Nabi-nabi Sumeria dalam Tinjauan Islam
Cak Yo
Prawacana
Suasana selepas tarawih malam ke-28 ini terasa dingin. Langit menumpahkan hujan yang sejak sore menggantung, menciptakan simfoni alami yang berpadu dengan aroma tanah basah. Aku duduk di teras, secangkir kopi hitam mengepul dengan kitab yang baru saja saya unduh berjudul: Anbiyā’ Sūmariyyūn: Kaifa Tahawwula ‘Asharah Mulūk Sūmariyyīn ilā ‘Asharah Anbiyā’ Tawrātiyyīn? yang ditulis oleh Dr. Khaz‘al al-Mājidī. Kitab ini diterbitkan oleh al-Markaz al-Thaqāfī li-l-Kitāb dalam cetakan pertamanya pada tahun 2018, dengan ketebalan 488 halaman. Kitab yang juga diterbitkan oleh al-Dār al-Bayḍā’ (Maroko) dan Bayrūt (Lebanon) ini mengeksplorasi hubungan antara sepuluh raja Sumeria dan sepuluh nabi dalam tradisi Taurat, menawarkan perspektif historis dan mitologis mengenai transformasi figur-figur kuno menjadi tokoh-tokoh keagamaan dalam teks-teks suci.
Kitab ini bukan sekadar buku sejarah, tapi gugatan intelektual yang mengguncang narasi klasik. Al-Majidi mengusulkan gagasan berani—bahwa sepuluh raja Sumeria dalam daftar raja kuno telah bertransformasi menjadi sepuluh nabi dalam tradisi Taurat. Ide ini tentu memantik kontroversi, terlebih di kalangan akademisi dan agamawan.
Sambil menyeruput kopi, aku membaca pelan-pelan. Al-Majidi menguraikan hubungan mitologi Mesopotamia dengan kisah-kisah para nabi. Ia memaparkan bagaimana epos-epos kuno, seperti Enuma Elish dan Gilgamesh, mungkin telah memberi inspirasi bagi narasi-narasi religius yang muncul kemudian. Apakah ini sekadar kesamaan tematik, atau ada jejak historis yang lebih dalam?
Di luar, hujan masih turun, menciptakan latar yang pas untuk merenungi teks ini. Membaca kitab ini di ujung Ramadan seolah menjadi perjalanan intelektual yang menggugah, mengajak untuk melihat sejarah keagamaan dari sudut yang tak biasa. Ramadan memang bulan ibadah, tapi juga bulan refleksi—dan malam ini, refleksi itu datang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan besar tentang asal-usul wahyu dan sejarah peradaban.
Kopi mulai mendingin, tapi pikiranku justru semakin panas. Aku melanjutkan membaca, membiarkan hujan, tarawih yang baru berlalu, dan aroma kopi menjadi saksi perenungan panjang ini.
Malam semakin larut, dan tinjauan ini masih perlu pendalaman lebih lanjut. Aku menutup kitab, menyeruput sisa kopi yang sudah mendingin, dan berpikir: Sejauh mana sejarah bisa menjelaskan wahyu, dan sejauh mana wahyu melampaui sejarah?
Aku menandai bagian-bagian penting dalam kitab ini, lalu menuangkan isinya dalam tulisan ini, dan tidak lupa pula aku siapkan untuk meninjau buku ini. Aku kritisi dalam perspektif Alquran dan Hadis-hadis Nabi, dua pedoman utama ajaran Islam yang diyakini seluruh Muslim. Lalu aku sertakan pula tinjauan para teolog dan filsuf Muslim tentang kenabian. Pertama-tama aku mulai dengan menjelaskan buku karya al-Majidi ini.
Para Nabi Sumeria: Sejarah dan Mitologi
Kitab Anbiyā’ Sūmariyyūn: Kaifa Tahawwula ‘Asharah Mulūk Sūmariyyīn ilā ‘Asharah Anbiyā’ Tawrātiyyīn? karya Dr. Khaz’al Al-Majidi ini mengupas hubungan antara sejarah peradaban Sumeria dengan narasi keagamaan yang terdapat dalam kitab suci, khususnya dalam tradisi Yahudi. Al-Majidi mengajukan pertanyaan kritis mengenai kemungkinan bahwa banyak kisah dalam Alkitab, terutama yang berkaitan dengan nabi-nabi sebelum peristiwa banjir besar, sebenarnya memiliki akar dalam mitologi dan sejarah kerajaan-kerajaan kuno Mesopotamia, terutama dari peradaban Sumeria.
Bagian pengantar kitab ini menguraikan bagaimana perkembangan ilmu arkeologi telah mengubah cara kita memahami sejarah manusia, terutama dalam konteks agama-agama besar dunia. Al-Majidi menyoroti bagaimana penemuan teks-teks kuno di Mesopotamia—seperti Daftar Raja Sumeria, Epos Gilgamesh, dan berbagai prasasti Babilonia—telah menunjukkan adanya kemiripan luar biasa dengan kisah-kisah dalam kitab suci. Salah satu argumen utama yang diajukan dalam bagian ini adalah bahwa teks-teks keagamaan Yahudi dan Kristen tampaknya mengadopsi dan mengadaptasi cerita-cerita yang sebelumnya telah berkembang dalam kebudayaan Sumeria dan Babilonia.
Menurut Al-Majidi, kitab-kitab suci sering kali dianggap sebagai wahyu ilahi yang berdiri sendiri, tetapi dengan adanya bukti intertekstualitas dengan teks-teks yang lebih tua, kita perlu mempertimbangkan kemungkinan bahwa banyak bagian dari kitab suci adalah hasil adaptasi atau reinterpretasi dari mitologi dan sejarah sebelumnya. Dalam bagian ini, Al-Majidi juga mengkritik pendekatan tradisional yang menolak kemungkinan adanya pengaruh budaya dan sejarah terhadap komposisi teks-teks suci.
Selanjutnya, al-Majidi menguraikan kitab ini dalam beberapa bab. Bab Satu: Bapak-bapak/Nabi-nabi/Raja-raja Sebelum Banjir. Bab pertama ini membahas tokoh-tokoh dalam Alkitab yang memiliki kemiripan dengan raja-raja Sumeria yang disebutkan dalam Daftar Raja Sumeria. Sebelum peristiwa banjir besar, menurut catatan Sumeria, terdapat sejumlah raja yang memerintah dalam periode yang sangat panjang—ribuan tahun lamanya. Al-Majidi mengajukan argumen bahwa beberapa dari mereka mungkin telah menjadi inspirasi bagi figur-figur dalam Alkitab, seperti Adam, Seth, Enos, dan Metusalah.
Bagian ini juga mengeksplorasi bagaimana konsep kerajaan ilahi dalam Sumeria berkembang menjadi gagasan tentang nabi dan pemimpin spiritual dalam tradisi Yahudi. Salah satu contoh yang menarik adalah perbandingan antara Alulim, raja pertama dalam Daftar Raja Sumeria, dengan Adam, manusia pertama dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Bab Dua: Kejadian, Penciptaan Manusia, dan Silsilah Leluhur Sebelum Banjir. Dalam bab ini, Al-Majidi mengulas berbagai mitos penciptaan dari peradaban Mesopotamia dan membandingkannya dengan kisah penciptaan dalam Alkitab. Dia menguraikan bagaimana teks-teks seperti Enuma Elish dari Babilonia dan mitos Sumeria tentang penciptaan manusia memiliki kesamaan struktur dengan narasi penciptaan dalam kitab Kejadian.
Salah satu aspek menarik dalam bab ini adalah pembahasan mengenai Kain dan Abel serta garis keturunan mereka. Al-Majidi menunjukkan bahwa konflik antara Kain (seorang petani) dan Abel (seorang penggembala) mencerminkan konflik sosial yang lebih luas di dunia kuno antara masyarakat agraris dan masyarakat nomaden.
Bab Tiga: Raja-Raja Pra-Banjir dalam Daftar Raja Sumeria. Bab ini secara khusus membahas daftar raja-raja yang disebutkan dalam sumber-sumber Sumeria dan Babilonia, termasuk berbagai versi kisah banjir besar yang tercatat dalam sejarah Mesopotamia. Teks-teks seperti Epos Atrahasis dan Epos Gilgamesh menceritakan kisah pahlawan yang selamat dari banjir besar—sebuah tema yang sangat mirip dengan kisah Nabi Nuh dalam Alkitab.
Al-Majidi membandingkan berbagai versi kisah banjir dari Mesopotamia dengan kisah dalam kitab Kejadian, menunjukkan bagaimana elemen-elemen tertentu dalam kisah Alkitab mungkin berasal dari sumber-sumber yang lebih tua. Misalnya, dalam Epos Gilgamesh, Utnapishtim diberi peringatan oleh dewa Enki tentang banjir yang akan datang dan diperintahkan untuk membangun sebuah bahtera—sebuah narasi yang sangat mirip dengan kisah Nabi Nuh.
Bab Empat: Adam dan Hawa dalam Mitologi Mesopotamia. Dalam bab ini, Al-Majidi membahas bagaimana kisah Adam dan Hawa memiliki banyak kesamaan dengan mitos-mitos penciptaan manusia dalam tradisi Sumeria dan Babilonia. Salah satu tokoh yang disebut adalah Enki, dewa kebijaksanaan dalam mitologi Sumeria, yang dalam beberapa aspek memiliki kemiripan dengan konsep "pencipta" dalam tradisi Yahudi.
Al-Majidi juga mengulas konsep "ular" dalam kisah Adam dan Hawa, yang dalam beberapa tradisi Mesopotamia digambarkan sebagai makhluk yang membawa pengetahuan atau kehidupan kekal. Dalam beberapa teks Sumeria, ular bahkan dikaitkan dengan kebijaksanaan dan keabadian, sebuah konsep yang bertolak belakang dengan citra negatif ular dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Bab Lima hingga Bab Dua Belas: Silsilah Leluhur dan Perbandingan dengan Raja-Raja Sumeria. Bagian ini menggali lebih dalam tentang tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab Kejadian dan membandingkannya dengan daftar raja-raja dalam catatan sejarah Sumeria dan Babilonia. Tokoh seperti Seth, Enos, Kenan, Mahalalel, Yared, Henokh, Metusalah, dan Lamekh dianalisis dari perspektif sejarah dan mitologi.
Salah satu bagian yang menarik dalam bab ini adalah pembahasan mengenai Henokh (Idris dalam tradisi Islam), yang dalam beberapa teks kuno memiliki kemiripan dengan Hermes dalam mitologi Yunani dan tokoh-tokoh bijak dalam peradaban Sumeria.
Bab Tiga Belas: Nuh dan Kisah Banjir dalam Berbagai Tradisi. Bab ini memberikan analisis perbandingan antara kisah Nuh dalam Alkitab dan berbagai versi kisah banjir dalam budaya Mesopotamia. Al-Majidi menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh seperti Ziusudra (dalam sumber Sumeria), Atrahasis (dalam teks Babilonia), dan Utnapishtim (dalam Epos Gilgamesh) memiliki banyak kesamaan dengan kisah Nuh.
Dalam kesimpulan yang merupakan bagian akhir kitabnya, Al-Majidi menegaskan bahwa banyak kisah dalam kitab Kejadian tampaknya merupakan adaptasi dari narasi yang sudah ada dalam budaya Sumeria dan Babilonia. Dia menekankan perlunya pendekatan kritis dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama dalam konteks interaksi budaya dan sejarah yang lebih luas.
Buku ini menawarkan perspektif baru dalam memahami hubungan antara mitologi, sejarah, dan agama, serta bagaimana teks-teks keagamaan berkembang dari pengaruh budaya yang lebih tua. Melalui pendekatan berbasis arkeologi dan filologi, Al-Majidi mengajak pembaca untuk melihat kitab suci bukan hanya sebagai wahyu ilahi, tetapi juga sebagai bagian dari proses historis yang lebih luas.
Dari kesekuruhan isi buku dapat diuraiksn bahwa Dr. Khazal Al-Majidi ini mengusung gagasan yang cukup provokatif, terutama dalam upayanya menelusuri asal-usul agama pertama berdasarkan bukti arkeologi. Pendekatan yang ia gunakan tampaknya berbasis pada kajian komparatif antara teks-teks kitab suci dan temuan sejarah dari peradaban kuno, khususnya Sumeria.
Salah satu poin menarik dari pengantar ini adalah klaim bahwa tokoh-tokoh nabi sebelum banjir dalam kitab suci memiliki kesamaan dengan raja-raja Sumeria dalam daftar raja mereka. Jika benar, ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai bagaimana sejarah dan mitologi saling bercampur dalam tradisi agama-agama besar.
Di sisi lain, ia juga menyoroti bagaimana para ulama dan pemuka agama di masa lalu sangat cermat dalam mengadaptasi dan menyusun teks-teks suci, sering kali dengan modifikasi yang begitu halus sehingga sulit dideteksi. Hal ini mengarah pada pertanyaan besar tentang otentisitas dan asal-usul teks-teks keagamaan yang kita kenal saat ini.
Pendekatan kritis terhadap teks kitab suci memang bukan hal baru dalam studi agama komparatif dan arkeologi, terutama setelah munculnya berbagai temuan yang menunjukkan adanya kemiripan antara narasi-narasi dalam Alkitab dengan mitologi dan sejarah kuno, seperti Epic of Gilgamesh. Namun, buku ini tampaknya berusaha membawa kajian tersebut lebih jauh dengan menyusun argumen yang lebih sistematis tentang hubungan antara nabi-nabi awal dan para penguasa Sumeria.
Namun, tantangan utama dari penelitian semacam ini adalah bagaimana memastikan bahwa analisis yang dilakukan tetap dalam kerangka ilmiah dan tidak jatuh ke dalam spekulasi yang berlebihan. Mengingat bahwa banyak dari data yang digunakan berasal dari peradaban kuno yang penuh dengan unsur mitologis, diperlukan metode yang ketat agar kesimpulan yang diambil tidak hanya berdasarkan kemiripan linguistik atau asumsi yang belum terverifikasi.
Dari segi akademik, kajian seperti ini memang layak mendapat perhatian, terutama bagi mereka yang tertarik pada sejarah agama, filsafat, dan arkeologi. Namun, bagi kalangan yang memiliki keyakinan kuat terhadap otoritas kitab suci, gagasan dalam buku ini mungkin akan dianggap kontroversial atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan mereka.
Terlepas dari itu, buku ini tampaknya menawarkan perspektif yang menarik dan menantang pembaca untuk melihat kembali sejarah keagamaan dari sudut pandang yang lebih kritis dan berbasis bukti. Akan menarik untuk melihat bagaimana argumen yang dibangun dalam buku ini dikembangkan lebih lanjut dan bagaimana respons dari komunitas akademik serta keagamaan terhadap gagasan yang diajukan oleh Dr. Khazal Al-Majidi.
Kitab karya Dr. Khazal Al-Majidi menawarkan perspektif arkeologis dan historis terhadap asal-usul nabi-nabi sebelum Banjir Besar yang disebutkan dalam kitab suci. Dengan pendekatan berbasis penelitian sejarah kuno, terutama dari peradaban Sumeria, penulis mengajukan gagasan bahwa figur-figur dalam teks agama memiliki kesamaan dengan raja-raja dalam Daftar Raja Sumeria, menunjukkan kemungkinan adanya rekonstruksi historis dalam tradisi keagamaan. Buku ini menantang pandangan konvensional tentang kitab suci, menyoroti intertekstualitas antara mitologi dan teks keagamaan, serta mengajukan interpretasi baru yang dapat memicu perdebatan ilmiah maupun teologis. Meski gagasannya menarik dan didukung oleh referensi arkeologis yang luas, pendekatan ini juga dapat menuai kontroversi, terutama di kalangan yang meyakini otoritas absolut teks agama. Dengan gaya tulisannya yang analitis dan argumentatif, buku ini menjadi bacaan yang menggugah bagi mereka yang tertarik pada kajian sejarah agama, mitologi, dan arkeologi peradaban kuno.
Kitab karya al-Majidi ini adalah sebuah penelitian mendalam yang mengeksplorasi hubungan antara mitologi Sumeria dan kisah-kisah dalam Taurat. Dengan pendekatan multidisipliner yang mencakup arkeologi, sejarah kuno, dan kajian teks, Al-Majidi menyoroti bagaimana sepuluh raja dalam Daftar Raja Sumeria dapat bertransformasi menjadi sepuluh nabi dalam tradisi Yahudi.
Buku ini berargumen bahwa agama-agama monoteistik tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi oleh peradaban yang lebih tua, terutama Sumeria, yang merupakan salah satu peradaban tertua di dunia. Al-Majidi menelusuri jejak mitologi dan sejarah yang menghubungkan tokoh-tokoh Sumeria dengan figur-figur dalam Perjanjian Lama, menunjukkan kesamaan dalam kisah, peran, dan bahkan nama mereka.
Salah satu bagian yang menarik dalam buku ini adalah analisis perbandingan antara Utnapishtim dalam Epos Gilgamesh dan Nabi Nuh dalam Taurat, yang keduanya dikisahkan selamat dari banjir besar dengan membangun sebuah bahtera. Contoh lain adalah kemiripan antara Enmeduranki, seorang raja Sumeria yang memiliki hubungan dengan dewa-dewa dan dikatakan menerima wahyu, dengan Nabi Henokh (Idris dalam Islam).
Melalui penelitian ini, Al-Majidi tidak hanya menantang interpretasi tradisional mengenai asal-usul para nabi, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana kisah-kisah kuno diadaptasi dan disusun ulang dalam tradisi keagamaan yang lebih muda. Meskipun argumennya menarik dan didukung dengan bukti dari prasasti serta kajian filologi, buku ini juga menimbulkan perdebatan, terutama di kalangan penganut agama monoteistik yang melihatnya sebagai upaya dekonstruksi terhadap narasi keagamaan yang sakral.
Dari segi metodologi, Al-Majidi menggabungkan kajian historis dan filologis dengan pendekatan komparatif terhadap teks-teks kuno, menjadikannya sebuah bacaan yang kaya dan mendalam. Namun, karena topiknya yang kontroversial, pembaca perlu mendekatinya dengan keterbukaan intelektual serta pemahaman terhadap konteks kajian akademik modern mengenai sejarah agama.
Bagi mereka yang tertarik pada sejarah peradaban kuno, asal-usul agama, dan kajian kritis terhadap teks-teks suci, al-Anbiyâ' Sûmarîyûn adalah kitab yang provokatif dan penuh wawasan. Al-Majidi berhasil mengajak pembaca untuk meninjau kembali sejarah dengan perspektif baru, sekaligus menggugah pertanyaan mendalam tentang bagaimana narasi keagamaan berkembang sepanjang zaman.
Perspektif Alquran dan Hadis tentang Kenabian
Kitab karya Dr. Khazal Al-Majidi menawarkan pendekatan historis dan filologis dalam memahami kenabian. Buku ini mengusulkan bahwa sejumlah nabi dalam tradisi Yahudi memiliki kemiripan dengan raja-raja dalam mitologi Sumeria. Pendekatan ini berangkat dari teori evolusi religius yang menganggap bahwa konsep kenabian berkembang dari mitologi masyarakat kuno.
Dari sudut pandang Islam, konsep ini menimbulkan berbagai persoalan fundamental. Islam menegaskan bahwa kenabian bukanlah hasil evolusi sejarah, melainkan suatu ketetapan ilahi. Para nabi diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya, bukan sekadar figur mitologis yang mengalami transformasi dalam tradisi lisan.
Dalam Islam, kenabian (nubuwwah) adalah bentuk komunikasi langsung antara Allah SWT dan manusia pilihan-Nya. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah mengutus rasul di setiap zaman untuk membimbing umat:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (dengan perintah), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’.” (QS. An-Nahl: 36)
Hadis Nabi SAW juga menyebutkan jumlah nabi yang diutus Allah:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمْ وَفَّى عِدَّةُ الْأَنْبِيَاءِ؟ قَالَ: مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا
(Dari Abu Dzar RA, ia berkata: "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, berapa jumlah nabi seluruhnya?' Beliau menjawab, 'Seratus dua puluh empat ribu nabi'.") (HR. Ahmad, no. 21347)
Dari dalil-dalil ini, jelas bahwa kenabian bukanlah hasil perkembangan budaya, tetapi merupakan ketetapan dari Allah SWT.
Salah satu argumen dalam kitab Dr. al-Msjidi adalah bahwa kisah-kisah kenabian memiliki kemiripan dengan mitologi Sumeria. Misalnya, kisah banjir besar dalam Epos Gilgamesh sering dikaitkan dengan kisah Nabi Nuh AS. Namun, Islam menegaskan bahwa kisah Nabi Nuh AS bukanlah mitos, melainkan kejadian nyata:
فَأَنجَيْنَٰهُ وَأَصْحَٰبَ ٱلسَّفِينَةِ وَجَعَلْنَٰهَآ ءَايَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ
“Lalu Kami selamatkan dia (Nuh) dan orang-orang yang berada di kapal itu, dan Kami jadikan (peristiwa itu) sebagai pelajaran bagi seluruh umat manusia.” (QS. Al-‘Ankabut: 15)
Pandangan Islam juga didukung oleh Ibn Khaldun (w. 1406 M) dalam Muqaddimah-nya, di mana ia menekankan bahwa sejarah harus dibaca secara kritis. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan sejarah para nabi dengan mitologi kuno karena ada perbedaan mendasar dalam sumbernya (Ibn Khaldun, 2005: hlm. 86).
Bila ditunjau dalam perspektif dapat dijelaskan bahwa salah satu implikasi dari buku Dr. al-Majidi adalah gagasan bahwa agama-agama monoteistik berkembang dari politeisme. Namun, Islam memiliki pandangan berbeda. Konsep tauhid bukanlah hasil evolusi, melainkan ajaran asli para nabi sejak Nabi Adam AS.
Al-Qur’an menyatakan:
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ
“Manusia itu adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Ibn Taimiyyah dalam Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql menjelaskan bahwa tauhid adalah fitrah manusia, sementara politeisme muncul sebagai penyimpangan yang terjadi dalam sejarah peradaban (Ibn Taimiyyah, 1981: Jilid 1, 234).
Kitab Dr. al-Majidi memberikan sudut pandang sejarah yang menarik, tetapi umat Islam harus membaca dengan kritis. Ada beberapa alasan utama: Kenabian dalam Islam bukanlah hasil dari evolusi budaya, melainkan merupakan ketetapan Allah SWT (QS. An-Nahl: 36). Kemiripan kisah nabi dengan mitologi kuno bukan berarti nabi berasal dari mitos, melainkan menunjukkan adanya catatan sejarah yang terdistorsi dalam budaya lain (QS. Al-‘Ankabut: 15). Tauhid adalah ajaran asli sejak Nabi Adam AS, bukan perkembangan dari politeisme (QS. Al-Baqarah: 213).
Sebagai pembaca Muslim, kita harus tetap berpegang teguh pada sumber utama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, serta pemikiran ulama dan filsuf Muslim dalam memahami hakikat kenabian. Meskipun buku ini bisa menjadi bahan kajian akademik, ia tidak dapat dijadikan sebagai rujukan utama dalam memahami konsep kenabian dalam Islam.
Perspektif Filsuf tentang Kenabian
1. Al-Farâbî
Al-Farabi (w. 950 M), salah satu filsuf Muslim terkemuka dalam tradisi filsafat Islam, menawarkan pandangan yang khas tentang kenabian yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, terutama konsep Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘āl) dari Aristoteles dan Neo-Platonisme. Dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pandangan Penduduk Kota Utama), Al-Farabi menjelaskan bahwa kenabian bukan sekadar fenomena transendental, melainkan suatu proses intelektual yang melibatkan penyempurnaan akal manusia (Al-Farabi, 1985, 101).
Menurut Al-Farabi, manusia memiliki berbagai tingkat akal, mulai dari akal potensial (al-‘aql al-quwwah), akal aktual (al-‘aql al-fi‘lī), hingga akal perolehan (al-‘aql al-mustafād). Seorang nabi adalah individu yang telah mencapai tingkat akal perolehan, yang berarti ia memiliki hubungan langsung dengan Akal Aktif, sumber segala pengetahuan dan kebenaran (Al-Farabi, 1985, 110). Akal Aktif ini berfungsi sebagai jembatan antara dunia materi dan dunia intelektual, memungkinkan nabi untuk menerima ilmu tanpa perantara atau proses penalaran yang panjang sebagaimana manusia biasa.
Dengan demikian, Al-Farabi menempatkan kenabian dalam ranah intelektual. Nabi adalah seseorang yang memiliki kapasitas akal luar biasa, sehingga ia mampu menerima pengetahuan metafisik dari Akal Aktif secara spontan dan langsung. Proses ini serupa dengan cara filsuf mencapai pengetahuan tertinggi, tetapi seorang nabi memiliki keunggulan tambahan: ia juga memiliki kemampuan imajinatif yang luar biasa, yang memungkinkan dia menyampaikan wahyu dalam bentuk yang dapat dipahami oleh masyarakat umum (Al-Farabi, 1985, 125).
Selain aspek intelektual, Al-Farabi juga menekankan peran sosial kenabian. Dalam al-Siyāsah al-Madaniyyah, ia menjelaskan bahwa seorang nabi juga merupakan pemimpin ideal dalam sebuah negara yang sempurna (al-madīnah al-fāḍilah) (Al-Farabi, 1993, hlm. 76). Nabi tidak hanya berfungsi sebagai pembawa wahyu, tetapi juga sebagai pemimpin politik yang mengatur masyarakat berdasarkan hukum ilahi yang telah disesuaikannya dengan kebutuhan sosial. Dengan kata lain, nabi dalam pandangan Al-Farabi adalah seorang filsuf-raja, sebagaimana yang digambarkan dalam filsafat politik Plato dalam Republik.
Bagi Al-Farabi, masyarakat yang ideal harus dipimpin oleh seorang individu yang memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk memahami kebenaran universal. Nabi adalah sosok yang paling layak untuk peran ini karena ia tidak hanya memiliki pengetahuan tertinggi, tetapi juga mampu menyampaikannya kepada masyarakat dalam bentuk simbol, perumpamaan, dan hukum-hukum yang dapat dipahami oleh semua orang (Al-Farabi, 1993, hlm. 85).
Al-Farabi menafsirkan mukjizat dalam konteks psikologi dan metafisika. Mukjizat adalah ekspresi dari kemampuan luar biasa nabi dalam mengakses pengetahuan dari Akal Aktif dan mengomunikasikannya kepada masyarakat dengan cara yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka (Al-Farabi, 1985, hlm. 132). Dengan kata lain, mukjizat bukanlah pelanggaran terhadap hukum alam, tetapi merupakan manifestasi dari kapasitas akal dan imajinasi nabi yang superior.
Dengan demikian, pandangan Al-Farabi tentang kenabian menghubungkan aspek intelektual dan sosial. Ia melihat kenabian sebagai puncak pencapaian intelektual manusia, di mana seorang nabi memiliki hubungan langsung dengan Akal Aktif, memungkinkan dia memperoleh pengetahuan tertinggi tanpa melalui proses berpikir biasa. Nabi juga memiliki kapasitas imajinatif yang luar biasa, sehingga ia mampu menerjemahkan ilmu metafisik ke dalam bentuk simbolik dan hukum yang dapat dipahami oleh masyarakat umum. Selain itu, Al-Farabi menekankan bahwa seorang nabi adalah pemimpin politik ideal yang mengarahkan masyarakat menuju kehidupan yang baik dan berkeadilan. Al-Farabi, dengan pengaruh kuat dari filsafat Yunani, menjadikan kenabian sebagai bagian dari proses intelektual yang alami, tanpa menghilangkan dimensi spiritualnya.
2. Ibn Sînâ (Avicenna)
Kitab Buku karya Dr. Khazal Al-Majidi mengajukan hipotesis bahwa beberapa nabi dalam tradisi Yahudi dan Islam sebenarnya memiliki kemiripan dengan raja-raja dalam mitologi Sumeria. Pendekatan ini berusaha menjelaskan kenabian sebagai fenomena evolusi sosial daripada wahyu ilahi. Dalam menanggapi hipotesis ini, perspektif Ibn Sina (Avicenna, w. 1037 M) dalam The Prophecy in Islam menawarkan kerangka filosofis yang berbeda, yaitu bahwa kenabian bukanlah sekadar konstruksi sejarah, tetapi merupakan fenomena metafisik yang memiliki dasar rasional.
Dalam tinjauan ini, kita akan membandingkan konsep kenabian dalam kitab al-Majidi dengan pandangan Avicenna, khususnya dalam tiga aspek: (1) hakikat kenabian dalam filsafat Avicenna, (2) hubungan antara kenabian dan intelek aktif, serta (3) kritik terhadap pandangan bahwa kenabian adalah hasil evolusi budaya.
Dalam The Prophecy in Islam, Avicenna berargumen bahwa kenabian adalah fenomena yang bersumber dari hubungan khusus seorang manusia dengan al-‘aql al-fa‘āl (intelek aktif). Dalam sistem filsafatnya, intelek aktif adalah sumber dari segala bentuk pengetahuan dan intuisi yang tertinggi. Menurutnya, seorang nabi memiliki keistimewaan karena ia dapat menerima pengetahuan langsung dari sumber ini tanpa perlu proses berpikir yang panjang seperti manusia biasa.
"The prophet does not acquire knowledge in the way philosophers or ordinary people do; rather, he receives knowledge instantaneously, as if a door has been opened within him to the realm of pure intellect." (The Prophecy in Islam, 72)
Dengan kata lain, kenabian dalam pandangan Avicenna adalah fenomena metafisik yang terjadi karena kapasitas intelektual dan spiritual seorang nabi yang luar biasa, bukan hasil dari mitologi yang berkembang seiring waktu. Hal ini bertentangan dengan asumsi dalam kitab Anbiyâ' Sûmarîyûn Dr. al-Majidi yang menganggap kenabian sebagai konstruksi sosial dan sejarah. Avicenna menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan kenabian: (1) Tingkat intelektual (al-nubuwwah al-'aqlîyah)– Seorang nabi memiliki pemahaman mendalam tentang hakikat realitas dan hukum-hukum alam; (2) Tingkat imajinatif (al-nubuwwah al-takhyîlîyah)– Seorang nabi mampu mengungkapkan ide-ide abstrak dalam bentuk simbol, metafora, dan narasi yang dapat dipahami oleh masyarakat awam; dan (3) Tingkat mukjizat (al-nubuwwah al-i'jâzîyah) – Seorang nabi memiliki kemampuan luar biasa, seperti menyampaikan wahyu atau melakukan mukjizat, yang membuktikan otoritasnya sebagai utusan Tuhan.
Ketiga aspek ini menunjukkan bahwa kenabian bukan sekadar cerita rakyat atau evolusi dari raja-raja kuno, tetapi merupakan fenomena yang memiliki struktur rasional dan metafisik. Berbeda dengan klaim dalam Anbiyâ' Sûmarîyûn Dr. al-Majidi bahwa para nabi adalah hasil pengkultusan raja-raja kuno, Avicenna berpendapat bahwa seorang nabi mendapatkan wahyu langsung dari Tuhan melalui intelek aktif, bukan dari hasil rekayasa sosial.
Kitab Anbiyâ' Sûmarîyûn Dr. al-Majidi mendukung teori bahwa kepercayaan kepada nabi-nabi berasal dari politeisme dan mitologi Sumeria yang berevolusi menjadi monoteisme. Pendekatan ini serupa dengan teori religious evolution dalam antropologi modern, yang menganggap agama sebagai hasil perkembangan budaya. Namun, Avicenna menolak gagasan bahwa monoteisme adalah hasil dari perkembangan sejarah.
"The human intellect, when it reaches its perfection, inevitably acknowledges the existence of a First Principle (Allah) and recognizes the necessity of divine guidance through prophecy ("Akal manusia, ketika mencapai kesempurnaannya, pasti akan mengakui keberadaan Prinsip Pertama (Allah) dan menyadari perlunya bimbingan ilahi melalui kenabian." (The Prophecy in Islam, 112)
Hal ini bertentangan dengan pandangan buku Dr. Majidi yang berasumsi bahwa monoteisme muncul belakangan sebagai hasil dari evolusi sistem kepercayaan politeistik. Dalam Islam, tauhid telah ada sejak zaman Nabi Adam AS, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۦنَ
“Manusia itu adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Dengan demikian, pemikiran Avicenna tentang kenabian jauh lebih kuat dibandingkan dengan hipotesis yang diajukan oleh Dr. al-Majidi. Perspektif filsafat Islam menunjukkan bahwa kenabian bukanlah produk mitologi, tetapi fenomena metafisik yang memiliki dasar intelektual dan spiritual yang kuat.
3. Al-Ghazâlî
Al-Ghazali memandang kenabian sebagai suatu anugerah ilahi yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia semata. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia menegaskan bahwa kenabian adalah pilihan langsung dari Allah, bukan hasil dari pencapaian intelektual manusia (Al-Ghazali, 2011, jilid 4, 300). Menurutnya, seorang nabi bukan hanya manusia yang memiliki kecerdasan luar biasa, tetapi juga seseorang yang mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah. Wahyu ini bersifat transendental dan tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui logika atau filsafat. Oleh karena itu, Al-Ghazali menolak klaim para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang berpendapat bahwa kenabian dapat dijelaskan melalui hubungan dengan Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘āl) (Al-Ghazali, 2000, 98).
Selain itu, Al-Ghazali menekankan pentingnya mukjizat sebagai bukti otentik kenabian. Dalam Al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād, ia menjelaskan bahwa mukjizat bukanlah fenomena alami yang dapat dijelaskan dengan hukum-hukum fisika, melainkan intervensi langsung dari Allah (Al-Ghazali, 1959, hlm. 165). Mukjizat menjadi pembeda utama antara nabi dan manusia biasa, karena ia berfungsi sebagai bukti nyata bahwa seseorang benar-benar diutus oleh Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya. Dalam pandangan Al-Ghazali, tanpa mukjizat, tidak ada dasar yang cukup kuat untuk menerima klaim kenabian seseorang.
Dalam kritiknya terhadap filsafat, khususnya dalam Tahāfut al-Falāsifah, Al-Ghazali mengecam kecenderungan para filsuf yang terlalu mengandalkan akal dalam memahami wahyu. Ia menilai bahwa pendekatan rasional murni tidak cukup untuk memahami realitas kenabian (Al-Ghazali, 2000, hlm. 76). Filsafat, menurutnya, tidak mampu menjangkau dimensi spiritual yang menjadi inti dari kenabian. Bahkan, ia menuduh para filsuf seperti Ibn Sina dan Al-Farabi sebagai penganut gagasan yang dapat menyesatkan umat Islam karena mereka cenderung mereduksi kenabian menjadi sekadar pencapaian intelektual manusia yang luar biasa.
Dengan demikian, Al-Ghazali memandang kenabian sebagai fenomena yang tidak dapat dijelaskan hanya melalui akal dan filsafat, tetapi harus dipahami sebagai realitas ilahiah yang diberikan kepada manusia pilihan. Mukjizat menjadi bukti kenabian yang tidak dapat disangkal, dan filsafat tidak memiliki otoritas untuk menilai atau membatasi kebenaran wahyu. Pandangan ini mencerminkan pendekatan sufistik dan teologis yang menempatkan dimensi spiritual di atas rasionalitas dalam memahami konsep kenabian.
4. Ibn Rushd
Ibn Rushd, di sisi lain, menawarkan pendekatan yang lebih rasional terhadap konsep kenabian. Dalam Fasl al-Maqāl, ia menjelaskan bahwa nabi adalah individu dengan kapasitas intelektual dan imajinatif tertinggi (Ibn Rushd, 2001, 45). Menurutnya, seorang nabi bukan sekadar manusia pilihan yang dipilih secara arbitrer oleh Tuhan, tetapi seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa dalam memahami realitas melalui akalnya yang telah mencapai kesempurnaan. Dalam pandangan Ibn Rushd, kenabian dapat dijelaskan melalui konsep Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘āl), di mana nabi mampu menerima ilmu secara langsung tanpa perlu berpikir panjang seperti manusia biasa.
Selain kecerdasan intelektual, Ibn Rushd juga menekankan bahwa nabi memiliki kemampuan imajinatif yang luar biasa. Kemampuan ini memungkinkan nabi untuk mengomunikasikan wahyu dalam bentuk simbol-simbol dan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas (Ibn Rushd, 1987, 134). Dengan demikian, wahyu tidak hanya bersifat rasional bagi mereka yang memiliki pemahaman filosofis, tetapi juga dapat diterima oleh masyarakat awam melalui perumpamaan dan ajaran moral.
Selain itu, Ibn Rushd menempatkan kenabian dalam konteks sosial dan politik. Dalam Tahāfut al-Tahāfut, ia menegaskan bahwa nabi bukan hanya pembawa wahyu spiritual, tetapi juga pemimpin yang bertanggung jawab dalam menata kehidupan sosial (Ibn Rushd, 2001, 221). Hukum yang dibawa oleh nabi bukan sekadar aturan ibadah, tetapi juga mencakup aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Berbeda dengan Al-Ghazali yang menekankan pentingnya mukjizat sebagai bukti kenabian, Ibn Rushd menafsirkan mukjizat dengan pendekatan yang lebih rasional. Ia melihat mukjizat sebagai simbol yang memiliki makna filosofis, bukan sebagai pelanggaran terhadap hukum alam (Ibn Rushd, 1987, 142). Misalnya, jika dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Nabi Musa membelah laut, bagi Ibn Rushd, kejadian tersebut harus dipahami dalam konteks simbolik atau metaforis, bukan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalitas.
Dari perspektif Ibn Rushd, kenabian bukanlah sesuatu yang sepenuhnya berada di luar jangkauan akal manusia, tetapi merupakan puncak dari perkembangan intelektual seseorang. Nabi adalah manusia yang memiliki kecerdasan dan intuisi tertinggi, sehingga ia dapat memahami kebenaran dengan cepat dan menyampaikannya dengan cara yang efektif. Dengan pandangan ini, Ibn Rushd menghubungkan kenabian dengan filsafat dan menjadikannya sebagai bagian dari proses intelektual yang dapat dipahami secara rasional, bukan sekadar fenomena transendental yang tidak dapat dijelaskan.
Pandangan Al-Ghazali dan Ibn Rushd mengenai kenabian mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam filsafat Islam. Al-Ghazali menekankan aspek transendental kenabian, dengan menolak penjelasan rasional yang terlalu mengandalkan akal. Baginya, kenabian adalah anugerah ilahi yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia biasa, dan mukjizat menjadi bukti otentik yang membedakan nabi dari manusia lainnya. Di sisi lain, Ibn Rushd mengajukan pendekatan yang lebih filosofis, dengan melihat nabi sebagai individu yang mencapai kesempurnaan intelektual dan imajinatif. Ia menempatkan kenabian dalam kerangka rasional dan sosial, serta menafsirkan mukjizat dalam makna yang lebih simbolik.
Dua filsuf besar, Al-Ghazali (w. 1111 M) dan Ibn Rushd (w. 1198 M) ini, yang menawarkan pendekatan berbeda terhadap konsep ini. Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn dan Tahāfut al-Falāsifah melihat kenabian sebagai anugerah ilahi yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia semata. Ia berpendapat bahwa nabi adalah manusia pilihan yang menerima wahyu langsung dari Allah, dan mukjizat menjadi bukti autentik kenabiannya. Dalam Al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād, ia menegaskan bahwa mukjizat bukanlah kejadian alami yang bisa dijelaskan oleh hukum-hukum fisika, tetapi merupakan intervensi langsung dari Allah untuk membuktikan kebenaran wahyu-Nya. Al-Ghazali juga mengkritik para filsuf yang menganggap nabi sebagai manusia biasa dengan kecerdasan luar biasa, karena baginya, kenabian bukan hanya tentang kecerdasan tetapi juga pengalaman spiritual yang melampaui akal.
Sementara itu, Ibn Rushd dalam Fasl al-Maqāl dan Tahāfut al-Tahāfut mengajukan pendekatan rasional terhadap kenabian. Menurutnya, nabi adalah individu dengan kapasitas intelektual dan imajinatif tertinggi yang mampu menerima ilmu langsung dari Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘āl). Nabi tidak hanya memahami kebenaran secara langsung tanpa perlu berpikir panjang, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyampaikan wahyu dalam bentuk simbol yang dapat dipahami oleh masyarakat umum. Dalam pandangannya, hukum yang dibawa oleh para nabi bukan hanya sebagai tuntunan spiritual, tetapi juga sebagai aturan sosial dan politik yang mengatur kehidupan manusia secara ideal. Ibn Rushd menolak pandangan yang mereduksi kenabian menjadi fenomena mitologis atau sekadar warisan budaya, karena baginya, nabi bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pembimbing moral dan intelektual yang mengarahkan umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pandangan Al-Ghazali dan Ibn Rushd memberikan perspektif yang dapat dijadikan kritik kuat terhadap kitab al-Majidi yang berusaha mengaitkan kenabian dengan mitologi Sumeria. Al-Ghazali membantah gagasan bahwa kenabian hanyalah perkembangan budaya manusia, karena wahyu adalah sesuatu yang transenden dan tidak bisa direduksi menjadi narasi sejarah biasa. Ia menegaskan bahwa mukjizat nabi bukanlah mitos yang diadopsi dari peradaban sebelumnya, tetapi merupakan bukti konkret dari kehadiran ilahi. Ibn Rushd, meskipun lebih rasional, juga menunjukkan bahwa kenabian memiliki aspek metafisik yang tidak bisa direduksi menjadi fenomena sosial-politik semata. Baginya, kenabian adalah perpaduan antara kecerdasan tertinggi dan kemampuan imajinatif yang memungkinkan nabi untuk memahami realitas tertinggi dan menyampaikannya dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Dengan demikian, baik Al-Ghazali maupun Ibn Rushd menunjukkan bahwa konsep kenabian dalam Islam memiliki dasar intelektual dan spiritual yang kuat, yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar adaptasi dari mitologi kuno.
5. Abû Bakar al-Râzî
Al-Rāzī (Abū Bakr ar-Rāzī) memiliki pandangan yang sangat kritis terhadap konsep kenabian. Berbeda dengan mayoritas filsuf Muslim lainnya, ia meragukan perlunya wahyu sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam beberapa karyanya, ia berargumen bahwa akal manusia cukup untuk mencapai kebenaran tanpa memerlukan perantara nabi. Ia bahkan mengkritik klaim kenabian sebagai sesuatu yang dapat mengarah pada perpecahan dan konflik di antara umat manusia (Kitāb al-‘Ilm al-Ilāhī). Namun, pandangannya ini banyak mendapat kritik dari kalangan ulama dan filsuf lainnya, yang tetap menegaskan bahwa kenabian memiliki peran penting dalam memberikan panduan moral dan spiritual kepada umat manusia.
Dari berbagai pandangan filsuf Muslim ini, tampak bahwa konsep kenabian dalam Islam tidak hanya dipahami dalam kerangka teologis, tetapi juga dalam perspektif filsafat, psikologi, dan epistemologi. Para filsuf ini berusaha menjembatani antara wahyu dan rasionalitas, serta menyoroti peran nabi sebagai pemimpin intelektual dan spiritual yang membawa manusia menuju kebahagiaan tertinggi. Dalam konteks ini, pemikiran mereka memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana kenabian dapat dipahami dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Abū Bakr al-Rāzī memiliki pandangan yang kontroversial mengenai kenabian. Berbeda dengan kebanyakan filsuf Muslim yang mencoba menyelaraskan wahyu dengan rasionalitas, al-Rāzī cenderung menolak konsep kenabian sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Ia berargumen bahwa akal manusia cukup untuk memahami realitas dan mencapai kebenaran moral tanpa harus bergantung pada wahyu ilahi. Dalam Kitāb al-‘Ilm al-Ilāhī, ia menekankan bahwa Tuhan telah memberikan manusia akal sebagai alat utama untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, sehingga tidak diperlukan perantara seperti nabi untuk menyampaikan petunjuk-Nya (al-Rāzī, Kitāb al-‘Ilm al-Ilāhī).
Salah satu kritik utama al-Rāzī terhadap kenabian adalah bahwa klaim kenabian sering kali menimbulkan perpecahan di antara manusia. Ia melihat bahwa setiap nabi membawa ajaran yang berbeda, yang justru menyebabkan konflik antaragama dan perang di sepanjang sejarah. Ia berpendapat bahwa jika Tuhan benar-benar menginginkan umat manusia untuk hidup dalam kesatuan dan harmoni, seharusnya Dia memberikan satu ajaran universal yang dapat dipahami oleh semua orang tanpa perantara (al-Rāzī, Rasā’il Falsafiyyah). Oleh karena itu, ia lebih menekankan pentingnya filsafat dan ilmu pengetahuan dalam mencapai kebenaran universal, dibandingkan dengan mengikuti ajaran kenabian yang bersifat partikular.
Selain itu, al-Rāzī mengkritik keras konsep wahyu sebagai sumber pengetahuan. Ia berpendapat bahwa jika wahyu benar-benar merupakan kebenaran mutlak, maka seharusnya semua orang dapat mengaksesnya dengan cara yang sama, tanpa perlu bergantung pada segelintir individu yang mengklaim mendapatkannya. Ia membandingkan nabi dengan filsuf, di mana menurutnya seorang filsuf memperoleh pengetahuan melalui usaha intelektual yang sistematis, sementara seorang nabi hanya mengklaim menerima wahyu secara tiba-tiba tanpa proses berpikir yang rasional (al-Rāzī, Maqālah fī Mā Ba‘d at-Ṭabī‘ah).
Namun, pandangan al-Rāzī ini mendapat kritik dari filsuf Muslim lainnya, seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā, yang menegaskan bahwa kenabian bukan hanya tentang penyampaian hukum agama, tetapi juga tentang kesempurnaan akal dan jiwa manusia yang memungkinkan seorang nabi untuk menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif (al-Fārābī, al-Madīnah al-Fāḍilah; Ibn Sīnā, ash-Shifā’). Mereka berargumen bahwa kenabian bukanlah konsep yang bertentangan dengan akal, melainkan justru merupakan bentuk tertinggi dari kecerdasan manusia yang mampu menangkap kebenaran secara langsung tanpa proses penalaran yang panjang.
Meskipun pandangan al-Rāzī tentang kenabian tergolong radikal dalam tradisi filsafat Islam, pemikirannya tetap berharga dalam memperkaya diskusi tentang hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjadi salah satu suara yang menantang dogma keagamaan dan menekankan pentingnya kebebasan berpikir dalam memahami hakikat kebenaran. Namun, mayoritas filsuf dan ulama Muslim tetap mempertahankan posisi bahwa kenabian adalah bagian integral dari bimbingan ilahi bagi umat manusia yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh akal semata.
Razian Prophecy Rationalized" oleh Hüseyin Güngör, berusaha memberikan sintesis antara dua interpretasi utama terhadap pandangan Abū Bakr Muhammad bin Zakariyyā al-Rāzī (865-925) mengenai kenabian. Secara umum, Rāzī dikenal sebagai seorang pemikir bebas (freethinker) yang skeptis terhadap wahyu dan agama yang diwahyukan, dengan alasan keadilan Tuhan dan rasionalitas. Namun, beberapa akademisi belakangan ini menantang pandangan ini, dengan berpendapat bahwa Rāzī tidak se-radikal yang selama ini diasumsikan.
Artikel ini mengajukan argumen bahwa ada interpretasi alternatif tentang kenabian dalam pemikiran Rāzī yang dapat merekonsiliasi pandangan freethinker dan konservatif. Güngör berpendapat bahwa Rāzī sebenarnya mengakui kenabian dalam konteks deferensi moral (moral deference). Dalam kerangka ini, nabi berfungsi sebagai seorang ahli moral yang dapat menjadi rujukan bagi masyarakat dalam situasi tertentu. Interpretasi ini memungkinkan untuk melihat Rāzī sebagai seorang pemikir yang masih menghargai kenabian, tetapi tetap mengutamakan rasionalitas di atas segalanya. Dengan kata lain, Rāzī mengakui bahwa ada kondisi tertentu di mana individu perlu bergantung pada otoritas moral yang lebih tinggi, yaitu para nabi, karena sifat dualistik manusia yang mencakup aspek rasional dan non-rasional.
Artikel ini dimulai dengan menyoroti latar belakang intelektual Rāzī, yang dikenal luas sebagai seorang dokter dan ilmuwan. Dua karya utamanya dalam bidang kedokteran, Kitāb al-Manṣūrī fī al-ṭibb (Buku Kedokteran untuk Mansur) dan Kitāb al-Ḥāwī fī al-ṭibb (Buku Kedokteran Komprehensif), menjadi rujukan medis hingga abad ke-17 (Iskandar, 2008). Selain itu, ia juga dikenal dalam bidang alkimia, dengan karyanya Kitāb al-Asrār (Buku Rahasia) yang dianggap sebagai salah satu klasifikasi sistematis pertama tentang zat kimia dan reaksi kimia (Stapleton et al., 1917).
Di luar kedokteran dan kimia, Rāzī juga seorang filsuf produktif. Berdasarkan biografi yang ditulis oleh al-Nadīm dan Bürūnt, Rāzī menulis lebih dari 100 manuskrip tentang filsafat dan logika, meskipun sebagian besar kini telah hilang (Dodge, 1970, hlm. 703-709; Deuraseh, 2008). Dari karya-karyanya yang masih bertahan, tiga yang paling penting adalah al-Ṭibb al-Rūḥānī (Kedokteran Spiritual), Fī al-Sīrah al-Falsafiyyah (Jalan Hidup Para Filosof), dan Fī ‘Alāmāt Iqbāl al-Dawlah (Tanda-tanda Keberhasilan Negara), yang dikompilasi oleh Paul Kraus pada awal abad ke-20.
Rāzī sering dikaitkan dengan pandangan kritisnya terhadap agama dan kenabian. Ia dikenal dengan kritiknya terhadap wahyu, yang menurutnya tidak diperlukan karena akal manusia sudah cukup untuk membimbing kehidupan moral dan intelektual. Namun, Güngör menunjukkan bahwa dalam beberapa sumber primer, Rāzī sebenarnya mengakui peran tertentu bagi nabi sebagai ahli moral.
Dalam perspektif ini, kenabian bukanlah sebuah bentuk komunikasi wahyu langsung dari Tuhan kepada manusia, tetapi lebih sebagai otoritas moral yang memiliki pemahaman mendalam tentang hukum moral dan sosial. Ini berkaitan dengan konsep moral deference, yaitu keadaan di mana seseorang dengan keterbatasan rasionalnya mempercayakan keputusan moral kepada individu yang lebih ahli. Güngör berargumen bahwa konsep ini membuat Rāzī tetap dapat dianggap sebagai seorang pemikir bebas yang menekankan rasionalitas, tetapi juga memberikan ruang bagi nabi sebagai pemimpin moral dalam masyarakat.
Güngör menjelaskan bahwa kedua interpretasi yang ada—yakni pandangan bahwa Rāzī sepenuhnya menolak kenabian dan pandangan bahwa ia masih memberi tempat bagi kenabian—dapat direkonsiliasi dengan memahami posisinya dalam konteks filsafat moral. Rāzī menolak klaim kenabian berdasarkan wahyu ilahi yang supranatural, tetapi ia tetap mengakui bahwa ada individu-individu tertentu yang, karena kecemerlangan intelektual dan kebijaksanaan moralnya, dapat berperan sebagai pemimpin dalam masyarakat. Dengan demikian, Rāzī bisa disebut sebagai seorang freethinker yang tetap memberi ruang bagi figur-figur seperti nabi dalam konteks tertentu.
Artikel ini juga menekankan bahwa pendekatan Rāzī terhadap kenabian bersumber dari pandangan filosofisnya tentang dualisme manusia, yaitu adanya aspek rasional dan non-rasional dalam diri manusia. Oleh karena itu, meskipun ia menolak ide bahwa nabi memiliki akses langsung terhadap wahyu Tuhan, ia tetap mengakui bahwa individu dengan kapasitas intelektual tinggi dapat berfungsi sebagai pemimpin moral yang bijak bagi masyarakat.
Güngör menutup artikelnya dengan membahas implikasi dari reinterpretasi ini. Ia menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih seimbang tentang pemikiran Rāzī dapat memberikan wawasan baru tentang sejarah pemikiran Islam, khususnya dalam perdebatan antara rasionalisme dan tradisi keagamaan. Dengan menyoroti aspek moral dari kenabian dalam pemikiran Rāzī, artikel ini membuka kemungkinan baru dalam memahami hubungan antara akal dan wahyu dalam filsafat Islam.
Güngör melakukan sintesis menarik yang mempertemukan dua pandangan yang tampaknya bertentangan mengenai kenabian dalam pemikiran Rāzī. Güngör berhasil menunjukkan bahwa Rāzī, meskipun terkenal dengan kritiknya terhadap agama dan kenabian, sebenarnya memiliki pandangan yang lebih kompleks dan bernuansa tentang peran nabi dalam masyarakat.
Perspektif Teolog Muslim tentang Kenabian
1. Al-Maturidi, Al-Asy‘ari, dan Mu‘tazilah
Pemikiran Islam klasik memiliki berbagai pandangan mengenai konsep kenabian (nubuwwah), terutama dalam perdebatan antara teolog Ahlusunnah dan rasionalis Mu‘tazilah. Berikut adalah uraian mengenai konsep kenabian menurut Abu Mansur al-Maturidi (w. 944), Abu al-Hasan al-Asy‘ari (w. 936), serta filsuf Mu‘tazilah seperti Al-Jubba’i (w. 915) dan Al-Nazzam (w. 845).
Al-Maturidi, sebagai salah satu pendiri teologi Maturidiyyah, berpendapat bahwa kenabian adalah kebutuhan rasional yang ditetapkan oleh Allah untuk membimbing manusia. Dalam Kitab al-Tauhid, ia menegaskan bahwa manusia secara akal dapat mengetahui sebagian nilai moral dan prinsip keadilan, tetapi tidak dapat mengetahui detail syariat tanpa bimbingan wahyu (Al-Maturidi, Kitab al-Tauhid, 125-127).
Menurutnya, tanpa nabi, manusia akan terjebak dalam spekulasi dan hawa nafsu yang bertentangan. Oleh karena itu, Allah mengutus para nabi sebagai penerang bagi akal manusia, bukan untuk menggantikan fungsi akal, tetapi untuk menyempurnakannya. Nabi juga dibekali dengan mukjizat sebagai tanda otentisitas wahyunya.
Sedangkan Al-Asy‘ari, pendiri Asy‘ariyyah, memiliki pandangan serupa dengan Al-Maturidi dalam hal perlunya kenabian. Dalam Maqalat al-Islamiyyin, ia membantah pandangan rasionalis ekstrem yang menganggap manusia dapat mencapai kebenaran sepenuhnya tanpa wahyu (Al-Asy‘ari, Maqalat al-Islamiyyin, 204).
Ia juga menekankan bahwa kenabian adalah murni pemberian Allah, bukan sesuatu yang bisa diperoleh manusia dengan usaha sendiri. Dalam teologi Asy‘ariyyah, Allah memiliki kebebasan mutlak dalam memilih siapa yang akan diangkat menjadi nabi. Oleh karena itu, tidak ada hubungan antara kenabian dan kesempurnaan akal sebagaimana yang diajukan oleh filsuf.
Selain itu, Al-Asy‘ari menekankan konsep karamah bagi wali-wali Allah yang bukan nabi. Ini menunjukkan bahwa meskipun mukjizat adalah tanda kenabian, Allah juga bisa memberikan kejadian luar biasa kepada selain nabi sebagai bentuk kehendak-Nya.
Berbeda dengan teolog Ahlusunnah, para filsuf Mu‘tazilah seperti Al-Jubba’i dan Al-Nazzam menekankan bahwa kenabian bukan hanya kehendak mutlak Allah, tetapi juga sesuatu yang memiliki dasar rasional.
Al-Jubba’i berpendapat bahwa manusia wajib mengenali kebaikan dan keburukan melalui akal. Namun, karena keterbatasan akal, Allah mengutus nabi untuk menyempurnakan pemahaman manusia tentang hukum moral dan syariat (Al-Jubba’i dalam Al-Syarastani, Al-Milal wa al-Nihal, 147).
Al-Nazzam lebih radikal, dengan mengusulkan teori bahwa kenabian berkembang secara bertahap dalam sejarah peradaban manusia. Ia bahkan menyatakan bahwa nabi memiliki keunggulan intelektual yang luar biasa dan bisa mencapai kebenaran melalui pemikiran rasional sebelum menerima wahyu (Al-Nazzam dalam Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 232).
Konsep Mu‘tazilah ini lebih dekat dengan pandangan filsafat Yunani tentang manusia sebagai animal rationale yang dapat mencapai kebijaksanaan tertinggi, tetapi tetap memerlukan nabi untuk memberikan petunjuk moral yang lebih komprehensif.
Baik Al-Maturidi, Al-Asy‘ari, maupun filsuf Mu‘tazilah sepakat bahwa kenabian diperlukan bagi manusia, tetapi berbeda dalam menjelaskan bagaimana dan mengapa nabi diutus. Al-Maturidi dan Al-Asy‘ari lebih menekankan aspek ketuhanan dalam kenabian, sementara Mu‘tazilah melihat kenabian sebagai bagian dari keteraturan rasional dalam kehidupan manusia.
Perbedaan ini mencerminkan bagaimana teologi Islam berkembang dalam merespons berbagai tantangan intelektual di masanya, termasuk pengaruh filsafat Yunani dan pemikiran skeptis tentang wahyu.
2. Fakhr al-Dīn al-Rāzī
Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1210 M), seorang teolog, filsuf, dan mufasir terkemuka dalam tradisi Islam, mengembangkan pemikiran mendalam mengenai konsep kenabian. Pemikirannya tentang kenabian dapat ditemukan dalam berbagai karyanya, termasuk Al-Maṭālib al-‘Āliyah, Tafsīr al-Kabīr, dan Al-Ishārat wa al-Tanbīhāt. Dalam pandangannya, kenabian bukan sekadar fenomena spiritual, tetapi suatu keharusan logis dalam sistem hukum dan bimbingan moral bagi manusia.
Al-Rāzī memulai argumennya dengan mempertanyakan apakah manusia dapat mencapai kebenaran dan kebahagiaan tanpa bimbingan seorang nabi. Ia menolak gagasan bahwa akal manusia sudah cukup untuk menemukan kebenaran tertinggi. Menurutnya, meskipun akal memiliki potensi besar, ia tetap terbatas dalam memahami hakikat Tuhan dan kehidupan setelah kematian. Jika manusia dibiarkan tanpa wahyu, mereka akan terus berselisih mengenai prinsip-prinsip moral, hukum, dan tujuan hidup. Oleh karena itu, kenabian menjadi suatu kebutuhan rasional (ḍarūra ‘aqlīya) untuk mengarahkan manusia kepada kebenaran yang absolut (Al-Rāzī, Al-Maṭālib al-‘Āliyah, Jilid 4, 225).
Dalam Tafsīr al-Kabīr, ia menjelaskan bahwa dalam sejarah peradaban, manusia sering kali berbeda pendapat dalam menetapkan hukum yang adil dan moralitas yang benar. Hukum yang dibuat oleh manusia cenderung berubah sesuai dengan kepentingan sosial dan politik, sehingga tidak ada standar mutlak yang dapat dijadikan pegangan. Di sinilah peran kenabian menjadi esensial, karena seorang nabi membawa wahyu dari Tuhan yang memberikan hukum yang tetap dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan duniawi (Tafsīr al-Kabīr, Jilid 2, 380).
Al-Rāzī juga menegaskan bahwa klaim kenabian harus disertai dengan bukti yang meyakinkan, yakni mukjizat. Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa dan tidak dapat dijelaskan oleh hukum alam, yang menunjukkan bahwa nabi memiliki hubungan langsung dengan Tuhan. Ia membandingkan mukjizat dengan sihir, dengan menyatakan bahwa mukjizat berasal dari kekuatan ilahi dan tidak dapat ditiru oleh manusia atau jin (Al-Maṭālib al-‘Āliyah, Jilid 6, 112).
Dalam tafsirnya, ia mengutip ayat yang menunjukkan pentingnya mukjizat dalam membuktikan kenabian, "Dan mereka berkata, 'Mengapa tidak diturunkan kepadanya suatu tanda (mukjizat) dari Tuhannya?' Katakanlah, 'Sesungguhnya tanda-tanda itu hanya berada di sisi Allah. Dan aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.'" (QS. Al-‘Ankabut: 50)
Menurutnya, mukjizat seperti tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular dan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. adalah bukti nyata dari intervensi ilahi. Tanpa mukjizat, seseorang tidak dapat dibedakan dari orang biasa yang mengaku sebagai nabi. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa mukjizat adalah syarat fundamental dalam kenabian (Tafsīr al-Kabīr, Jilid 3, 290).
Dalam teologi Islam, sering muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengutus nabi dan tidak langsung membimbing manusia melalui ilham kepada setiap individu. Al-Rāzī menjawab bahwa kenabian adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada manusia, sebagaimana firman Allah, "Rasul-rasul itu adalah pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia terhadap Allah setelah rasul-rasul itu diutus." (QS. An-Nisa: 165)
Dengan adanya nabi, manusia mendapatkan bimbingan yang jelas dalam menjalankan kehidupan sesuai dengan kehendak Tuhan. Tanpa wahyu, manusia akan saling berselisih dalam memahami tujuan hidup dan tata aturan sosial (Tafsīr al-Kabīr, Jilid 3, 290).
Al-Rāzī juga berdebat dengan para filsuf yang menganggap kenabian sebagai sekadar ekspresi dari kesempurnaan intelektual manusia. Beberapa filsuf, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, berpendapat bahwa seorang nabi hanyalah individu dengan kemampuan intelektual dan imajinasi yang sangat tinggi, yang memungkinkannya menerima kebenaran universal dan menyampaikannya kepada masyarakat.
Al-Rāzī menolak pandangan ini dengan menyatakan bahwa kenabian bukan hanya soal kecerdasan, tetapi melibatkan hubungan langsung dengan Tuhan melalui wahyu. Ia menegaskan bahwa meskipun para filosof dapat mencapai pemahaman yang tinggi tentang metafisika, mereka tetap tidak bisa mengetahui hukum-hukum Tuhan secara pasti tanpa bimbingan wahyu (Al-Maṭālib al-‘Āliyah, Jilid 5, 145).
Ia juga mengkritik para filsuf yang menganggap wahyu sebagai hasil dari jiwa manusia yang kuat. Bagi Al-Rāzī, wahyu bukanlah produk dari pemikiran manusia, tetapi benar-benar datang dari Tuhan sebagai bentuk petunjuk ilahi yang tidak dapat dicapai hanya dengan akal spekulatif (Tafsīr al-Kabīr, Jilid 4, 210).
Selain aspek intelektual, Al-Rāzī menekankan bahwa kenabian memiliki peran utama dalam membimbing manusia secara moral dan hukum. Ia berpendapat bahwa tanpa wahyu, manusia akan kesulitan menentukan mana yang benar dan salah secara mutlak. Ia mengutip firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca keadilan, agar manusia dapat menegakkan keadilan." (QS. Al-Hadid: 25)
Menurutnya, hukum-hukum yang dibawa oleh para nabi bukan hanya untuk urusan spiritual, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang adil dan harmonis. Ia menekankan bahwa tanpa hukum ilahi, manusia akan cenderung mengikuti hawa nafsu dan kepentingan pribadi yang dapat merusak tatanan sosial (Tafsīr al-Kabīr, Jilid 5, 320).
Dengan demikian, pemikiran Al-Rāzī tentang kenabian mencerminkan pendekatan yang sistematis dan rasional. Ia menegaskan bahwa kenabian adalah suatu kebutuhan karena akal manusia terbatas dalam memahami kebenaran absolut. Nabi diutus sebagai rahmat bagi manusia untuk memberikan pedoman hidup yang benar. Ia juga menekankan pentingnya mukjizat sebagai bukti otentik kenabian dan menolak pandangan filosofis yang menganggap kenabian sebagai hasil dari kecerdasan manusia semata.
Dengan demikian, Al-Rāzī melihat kenabian sebagai manifestasi dari kasih sayang dan hikmah Tuhan dalam membimbing manusia. Tanpa nabi dan wahyu, manusia akan terjebak dalam perselisihan tanpa akhir dalam menentukan kebenaran, sehingga kenabian menjadi pilar utama dalam kehidupan spiritual dan sosial manusia.
3. Abū Ḥātim al-Rāzī
Dalam buku The Proofs of Prophecy karya Abū Ḥātim al-Rāzī dalam edisi paralel Arab-Inggris yang diterjemahkan dan dianotasi oleh Tarif Khalidi, buku merupakan salah satu teks penting dalam sejarah intelektual Islam, khususnya dalam kajian mengenai konsep kenabian dan perdebatan antara filsafat dan agama. Fokus utama buku ini adalah pembelaan Abū Ḥātim terhadap konsep kenabian dalam Islam serta kritiknya terhadap filsafat rasionalistik yang diwakili oleh Abū Bakr al-Rāzī, seorang filsuf, dokter, dan ilmuwan Muslim abad ke-10.
Buku ini mengisahkan perdebatan antara dua tokoh besar: Abū Ḥātim al-Rāzī, seorang dāʿī Ismāʿīlī yang membela kenabian dan agama, serta Abū Bakr al-Rāzī, yang dikenal dengan pemikirannya yang mengutamakan akal dan pengalaman empiris dalam memahami dunia. Buku ini terdiri dari tujuh bagian, di mana setiap bagian berisi sanggahan Abū Ḥātim terhadap pandangan Abū Bakr al-Rāzī.
Salah satu tema utama yang dibahas adalah apakah wahyu dan kenabian diperlukan bagi manusia atau apakah akal sudah cukup untuk mencapai kebenaran. Abū Ḥātim menegaskan bahwa ilmu sejati hanya dapat diperoleh melalui wahyu yang dibawa oleh para nabi, sedangkan Abū Bakr al-Rāzī, menurutnya, menolak kenabian dan menganggap bahwa manusia dapat mencapai pengetahuan melalui akal tanpa perantara wahyu. Dalam perdebatan ini, Abū Ḥātim juga menolak klaim bahwa para nabi memiliki kesalahan dan bahwa agama adalah sumber konflik yang menyebabkan perpecahan di antara manusia.
Abū Ḥātim banyak mengkritik pemikiran Abū Bakr al-Rāzī, terutama dalam hal kepercayaan terhadap kenabian. Menurutnya, Abū Bakr meremehkan peran wahyu dan menganggap para nabi tidak memiliki otoritas khusus dalam menyampaikan kebenaran. Dalam argumennya, Abū Ḥātim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sejati tidak dapat dicapai hanya dengan akal semata, melainkan harus dilandasi oleh wahyu yang datang dari Tuhan. Ia juga menegaskan bahwa nabi-nabi membawa ajaran yang diperlukan untuk keselamatan manusia, sementara filsafat rasionalistik tidak mampu memberikan panduan moral yang benar-benar efektif.
Di sisi lain, Tarif Khalidi mencatat bahwa banyak pemikiran Abū Bakr al-Rāzī yang dituduhkan oleh Abū Ḥātim sebenarnya tidak ditemukan dalam karya-karya yang masih ada. Beberapa studi akademik modern menunjukkan bahwa Abū Bakr al-Rāzī tidak secara eksplisit menolak konsep kenabian, melainkan lebih kritis terhadap institusi agama yang sering digunakan untuk kepentingan politik dan sosial. Beberapa pandangan "heretik" yang dikaitkan dengannya kemungkinan besar merupakan interpretasi yang berlebihan atau disalahpahami oleh lawan-lawannya.
Dalam membela kenabian, Abū Ḥātim menggunakan berbagai referensi dari kitab suci, termasuk Al-Qur’an dan Alkitab, untuk mendukung klaimnya. Ia juga mengkritik pemikiran Yunani, seperti yang diajarkan oleh Euclid, Ptolemy, dan Galen, dengan menegaskan bahwa ilmu yang mereka kembangkan tidak dapat menggantikan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Pendekatan ini mencerminkan pola polemik dalam tradisi Islam klasik, di mana pemikiran Yunani sering dikritik sebagai sumber kekeliruan dibandingkan dengan ajaran Islam yang dianggap lebih komprehensif.
Namun, Tarif Khalidi juga menunjukkan bahwa argumentasi Abū Ḥātim tidak selalu konsisten dan terkadang lebih bersifat apologetik daripada filosofis. Misalnya, ia menolak validitas ilmu pengetahuan Yunani tetapi tetap menggunakan beberapa konsep mereka dalam membangun argumennya. Selain itu, ia cenderung menggambarkan Abū Bakr al-Rāzī sebagai sosok yang menentang agama secara total, meskipun bukti-bukti dari karya-karya Abū Bakr yang masih ada tidak sepenuhnya mendukung klaim ini.
Secara keseluruhan, buku The Proofs of Prophecy karya Abū Ḥātim al-Rāzī merupakan teks penting dalam perdebatan klasik mengenai kenabian dalam Islam. Buku ini menggambarkan ketegangan antara pemikiran filsafat dan teologi dalam dunia intelektual Islam abad pertengahan. Perdebatan antara Abū Ḥātim dan Abū Bakr al-Rāzī juga mencerminkan isu yang lebih luas mengenai hubungan antara wahyu dan akal, sebuah tema yang terus menjadi diskusi dalam filsafat Islam hingga saat ini.
Meskipun Abū Ḥātim menampilkan argumentasi yang kuat dalam membela kenabian, kajian kritis terhadap buku ini menunjukkan bahwa interpretasi terhadap pemikiran Abū Bakr al-Rāzī masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Oleh karena itu, buku ini sebaiknya dibaca dengan mempertimbangkan berbagai perspektif, termasuk studi-studi modern yang lebih objektif mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut.
Dengan demikian, kitab karya Dr. Khazal Al-Majidi mengusulkan bahwa kenabian adalah hasil evolusi sosial dan berkaitan dengan mitologi Sumeria, sedangkan pemikiran Avicenna dalam The Prophecy in Islam justru menegaskan bahwa kenabian adalah fenomena metafisik yang bersumber dari hubungan manusia dengan Intelek Aktif. Avicenna berpendapat bahwa nabi memiliki kapasitas intelektual dan spiritual yang luar biasa, yang memungkinkan mereka menerima wahyu secara langsung.
Selain Avicenna, pemikiran Al-Ghazali dan Ibn Rushd juga memberikan kritik terhadap pendekatan historis terhadap kenabian. Al-Ghazali menekankan bahwa kenabian adalah anugerah ilahi yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan akal rasional, sedangkan Ibn Rushd lebih menyoroti aspek intelektual dan imajinatif nabi sebagai faktor utama dalam menerima wahyu.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī menegaskan bahwa kenabian adalah suatu keharusan rasional karena manusia tidak dapat mencapai kebenaran absolut hanya dengan akalnya sendiri. Ia juga menekankan peran mukjizat sebagai bukti autentik kenabian yang membedakan nabi dari tokoh-tokoh sejarah lainnya.
Secara keseluruhan, perspektif para filsuf Islam seperti Avicenna, Al-Ghazali, Ibn Rushd, dan Al-Rāzī menunjukkan bahwa kenabian bukanlah sekadar produk evolusi budaya atau mitologi kuno, melainkan fenomena metafisik yang memiliki dasar intelektual, spiritual, dan rasional yang kuat. Dengan demikian, hipotesis Dr. al-Majidi kurang dapat diterima dalam kerangka filsafat Islam yang lebih luas.
Pandangan Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Abū Bakr al-Rāzī mengenai kenabian menunjukkan dua pendekatan yang sangat kontras dalam tradisi intelektual Islam.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī menegaskan bahwa kenabian adalah suatu keharusan rasional karena akal manusia terbatas dalam memahami kebenaran absolut. Ia berargumen bahwa tanpa wahyu, manusia akan terus berselisih dalam menentukan prinsip moral dan hukum. Ia juga menekankan bahwa mukjizat adalah bukti autentik kenabian yang membedakan nabi dari manusia biasa. Bagi al-Rāzī, kenabian bukan sekadar fenomena intelektual, tetapi juga manifestasi dari hikmah dan kasih sayang Tuhan dalam membimbing umat manusia secara spiritual dan sosial.
Sebaliknya, Abū Bakr al-Rāzī mengkritik konsep kenabian dan berpendapat bahwa akal manusia sudah cukup untuk memahami realitas dan kebenaran moral tanpa perlu bergantung pada wahyu ilahi. Ia melihat kenabian sebagai sumber perpecahan karena perbedaan ajaran yang dibawa oleh para nabi. Selain itu, ia menolak gagasan bahwa wahyu adalah sumber pengetahuan mutlak, sebab jika benar demikian, semua manusia seharusnya dapat mengaksesnya tanpa perantara.
Meskipun berbeda pandangan, kedua pemikir ini berkontribusi dalam perdebatan filosofis mengenai hubungan antara akal dan wahyu dalam Islam. Fakhr al-Dīn al-Rāzī menekankan perlunya kenabian sebagai bimbingan ilahi yang melampaui keterbatasan akal manusia, sedangkan Abū Bakr al-Rāzī lebih mengedepankan rasionalitas sebagai jalan utama menuju kebenaran.
4. Ibn Taymîyah dan Ibn Qayyim
Dalam buku Ibn Taymiyyah Expounds on Islam, salah satu aspek yang sangat ditekankan oleh Ibn Taymiyyah adalah kritiknya terhadap pemikiran filsafat, terutama dalam memahami konsep kenabian. Ia menolak keras cara para filsuf Muslim, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ikhwan al-Safa, yang menafsirkan kenabian dalam kerangka filsafat Yunani, terutama dalam hubungan dengan teori akal aktif Aristotelian dan Neoplatonisme.
Para filsuf Muslim klasik sering kali menafsirkan kenabian sebagai pencapaian intelektual tertinggi yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan dari akal aktif. Menurut mereka:
Kenabian bukanlah wahyu dalam arti komunikasi langsung dari Tuhan, tetapi hasil dari kemampuan luar biasa seorang individu dalam memahami realitas metafisik.
Nabi digambarkan sebagai individu dengan daya imajinasi yang sangat kuat, sehingga ia mampu menerjemahkan kebenaran intelektual dalam bentuk simbol, mitos, atau aturan hukum yang dapat dipahami oleh masyarakat awam. Wahyu dan syariat hanya merupakan alat untuk mengatur kehidupan sosial dan politik, bukan kebenaran mutlak dari Tuhan.
Ibn Sina, misalnya, mengajukan teori bahwa nabi adalah individu dengan akal yang paling sempurna, yang memiliki hubungan langsung dengan Aql al-Fa‘āl (Akal Aktif) dan mampu mengubah pengetahuan universal menjadi bentuk yang dapat dipahami oleh manusia biasa. Pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat Neoplatonik dan gagasan Aristotelian tentang intelek dan realitas yang berjenjang (Ansari, 2000: 240).
Ibn Taymiyyah menolak gagasan ini secara fundamental dan menganggapnya sebagai penyimpangan dari ajaran Islam yang benar. Ia mengajukan beberapa kritik utama terhadap filsafat kenabian ala Ibn Sina dan Al-Farabi.
Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa kenabian bukanlah hasil dari pencapaian intelektual manusia, melainkan pemberian langsung dari Allah kepada individu pilihan-Nya. Wahyu tidak bisa direduksi menjadi sekadar "intuisi intelektual" atau hasil refleksi akal manusia. Ia menyatakan bahwa konsep kenabian dalam Islam adalah komunikasi langsung antara Allah dan para nabi melalui malaikat Jibril, bukan hasil kontemplasi metafisik manusia (Ansari, 2000: 242).
Menurutnya, para filsuf merendahkan kedudukan nabi dengan menjadikannya setara dengan seorang pemikir yang sangat cerdas, padahal dalam Islam, nabi adalah perantara langsung antara Tuhan dan manusia.
Para filsuf sering kali menafsirkan mukjizat sebagai fenomena yang terjadi secara alami atau sebagai kemampuan luar biasa dari seorang individu yang sangat cerdas. Ibn Sina, misalnya, menolak bahwa mukjizat adalah peristiwa di luar hukum alam, dan lebih melihatnya sebagai kemampuan mental atau pengaruh sugesti yang kuat (Ansari, 2000: 244).
Ibn Taymiyyah mengkritik keras pandangan ini, dengan menegaskan bahwa mukjizat adalah bukti kenabian yang diberikan oleh Allah sebagai tanda otentik bahwa seorang nabi benar-benar menerima wahyu. Mukjizat bukanlah sekadar fenomena psikologis atau hasil dari kekuatan pikiran, tetapi suatu intervensi ilahi yang melampaui hukum alam.
Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Sina menganggap bahwa hukum-hukum agama hanyalah bentuk simbolis dari kebenaran filosofis yang lebih tinggi. Dengan kata lain, mereka melihat hukum syariat sebagai aturan sosial yang dibuat agar manusia awam dapat memahami realitas dengan cara yang sederhana.
Ibn Taymiyyah menolak keras pemisahan antara filsafat dan syariat ini. Baginya, wahyu bukanlah sekadar simbol yang dibuat untuk menyesuaikan ajaran agama dengan pemahaman manusia biasa, tetapi merupakan kebenaran mutlak dari Allah yang harus diterima tanpa tafsiran yang mereduksinya menjadi alegori filosofis. Ia menganggap bahwa sikap para filsuf ini melemahkan keimanan dan membuka jalan bagi relativisme dalam memahami agama (Ansari, 2000: 246).
Salah satu klaim utama para filsuf adalah bahwa nabi adalah seseorang dengan daya imajinasi yang luar biasa, yang mampu menerjemahkan realitas intelektual ke dalam bentuk cerita dan hukum-hukum yang dapat dipahami oleh orang awam. Ibn Sina, misalnya, menyatakan bahwa nabi menyusun ajarannya berdasarkan pengalaman mistik dan intuisi intelektualnya, lalu menyampaikannya dalam bentuk narasi yang mudah diterima masyarakat umum.
Ibn Taymiyyah menganggap pemikiran ini sebagai penghinaan terhadap kenabian. Ia menegaskan bahwa nabi bukanlah seorang penyair atau ahli retorika yang sekadar menyusun cerita untuk menyampaikan makna yang lebih dalam. Sebaliknya, nabi menerima wahyu yang jelas dan benar-benar berasal dari Allah, bukan hasil dari daya imajinasinya sendiri. Dalam pandangannya, filsafat telah mereduksi kenabian menjadi sekadar fenomena psikologis atau sosial, yang bertentangan dengan konsep wahyu dalam Islam (Ansari, 2000: 248).
Ibn Taymiyyah melihat bahwa pandangan filsafat tentang kenabian tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena memiliki beberapa konsekuensi teologis yang serius: Pertama, menghapuskan kebutuhan terhadap wahyu: Jika kenabian hanya dianggap sebagai bentuk pencerahan intelektual, maka manusia tidak perlu lagi mengikuti wahyu dan cukup mengandalkan akal mereka sendiri. Kedua, membuka jalan bagi relativisme agama: Jika hukum-hukum syariat hanya dianggap sebagai simbol atau metafora, maka setiap orang dapat menafsirkannya sesuka hati tanpa mengikuti aturan yang tetap. Ketiga, merendahkan status nabi: Jika nabi hanya dianggap sebagai pemikir brilian dengan daya imajinasi tinggi, maka kedudukan mereka sebagai utusan Allah yang menyampaikan kebenaran mutlak menjadi tidak relevan.
Dengan demikian, Ibn Taymiyyah dalam menegaskan bahwa kenabian adalah konsep fundamental dalam Islam yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar fenomena intelektual atau psikologis seperti yang dilakukan oleh para filsuf Muslim. Ia dengan tegas menolak pandangan Ibn Sina, Al-Farabi, dan lainnya yang menganggap kenabian sebagai puncak pencapaian intelektual manusia dan bukan sebagai wahyu ilahi yang otentik.
Baginya, kenabian adalah komunikasi langsung antara Allah dan para nabi yang memiliki bukti konkret dalam bentuk wahyu dan mukjizat. Kritik Ibn Taymiyyah ini menunjukkan bagaimana ia mempertahankan kemurnian ajaran Islam dari pengaruh pemikiran Yunani yang masuk melalui filsafat Islam. Pandangan ini tetap relevan dalam diskusi teologi Islam modern, terutama dalam perdebatan antara agama dan filsafat.
Pembahasan tentang bukti kenabian (dalāʾil al-nubuwwa) dalam Islam telah menjadi salah satu isu utama dalam teologi Islam, terutama dalam perdebatan antara kalangan mutakallimūn, filosof, dan ulama hadis. Secara umum, ada dua pendekatan utama dalam menjelaskan kenabian. Pertama, pendekatan rasional dan filosofis yang menekankan pembuktian kenabian berdasarkan akal dan teori metafisika, sebagaimana dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina (Davidson, 1992). Kedua, pendekatan berbasis wahyu dan mukjizat yang melihat bukti kenabian dalam keabsahan teks wahyu, pengaruh sosial dari ajaran nabi, serta mukjizat yang diberikan Allah (Rahman, 1979).
Di antara ulama yang membahas secara mendalam tentang bukti kenabian adalah Ibnu Taimiyyah (661/1263–728/1328), seorang pemikir dan teolog Hanbali yang terkenal dengan kritiknya terhadap filsafat Yunani dan ilmu kalam. Dalam karyanya al-Nubuwwāt, ia menolak pendekatan filsafat yang terlalu spekulatif dan menekankan bahwa bukti kenabian harus lebih dekat dengan realitas sejarah dan pengalaman manusia (Hallaq, 1993).
Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu kritikus paling vokal terhadap filsafat Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran Yunani, khususnya gagasan yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Ia menolak cara berpikir mereka yang mencoba membuktikan kenabian melalui teori al-ʿaql al-faʿʿāl (akal aktif) dan konsep emanasi (al-fayḍ), karena menurutnya pendekatan ini tidak memiliki dasar dalam sumber-sumber Islam seperti Al-Qur'an dan hadis (Griffel, 2021).
Pertama, ia mengkritik ketergantungan para filsuf pada konsep akal aktif. Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina berpendapat bahwa kenabian adalah hasil dari hubungan intelektual antara akal manusia dan akal aktif (Gutas, 2001). Ibnu Taimiyyah menolak gagasan ini karena dianggap spekulatif dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, ia menolak penafsiran filsuf yang menafikan peran mukjizat. Ibn Sina, misalnya, menganggap mukjizat sebagai kemampuan luar biasa seorang nabi yang diperoleh melalui penyempurnaan jiwa dan hubungan dengan akal aktif (Davidson, 1992). Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa mukjizat adalah tanda langsung dari Allah dan tidak bisa dijelaskan secara naturalistik. Ketiga, ia menolak spekulasi yang berlebihan dalam filsafat kenabian. Menurutnya, banyak argumen filosofis tentang kenabinan tidak lebih dari spekulasi yang tidak dapat diverifikasi (Hallaq, 1993).
Berbeda dengan para mutakallimūn dan filsuf, Ibnu Taimiyyah menawarkan pendekatan yang lebih praktis dalam membuktikan kenabian. Ia menekankan bahwa kenabian tidak perlu dibuktikan melalui teori-teori abstrak, tetapi cukup dengan melihat realitas historis dan ajaran yang dibawa oleh seorang nabi (Griffel, 2021).
Pertama, ia menganggap kesempurnaan ajaran Nabi Muhammad sebagai bukti utama kenabiannya. Ajaran Islam memberikan pedoman hidup yang lengkap, dari aspek spiritual hingga sosial, sehingga menunjukkan bahwa ajaran ini berasal dari sumber ilahi (Rahman, 1979). Kedua, Ibnu Taimiyyah menilai bahwa transformasi sosial yang terjadi akibat dakwah Nabi Muhammad merupakan bukti kuat kenabiannya. Islam berhasil mengubah masyarakat Arab yang sebelumnya jahiliyah menjadi komunitas yang berperadaban tinggi dalam waktu singkat, yang menurutnya tidak mungkin terjadi tanpa bimbingan dari Allah (Hallaq, 1993).
Ketiga, ia menggunakan konsep al-khabar al-mutawātir sebagai bukti bahwa kenabian Muhammad adalah fakta sejarah yang tidak dapat disangkal. Khabar mutawatir adalah laporan yang disampaikan oleh banyak orang secara berulang dan luas, sehingga mustahil untuk dipalsukan (Griffel, 2021). Keempat, meskipun tidak menolak pentingnya mukjizat, Ibnu Taimiyyah menekankan bahwa mukjizat bukanlah satu-satunya dasar untuk menerima kenabian. Ia mengkritik kalangan yang hanya fokus pada aspek keajaiban fisik seperti membelah bulan atau air memancar dari jari-jari Nabi. Menurutnya, keunggulan ajaran Islam sendiri sudah cukup menjadi bukti kenabian, sedangkan mukjizat adalah tambahan yang menguatkan keyakinan orang beriman (Davidson, 1992).
Pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bukti kenabian memiliki pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran Islam, terutama di kalangan ulama Hanbali dan gerakan Salafi. Muridnya, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, mengembangkan lebih lanjut konsep ini dengan menekankan bahwa Islam sebagai ajaran yang sempurna adalah bukti terbesar dari kenabian Muhammad (Hallaq, 1993). Pemikirannya juga mempengaruhi ulama seperti Ibnu al-Wazir di Yaman, yang menggabungkan argumen rasional dengan pendekatan tekstual dalam membela kenabian.
Dalam diskursus teologi Islam kontemporer, argumen Ibnu Taimiyyah sering digunakan dalam kritik terhadap modernisme dan sekularisme, terutama dalam menolak upaya rasionalisasi agama berdasarkan standar pemikiran Barat (Griffel, 2021). Gagasan bahwa Islam tidak membutuhkan justifikasi dari filsafat Yunani atau metode rasional Barat tetap menjadi bagian dari wacana Salafi hingga hari ini.
Ibnu Taimiyyah menawarkan pendekatan yang unik dalam membahas bukti kenabian. Ia menolak pendekatan spekulatif yang didasarkan pada filsafat Yunani dan ilmu kalam, serta menekankan bahwa Islam itu sendiri adalah bukti kenabian yang paling kuat. Baginya, kebenaran wahyu tidak memerlukan pembuktian yang kompleks melalui filsafat, karena Islam telah menunjukkan validitasnya melalui sejarah, transformasi sosial, dan keunggulan ajarannya. Pendekatan ini tetap relevan hingga kini, terutama dalam diskusi tentang peran wahyu dan akal dalam memahami agama.
Dalam teologi Sunni, kajian tentang kenabian biasanya ditemukan dalam karya-karya yang disebut mubawwiyat, yang membahas institusi kenabian dan permasalahan klasik yang berkaitan dengannya. Bukti kenabian (dalāʾil al-nubuwwa) sering dikembangkan dalam tulisan-tulisan khusus yang bertujuan untuk membuktikan baik eksistensi para nabi maupun kebenaran misi kenabian Muhammad.
Secara garis besar, korpus dalāʾil al-nubuwwa dapat dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan aliran pemikiran penulisnya: Pertama, karya para tradisionalis (ahl al-ḥadīth) yang mengandalkan pelaporan mukjizat Nabi Muhammad sebagaimana ditemukan dalam hadis-hadis. Kedua, karya para teolog (ahl al-kalām) yang tidak hanya merujuk pada mukjizat, tetapi juga menggunakan argumen spekulatif dalam membahas keistimewaan dan karakteristik seorang nabi.
Pendekatan yang digunakan dalam karya-karya ini sangat bervariasi tergantung pada apakah penulisnya bertujuan untuk membuktikan eksistensi para nabi kepada mereka yang menolak konsep kenabian secara keseluruhan, atau apakah mereka ingin menegaskan validitas misi Muhammad kepada kelompok yang mengakui adanya nabi tetapi menolak klaim kerasulannya, seperti Yahudi dan Kristen (Zouggar, 2008).
Taqi al-Din Ahmad Ibn Taymiyyah (661/1263–728/1328), seorang teolog Hanbali yang terkenal, berkontribusi dalam diskusi mengenai bukti kenabian dengan cara yang berbeda dari para pendahulunya. Ia menulis dua risalah yang secara khusus membahas tema ini:
Bagian akhir dari al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ li-man Baddala Dīn al-Masīḥ (Jawaban yang Sahih terhadap Mereka yang Mengubah Agama al-Masih), sebuah karya polemik yang ditulis antara tahun 1316 dan 1321 sebagai tanggapan terhadap klaim-klaim Kristen.
Kitab al-Nubuwwāt (Prophetology), yang lebih filosofis dan berfokus pada kritik terhadap metode para teolog Asy‘ariyah dan filsuf dalam membuktikan kenabian.
Dalam al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ, Ibn Taymiyyah tampaknya mengikuti tradisi dalāʾil al-nubuwwa yang mengandalkan hadis-hadis tentang mukjizat Nabi Muhammad. Namun, setelah ditelaah lebih dalam, pendekatannya sangat unik karena menekankan aspek epistemologis yang jarang ditemukan dalam karya-karya tradisional tentang bukti kenabian. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa berita yang disampaikan melalui rantai transmisi yang sangat banyak (al-khabar al-mutawātir) memiliki nilai probatif yang setara dengan pengetahuan yang bersifat niscaya (ʿilm ḍarūrī). Ini berarti bahwa kenabian Muhammad dapat dibuktikan secara rasional tanpa perlu mengandalkan keajaiban atau mukjizat yang luar biasa (Taymiyyah, al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ, vol. 2, 1995: 124-126).
Sementara itu, dalam al-Nubuwwāt, Ibn Taymiyyah mengkritik pendekatan yang digunakan oleh mazhab Asy‘ariyah dalam membuktikan kenabian. Ia menolak gagasan bahwa mukjizat merupakan satu-satunya bukti valid bagi kenabian dan menganggap bahwa metode yang lebih meyakinkan adalah dengan membuktikan keunggulan ajaran seorang nabi dibandingkan dengan filsafat atau pemikiran manusia biasa. Dengan demikian, kenabian lebih merupakan suatu bentuk ilmu yang ditandai oleh hikmah dan hukum yang sempurna, bukan sekadar karena adanya mukjizat (Taymiyyah, al-Nubuwwāt, vol. 1, 2001: 163-170).
Murid utama Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (d. 751/1350), melanjutkan pendekatan gurunya dalam membahas bukti kenabian. Dalam berbagai karyanya, ia sering mengutip argumen Ibn Taymiyyah dan menolak pandangan Asy‘ariyah yang mengandalkan mukjizat sebagai dasar utama pembuktian kenabian.
Dalam Hidāyat al-Ḥayārā fī Ajwibat al-Yahūd wa al-Naṣārā, Ibn Qayyim membahas cara terbaik untuk membuktikan kenabian Muhammad kepada orang-orang Yahudi dan Kristen. Ia menekankan bahwa keunggulan wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad, kesempurnaan hukum Islam, dan transformasi sosial yang dihasilkan oleh ajarannya merupakan bukti paling nyata atas kenabiannya (Ibn Qayyim, Hidāyat al-Ḥayārā, 1983: 215-220).
Ibn Qayyim juga menyoroti aspek moral dan spiritual sebagai bukti kenabian. Menurutnya, sifat jujur, amanah, dan kesalehan Nabi Muhammad adalah tanda-tanda yang lebih kuat daripada mukjizat dalam membuktikan klaim kenabiannya. Ia menegaskan bahwa banyak orang masuk Islam bukan karena menyaksikan mukjizat, tetapi karena mereka melihat akhlak dan kebijaksanaan Nabi yang luar biasa (Ibn Qayyim, Miftāḥ Dār al-Saʿāda, 1985: 93-95).
Baik Ibn Taymiyyah maupun Ibn Qayyim al-Jawziyyah, menolak pendekatan tradisional yang semata-mata mengandalkan mukjizat sebagai bukti kenabian. Mereka menekankan bahwa kenabian lebih dari sekadar fenomena supranatural; ia harus dibuktikan melalui keunggulan ajaran, dampak sosial, dan metode epistemologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Pendekatan ini menjadi warisan pemikiran Ibn Taymiyyah yang terus mempengaruhi diskursus teologis dalam Islam, terutama dalam kalangan Salafi dan Hanbali kontemporer. Dengan menekankan aspek epistemologis dan praktis dalam bukti kenabian, mereka memberikan alternatif yang lebih rasional dalam menghadapi skeptisisme modern terhadap konsep kenabian.
Namun, perlu diberikan catatan kritis, bahwa Ibn Taymiyyah (661-728 H / 1263-1328 M) dikenal sebagai seorang teolog, ahli fikih, dan pemikir Islam yang sering mengkritik pemikiran filsafat, termasuk konsep kenabian yang dikembangkan oleh filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Dalam berbagai karyanya, termasuk dalam kumpulan tulisan yang diterjemahkan dalam Ibn Taymiyyah Expounds on Islam (Ansari, 2000), ia mengecam pandangan filsuf yang dianggapnya mereduksi makna kenabian menjadi sekadar fenomena psikologis atau intelektual. Namun, jika diteliti lebih dalam, kritik Ibn Taymiyyah terhadap filsuf dalam masalah kenabian mengandung beberapa bentuk salah paham atau setidaknya penyederhanaan yang berlebihan terhadap konsep yang sebenarnya lebih kompleks.
Ibn Taymiyyah beranggapan bahwa filsuf Muslim menganggap kenabian tidak lebih dari fenomena psikologis, yaitu kemampuan jiwa manusia yang luar biasa dalam menangkap kebenaran melalui akal dan imajinasi. Ia menuduh bahwa dalam perspektif filsafat, nabi bukanlah individu yang menerima wahyu dari Tuhan secara langsung, melainkan hanya seseorang yang memiliki daya intelektual dan imajinatif yang sangat kuat (Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XX, 40).
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Ibn Sina (980-1037 M), dalam Al-Shifa’, menjelaskan bahwa kenabian adalah suatu kondisi jiwa yang sempurna yang memungkinkan nabi menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘al), yang merupakan perantara antara Tuhan dan dunia manusia (Gutas, 2001: 147). Pandangan ini tidak mengesampingkan peran Tuhan dalam pewahyuan, tetapi justru menjelaskan bagaimana proses pewahyuan dapat dipahami dalam kerangka metafisik yang lebih luas.
Selain itu, Al-Farabi (872-950 M) dalam Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila menjelaskan bahwa seorang nabi bukan hanya memiliki daya intelektual yang tinggi, tetapi juga memiliki daya imajinasi yang luar biasa sehingga dapat menyampaikan kebenaran dalam bentuk yang dapat dipahami oleh masyarakat (Walbridge, 2008: 62). Ini bukan berarti nabi hanya "mengarang" wahyu, melainkan ia memiliki kapasitas jiwa yang luar biasa untuk menangkap realitas transenden dan menerjemahkannya ke dalam hukum dan ajaran yang dapat dipahami oleh umat manusia.
Ibn Taymiyyah tampaknya memahami pandangan ini sebagai penghapusan peran Tuhan dalam proses pewahyuan, padahal bagi filsuf Muslim, Tuhan tetap menjadi sumber utama ilmu dan kebenaran. Mereka hanya berusaha menjelaskan bagaimana wahyu dapat dipahami dalam konteks rasional dan metafisik yang lebih luas.
Ibn Taymiyyah juga mengkritik filsuf karena dianggap menolak mukjizat sebagai bukti kenabian. Dalam pandangannya, kenabian harus dibuktikan dengan tanda-tanda luar biasa yang menunjukkan intervensi langsung dari Tuhan, seperti membelah bulan, menghidupkan orang mati, atau mengeluarkan air dari jari-jemari (Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, III, 295).
Namun, para filsuf Muslim tidak serta-merta menolak mukjizat, tetapi mereka menafsirkannya dengan cara yang berbeda. Ibn Sina dalam Najāt menyatakan bahwa mukjizat memang merupakan bagian dari kenabian, tetapi terjadi dalam konteks hukum alam yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa nabi memiliki jiwa yang sangat kuat yang dapat mempengaruhi dunia material melalui kekuatan spiritualnya (Nasr, 2006: 183).
Pendekatan ini tidak menolak mukjizat, tetapi lebih mencoba memahami bagaimana mukjizat dapat terjadi dalam sistem alam yang ditetapkan oleh Tuhan. Ibn Taymiyyah tampaknya salah memahami pandangan ini sebagai usaha untuk mereduksi mukjizat menjadi sekadar fenomena psikologis atau ilusi belaka, padahal filsuf Muslim tetap mengakui bahwa mukjizat adalah tanda kekuasaan Tuhan, meskipun mereka mencoba menjelaskan mekanismenya secara lebih rasional.
Demikian pula, salah satu kritik utama Ibn Taymiyyah terhadap filsuf adalah anggapannya bahwa mereka menganggap hukum-hukum syariat hanya sebagai bentuk simbolik dari kebenaran yang lebih tinggi dan tidak memiliki nilai intrinsik. Ia berpendapat bahwa filsuf melihat hukum Islam sebagai alat politik semata, bukan sebagai wahyu yang harus ditaati secara mutlak (Ibn Taymiyyah, Al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, 124).
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Al-Farabi, dalam Ara’ Ahl al-Madina al-Fadila, berpendapat bahwa hukum syariat bukan sekadar simbol, tetapi memiliki fungsi nyata dalam membentuk masyarakat yang ideal (Walbridge, 2008: 72). Ia melihat bahwa nabi adalah pemimpin yang membawa ajaran ilahi untuk membimbing masyarakat menuju kebahagiaan tertinggi (al-sa‘adah), bukan sekadar pembuat aturan sosial.
Ibn Sina juga mengakui pentingnya syariat dalam menjaga ketertiban sosial dan sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan spiritual (Gutas, 2001: 154). Namun, ia menjelaskan bahwa syariat disampaikan dalam bentuk hukum-hukum yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, sementara kebenaran hakiki dapat dipahami lebih mendalam oleh kalangan yang memiliki kapasitas intelektual yang lebih tinggi.
Ibn Taymiyyah tampaknya mengartikan pendekatan ini sebagai penghapusan otoritas syariat, padahal filsuf Muslim justru berusaha memahami bagaimana hukum-hukum Islam bekerja dalam konteks intelektual dan sosial.
Ibn Taymiyyah juga menolak konsep Akal Aktif yang dikembangkan oleh filsuf Muslim, karena ia menganggap konsep ini menggantikan Tuhan sebagai sumber wahyu (Ibn Taymiyyah, Naqd al-Mantiq, 98). Menurutnya, wahyu haruslah langsung dari Tuhan tanpa perantara selain malaikat.
Namun, dalam filsafat Islam, Akal Aktif tidak menggantikan Tuhan, melainkan berfungsi sebagai perantara dalam sistem penciptaan. Ibn Sina menjelaskan bahwa Akal Aktif adalah saluran melalui mana ilmu Tuhan sampai kepada nabi, tetapi bukan berarti Akal Aktif itu independen dari Tuhan (Nasr, 2006: 190).
Kesalahpahaman Ibn Taymiyyah dalam hal ini menunjukkan bahwa ia memahami konsep filsafat dengan cara yang lebih dekat dengan teologi kalam tradisional, yang menolak segala bentuk perantara metafisik dalam proses pewahyuan.
Singkatnya, kritik Ibn Taymiyyah terhadap filsafat kenabian menunjukkan keteguhannya dalam mempertahankan pemahaman tekstualis terhadap wahyu dan kenabian. Namun, dalam beberapa hal, kritiknya tampaknya kurang akurat dalam merepresentasikan gagasan para filsuf Muslim. Pertama, filsuf Muslim seperti al-Farâbî dan Ibn Sînâ tidak menolak wahyu, tetapi mencoba menjelaskan bagaimana wahyu diterima dalam perspektif metafisik. Mukjizat tidak ditolak, tetapi ditafsirkan sebagai bagian dari hukum alam yang lebih luas. Kedua, dyariat tetap dihargai, tetapi dipahami dalam konteks sosial dan intelektual. Ketiga, Tuhan tetap menjadi sumber utama wahyu, dengan Akal Aktif sebagai perantara dalam sistem penciptaan.
Dengan demikian, meskipun Ibn Taymiyyah memiliki alasan kuat dalam mempertahankan pemahaman tradisional Islam, kritiknya terhadap filsuf sering kali berbasis pada pemahaman yang kurang tepat terhadap konsep yang mereka kembangkan.
Resume Berbagai Pandangan untuk Kitab al-Anbiyâ' al-Sumîrîyîn
Kenabian dalam Islam memiliki dasar yang kuat dalam Alquran dan hadis, di mana nabi adalah individu yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Alquran menegaskan bahwa para nabi diutus untuk membawa risalah tauhid dan memberi petunjuk moral serta hukum kepada umatnya. Salah satu ayat yang menegaskan hal ini terdapat dalam QS. Al-An‘âm: 124, yang menyebutkan bahwa Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya sebagai rasul. Selain itu, dalam QS. Al-Ahzâb: 40, ditegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah "Khatam al-Nabiyyin" atau penutup para nabi, yang menandakan berakhirnya rangkaian kenabian dalam Islam.
Dalam hadis, kenabian dijelaskan sebagai suatu karunia ilahi yang tidak dapat diperoleh melalui usaha manusia biasa, melainkan merupakan pemilihan langsung oleh Allah. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Sesungguhnya Allah memilih para rasul dari kalangan malaikat dan memilih para rasul dari kalangan manusia" (HR. Muslim, no. 2634). Hadis ini menunjukkan bahwa kenabian bukanlah sekadar hasil dari perkembangan sosial atau intelektual seseorang, melainkan berasal dari kehendak dan ketetapan ilahi. Jika kitab al-Anbiyâ' al-Sumâriyûn membahas konsep kenabian dalam konteks peradaban Sumeria, maka perlu dilakukan kajian mendalam apakah konsep tersebut sesuai dengan pemahaman Islam tentang kenabian atau sekadar fenomena budaya yang berkembang dalam masyarakat setempat.
Konsep kenabian juga menjadi perhatian utama dalam filsafat Islam, di mana para pemikir Muslim berusaha memahami bagaimana seorang nabi menerima wahyu dan bagaimana peran kenabian dalam kehidupan manusia.
Al-Fârâbî (w. 950 M) dalam Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdilah menjelaskan bahwa seorang nabi adalah individu yang memiliki kesempurnaan intelektual yang memungkinkan dirinya berhubungan dengan akal aktif (al-‘aql al-fa‘âl). Akal aktif ini berfungsi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, di mana seorang nabi mendapatkan ilmu secara langsung tanpa melalui proses berpikir rasional sebagaimana manusia biasa (Al-Fârâbî, 1985, hlm. 103). Ibn Sînâ (w. 1037 M) mengembangkan konsep ini lebih lanjut dalam al-Shifâ’, dengan menegaskan bahwa kenabian adalah puncak dari pencapaian intelektual dan spiritual manusia. Seorang nabi, menurut Ibn Sînâ, memiliki imajinasi yang sempurna sehingga mampu menerima wahyu dalam bentuk simbol-simbol yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat (Ibn Sînâ, 1956, 312).
Ibn Rushd (w. 1198 M), dalam karyanya Fasl al-Maqâl, mencoba menyelaraskan wahyu dengan akal, dengan menyatakan bahwa kenabian adalah puncak dari pemahaman manusia terhadap realitas tertinggi. Bagi Ibn Rushd, wahyu bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal, tetapi justru merupakan bentuk tertinggi dari ilmu pengetahuan yang diberikan kepada manusia yang memiliki kesiapan intelektual dan spiritual yang sempurna (Ibn Rushd, 1998, 67).
Sebaliknya, al-Ghazâlî (w. 1111 M) menolak pendekatan rasionalistik yang terlalu menekankan peran akal dalam memahami kenabian. Dalam Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, ia menekankan bahwa wahyu memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada akal dan hanya dapat dipahami melalui pendekatan spiritual dan pengalaman mistik (Al-Ghazâlî, 2005, 245). Pendekatan yang lebih skeptis terhadap kenabian dapat ditemukan dalam pemikiran Abû Bakar al-Râzî (w. 925 M), yang mempertanyakan otoritas wahyu dan menganggap bahwa akal manusia cukup untuk membimbing kehidupan tanpa perlu bergantung pada ajaran para nabi (Abû Bakar al-Râzî, 1984, 89).
Dalam teologi Islam, perdebatan tentang kenabian juga berkembang luas, terutama dalam pemikiran al-Mâturîdî (w. 944 M) dan Abû Hasan al-Ash‘arî (w. 936 M). Keduanya menegaskan bahwa kenabian adalah suatu bentuk anugerah Tuhan yang tidak bisa dicapai oleh akal manusia secara mandiri. Al-Mâturîdî dalam Kitâb al-Tawhîd berargumen bahwa manusia membutuhkan wahyu karena akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakikat kebenaran (Al-Mâturîdî, 2005, 198).
Pendekatan yang lebih filosofis terhadap kenabian dikembangkan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 1210 M), yang mencoba mengombinasikan filsafat dan teologi dengan menegaskan bahwa wahyu adalah bentuk pengetahuan tertinggi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia biasa. Sementara itu, dalam tradisi Ismâ‘îlî, seperti yang dikembangkan oleh Abû Hâtim al-Râzî (w. 934 M), kenabian dikaitkan dengan konsep imamah dan ta’wîl batin, di mana pemimpin spiritual memiliki otoritas untuk menafsirkan wahyu secara esoteris (Abû Hâtim al-Râzî, 1992, 144).
Di sisi lain, Ibn Taymîyah (w. 1328 M) menolak pendekatan spekulatif terhadap kenabian dan berpegang teguh pada interpretasi tekstualis. Dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, ia menegaskan bahwa wahyu adalah satu-satunya sumber kebenaran, bukan hasil refleksi akal atau pengalaman mistik manusia (Ibn Taymîyah, 1997, 324).
Jika kitab al-Anbiyâ' al-Sumâriyûn mengklaim adanya konsep kenabian dalam peradaban Sumeria, maka analisis filosofis dan teologis di atas dapat menjadi landasan untuk mengkritisi validitas klaim tersebut. Dalam Islam, kenabian adalah fenomena yang berasal dari wahyu Allah dan tidak sekadar tokoh-tokoh spiritual yang dihormati dalam suatu peradaban. Oleh karena itu, jika dalam kitab ini terdapat tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "nabi" dalam tradisi Sumeria, maka perlu diteliti apakah mereka benar-benar menerima wahyu dari Allah sebagaimana para nabi dalam Islam, atau hanya merupakan pemuka agama atau pemimpin spiritual yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakatnya.
Dalam perspektif filsafat Islam, dapat dipertanyakan apakah pengalaman keagamaan yang dialami oleh tokoh-tokoh Sumeria tersebut merupakan bentuk wahyu sejati atau sekadar hasil dari perkembangan budaya dan mitologi masyarakat setempat. Dari sudut pandang teologi Islam, konsep kenabian harus merujuk pada individu yang mendapatkan wahyu dari Allah, bukan sekadar pemimpin spiritual atau visioner yang dihormati dalam komunitasnya. Oleh karena itu, kajian terhadap kitab al-Anbiyâ' al-Sumâriyûn perlu dilakukan dengan pendekatan kritis yang mempertimbangkan perbedaan fundamental antara konsep kenabian dalam Islam dan dalam tradisi keagamaan Sumeria.
Kesimpulan
Konsep kenabian dalam Islam memiliki dasar yang kuat dalam Alquran dan hadis, yang menegaskan bahwa para nabi adalah individu yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu dan membimbing umat manusia. Dalam filsafat Islam, pemikiran tentang kenabian berkembang dengan berbagai pendekatan, dari yang menekankan aspek intelektual seperti dalam pemikiran al-Fârâbî dan Ibn Sînâ, hingga pendekatan yang lebih spiritual seperti dalam pandangan al-Ghazâlî. Sementara itu, dalam teologi Islam, para ulama seperti al-Mâturîdî, Abû Hasan al-Ash‘arî, dan Fakhr al-Dîn al-Râzî menegaskan bahwa kenabian adalah kebutuhan manusia untuk memahami kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal semata, sementara Ibn Taymîyah lebih menekankan pentingnya interpretasi literal wahyu.
Dalam konteks kitab al-Anbiyâ' al-Sumâriyûn, analisis kritis diperlukan untuk memahami apakah konsep kenabian dalam peradaban Sumeria sejalan dengan definisi kenabian dalam Islam atau hanya mencerminkan perkembangan budaya dan mitologi masyarakat setempat. Jika tokoh-tokoh yang disebut dalam kitab tersebut tidak menerima wahyu dari Allah, maka mereka tidak dapat dikategorikan sebagai nabi dalam pemahaman Islam. Oleh karena itu, kajian terhadap kitab ini perlu mempertimbangkan perbedaan fundamental antara konsep kenabian dalam Islam dan dalam tradisi keagamaan Sumeria, dengan tetap mengacu pada sumber-sumber utama dalam Islam serta pemikiran para filsuf dan teolog Muslim.
Referensi
Al-Farabi. (1985). Ārā' Ahl al-Madinah al-Fadilah. Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Farabi. (1993). Al-Siyāsah al-Madaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali. (1959). Al-Iqtisād fi al-I'tiqād. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
Al-Ghazali. (2000). Tahāfut al-Falāsifah. Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali. (2011). Ihyā' 'Ulūm al-Dīn. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
Al-Mājidī, K. (2018). Anbiyā’ Sūmariyyūn: Kaifa Tahawwula ‘Asharah Mulūk Sūmariyyīn ilā ‘Asharah Anbiyā’ Tawrātiyyīn? al-Markaz al-Thaqāfī li-l-Kitāb.
Ansari, Muhammad 'Abdul-Haqq (Ed.). (2000). Ibn Taymiyyah Expounds on Islam: Selected Writings of Shaykh al-Islam Taqi ad-Din Ibn Taymiyyah on Islamic Faith, Life, and Society. Islamic Foundation.
Davidson, H. A. (1992). Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect: Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect, and Theories of Human Intellect. Oxford University Press.
Griffel, F. (2021). The Formation of Post-Classical Philosophy in Islam. Oxford University Press.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works. Brill.
Hallaq, W. B. (1993). Ibn Taymiyya Against the Greek Logicians. Oxford University Press.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1983). Hidāyat al-Ḥayārā fī Ajwibat al-Yahūd wa al-Naṣārā, ed. M. al-Saqqa. Beirut: Dar al-Kutub al-ʿIlmiyyah.
Ibn Rushd. (1987). Tahāfut al-Tahāfut. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Rushd. (2001). Fasl al-Maqāl. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
Ibn Taymiyyah. (1995). Al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ li-man Baddala Dīn al-Masīḥ, ed. A. b. Hasan al-Halabi. Riyadh: Dar al-Anma.
Ibn Taymiyyah. (2001). Al-Nubuwwāt, ed. A. al-Tawiyan. Riyadh: Maktabat Adwa’ al-Salaf.
Nasr, Seyyed Hossein. (2006). Science and Civilization in Islam. Harvard University Press.
Rahman, F. (1979). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Rahman, F. (1979). Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy. University of Chicago Press.
Walbridge, John. (2008). The Leaven of the Ancients: Suhrawardi and the Heritage of the Greeks. SUNY Press.
Komentar
Posting Komentar