Turk lebih menekankan narasi populer mengenai kehidupan dan pencapaian Mehmed II dalam konteks peradaban Islam dan Eropa, Mehmed the Conqueror and His Time lebih merupakan karya akademik yang menelaah strategi politik dan militer Mehmed II dengan analisis berbasis sumber primer dari dokumen diplomatik dan kronik Eropa maupun Utsmani. Sementara itu, al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Ṣafwat lebih bersifat hagiografis, menyoroti Mehmed II sebagai pahlawan Islam yang menjalankan visi Islamisasi. Hal yang serupa juga terlihat dalam karya Dr. al-Ṣallābī, tetapi dengan pendekatan yang lebih sistematis, di mana ia tidak hanya mengandalkan kronik Muslim tetapi juga menghubungkan penaklukan Konstantinopel dengan nubuat Nabi Muḥammad dalam hadis-hadis terkait.

Dari segi penggunaan sumber, Babinger dan Freely cenderung lebih mengandalkan arsip-arsip diplomatik dan dokumen resmi Kesultanan Utsmani serta laporan saksi mata dari dunia Barat, yang kadang menampilkan pandangan kritis terhadap Mehmed II, termasuk kebijakan otoriternya dan aspek pragmatis dalam pemerintahannya. Sebaliknya, Ṣafwat dan al-Ṣallābī lebih banyak mengandalkan riwayat Muslim klasik, seperti karya sejarawan Utsmani Aḥmad ibn Kemāl dan kronik Muslim lainnya, yang lebih menampilkan Mehmed II sebagai pemimpin Islam yang menjalankan misi spiritual dalam penaklukan Konstantinopel. Namun, al-Ṣallābī lebih unggul dalam pendekatan metodologisnya, karena ia tidak hanya menyusun narasi sejarah tetapi juga mengaitkan peristiwa dengan konsep-konsep dalam sejarah Islam secara lebih luas, seperti jihad, kebangkitan peradaban Islam, dan implementasi syariat dalam pemerintahan Mehmed II.

Dari segi gaya penulisan dan sasaran pembaca, Babinger menyusun karyanya dalam bentuk akademik yang mendalam dan kritis, menjadikannya referensi utama bagi para sejarawan dan peneliti. Sebaliknya, Freely menulis dengan gaya yang lebih ringan dan mengalir, sehingga lebih mudah diakses oleh pembaca umum yang ingin memahami kisah Mehmed II tanpa harus mendalami analisis akademik yang kompleks. Ṣafwat dan al-Ṣallābī, dengan pendekatan mereka yang lebih Islami, cenderung menulis dalam gaya yang lebih naratif, dengan al-Ṣallābī menampilkan struktur yang lebih sistematis dan berbasis analisis sejarah Islam yang lebih luas dibandingkan Ṣafwat, yang lebih sekadar menyusun kisah kepahlawanan Mehmed II.

Dalam hal fokus utama, Babinger dan Freely lebih banyak mengulas Mehmed II dalam konteks geopolitik dan interaksi antara dunia Islam dan Eropa, sementara Ṣafwat dan al-Ṣallābī menyoroti peran Islam dalam kebijakan Mehmed II. Jika Mehmed the Conqueror and His Time adalah referensi akademik utama yang menampilkan Mehmed II secara lebih objektif, maka al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Ṣafwat lebih bersifat inspiratif bagi pembaca Muslim. Sementara itu, Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya al-Ṣallābī merupakan buku yang lebih seimbang antara pendekatan historis dan interpretasi Islam, menjadikannya lebih cocok bagi pembaca yang ingin memahami Mehmed II dalam konteks Islam sekaligus sejarah global.

Jika dibandingkan dengan empat buku sebelumnya, The Fall of Constantinople to the Ottomans: Context and Consequences karya Michael Angold menawarkan perspektif yang lebih berorientasi pada dampak historis dan konteks geopolitik yang melingkupi kejatuhan Konstantinopel. Berbeda dengan The Grand Turk karya John Freely yang lebih bernuansa populer atau Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger yang berbasis penelitian akademik mendalam, Angold menelaah peristiwa ini dalam spektrum yang lebih luas, tidak hanya dari sisi Mehmed II sebagai individu, tetapi juga dari perspektif perubahan struktur politik, ekonomi, dan sosial di Eropa dan dunia Islam.

Jika Babinger dan Freely banyak mengandalkan sumber diplomatik dan kronik Eropa, Angold lebih menekankan pada historiografi Barat dalam memahami dampak kejatuhan Konstantinopel terhadap Eropa, khususnya dalam membentuk identitas dan strategi pertahanan dunia Kristen pasca-1453. Sementara itu, dibandingkan dengan al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ: Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah karya Muḥammad Muṣṭafā Ṣafwat dan Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. ‘Alī Muḥammad al-Ṣallābī, yang lebih menonjolkan narasi Islamisasi dan visi keagamaan Mehmed II, Angold mengambil pendekatan yang lebih netral dan berfokus pada perubahan dinamika kekuasaan antara Timur dan Barat.

Dalam hal metodologi, al-Ṣallābī dan Ṣafwat lebih banyak menggunakan sumber-sumber Muslim klasik, seperti kronik Ottoman dan riwayat sejarawan Muslim, yang cenderung menggambarkan Mehmed II dalam kerangka kepahlawanan Islam. Sebaliknya, Angold menggunakan pendekatan historiografi Barat, yang lebih menyoroti Konstantinopel sebagai pusat peradaban Bizantium dan bagaimana kejatuhannya menandai berakhirnya kekaisaran yang telah berdiri selama lebih dari seribu tahun.

Dari segi sasaran pembaca, buku Angold lebih ditujukan kepada akademisi dan pembaca yang ingin memahami dampak jangka panjang dari kejatuhan Konstantinopel, sementara Babinger juga menyasar kalangan akademik, tetapi dengan fokus yang lebih spesifik pada kehidupan Mehmed II sebagai individu dan pemimpin militer. Freely, dengan gaya penulisannya yang lebih ringan, lebih cocok untuk pembaca umum, sedangkan Ṣafwat dan al-Ṣallābī lebih banyak menarik perhatian pembaca Muslim yang ingin memahami penaklukan Konstantinopel dalam perspektif keislaman.

Ringkasnya, keempat karya yang dikaji—The Grand Turk karya John Freely, Mehmed the Conqueror and His Time karya Franz Babinger, Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ karya Dr. ‘Alī Muḥammad al-Ṣallābī, serta al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ: Fātiḥ al-Qusṭanṭīniyyah karya Muḥammad Muṣṭafā Ṣafwat, menunjukkan variasi pendekatan dalam memahami sosok Mehmed II dan penaklukan Konstantinopel.

Dari segi metodologi, Babinger dan Freely cenderung menggunakan pendekatan akademik berbasis sumber primer, tetapi dengan perspektif Eropa yang kadang menyoroti sisi kontroversial Mehmed II. Babinger lebih kritis dan mendalam dalam analisis politik dan militer, sementara Freely menyajikan narasi yang lebih ringan dan populer. Sebaliknya, Ṣafwat dan al-Ṣallābī lebih berorientasi pada sudut pandang Islam. Ṣafwat menampilkan Mehmed II sebagai pahlawan Muslim dengan gaya naratif yang inspiratif, sedangkan al-Ṣallābī lebih sistematis dalam menghubungkan peristiwa sejarah dengan konsep Islam, termasuk nubuat Nabi Muhammad tentang penaklukan Konstantinopel.

Dari segi sumber, Babinger dan Freely lebih banyak mengandalkan kronik Barat dan dokumen resmi Kesultanan Utsmani, sementara Ṣafwat dan al-Ṣallābī menggunakan literatur Muslim klasik, yang lebih menyoroti aspek keislaman Mehmed II. Freely dan Babinger menampilkan Mehmed II dalam konteks geopolitik global, melihatnya sebagai tokoh strategis dalam sejarah dunia, sedangkan Ṣafwat dan al-Ṣallābī lebih menekankan perannya sebagai pemimpin yang menjalankan misi Islamisasi. Sedangkan The Fall of Constantinople to the Ottomans melengkapi pemahaman tentang peristiwa 1453 dengan menyoroti implikasi yang lebih luas di luar figur Mehmed II, memberikan perspektif alternatif dibandingkan dengan lima buku lainnya yang lebih menitikberatkan pada sosok sang penakluk dan motif-motifnya.

Dengan demikian, pemilihan buku tergantung pada kebutuhan pembaca. Jika ingin memahami Mehmed II dalam konteks politik dan militer dengan pendekatan akademik, Babinger adalah rujukan utama. Jika mencari narasi yang lebih ringan, Freely bisa menjadi pilihan. Sementara itu, bagi pembaca yang ingin memahami Mehmed II dalam konteks Islam, Ṣafwat menawarkan sudut pandang yang lebih sederhana, sedangkan al-Ṣallābī memberikan analisis yang lebih mendalam dan sistematis. Sedangkan Michael Angold memfokuskan pada kejatuhan Konstantinopel dari perspektif historis dan dampak jangka panjangnya.

Kombinasi dari kelima buku ini memberikan gambaran yang lebih utuh tentang Mehmed II, baik sebagai pemimpin politik yang visioner maupun sebagai sosok yang menjalankan misi keislaman dalam sejarah dunia.

Spirit Muhammad Al-Fatih dalam Masjid Muhammad Al-Fatih Global Mulia dan Visi STEBI Global Mulia

Muhammad Al-Fatih bukan hanya dikenal sebagai penakluk Konstantinopel, tetapi juga sebagai pemimpin visioner yang membangun peradaban berbasis ilmu pengetahuan, strategi ekonomi, dan keimanan yang kuat. Keberhasilannya dalam menaklukkan kota yang selama berabad-abad tidak bisa ditembus oleh umat Islam bukan sekadar kemenangan militer, tetapi juga cerminan dari strategi kepemimpinan yang matang, visi yang jauh ke depan, serta penguasaan ilmu dan teknologi pada masanya. Semangat inilah yang mendasari penamaan Masjid Muhammad Al-Fatih di kampus STEBI Global Mulia, bukan sekadar sebagai penghormatan simbolis, tetapi sebagai bentuk internalisasi nilai-nilai kepemimpinan, perjuangan, dan pembaruan yang relevan dengan visi kampus STEBI Global Mulia: "Menjadi Perguruan Tinggi Unggul Berbasis Riset dan Entrepreneurship serta Berdaya Saing Global."

Masjid bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat aktivitas intelektual dan spiritual. Dalam sejarah Islam, masjid selalu menjadi tempat berkembangnya ilmu, baik dalam aspek keagamaan maupun sains. Masjid Muhammad Al-Fatih di STEBI Global Mulia memiliki peran yang sama, yaitu menjadi pusat bagi mahasiswa, dosen, dan sivitas akademika dalam membangun karakter, membentuk pola pikir strategis, serta mengembangkan keterampilan yang relevan dengan tantangan global. Hal ini sejalan dengan bagaimana Muhammad Al-Fatih dididik sejak kecil. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan ilmu, menghafal Al-Qur'an sejak usia muda, dan mendapatkan bimbingan dari ulama serta cendekiawan besar, seperti Syaikh Aq Syamsuddin, yang tidak hanya mengajarkannya ilmu agama tetapi juga strategi kepemimpinan, militer, dan administrasi negara.

Sejarah mencatat bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 bukan sekadar hasil dari kekuatan militer semata, tetapi juga dari strategi ekonomi dan politik yang cerdas. Sebelum menaklukkan kota tersebut, ia memastikan stabilitas ekonomi Kesultanan Utsmani dengan membangun sistem perdagangan yang kuat, mendukung para pedagang Muslim, dan menerapkan kebijakan fiskal yang adil. Bahkan setelah penaklukan, ia membuka Konstantinopel sebagai pusat perdagangan global dan menjadikannya salah satu kota paling maju di dunia. Ini memiliki relevansi langsung dengan visi STEBI Global Mulia, yang menekankan pada riset dan entrepreneurship. STEBI Global Mulia tidak hanya ingin mencetak akademisi yang memahami ekonomi syariah secara teoritis, tetapi juga menghasilkan lulusan yang mampu menerapkan konsep-konsep ekonomi Islam dalam dunia bisnis, keuangan, dan industri halal secara global.

Muhammad Al-Fatih juga dikenal sebagai sosok yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Ia mengundang para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia untuk menetap di Konstantinopel dan menjadikan kota itu sebagai pusat intelektual. Ia membangun madrasah-madrasah, perpustakaan, dan institusi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu sains, filsafat, matematika, astronomi, dan teknologi militer. Sikapnya ini menunjukkan bahwa peradaban besar tidak akan terwujud tanpa penguasaan ilmu dan riset yang kuat. STEBI Global Mulia, dengan fokusnya pada riset dan inovasi dalam ekonomi syariah dan keuangan Islam, mencerminkan semangat yang sama. Melalui penelitian yang berbasis pada prinsip-prinsip syariah, kampus ini berusaha melahirkan inovasi dalam sistem keuangan, perbankan Islam, dan bisnis halal yang dapat bersaing di tingkat internasional, sebagaimana Muhammad Al-Fatih menjadikan Konstantinopel sebagai pusat ekonomi dunia.

Selain itu, kepemimpinan Muhammad Al-Fatih dalam membangun strategi ekonomi yang tangguh juga dapat dijadikan inspirasi dalam membentuk jiwa entrepreneurship di kalangan mahasiswa STEBI Global Mulia. Muhammad Al-Fatih tidak hanya berperan sebagai pemimpin yang ekspansif dalam bidang militer, tetapi juga sebagai inovator dalam sistem ekonomi dan perdagangan. Ia memahami bahwa kesejahteraan rakyat dan kekuatan negara tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada stabilitas ekonomi dan keuangan. Dengan membuka jalur perdagangan baru, mendukung para pedagang Muslim dan non-Muslim, serta menata ulang sistem perpajakan agar lebih adil, ia memastikan bahwa ekonominya berkembang pesat. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi dasar dalam pengembangan kewirausahaan berbasis syariah di STEBI Global Mulia, di mana mahasiswa tidak hanya diajarkan teori ekonomi Islam, tetapi juga dibekali dengan keterampilan praktis untuk menjadi pengusaha yang berintegritas, inovatif, dan mampu bersaing di pasar global.

Lebih dari itu, masjid di lingkungan akademik juga memiliki fungsi penting dalam membentuk karakter dan etika mahasiswa. Muhammad Al-Fatih tidak hanya unggul dalam aspek intelektual dan kepemimpinan, tetapi juga memiliki akhlak yang luhur. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil, rendah hati, dan selalu mengutamakan prinsip-prinsip Islam dalam setiap kebijakan yang ia ambil. Dengan adanya Masjid Muhammad Al-Fatih di STEBI Global Mulia, diharapkan para mahasiswa dapat meneladani nilai-nilai tersebut. Masjid ini bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi ruang bagi mahasiswa untuk mendiskusikan gagasan-gagasan besar, memperdalam kajian ilmu, serta membangun kepemimpinan yang berlandaskan spiritualitas dan moralitas Islam.

Selain itu, semangat globalisasi yang dimiliki Muhammad Al-Fatih juga sejalan dengan visi "berdaya saing global" yang diusung oleh STEBI Global Mulia. Setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, ia tidak menutup diri dari dunia luar, tetapi justru membuka interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya. Ia menjadikan Istanbul sebagai pusat diplomasi, perdagangan, dan pertukaran ilmu dengan Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Sikap inklusif ini menjadi contoh bahwa seorang Muslim yang kuat harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, bersaing di kancah internasional, dan menjadikan Islam sebagai solusi bagi tantangan ekonomi dan sosial global. Dengan semangat yang sama, STEBI Global Mulia berupaya mempersiapkan mahasiswa agar memiliki kompetensi global dalam bidang ekonomi dan bisnis syariah, sehingga mereka mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan tinggi lain di tingkat internasional.

Kesimpulan

Kesimpulannya, kajian literatur mengenai Muhammad Al-Fatih dari empat buku utama—Feeley, Babinger, aṣ-Ṣallābī, dan Ṣafwat—menunjukkan perspektif yang beragam mengenai sosoknya sebagai pemimpin militer, arsitek peradaban, dan figur spiritual. Feeley menyoroti peran Muhammad Al-Fatih dalam reformasi hukum dan administrasi Utsmani, sementara Babinger dalam Mehmed the Conqueror and His Time lebih menekankan aspek politik dan ambisi ekspansionisnya dalam membangun kekaisaran.

Di sisi lain, aṣ-Ṣallābī dalam Muhammad al-Fatih: Penakluk Konstantinopel menghubungkan pencapaiannya dengan dimensi spiritual dan nubuat Islam, menjadikannya sosok pemimpin yang tidak hanya kuat secara militer tetapi juga memiliki visi keislaman yang mendalam. Ṣafwat, dengan pendekatan analisis militer dalam al-Sulṭān Muḥammad al-Fātiḥ, menyoroti strategi pengepungan Konstantinopel dan inovasi teknologinya. Dengan demikian, keempat buku ini memberikan gambaran komprehensif tentang Muhammad Al-Fatih, baik dari sisi kepemimpinan strategis, kebijakan pemerintahan, hingga dimensi religius yang membentuk visinya dalam membangun peradaban Utsmani. Sedangkan untuk memperoleh pembahasan yang komprehensif tentang kejatuhan Konstantinopel dari perspektif historis dan dampak jangka panjangnya dapat membaca The Fall of Constantinople to the Ottomans: Context and Consequences karya Michael Angold. 

Jatuhnya Konstantinopel pada 1453 mengajarkan pentingnya inovasi militer, kepemimpinan visioner, dan ketekunan dalam mencapai tujuan besar. Keberhasilan Sultan Muhammad Al-Fatih dalam menaklukkan kota ini menunjukkan bagaimana strategi cerdas, seperti penggunaan meriam besar dan pemindahan kapal melalui darat, dapat mengubah jalannya sejarah. Peristiwa ini juga menandai pergeseran pusat peradaban, menjadikan Istanbul pusat ilmu dan perdagangan Islam, sekaligus mendorong Renaisans di Eropa akibat migrasi sarjana Bizantium. Selain itu, toleransi yang diterapkan dalam pemerintahan Utsmaniyah setelah penaklukan menunjukkan bahwa kejayaan peradaban dapat dibangun melalui inklusivitas dan keberagaman.

Literatur tentang Muhammad al-Fâtih Sang Penakluk Konstantinopel yang diuraikan di atas, dapat menjadi landasan historis, di antaranya bagi penamaan masjid Muhammad Al-Fatih di lingkungan kampus Global Mulia yang diharapkan bukan hanya ingin menghadirkan tempat ibadah, tetapi juga membangun pusat spiritualitas, intelektualitas, dan entrepreneurship yang selaras dengan semangat Muhammad Al-Fatih. Visi STEBI Global Mulia yang berbasis riset, entrepreneurship, dan daya saing global sangat relevan dengan strategi kepemimpinan Sultan Mehmed II yang berhasil membawa peradaban Islam ke tingkat kejayaan. Seperti Muhammad Al-Fatih yang memadukan iman, ilmu, dan strategi ekonomi dalam membangun peradaban, mahasiswa STEBI Global Mulia juga diharapkan menjadi pemimpin di bidang ekonomi syariah yang memiliki pemikiran visioner, keterampilan inovatif, serta akhlak yang mulia. Masjid ini di lingkungan kampus yang memiliki lembaga pendidikan dari tingkat sekolah menengah (SMP IT dan SMK) sampai perguruan tinggi ini diharapkan menjadi saksi bahwa perjuangan membangun peradaban Islam tidak hanya dilakukan di medan perang, tetapi juga melalui ilmu, riset, pembangunan karakter, dan pengembangan ekonomi yang berkelanjutan. *Cikarang, 23 Ramadan 1446/2025, pukul 23.55

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam