Membaca Fî Sabîl al-Jubn: Ironi dan Satir dalam Novel Willem Elsschot
Cak Yo
Pengantar
Sebagai seorang pembaca karya-karya sastra, saya sering menemukan kepuasan tersendiri dalam membaca novel-novel dari berbagai belahan dunia. Setiap novel membawa saya ke dunia yang berbeda, dengan budaya, pemikiran, dan cara pandang yang khas. Karya-karya sastrawan Eropa, Amerika, Arab, bahkan Indonesia yang saya baca sering kali memberi pengalaman yang beragam, baik dari segi estetika sastra maupun kedalaman filosofis yang mereka suguhkan. Membaca karya sastra dari berbagai negara selalu memberikan pengalaman yang mendalam. Saya menemukan bahwa setiap sastrawan memiliki caranya sendiri dalam menggambarkan kehidupan, perasaan, dan problematika manusia.
Sastra Eropa selalu memiliki daya tarik tersendiri, terutama dalam mengeksplorasi psikologi manusia dan isu-isu sosial. Salah satu novel yang sangat membekas bagi saya adalah The Trial karya Franz Kafka (Die Schmiede, 1925). Novel ini menggambarkan absurditas hukum dan birokrasi melalui kisah Josef K., seorang pria yang ditangkap tanpa tahu alasan penangkapannya. Setiap halaman novel ini seolah memperlihatkan bagaimana manusia sering kali terjebak dalam sistem yang tidak bisa mereka pahami.
Selain Kafka, saya juga menikmati Nausea karya Jean-Paul Sartre (Gallimard, 1938). Novel ini sangat filosofis, menggambarkan pergulatan eksistensial seorang pria bernama Antoine Roquentin yang mengalami kesadaran mendalam akan absurditas kehidupan. Gaya penceritaan Sartre begitu memikat, meskipun tema yang diangkat cukup berat. Buku ini benar-benar membuat saya merenungkan arti keberadaan dan kebebasan individu.
Dari sastrawan Rusia, Leo Tolstoy memberikan penggambaran realisme yang begitu kuat dalam War and Peace (Oxford University Press, 2010) dan Anna Karenina (Penguin Classics, 2003). Ia tidak hanya menulis cerita, tetapi juga menyisipkan filsafat kehidupan dan kritik sosial yang tajam. Anton Chekhov, dalam The Lady with the Dog (Penguin Classics, 2002) dan The Cherry Orchard (Dover Thrift Editions, 1991), menghadirkan realitas manusia yang sederhana, namun sarat makna. Ivan Turgenev dalam Fathers and Sons (Oxford University Press, 2008) membahas konflik generasi dengan mendalam. Nikolai Gogol, lewat Dead Souls (Vintage Classics, 1996) dan The Overcoat (Dover Publications, 1992), menunjukkan absurditas sosial dengan satire yang tajam. Sementara Mikhail Bulgakov, dalam The Master and Margarita (Penguin Classics, 2000), menggabungkan realisme dengan unsur fantasi yang memukau.
Dari Amerika, saya sangat mengagumi Moby-Dick karya Herman Melville (Harper & Brothers, 1851), sebuah novel epik yang menggambarkan obsesinya manusia terhadap kekuasaan dan alam. Selain itu, The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald (Scribner, 1925) menghadirkan potret tragis tentang impian dan kehampaan dalam masyarakat Amerika pada era 1920-an.
Di sisi lain, sastra Eropa juga memiliki novel yang lebih ringan tetapi tetap sarat makna, seperti Kaas (Cheese) karya Willem Elsschot. Novel ini menceritakan perjuangan seorang pria biasa yang mencoba membangun bisnis keju, tetapi justru terjerumus dalam realitas pahit dunia perdagangan. Gaya penulisan Elsschot yang satir membuat novel ini menjadi cerminan ironis dari ambisi dan kegagalan manusia.
Sedangkan novel-novel dari dunia Arab membawa pengalaman yang unik dan mendalam. Karya-karya dari kawasan ini sering kali menggabungkan spiritualitas, sejarah, dan kritik sosial dalam satu narasi yang kaya dan penuh makna. Setiap novel yang saya baca tidak hanya menghadirkan kisah yang menarik, tetapi juga memberikan wawasan mendalam tentang budaya, tradisi, dan perubahan sosial yang terjadi di dunia Arab.
Salah satu karya yang sangat berkesan bagi saya adalah The Cairo Trilogy karya Naguib Mahfouz (Everyman’s Library, 2001). Trilogi ini—terdiri dari Palace Walk, Palace of Desire, dan Sugar Street—menggambarkan kehidupan tiga generasi dalam satu keluarga di Mesir, dengan latar perubahan sosial dan politik yang berlangsung di negeri tersebut. Mahfouz dengan piawai merangkai cerita tentang tradisi, modernitas, dan konflik keluarga dengan sangat mendalam. Ia tidak hanya menyoroti pergeseran nilai dalam masyarakat, tetapi juga menunjukkan dampak kolonialisme dan nasionalisme terhadap individu serta hubungan keluarga. Dengan gaya penulisan yang realistis dan karakter yang kompleks, trilogi ini menawarkan potret yang kaya tentang kehidupan masyarakat Mesir di awal abad ke-20.
Novel Arab lain yang juga menarik adalah Season of Migration to the North karya Tayeb Salih (Heinemann, 1969). Buku ini menceritakan seorang pria Sudan yang kembali ke desanya setelah lama tinggal di Eropa. Konflik identitas, kolonialisme, dan pertentangan budaya menjadi tema utama dalam novel ini. Tayeb Salih menyoroti bagaimana dampak kolonialisme tidak hanya bersifat ekonomi dan politik, tetapi juga merasuk ke dalam psikologi individu. Gaya penulisan Salih yang puitis dan penuh simbolisme membuat novel ini begitu mengesankan, terutama dalam menggambarkan bagaimana pengalaman di dunia Barat dapat mengubah seseorang secara mendalam.
Selain novel klasik, saya juga menikmati novel-novel kontemporer seperti The Yacoubian Building karya Alaa Al Aswany (American University in Cairo Press, 2004). Novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat Mesir modern dengan segala kompleksitasnya. Dengan menggunakan sebuah gedung apartemen sebagai mikro-kosmos dari masyarakat Mesir, Al Aswany menghadirkan berbagai karakter dari berbagai latar belakang sosial yang masing-masing memiliki pergulatan hidup yang unik. Novel ini terasa realistis, tajam, dan penuh dengan kritik sosial terhadap korupsi, kemunafikan, serta ketimpangan sosial yang masih terjadi di dunia Arab. Dengan pendekatan yang berani, Al Aswany mengungkap realitas kehidupan sehari-hari yang sering kali tersembunyi di balik norma sosial yang ketat.
Dari ketiga novel ini, saya melihat bagaimana sastrawan Arab menampilkan narasi yang kaya dan kompleks, sering kali menyoroti pergolakan sosial, politik, dan budaya di dunia Arab. Tidak seperti novel-novel Barat yang lebih fokus pada eksplorasi psikologis individu, novel-novel Arab lebih cenderung menggambarkan bagaimana individu terhubung dengan sejarah, masyarakat, dan identitas kolektif mereka. Ini menjadikan pengalaman membaca novel Arab begitu berkesan, karena tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana masyarakat Arab menghadapi berbagai tantangan di tengah perubahan zaman.
Membaca karya-karya sastra dari dunia Arab juga memperkaya perspektif saya terhadap konsep peralihan zaman, konflik identitas, dan dampak kolonialisme. Melalui karya-karya Mahfouz, Salih, dan Al Aswany, saya memahami bahwa sastra bukan hanya sebuah refleksi dari realitas sosial, tetapi juga alat yang ampuh untuk mengkritik, mendokumentasikan, dan mendorong perubahan dalam masyarakat. Inilah mengapa membaca sastra dari berbagai belahan dunia sangat penting—karena ia memungkinkan kita untuk melihat dunia dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Di Indonesia, kita memiliki banyak sastrawan besar yang telah menghasilkan novel-novel monumental. Ada novel Marah Rusli dengan Sitti Nurbaya (Balai Pustaka, 1922), yang mengkritik adat dan budaya patriarki yang mengekang kebebasan perempuan. Dibandingkan dengan novel-novel roman Balai Pustaka lainnya, Belenggu karya Armin Pane terasa lebih mendalam dalam mengeksplorasi psikologi karakter dan pergeseran nilai dalam masyarakat kolonial.
Selain itu, saya juga sangat terkesan dengan Atheis karya Achdiat K. Mihardja (Balai Pustaka, 1949). Novel ini menampilkan perdebatan ideologis yang tajam antara tokoh-tokohnya, mencerminkan dinamika pemikiran di Indonesia pada masa itu. Hasan, tokoh utama novel ini, mengalami krisis spiritual setelah berinteraksi dengan teman-temannya yang berpandangan atheis dan progresif. Kisah ini bukan hanya menggambarkan pencarian jati diri, tetapi juga mengilustrasikan pertentangan antara agama, rasionalitas, dan ideologi modern.
Sementara itu, Mochtar Lubis dengan Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya, 1975) menghadirkan sebuah novel petualangan yang sarat dengan kritik terhadap sifat manusia. Kisah tentang sekelompok pemburu yang dihantui seekor harimau di tengah hutan ini sebenarnya adalah alegori tentang ketakutan, keberanian, dan pengkhianatan dalam diri manusia. Gaya penulisan Mochtar Lubis yang lugas dan penuh ketegangan membuat novel ini sangat sulit untuk dilepaskan.
Selain karya-karya klasik tersebut, saya juga menikmati novel modern seperti Pulang karya Leila S. Chudori (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). Novel ini menggambarkan kehidupan eksil politik Indonesia di Paris setelah peristiwa 1965. Dengan riset sejarah yang kuat dan alur yang mengalir, Chudori berhasil membawa pembaca ke dalam realitas pahit mereka yang terpaksa meninggalkan tanah air.
Karya Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Buru, yang terdiri dari Bumi Manusia (Hasta Mitra, 1980), Anak Semua Bangsa (Hasta Mitra, 1981), Jejak Langkah (Hasta Mitra, 1985), dan Rumah Kaca (Hasta Mitra, 1988) yang saya baca hampir tiada henti memberikan gambaran perjuangan kaum pribumi di masa kolonial dengan narasi yang sangat kuat dan emosional.
Selain itu, ada Hamka, yang novelnya membuat saya terharu membacanya, misalnya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Bulan Bintang, 1938) menghadirkan kisah cinta tragis dengan latar adat yang ketat. Tak lupa, Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk (Pustaka Jaya, 1982), yang menggambarkan kehidupan sosial pedesaan dan dampak politik terhadap masyarakat kecil.
Membaca novel-novel besar dari berbagai negara memberi saya perspektif yang luas tentang kehidupan. Setiap kisah tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi refleksi atas berbagai realitas sosial, politik, dan kemanusiaan. Bagi saya, membaca sastra adalah perjalanan tanpa batas, di mana kita dapat menjelajahi dunia melalui kata-kata dan mendalami berbagai sisi kehidupan yang mungkin tak pernah kita alami secara langsung.
Dalam dunia yang semakin global, membaca sastra dari berbagai negara bukan hanya hiburan, tetapi juga cara untuk memahami bagaimana manusia dari latar budaya yang berbeda-beda merespons kehidupan, konflik, dan harapan mereka. Dan bagi saya, petualangan dalam lembaran buku-buku novel adalah perjalanan panjang yang membuat seolah, mengutip Chairul Anwar, pujangga Angkatan '45 dalam puisinya"Aku", "Aku mau hidup seribu tahun lagi!" (lihat Chairil Anwar, "Aku" dalam Deru Campur Debu, Pustaka Rakyat, 1949).
Malam ini, aku mengira sudah malam takbiran yang menandai akhir Ramadan. Namun, ternyata hasil Sidang Itsbat menetapkan bahwa puasa masih berlanjut sehari lagi, dan salat tarawih pun harus dilakukan sekali lagi. Dalam suasana yang masih penuh ketenangan Ramadan, aku menyempatkan diri untuk membaca dan menulis seperti biasa.
Novel Fi Sabil al-Jubn karya Willem Elsschot
Kali ini, buku yang kupilih adalah sebuah novel berjudul Fi Sabil al-Jubn karya Willem Elsschot, yang diterjemahkan dari bahasa Flemish ke dalam bahasa Arab. Bahasa Flemish adalah varian bahasa Belanda yang digunakan di Flanders, Belgia. Novel ini diterjemahkan ke bahasa Arab dari judul aslinya, Kaas (Cheese) karya Willem Elsschot yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1933. Beberapa edisi selanjutnya dari novel ini diterbitkan oleh berbagai penerbit, seperti Querido. Selain itu, novel ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia dengan judul Keju. Terjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh Dr. Ahmad Al-Laithi dan ditinjau oleh Dr. Abdul Rahman Al-Sulaiman. Diterbitkan oleh Sphinx Agency pada tahun 2018, novel setebal 185 halaman ini menghadirkan refleksi kehidupan yang sarat ironi dan satir sosial khas Elsschot.
Kaas adalah novel pendek karya Willem Elsschot (nama pena Alfons de Ridder), seorang sastrawan Belgia yang terkenal dengan gaya tulisannya yang ironis, realistis, dan ekonomis. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1933 dan sejak itu menjadi salah satu karya klasik sastra Belanda. Kaas—yang dalam bahasa Belanda berarti "keju"—mengangkat kisah tentang seorang pria biasa yang mencoba meraih kesuksesan dalam dunia bisnis, tetapi justru terjebak dalam absurditas kehidupan.
Novel ini berkisah tentang Frans Laarmans, seorang pegawai kantoran di Antwerp yang menjalani kehidupan monoton. Suatu hari, ia mendapatkan kesempatan untuk keluar dari rutinitasnya dan menjadi agen penjualan keju. Dengan optimisme dan semangat baru, ia memulai petualangan bisnisnya, berharap dapat mencapai kesuksesan yang selama ini ia impikan. Namun, Frans tidak memiliki pengalaman di dunia bisnis, dan semakin ia mencoba, semakin ia terjebak dalam kebingungan dan kegagalan. Ia kesulitan menjual produk-produknya, tidak memahami strategi pemasaran, serta terjebak dalam birokrasi yang rumit. Perlahan-lahan, ia menyadari bahwa ia tidak cocok untuk dunia perdagangan, dan akhirnya ia kembali ke kehidupan lamanya sebagai pegawai kantoran.
Secara umum, Kaas adalah novel tentang kegagalan dan absurditas hidup. Frans Laarmans bercita-cita untuk meningkatkan status sosialnya dengan menjadi seorang pengusaha sukses. Namun, ia tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan, dan pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa tidak semua orang bisa sukses di bidang bisnis. Novel ini juga menyentil mentalitas borjuis yang sering kali lebih mementingkan status sosial daripada keahlian yang sesungguhnya. Frans tergoda untuk menjadi pengusaha bukan karena ia tertarik pada bisnis keju, tetapi karena ia ingin meningkatkan statusnya di mata orang lain. Salah satu kekuatan novel ini adalah gaya ironi Willem Elsschot. Ia menggambarkan bagaimana Frans, yang begitu percaya diri di awal, akhirnya terperangkap dalam lingkaran kegagalannya sendiri. Hal ini mencerminkan absurditas kehidupan, di mana impian sering kali berujung pada kebuntuan. Frans sebenarnya tidak nyaman dengan dirinya sendiri dan selalu merasa rendah diri dibandingkan dengan orang-orang yang dianggap lebih sukses. Ketidakmampuannya untuk menemukan jati dirinya membuatnya tersesat dalam usaha yang sebenarnya tidak ia pahami.
Willem Elsschot dikenal dengan gaya tulisannya yang sederhana, lugas, tetapi sangat tajam dalam menyampaikan kritik sosial. Dalam Kaas, ia menggunakan narasi orang pertama dengan bahasa yang efektif dan tidak bertele-tele. Humor satir yang halus juga menjadi daya tarik utama novel ini, menjadikannya bacaan yang ringan tetapi sarat makna. Meskipun ditulis hampir satu abad yang lalu, Kaas tetap relevan dalam konteks modern. Banyak orang masih mengalami dilema seperti Frans Laarmans: mereka ingin keluar dari pekerjaan yang digelutinya dan mencari peluang baru, tetapi sering kali tanpa persiapan yang matang. Kisah ini juga bisa dilihat sebagai kritik terhadap impian kapitalisme, di mana kesuksesan sering kali diasosiasikan dengan kemampuan berbisnis, padahal tidak semua orang cocok untuk itu.
Novel Kaas telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa, menjadikannya salah satu novel Flemish yang paling banyak diterjemahkan. Selain edisi bahasa Inggris berjudul Cheese, novel ini juga tersedia dalam berbagai bahasa asing lainnya. Dalam bahasa Ceko, Kaas diterjemahkan dan diterbitkan pada tahun 1936 oleh penerbit Julius Albert di Praha. Edisi bahasa Prancis juga tersedia, meskipun detail spesifik mengenai tanggal publikasi dan penerjemah tidak banyak disebutkan. Selain itu, novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Spanyol, dan Italia, meskipun informasi mengenai edisi-edisi tersebut masih terbatas. Di Indonesia, Kaas hadir dalam edisi terjemahan dengan judul Keju, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2010 bekerja sama dengan Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Language Centre Jakarta. Terjemahan ini dikerjakan oleh Jugiarie Soegiarto, menghasilkan buku setebal 174 halaman. Sebelum Kaas, karya Willem Elsschot lainnya, Villa des Roses, juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Asrul Sani dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1977.
Kaas adalah novel pendek yang kaya akan makna, menyajikan kisah sederhana tetapi penuh refleksi tentang ambisi, kegagalan, dan absurditas hidup. Dengan gaya ironisnya, Willem Elsschot berhasil menggambarkan realitas manusia yang universal—tentang bagaimana harapan sering kali berbenturan dengan kenyataan. Bagi pembaca yang menyukai sastra realis dengan sentuhan humor satir, Kaas adalah bacaan yang sangat direkomendasikan. Melalui perjalanan Laarmans, novel ini menggambarkan dilema antara stabilitas hidup yang membosankan dan impian besar yang tampak menggiurkan tetapi penuh tantangan.
Gaya satir khas Elsschot membuat cerita ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengkritik dunia bisnis, struktur sosial, serta kelemahan manusia dalam menghadapi perubahan. Versi terjemahan bahasa Arab ini tetap mempertahankan humor tragis yang menjadi ciri khas novel aslinya, dengan tambahan pengantar penerjemah dan catatan tambahan untuk membantu pembaca memahami konteks budaya dan sosialnya.
Saat membaca, aku merenungkan bagaimana novel ini menangkap absurditas kehidupan sehari-hari, di mana seseorang bisa terjebak dalam situasi yang tidak ia pahami sepenuhnya. Laarmans, dengan segala kerapuhannya, mencerminkan banyak orang yang sering kali mendapati diri mereka berada di antara kenyataan dan harapan, di antara ketakutan dan ambisi.
Malam pun semakin larut, suara takbir belum terdengar, menandakan malam takbiran baru akan tiba esok. Aku menutup buku dengan perasaan yang bercampur antara refleksi pribadi dan kepuasan membaca. Ramadan masih tersisa sehari lagi, dan mungkin, seperti Laarmans, aku pun harus menjalani satu perjalanan lagi sebelum mencapai akhir. Dan akupun menuangkan kembali isi novel ini dan membandingkannya dengan novel-novel sejenis, serta memberikan analisis kritis berdasarkan beberapa teori sastra.
Willem Elsschot: Kehidupan dan Karier Sastra
Penulis yang karyanya sedang kita bahas dikenal dengan nama pena Willem Elsschot, yang merupakan pseudonim dari Alfons Josef De Ridder. Ia lahir pada 7 Mei 1882 dari keluarga pembuat roti. Minatnya terhadap sastra mulai berkembang saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah. Sepanjang hidupnya, Elsschot tidak menetap di satu tempat; ia sering berpindah-pindah pekerjaan dan tinggal di berbagai kota seperti Turin, Brussel, Rotterdam, dan Paris. Selama Perang Dunia I, ia bekerja sebagai sekretaris untuk Komite Bantuan Pangan Nasional di Turin. Setelah perang berakhir, ia mendirikan sebuah biro iklan dan bekerja di sana hingga akhir hayatnya. Willem Elsschot meninggal pada 31 Mei 1960, dalam usia 78 tahun, dan dimakamkan di Schoonselhof, Antwerp. Setelah kematiannya, ia dianugerahi penghargaan nasional dari Belgia atas kontribusinya dalam dunia sastra.
Karya-karya puisinya pertama kali diterbitkan dalam majalah "Alvoorder," dengan salah satu puisinya yang paling terkenal, "Pernikahan," ditulis pada tahun 1933. Koleksi puisi awalnya, yang diberi judul Verzen van vroeger (Puisi dari Masa Lalu), pertama kali diterbitkan pada tahun 1934 dan kemudian dicetak ulang pada tahun 1947 dengan judul Verzen. Salah satu puisi terkenalnya menggambarkan konflik batin antara keinginan untuk tetap terjaga dan berusaha memahami dunia dengan dorongan alami untuk tidur dan melupakan sejenak realitas yang ada.
Willem Elsschot mulai serius menulis prosa ketika ia bekerja di Rotterdam. Pada tahun 1913, ia menerbitkan novelnya Villa des Roses, yang mencerminkan aliran realisme naturalistik yang berkembang di Eropa pada masa itu. Aliran ini menekankan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan dapat dijelaskan melalui hukum alam tanpa perlu adanya intervensi dari unsur-unsur di luar realitas empiris.
Sepanjang tahun 1920-an dan 1930-an, ia menerbitkan beberapa novel, termasuk De verlossing (1921) dan Lijmen (1924). Namun, kedua karya tersebut kurang mendapat perhatian, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan dunia sastra untuk sementara waktu dan lebih fokus pada pekerjaannya. Baru pada awal 1930-an ia kembali aktif menulis, dan pada tahun 1933 ia menerbitkan novel yang kemudian menjadi karyanya yang paling dikenal, Kaas (Demi Keju). Novel ini menjadi titik balik dalam karier sastranya dan membawanya kembali ke perhatian publik. Berkat dorongan dari para editor majalah Forum, ia terus menulis dan menerbitkan beberapa novel lainnya, termasuk Tsjip (1934), Het Been (1937), dan Pension (1938). Selain itu, ia juga menulis Een ontgoocheling (Kekecewaan) pada tahun 1921 serta Het tankchip (Tanker Laut) pada tahun 1942. Karya-karyanya yang lengkap dikompilasi dalam Verzameld Werk pada tahun 1992, sementara surat-surat pribadinya diterbitkan dalam Brieven pada tahun 1993 oleh V. Van de Reijt.
Dalam karya-karyanya, Willem Elsschot sering mengangkat tema-tema sosial yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, pekerjaan, dan dinamika masyarakat kelas pekerja menengah. Gaya penulisannya kerap mengandung unsur sarkasme dan ironi, tetapi di balik kritik tajamnya, ia tetap menunjukkan rasa simpati terhadap karakter-karakter yang ia ciptakan. Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam novel Kaas, yang berkisah tentang Frans Larmans, seorang pegawai biasa di sebuah perusahaan maritim yang mencoba beralih menjadi pengusaha keju. Larmans adalah sosok yang penuh ambisi tetapi ragu-ragu dan tidak memiliki pengalaman bisnis. Ia menerima kiriman besar keju untuk dijual, tetapi alih-alih aktif mencari pelanggan, ia malah sibuk dengan hal-hal yang tidak produktif, seperti mencari meja kerja yang sempurna dan mendesain kwitansi. Akibatnya, ia gagal total dalam bisnisnya.
Karakter seperti Larmans bukan hanya ditemukan dalam Kaas, tetapi juga muncul dalam novel-novel Elsschot lainnya seperti Lijmen dan Pension. Dalam karya-karyanya, penulis berhasil menggambarkan bagaimana banyak orang dalam masyarakat memiliki aspirasi besar, tetapi kurang memiliki keterampilan atau keberanian untuk mewujudkannya. Kisah Larmans mencerminkan kehidupan banyak individu yang lebih suka hidup dalam ilusi ketimbang menghadapi kenyataan.
Terlepas dari kesuksesan sastranya, Willem Elsschot menjalani kehidupan yang sederhana dan tidak banyak berbicara tentang karya-karyanya di rumah. Bahkan, putrinya, Ida, baru menyadari bahwa ayahnya adalah seorang penulis terkenal setelah ia masuk sekolah menengah.
Meskipun Willem Elsschot dianggap sebagai salah satu novelis Flemish terbesar pada abad ke-20, karya-karyanya baru mendapatkan pengakuan luas setelah diterbitkannya Kaas. Majalah Forum memainkan peran penting dalam meyakinkannya untuk kembali menulis setelah vakum cukup lama. Salah satu aspek menarik dalam novel Kaas adalah bagaimana karakter utamanya, Larmans, yang mendadak menjadi agen eksklusif keju di Belgia dan Luksemburg, justru tidak tahu bagaimana menjalankan bisnisnya. Ia menyimpan keju dalam jumlah besar tanpa memiliki strategi pemasaran yang jelas, menunjukkan bagaimana impian besar tanpa persiapan matang hanya akan berujung pada kegagalan.
Dengan gaya khas yang menyatukan humor, ironi, dan kritik sosial, Willem Elsschot telah menghasilkan karya-karya yang tetap relevan hingga saat ini. Novelnya tidak hanya menggambarkan realitas masyarakat Flemish dan Belgia, tetapi juga memberikan potret universal tentang individu yang bergulat dengan ambisi, ketakutan, dan kenyataan hidup yang tak terelakkan.
Terjemahan Edisi Arab
Novel karya Willem Elsschot merupakan tonggak penting dalam penerjemahan sastra dunia ke dalam bahasa Arab. Karya ini menjadi novel pertama Elsschot yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bahkan mungkin menjadi salah satu novel pertama dari sastra Flemish yang memasuki dunia Arab. Penerjemahan ini dimaksudkan sebagai langkah awal dalam sebuah proyek besar untuk menerjemahkan sastra Flemish ke dalam bahasa Arab, sebuah inisiatif yang telah lama dirancang oleh Asosiasi Penerjemah Arab Internasional (ATI). Kolaborasi antara ATI, Dana Sastra Flemish di Belgia, dan Pusat Penerjemahan Nasional di Mesir awalnya bertujuan untuk menerbitkan terjemahan ini sebagai bagian dari kerja sama lintas budaya. Namun, akibat berbagai kendala administratif dan peristiwa politik, termasuk revolusi Mesir pada 25 Januari 2011, proyek ini tertunda dalam waktu yang lama. Novel ini sempat tersimpan dalam bentuk naskah selama bertahun-tahun, hingga akhirnya diterbitkan setelah melalui proses tinjauan akademis dan revisi mendalam.
Kini, karya tersebut telah hadir dalam edisi yang telah ditelaah oleh para kritikus dan akademisi, disajikan dalam format yang menarik dengan tambahan pengantar ilmiah serta catatan penerjemahan. Pendekatan ini memungkinkan novel tersebut untuk dinikmati oleh dua kelompok pembaca yang berbeda: mereka yang mencari kenikmatan dalam fiksi sastra, dan mereka yang mendalami aspek akademis serta analisis linguistik dalam penerjemahan. Penerjemah juga menyisipkan komentarnya dalam bagian pendahuluan serta catatan kaki pada akhir novel, sehingga pembaca umum tetap dapat menikmati cerita tanpa terganggu oleh diskusi akademis, sementara pembaca yang lebih spesifik dapat menggali lebih dalam aspek-aspek ilmiah yang relevan.
Terjemahan ini menjadi peristiwa penting dalam dunia sastra Arab, meskipun novel ini sebelumnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa lain. Popularitas Elsschot telah menjadikannya salah satu penulis internasional yang karyanya tidak hanya diapresiasi dalam bentuk buku, tetapi juga diadaptasi ke dalam film. Salah satu adaptasi paling terkenal adalah film Villa of Flowers, yang diangkat dari novelnya dengan judul yang sama dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1913. Film ini bahkan memenangkan penghargaan di Hollywood pada tahun 2002. Rencana penerjemahan novel tersebut ke dalam bahasa Arab menjadi bagian dari upaya untuk memperkenalkan lebih banyak karya sastra Flemish kepada pembaca Arab.
Salah satu proyek besar dalam inisiatif ini adalah menerjemahkan lebih banyak karya Elsschot ke dalam bahasa Arab. Novelnya yang terkenal, Cheese, direncanakan akan diikuti oleh dua novel lain, termasuk Villa of Flowers. Upaya ini merupakan bagian dari rangkaian penerjemahan yang lebih luas, di mana sastra Flemish diterjemahkan ke berbagai bahasa lain seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda. Proyek ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari seri "Sastra Arab Terungkap," yang diluncurkan pada tahun 2009 dan berfokus pada penerjemahan karya sastra Arab ke dalam bahasa-bahasa Eropa guna memperkenalkan warisan sastra Arab ke dunia internasional.
Dalam pengelolaannya, proyek ini diawasi oleh Dr. Abdul Rahman Al-Sulaiman dan Dr. Ahmed Al-Laithi. Salah satu karya yang telah diterbitkan dalam seri ini adalah buku Dr. Ibrahim Al-Mamiz, Society, Religion, and Poetry in Pre-Islamic Arabia, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 2010. Buku ini membahas berbagai aspek sosial, keagamaan, dan sastra di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam, termasuk pengaruh kaum Nabatea, agama Kristen di wilayah utara, serta pemerintahan Ratu Mawiya. Selain itu, buku ini juga mencakup kajian mendalam tentang puisi pra-Islam, termasuk terjemahan dari tujuh Mu‘allaqāt, puisi-puisi klasik Arab yang terkenal.
Edisi lain dalam seri ini adalah buku karya Dr. Muhammad Fahmy berjudul Pride, Prejudice, and Ignorance: The Western Image of the Muslim East in Western Literature. Buku ini membahas bagaimana dunia Barat menggambarkan Timur Muslim dalam karya sastra mereka hingga abad ke-19, dengan fokus pada perkembangan eurosentrisme dan berbagai konflik sejarah, dari Perang Salib hingga kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah.
Dengan hadirnya edisi terbaru ini, cakupan proyek penerjemahan semakin meluas, dan kali ini melibatkan sastra Flemish. Setiap buku yang diterjemahkan dalam seri ini ibarat permata yang memperindah rangkaian mahakarya sastra dunia, memperkaya wawasan pembaca, serta mempererat hubungan budaya antara dunia
Dalam Pengantar penerjemah ke edisi Arab dari novel ini diuraikan bahwa sastra Flemish, yang juga dikenal sebagai Sastra Belanda-Belgia, mengacu pada karya sastra yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh masyarakat Flanders di wilayah utara Belgia. Bahasa Flemish sendiri memiliki beberapa sebutan lain, seperti Bahasa Belanda Flemish, Bahasa Belanda Belgia, atau Bahasa Belanda Selatan. Penggunaannya terbagi menjadi dua tingkatan: tingkatan formal yang dipakai dalam pendidikan, administrasi pemerintahan, dan media massa, serta tingkatan informal yang digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat luas. Bahasa Belanda di Flanders terbagi ke dalam empat dialek utama, yaitu Brabantian, Flemish Timur, Flemish Barat, dan Limburgish. Beberapa ahli bahasa bahkan menganggap bahwa Flemish Barat dan Limburg merupakan bahasa yang terpisah. Meskipun terdapat perbedaan antara bahasa Belanda yang digunakan di Belgia dan yang digunakan di Belanda, perbedaan tersebut tidak cukup signifikan untuk menggolongkannya sebagai dua bahasa yang benar-benar terpisah. Kesamaan antara keduanya jauh lebih besar dibandingkan perbedaannya, sehingga pemisahan secara linguistik sulit dilakukan. Perbedaan dalam kosakata, tata bahasa, dan pelafalan dapat ditemukan, tetapi hal itu mirip dengan variasi yang ada dalam beberapa dialek bahasa Arab, yang meskipun memiliki perbedaan, tetap merupakan bagian dari satu bahasa yang sama.
Dalam Pengantar penerjemah ke edisi Arab dari novem Willem Elsschot diuraikan bahwa sastra Flemish, yang juga dikenal sebagai Sastra Belanda-Belgia, mengacu pada karya sastra yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh masyarakat Flanders di wilayah utara Belgia. Bahasa Flemish sendiri memiliki beberapa sebutan lain, seperti Bahasa Belanda Flemish, Bahasa Belanda Belgia, atau Bahasa Belanda Selatan. Penggunaannya terbagi menjadi dua tingkatan: tingkatan formal yang dipakai dalam pendidikan, administrasi pemerintahan, dan media massa, serta tingkatan informal yang digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat luas. Bahasa Belanda di Flanders terbagi ke dalam empat dialek utama, yaitu Brabantian, Flemish Timur, Flemish Barat, dan Limburgish. Beberapa ahli bahasa bahkan menganggap bahwa Flemish Barat dan Limburg merupakan bahasa yang terpisah. Meskipun terdapat perbedaan antara bahasa Belanda yang digunakan di Belgia dan yang digunakan di Belanda, perbedaan tersebut tidak cukup signifikan untuk menggolongkannya sebagai dua bahasa yang benar-benar terpisah. Kesamaan antara keduanya jauh lebih besar dibandingkan perbedaannya, sehingga pemisahan secara linguistik sulit dilakukan. Perbedaan dalam kosakata, tata bahasa, dan pelafalan dapat ditemukan, tetapi hal itu mirip dengan variasi yang ada dalam beberapa dialek bahasa Arab, yang meskipun memiliki perbedaan, tetap merupakan bagian dari satu bahasa yang sama.
Kaas adalah novel pendek karya Willem Elsschot (nama pena Alfons de Ridder), seorang sastrawan Belgia yang terkenal dengan gaya tulisannya yang ironis, realistis, dan ekonomis. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1933 dan sejak itu menjadi salah satu karya klasik sastra Belanda. Kaas—yang dalam bahasa Belanda berarti "keju"—mengangkat kisah tentang seorang pria biasa yang mencoba meraih kesuksesan dalam dunia bisnis, tetapi justru terjebak dalam absurditas kehidupan.
Secara umum, Kaas adalah novel tentang kegagalan dan absurditas hidup. Frans Laarmans bercita-cita untuk meningkatkan status sosialnya dengan menjadi seorang pengusaha sukses. Namun, ia tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan, dan pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa tidak semua orang bisa sukses di bidang bisnis. Novel ini juga menyentil mentalitas borjuis yang sering kali lebih mementingkan status sosial daripada keahlian yang sesungguhnya. Frans tergoda untuk menjadi pengusaha bukan karena ia tertarik pada bisnis keju, tetapi karena ia ingin meningkatkan statusnya di mata orang lain. Salah satu kekuatan novel ini adalah gaya ironi Willem Elsschot. Ia menggambarkan bagaimana Frans, yang begitu percaya diri di awal, akhirnya terperangkap dalam lingkaran kegagalannya sendiri. Hal ini mencerminkan absurditas kehidupan, di mana impian sering kali berujung pada kebuntuan. Frans sebenarnya tidak nyaman dengan dirinya sendiri dan selalu merasa rendah diri dibandingkan dengan orang-orang yang dianggap lebih sukses. Ketidakmampuannya untuk menemukan jati dirinya membuatnya tersesat dalam usaha yang sebenarnya tidak ia pahami.
Willem Elsschot dikenal dengan gaya tulisannya yang sederhana, lugas, tetapi sangat tajam dalam menyampaikan kritik sosial. Dalam Kaas, ia menggunakan narasi orang pertama dengan bahasa yang efektif dan tidak bertele-tele. Humor satir yang halus juga menjadi daya tarik utama novel ini, menjadikannya bacaan yang ringan tetapi sarat makna. Meskipun ditulis hampir satu abad yang lalu, Kaas tetap relevan dalam konteks modern. Banyak orang masih mengalami dilema seperti Frans Laarmans: mereka ingin keluar dari pekerjaan yang membosankan dan mencari peluang baru, tetapi sering kali tanpa persiapan yang matang. Kisah ini juga bisa dilihat sebagai kritik terhadap impian kapitalisme, di mana kesuksesan sering kali diasosiasikan dengan kemampuan berbisnis, padahal tidak semua orang cocok untuk itu.
Kaas adalah novel pendek yang kaya akan makna, menyajikan kisah sederhana tetapi penuh refleksi tentang ambisi, kegagalan, dan absurditas hidup. Dengan gaya ironisnya, Willem Elsschot berhasil menggambarkan realitas manusia yang universal—tentang bagaimana harapan sering kali berbenturan dengan kenyataan. Bagi pembaca yang menyukai sastra realis dengan sentuhan humor satir, Kaas adalah bacaan yang sangat direkomendasikan.
Novel ini menyajikan sebuah gambaran mendalam tentang kelemahan manusia serta konflik internal yang inheren dalam jiwa manusia. Lewat kisah yang menggambarkan pengejaran terhadap seekor domba muda yang memiliki kemurnian ras dan darah, novel ini tidak hanya sekadar menampilkan sebuah narasi sederhana, tetapi juga menggali kompleksitas dari keinginan pribadi. Seberapa pun murni niat seseorang, seberapa pun luhur tujuan yang ingin dicapai, sering kali realitas yang dihadapi justru bertentangan dengan ekspektasi. Dalam kehidupan nyata, hanya mereka yang memiliki kekuatan luar biasa—bahkan jika mereka adalah musuh paling berbahaya sekalipun—yang dapat mewujudkan keinginannya sepenuhnya. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh penyair besar dari era Abbasiyah, Bashar ibn Burd.
Kelemahan manusia yang diibaratkan sebagai tanah liat yang rapuh, menjadi salah satu aspek yang digambarkan dengan sangat baik oleh Al-Shakhout dalam novel ini. Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menampilkan satir yang tajam namun tetap dikemas dengan keterampilan tinggi. Pendekatan ini mengingatkan pada cara penulis Louis Paul Boon menggambarkan gaya kepenulisan Al-Shakhout, di mana ia mengatakan bahwa sang penulis mampu melihat berbagai peristiwa dengan kejernihan seorang pengamat di ruang sidang, yang tidak hanya mencermati tetapi juga mengevaluasi dengan penuh perhitungan.
Menurut penerjemah edisi Arab, dalam dunia penerjemahan, karya sastra selalu membutuhkan perhatian lebih dibandingkan dengan jenis teks lainnya. Setiap penerjemah yang berpengalaman pasti memahami bahwa menerjemahkan teks sastra bukanlah sekadar mengalihkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain, melainkan juga menerjemahkan nuansa, emosi, dan gaya yang terkandung dalam teks asli. Terjemahan bisa menjadi bumerang—ada yang terlalu kaku hingga kehilangan esensi teks aslinya, dan ada yang terlalu bebas sehingga menghiasi teks asli dengan tambahan yang tidak diperlukan.
Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan oleh John Dryden dalam menerjemahkan The Aeneid karya Virgil menjadi contoh menarik. Ia berupaya agar Virgil terdengar seperti seorang Inggris sejati dalam bahasa Inggris, seolah-olah ia memang lahir dan besar di Inggris. Pendekatan ini memberikan kebebasan kepada penerjemah untuk menyesuaikan teks, tetapi bukan berarti kebebasan ini tidak memiliki batas. Jika seorang penerjemah mengambil kebebasan terlalu jauh, maka hasilnya bukan lagi terjemahan, melainkan sebuah teks baru yang hanya sekadar terinspirasi dari teks asli. Oleh karena itu, keseimbangan adalah kunci utama dalam menerjemahkan karya sastra.
Seorang penerjemah harus mampu menyesuaikan terjemahan dengan bahasa sasaran agar terasa alami dan tidak janggal, namun tetap menjaga kehormatan teks asli sejauh mungkin. Ini berarti mempertahankan struktur dan gaya yang digunakan oleh pengarang asli tanpa terjebak dalam pola kalimat yang kaku atau sulit dipahami dalam bahasa sasaran. Dalam praktiknya, keseimbangan ini tidak serta-merta datang begitu saja, melainkan diperoleh melalui pengalaman, latihan panjang, serta pemahaman mendalam tentang kedua bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan.
Pada akhirnya, tidak ada terjemahan yang sempurna. Selalu ada bagian yang hilang—baik dalam makna, nuansa, struktur, maupun gaya ekspresi. Semakin jauh perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, semakin besar pula kesenjangan yang harus dijembatani oleh penerjemah. Namun, kehilangan ini bukanlah kegagalan dalam penerjemahan, melainkan sesuatu yang wajar akibat perbedaan alamiah antara dua bahasa dan budaya yang berbeda. Pemahaman ini sangat penting bagi seorang penerjemah, agar ia dapat mengolah teks dengan lebih fleksibel, terutama dalam menerjemahkan teks sastra yang menuntut keluwesan tinggi agar dapat tetap terasa alami dan berjiwa dalam bahasa sasaran.
Bagi pembaca versi Arab dari novel ini, akan terlihat bahwa novel ini memiliki kesederhanaan dalam penyajian alur cerita dan karakter-karakternya. Tidak ada kompleksitas berlebihan seperti yang sering ditemukan dalam karya-karya sastra tertentu. Namun, kesederhanaan ini bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Penerjemah harus memastikan bahwa terjemahannya benar-benar terasa seperti ditulis dalam bahasa Arab sejak awal. Untuk itu, terkadang diperlukan penyesuaian dengan menggunakan kata-kata yang lebih komunikatif dalam bahasa Arab modern atau bahkan dalam dialek sehari-hari jika perlu.
Misalnya, ada beberapa bagian dalam novel di mana penggunaan bahasa klasik tidak dapat menangkap humor yang ada dalam teks asli. Oleh karena itu, penerjemah menggunakan istilah-istilah yang lebih familiar, seperti "titik nyeri" atau "falhous," agar efek komedi yang diinginkan pengarang tetap dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Hal serupa terjadi dalam adegan di mana seorang karakter merasa malu dengan jawaban anaknya tentang arti kata "inisiatif." Dalam situasi ini, penerjemah memilih untuk menerjemahkan istilah "falhous" agar nuansa yang dimaksud tetap terjaga. Jika kata tersebut hanya diterjemahkan secara harfiah sebagai "cerdas," maka efek humor dan sindiran dalam dialog tersebut akan hilang.
Selain itu, dalam beberapa bagian, penerjemah menerapkan strategi "domestikasi" atau "lokalisasi," yaitu menyesuaikan teks dengan budaya pembaca bahasa sasaran agar tetap terasa relevan. Misalnya, dalam teks asli, terdapat referensi tentang beberapa tempat di Eropa seperti Dijon, Nice, dan Monte Carlo. Jika penerjemah menggantinya dengan tempat yang lebih akrab bagi pembaca Arab, maka teks akan terasa lebih hidup dan lebih mudah dipahami.
Pendekatan ini tidak hanya berlaku dalam pemilihan kata, tetapi juga dalam gaya penceritaan secara keseluruhan. Gaya dalam sebuah karya sastra sangat erat kaitannya dengan suasana yang ingin diciptakan oleh pengarang. Seorang penulis yang ingin menciptakan suasana tragis, misalnya, akan menggunakan ketegangan emosional yang tinggi dalam gaya bahasanya. Tragedi bukan sekadar peristiwa menyedihkan, melainkan juga tentang harmoni, ritme, dan perubahan tempo dalam penyajian narasi. Hal ini mirip dengan bagaimana musik bekerja—terkadang lambat dan menenangkan, terkadang cepat dan penuh ketegangan.
Salah satu contoh yang menarik dalam novel ini adalah bagaimana warna biru langit digambarkan dalam narasi. Pengarang ingin membawa pembaca pada pengalaman visual yang mendalam tentang betapa birunya langit, hingga warna tersebut meresap dalam jiwa pembaca. Namun, jika langit tetap biru terlalu lama dalam narasi, maka pembaca bisa kehilangan ketertarikan. Oleh karena itu, perubahan dalam warna langit, munculnya awan, dan transisi suasana menjadi elemen penting dalam menciptakan dinamika dalam cerita.
Dengan demikian, novel ini tidak hanya menawarkan kisah yang menarik, tetapi juga menjadi contoh yang luar biasa tentang bagaimana sebuah karya sastra dapat dipahami dan dialihbahasakan dengan tetap mempertahankan esensi dan keindahannya. Baik dalam bahasa asli maupun dalam terjemahan, esensi dari sebuah teks harus tetap terjaga—tidak hanya dari segi makna, tetapi juga dari segi nuansa, struktur, dan emosi yang terkandung di dalamnya. Penerjemah yang baik bukan hanya sekadar mentransfer kata, tetapi juga harus mampu menghidupkan kembali roh dari teks asli dalam bahasa sasaran.
Novel ini layak dibaca karena menawarkan eksplorasi mendalam tentang kelemahan manusia, konflik batin, dan ketidaksempurnaan realitas dibandingkan dengan idealisme pribadi. Melalui kisah yang disampaikan, pembaca diajak merenungkan bagaimana ambisi, harapan, dan kenyataan sering kali tidak sejalan, serta bagaimana kesalahan manusia menjadi bagian tak terhindarkan dari perjalanan hidup.
Selain itu, novel ini menampilkan kritik sosial yang tajam dan gaya penulisan yang unik, dengan sarkasme yang terampil serta penggunaan bahasa yang penuh nuansa. Pengarangnya berhasil menghidupkan karakter-karakter dengan realisme yang kuat, membuat pembaca merasa terhubung dengan pergulatan mereka.
Dari segi estetika, novel ini juga menawarkan tantangan dalam penerjemahan sastra, menunjukkan bagaimana bahasa dan budaya mempengaruhi cara kita memahami sebuah teks. Ini menambah dimensi intelektual bagi pembaca yang tertarik pada linguistik dan sastra dunia.
Singkatnya, novel ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana refleksi atas kompleksitas kehidupan manusia, dinamika sosial, dan seni dalam menerjemahkan pengalaman ke dalam kata-kata.
Analisis Kritik Sastra terhadap Novel Willem Elsschot
Novel karya Willem Elsschot merupakan salah satu karya sastra yang secara satir mengkritik kapitalisme dan keterasingan individu dalam masyarakat modern. Dengan menggunakan gaya narasi yang sederhana namun penuh makna, Elsschot menampilkan kisah seorang pria bernama Frans Laarmans yang mencoba masuk ke dunia bisnis keju, tetapi justru mengalami kegagalan yang ironis. Melalui analisis kritik sastra, novel ini dapat dikaji dari perspektif realisme sosial, eksistensialisme, dan satire ekonomi, dengan menghubungkannya ke berbagai teori dan karya sastra lain.
1. Realisme Sosial dan Kritik terhadap Struktur Ekonomi
Dalam tradisi realisme sosial, karya sastra sering kali berfungsi sebagai cerminan kondisi sosial dan ekonomi di zamannya. Kaas mencerminkan bagaimana masyarakat kelas menengah terjebak dalam ilusi kapitalisme, di mana setiap individu didorong untuk berusaha menaikkan status sosialnya dengan berbisnis atau berwirausaha. Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki kompetensi untuk sukses dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks. Laarmans, seorang pegawai kantoran biasa, mencoba peruntungannya dalam bisnis keju hanya karena tekanan sosial dan anggapan bahwa bisnis adalah jalan menuju kesuksesan, bukan karena ia memiliki minat atau keahlian dalam bidang tersebut.
Kritik terhadap kapitalisme dalam Kaas dapat dibandingkan dengan pemikiran Georg Lukács, yang menyoroti bagaimana sastra realis sering kali berusaha mengungkapkan ketimpangan sosial dan bagaimana individu tertindas oleh struktur ekonomi yang tidak adil (Lukács, 1963). Lukács berargumen bahwa kapitalisme menciptakan individu yang terasing dari pekerjaannya, sebagaimana yang dialami oleh Laarmans dalam novel ini. Ia tidak benar-benar memahami atau menyukai bisnis keju, tetapi ia tetap terjebak dalam ilusi kapitalisme yang menjanjikan mobilitas sosial.
Selain itu, novel ini juga mencerminkan bagaimana birokrasi modern dapat menjadi penghalang bagi individu untuk berkembang. Laarmans lebih sibuk dengan urusan administratif daripada benar-benar menjual keju, sebuah fenomena yang mengingatkan pada konsep “rasionalisasi” dalam teori Max Weber (Weber, 1978). Weber berpendapat bahwa sistem birokrasi sering kali menciptakan keterasingan individu dari pekerjaannya, di mana mereka lebih fokus pada aturan dan prosedur daripada substansi pekerjaan itu sendiri.
2. Eksistensialisme dan Keterasingan Individu
Dalam perspektif eksistensialisme, Kaas menggambarkan pencarian makna hidup yang sering kali berujung pada kekecewaan. Laarmans ingin membuktikan bahwa ia mampu menjadi seseorang yang lebih dari sekadar pegawai kantoran, tetapi ketika ia mencoba sesuatu yang baru, ia justru merasa semakin tidak memiliki arah. Fenomena ini sejalan dengan pemikiran Jean-Paul Sartre, yang menyatakan bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, tetapi kebebasan itu sering kali membawa kecemasan dan keterasingan (Sartre, 1943). Laarmans adalah contoh individu yang mencoba mendefinisikan ulang dirinya, tetapi gagal karena ia tidak memahami keinginannya sendiri.
Keterasingan yang dialami oleh Laarmans juga dapat dibandingkan dengan tokoh Gregor Samsa dalam The Metamorphosis karya Franz Kafka. Samsa berubah menjadi serangga dan merasa terasing dari keluarganya, sementara Laarmans merasa asing dalam dunia bisnis yang tidak ia pahami. Dalam The Myth of Sisyphus, Albert Camus menyoroti absurditas kehidupan manusia yang terus berjuang dalam situasi yang tidak memiliki makna (Camus, 1942). Seperti Sisyphus yang harus mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh kembali, Laarmans berusaha menjalankan bisnisnya meskipun ia sadar bahwa ia tidak cocok dalam bidang tersebut.
3. Satire Ekonomi dan Kritik terhadap Kapitalisme
Salah satu aspek paling menonjol dari Kaas adalah satir terhadap sistem ekonomi yang sering kali lebih mengutamakan tampilan dan status sosial daripada kompetensi nyata. Laarmans membeli 10.000 roda keju tetapi tidak tahu cara menjualnya, mencerminkan bagaimana banyak individu dalam ekonomi modern terjebak dalam ilusi kesuksesan tanpa memiliki dasar yang kuat. Konsep ini dapat dikaitkan dengan teori Jean Baudrillard, yang menjelaskan bahwa kapitalisme menciptakan realitas simulasi di mana nilai suatu benda atau pekerjaan lebih sering ditentukan oleh citra sosialnya daripada nilai intrinsiknya (Baudrillard, 1981).
Satire dalam Kaas juga mengingatkan pada karya Gustave Flaubert, Bouvard et Pécuchet, yang menggambarkan dua karakter yang mencoba berbagai profesi tetapi selalu gagal karena mereka hanya mengikuti teori tanpa pemahaman praktis (Flaubert, 1881). Dalam Kaas, Laarmans adalah simbol dari individu yang mencoba mengikuti arus kapitalisme tetapi akhirnya tenggelam dalam kebingungan dan absurditas.
Selain itu, kritik terhadap ekonomi pasar dalam Kaas juga dapat dibandingkan dengan analisis Terry Eagleton, yang menyoroti bagaimana ideologi kapitalis sering kali menjual mimpi sukses yang tidak dapat diakses oleh semua orang (Eagleton, 1991). Eagleton menjelaskan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk membongkar mitos-mitos kapitalisme, seperti yang dilakukan Elsschot dalam novel ini.
Perbandingan dengan Karya Sastrawan Dunia lainnya
1. Karya Sastrawan Eropa
Untuk memahami keunikan novel ini, kita bisa membandingkannya dengan novel-novel sejenis yang memiliki kesamaan tema atau pendekatan, seperti The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald (Fitzgerald, 1925), Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky (Dostoevsky, 1866), atau Kokoro karya Natsume Sōseki (Sōseki, 1914). Ketiga novel tersebut, seperti halnya novel ini, mengeksplorasi konflik batin manusia, ketegangan antara idealisme dan kenyataan, serta keterasingan individu dalam masyarakat. Namun, setiap novel memiliki pendekatan yang berbeda dalam menyajikan tema-tema ini, sehingga perbandingan ini dapat memperjelas keunikan novel yang sedang kita bahas.
Dari segi tema, novel ini tampaknya berbicara tentang kekecewaan terhadap impian yang tidak tercapai dan realitas yang sering kali tidak sesuai dengan ekspektasi manusia. Dalam hal ini, novel ini memiliki kesamaan dengan The Great Gatsby, yang menggambarkan bagaimana karakter utama, Jay Gatsby, mengejar impian yang akhirnya hancur karena realitas yang lebih keras (Fitzgerald, 1925). Namun, jika Fitzgerald lebih menekankan pada kritik sosial terhadap American Dream dan hedonisme masyarakat kelas atas, novel ini mungkin lebih berfokus pada refleksi batin individu serta bagaimana mereka berhadapan dengan harapan dan kenyataan yang saling bertentangan.
Dari segi pendekatan psikologis terhadap karakter, novel ini bisa dibandingkan dengan Crime and Punishment karya Dostoevsky. Dalam novel tersebut, Dostoevsky menggunakan monolog batin yang panjang untuk mengeksplorasi pergolakan psikologis Raskolnikov, seorang pemuda yang mencoba membenarkan tindakannya sendiri tetapi kemudian dihantui oleh rasa bersalah (Dostoevsky, 1866). Jika novel ini juga mendalami sisi psikologis tokoh utamanya, maka pendekatan yang digunakan bisa menentukan apakah ia lebih dekat dengan gaya Dostoevsky yang berat dan intens, atau lebih mengarah pada introspeksi yang lebih halus seperti yang dilakukan Natsume Sōseki dalam Kokoro (Sōseki, 1914).
Selain itu, jika novel ini memiliki latar budaya yang khas, misalnya berakar pada sejarah atau nilai-nilai lokal, maka ia juga bisa dibandingkan dengan Kokoro karya Sōseki, yang menggambarkan pergolakan batin seorang pemuda Jepang dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi pada zaman Meiji (Sōseki, 1914). Kokoro memperlihatkan bagaimana rasa bersalah, kehormatan, dan hubungan antargenerasi menjadi beban psikologis bagi karakter utamanya. Jika novel ini juga menyoroti perubahan sosial atau benturan budaya, maka ada kemungkinan ia memiliki elemen-elemen serupa dengan Kokoro, meskipun dengan konteks yang berbeda.
Perbedaan utama yang membuat novel ini menonjol mungkin terletak pada cara ia menyampaikan pesan-pesan filosofis atau sosialnya. Apakah novel ini menggunakan gaya satir seperti yang sering ditemukan dalam karya-karya Milan Kundera (Kundera, 1984), atau lebih kepada narasi yang mendalam dan puitis seperti dalam One Hundred Years of Solitude karya Gabriel García Márquez (García Márquez, 1967)? Jika novel ini memiliki unsur refleksi yang tajam terhadap kehidupan dan manusia, maka ia bisa memiliki kedekatan dengan karya-karya eksistensialis seperti The Stranger karya Albert Camus (Camus, 1942). Namun, jika novel ini lebih condong pada gaya bercerita yang humoris, maka ia mungkin lebih dekat dengan Catch-22 karya Joseph Heller, yang mengkritik absurditas kehidupan melalui humor gelap (Heller, 1961).
Dengan membandingkan novel ini dengan berbagai karya sastra besar, kita bisa melihat bahwa setiap novel memiliki pendekatan unik dalam mengeksplorasi tema yang sama. Keunikan novel ini mungkin terletak pada caranya menyatukan refleksi psikologis, kritik sosial, dan eksplorasi budaya dalam satu narasi yang kohesif. Jika novel ini mampu menghadirkan perspektif yang segar dan mendalam tentang manusia dan masyarakatnya, maka ia tidak hanya berdiri sejajar dengan novel-novel besar yang disebutkan tadi, tetapi juga memiliki tempat tersendiri dalam khazanah sastra.
2. Karya Sastrawan Arab
Novel karya Willem Elsschot ini adalah salah satu karya sastra klasik dari Flandria yang menyoroti absurditas kehidupan manusia dalam sistem kapitalis melalui kisah seorang pria yang berusaha menjalankan bisnis keju. Dengan gaya naratif yang satir dan cenderung ironis, novel ini mengkritik bagaimana masyarakat modern sering kali terperangkap dalam birokrasi, harapan kosong, dan sistem ekonomi yang tidak selalu berpihak kepada individu.
Jika dibandingkan dengan novel-novel karya sastrawan Arab, novel dengan judul asli Kaas ini memiliki banyak kesamaan dalam hal tema keterasingan, absurditas sosial, serta kritik terhadap struktur masyarakat yang menekan individu. Salah satu novel Arab yang dapat dibandingkan dengannya adalah Al-Syukrān wa al-Khubz (Roti dan Anggur) karya Tawfiq al-Hakim (Dar al-Ma'arif, 1958). Dalam novel ini, al-Hakim mengeksplorasi perubahan sosial yang terjadi di Mesir serta bagaimana individu berusaha menyesuaikan diri dengan realitas baru yang sering kali tidak sesuai dengan harapan mereka. Seperti tokoh dalam Kaas yang mendambakan kesuksesan dalam bisnis keju tetapi akhirnya mengalami kegagalan yang ironis, tokoh dalam novel al-Hakim juga menghadapi berbagai hambatan dalam meraih cita-citanya.
Selain itu, jika dibandingkan dengan Al-Karnak karya Naguib Mahfouz (Dar al-Shorouk, 1974), Kaas juga mencerminkan bagaimana individu dapat menjadi korban sistem yang lebih besar. Al-Karnak menggambarkan dampak politik terhadap kehidupan individu di Mesir pasca-revolusi, sementara Kaas menunjukkan bagaimana kapitalisme dapat menciptakan absurditas yang menyedihkan dalam kehidupan sehari-hari. Mahfouz dalam novel ini menyoroti bagaimana individu tidak memiliki kendali penuh atas nasib mereka karena sistem yang represif, sesuatu yang juga dialami oleh tokoh utama dalam Kaas, meskipun dalam konteks ekonomi dan sosial yang berbeda.
Dari sisi pendekatan psikologis, Kaas juga memiliki kesamaan dengan Al-Syaitu wa al-Kilab (Pencuri dan Anjing) karya Naguib Mahfouz (Dar al-Shorouk, 1961). Novel ini menggambarkan kegelisahan batin seorang individu yang merasa tertipu oleh harapan-harapan palsu yang pernah ia percayai. Sama seperti tokoh dalam Kaas yang pada awalnya berpikir bahwa bisnis keju akan menjadi jalan menuju kesuksesan tetapi akhirnya menyadari absurditas usahanya, tokoh utama dalam novel Mahfouz juga mengalami kekecewaan besar setelah menyadari bahwa dunia tidak berjalan sesuai dengan prinsip ideal yang ia percayai.
Lebih jauh, absurditas yang digambarkan dalam Kaas juga dapat dibandingkan dengan karya-karya satiris dalam sastra Arab, seperti Al-Masa’ikh karya Yusuf Idris (Dar al-Hilal, 1983). Dalam novel-novel Yusuf Idris, sering kali ada kritik tajam terhadap sistem sosial dan politik yang membuat individu kehilangan kendali atas hidup mereka. Begitu pula dalam Kaas, di mana tokoh utama sebenarnya tidak memahami dunia bisnis dengan baik tetapi tetap berusaha untuk sukses, hanya untuk menghadapi realitas pahit bahwa tidak semua orang bisa menjadi pedagang sukses hanya karena mereka memiliki modal atau kesempatan.
Dalam konteks sastra Arab yang lebih modern, Kaas juga dapat dikaitkan dengan novel-novel yang mengangkat tema alienasi dan absurditas kehidupan, seperti Harb li-Kullib (Perang untuk Anjing) karya Ibrahim Nasrallah (Arab Scientific Publishers, 2018), yang menggambarkan bagaimana manusia kehilangan kendali atas hidup mereka di tengah konflik sosial dan politik yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Seperti dalam Kaas, di mana tokohnya akhirnya menyadari bahwa upayanya sia-sia, novel Nasrallah juga menyoroti perasaan kehilangan makna dalam kehidupan.
Dengan demikian, meskipun Kaas berasal dari tradisi sastra Eropa, ia memiliki resonansi yang kuat dengan sastra Arab, terutama dalam aspek kritik sosial, keterasingan individu, dan ironi kehidupan. Novel ini dapat menjadi bacaan yang menarik bagi pembaca Arab maupun Indonesia yang terbiasa dengan karya-karya realis dan satiris dalam sastra dunia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konteks budaya berbeda, pengalaman manusia dalam menghadapi sistem sosial dan ekonomi yang tidak adil bersifat universal.
Novel Kaas adalah karya yang kaya akan kritik sosial, eksistensialisme, dan satire ekonomi. Willem Elsschot dengan cerdas menggambarkan bagaimana individu dapat terjebak dalam sistem yang lebih besar dari dirinya, kehilangan identitas, dan menjadi korban kapitalisme yang sering kali menjual ilusi kesuksesan. Dengan membandingkan novel ini dengan karya-karya realisme sosial, eksistensialisme, dan satire klasik, kita dapat melihat bahwa Kaas memiliki relevansi universal dalam memahami keterasingan manusia dalam masyarakat modern.
3. Karya Sastrawan Indonesia
Georg Lukács dalam The Theory of the Novel (Penguin, 1971) menjelaskan bahwa novel memiliki kemampuan untuk menggugah refleksi tentang berbagai aspek kehidupan, baik dari segi sosial, budaya, maupun psikologis. Jika novel ini mengeksplorasi tema keterasingan individu, impian yang tak terpenuhi, atau pergulatan batin tokohnya, maka pembaca Indonesia dapat menemukan relevansi dengan pengalaman hidup mereka sendiri.
Benedict Anderson dalam Imagined Communities (Verso, 1983) menekankan bahwa dalam konteks masyarakat yang tengah mengalami perubahan sosial, modernisasi, dan pergeseran nilai-nilai budaya, novel dapat menjadi cermin yang membantu memahami dampak perubahan tersebut terhadap individu maupun komunitas.
Taufik Abdullah dalam Sejarah dan Masyarakat (LP3ES, 1987) mengungkapkan bahwa jika sebuah novel memiliki unsur sejarah atau latar budaya tertentu, ia dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang akar-akar persoalan yang masih relevan hingga kini.
Damono dalam Sastra dan Realitas Sosial (Gramedia, 1979) menyatakan bahwa pembaca Indonesia sering kali menghargai novel yang tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menghadirkan refleksi sosial yang tajam. Dengan demikian, novel ini dapat memperkaya pemahaman pembaca tentang dinamika manusia dalam berbagai situasi dan menjadi medium untuk berdialog dengan realitas yang ada di sekitar mereka.
Harry Aveling dalam Social Commitment in Literature and the Arts (Heinemann, 1986) mengamati bahwa novel-novel karya sastrawan Indonesia sering memiliki kesamaan dalam pendekatan cerita dengan karya internasional, tergantung pada tema yang diangkat.
A. Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (Nijhoff, 1979) membahas bahwa jika novel ini menyoroti pergulatan batin dan keterasingan individu, maka ia bisa dibandingkan dengan Ziarah karya Iwan Simatupang. Novel ini merupakan karya eksistensialis yang menggambarkan pencarian makna hidup seorang pria yang berusaha memahami dirinya sendiri dalam dunia yang absurd.
Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (Gallimard, 1943) menjelaskan konsep eksistensialisme yang serupa, yakni bagaimana manusia menghadapi kebingungan terhadap takdir dan kehidupannya sendiri. Jika novel ini memiliki unsur filsafat atau eksistensialisme, maka ia berada dalam ranah yang sama dengan Ziarah.
Tony Day dalam Between Science and Fiction: The World of Pramoedya Ananta Toer (Oxford, 2000) menyoroti bahwa jika novel ini memiliki kritik sosial yang tajam terhadap ketimpangan atau perubahan sosial, maka ia bisa disejajarkan dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Bumi Manusia atau Gadis Pantai.
George Lane dalam Revolutionary Literature in Independent Indonesia (Cornell, 1991) menunjukkan bahwa Pramoedya sering menggambarkan konflik antara individu dengan sistem yang menekan mereka. Jika novel ini menyoroti ketidakadilan sosial atau dampak kolonialisme secara langsung maupun tidak langsung, maka ia memiliki kedekatan dengan novel-novel Pramoedya yang mengkritik tatanan sosial dan politik yang menindas.
Anne Adams dalam Cultural and Class Politics in New Order Indonesia (Cambridge, 1995) menambahkan bahwa novel yang berisi kritik terhadap tatanan sosial sering kali memiliki daya tarik lebih bagi pembaca yang tertarik pada perubahan sosial.
Virginia Matheson Hooker dalam Javanese Literature in Transition (KITLV, 1982) mengamati bahwa jika novel ini lebih menekankan pada potret masyarakat pedesaan dan pergulatan antara tradisi serta modernitas, maka ia memiliki kesamaan dengan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel ini menggambarkan bagaimana seorang perempuan desa terjebak dalam sistem sosial yang membatasi kebebasannya.
A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (Pustaka Jaya, 1989) mengungkapkan bahwa jika novel ini mengeksplorasi konflik seperti benturan antara tradisi dan perubahan zaman, maka ia memiliki kedekatan dengan pendekatan yang digunakan Ahmad Tohari dalam menampilkan kehidupan masyarakat kecil dengan segala dinamikanya.
M. B. Hooker dalam Fatwas of the Council of Indonesian Ulama (ISEAS, 1993) menyebut bahwa jika novel ini mengangkat isu keislaman dan pergulatan spiritual, maka ia bisa dibandingkan dengan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.
M. C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200 (Stanford, 2008) mencatat bahwa novel Hamka tidak hanya bercerita tentang kisah cinta, tetapi juga refleksi mendalam tentang adat, agama, dan perjuangan individu dalam menghadapi takdirnya.
R. Michael Feener dalam Muslim Legal Thought in Modern Indonesia (Harvard, 2007) menambahkan bahwa jika sebuah novel memiliki tema pencarian spiritual atau kritik terhadap kemunafikan dalam masyarakat, maka novel Kaas memiliki kedekatan dengan novel-novel Hamka yang menyentuh aspek moral dan religius dengan kuat.
Tineke Hellwig dalam In the Shadow of Change: Images of Women in Indonesian Literature (Brill, 2012) menyimpulkan bahwa dengan membandingkan sebuah novel dengan karya sastrawan Indonesia, kita dapat melihat bahwa meskipun tema yang diangkat mungkin serupa, setiap novel memiliki ciri khas tersendiri dalam cara bertutur, membangun karakter, serta menyampaikan pesan. Jika novel ini berhasil menyajikan perspektif baru atau gaya bercerita yang unik, maka ia tidak hanya menjadi bagian dari tradisi sastra Indonesia, tetapi juga bisa memperkaya wawasan pembaca tentang kompleksitas kehidupan manusia dalam konteks budaya yang lebih luas.
Novel Kaas karya Willem Elsschot menggambarkan pergulatan individu dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian, sebuah tema yang juga banyak diangkat oleh sastrawan besar Indonesia. Tokoh utama, Frans Laarmans, adalah seorang pegawai biasa yang tiba-tiba mendapatkan kesempatan menjadi agen penjualan keju, meskipun ia sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang bisnis. Ketidakpastian dan kebimbangannya dalam menjalani perubahan ini mencerminkan kegelisahan individu dalam menghadapi realitas yang kerap tak sejalan dengan harapan. Dalam konteks sastra Indonesia, pergulatan semacam ini dapat dikaitkan dengan berbagai karya besar yang juga mengeksplorasi dilema individu di tengah tekanan sosial, ekonomi, dan budaya.
Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia menampilkan karakter Minke yang berusaha keluar dari keterbatasan sosial dan menghadapi benturan dengan sistem yang menekan. Seperti Laarmans yang berusaha memasuki dunia bisnis yang tidak dikenalnya, Minke juga berjuang melawan struktur sosial kolonial yang membatasi geraknya. Kedua tokoh ini menghadapi realitas yang keras ketika harapan mereka berbenturan dengan dunia yang tidak selalu memberikan peluang sesuai impian. Sementara itu, Ziarah karya Iwan Simatupang menghadirkan tokoh yang mengalami krisis eksistensial dan pencarian makna dalam kehidupan yang absurd, mirip dengan pergulatan batin Laarmans dalam memahami perannya di dunia bisnis yang terasa asing baginya.
Di sisi lain, Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk menyoroti bagaimana seseorang bisa terjebak dalam sistem sosial yang membatasi kebebasannya, serupa dengan cara Kaas mengkritik struktur bisnis dan masyarakat borjuis yang penuh absurditas. Muchtar Lubis dalam Senja di Jakarta juga menggambarkan realitas kehidupan perkotaan yang sarat ketidakpastian dan kepalsuan, yang dapat disandingkan dengan ironi dalam perjalanan Laarmans yang berusaha meraih kesuksesan tetapi justru semakin tersesat dalam kegagalannya.
Lebih jauh, gaya humor tragis yang digunakan Elsschot dalam Kaas memiliki kemiripan dengan pendekatan satir dalam karya Putu Wijaya, yang sering mengangkat absurditas dalam kehidupan manusia. Dengan mengolok-olok kebimbangan, ketakutan, dan kepalsuan dalam sistem sosial, Kaas menjadi sebuah refleksi tajam tentang ketidakberdayaan individu di hadapan tuntutan masyarakat yang serba kompetitif. Melalui perspektif ini, Kaas tidak hanya relevan dalam konteks sastra Eropa, tetapi juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan tradisi sastra Indonesia yang kerap menampilkan benturan antara harapan pribadi dan realitas sosial. Novel ini mengingatkan kita bahwa dilema yang dihadapi individu dalam dunia modern adalah sesuatu yang universal, melampaui batas budaya dan geografis.
Relevansi Novel Fi Sabil al-Jubn (Kaas) untuk Pembaca Indonesia
Novel Fi Sabil al-Jubn (Kaas) karya Willem Elsschot memiliki nilai penting bagi pembaca Indonesia, terutama dalam hal kritik sosial, refleksi kehidupan, dan pemahaman terhadap dinamika ekonomi dalam konteks global. Sebagai sebuah karya sastra yang memadukan humor tragis dan satir sosial, novel ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak pembacanya untuk merenungkan berbagai aspek kehidupan modern yang penuh ironi. Dengan latar belakang cerita tentang seorang pegawai biasa yang tiba-tiba harus terjun ke dunia bisnis tanpa pengalaman, novel ini menyentuh tema yang relevan bagi masyarakat Indonesia yang sering dihadapkan pada perubahan ekonomi dan tantangan dalam dunia kerja.
Salah satu aspek penting dari novel ini adalah kritik terhadap dunia bisnis dan kapitalisme, yang secara tidak langsung juga mencerminkan pengalaman banyak orang dalam sistem ekonomi yang semakin kompetitif. Frans Laarmans, sang tokoh utama, melambangkan individu yang terjebak antara kenyamanan hidup yang stabil tetapi membosankan dan keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar meskipun penuh dengan risiko. Ini mencerminkan realitas banyak pekerja di Indonesia yang merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka tetapi juga ragu untuk mengambil langkah berani dalam mengejar impian atau berwirausaha. Kisah Laarmans menjadi representasi dari ketakutan, kegagalan, dan ketidakpastian yang sering dihadapi oleh mereka yang mencoba keluar dari zona nyaman.
Selain itu, novel ini juga menyoroti bagaimana seseorang menghadapi tekanan sosial dan ekspektasi masyarakat. Dalam masyarakat yang semakin materialistis, kesuksesan sering kali diukur berdasarkan pencapaian finansial, sesuatu yang juga terjadi di Indonesia. Ketika Laarmans mencoba membangun bisnis keju, ia bukan hanya menghadapi tantangan dari dalam dirinya sendiri tetapi juga tekanan dari lingkungan sekitarnya. Ini menjadi relevan dalam konteks sosial Indonesia, di mana individu sering kali merasa harus mengikuti standar kesuksesan yang ditetapkan oleh masyarakat, meskipun hal itu bertentangan dengan kebahagiaan pribadi mereka.
Dari perspektif sastra, novel ini juga menawarkan gaya penulisan yang unik dengan humor tragis yang tajam. Gaya satir Elsschot tidak hanya menghibur tetapi juga menyajikan kritik halus terhadap struktur sosial dan ekonomi. Dalam konteks sastra Indonesia, pendekatan semacam ini dapat disandingkan dengan karya-karya yang mengandung unsur satir sosial, seperti novel-novel Pramoedya Ananta Toer atau Umar Kayam, yang menggunakan kisah pribadi tokohnya untuk mengkritik kondisi sosial yang lebih luas. Dengan demikian, jika novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia dapat menjadi tambahan berharga dalam khazanah sastra terjemahan, memberikan wawasan baru tentang bagaimana sastra dapat digunakan sebagai alat refleksi sosial yang tajam.
Lebih jauh, novel ini juga dapat dipahami dalam konteks globalisasi dan tantangan ekonomi modern. Di tengah dunia yang semakin terhubung, banyak orang harus menyesuaikan diri dengan perubahan cepat dalam sistem ekonomi dan bisnis. Kisah Laarmans adalah cerminan dari kegagalan dan ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi dengan dunia bisnis yang keras, sesuatu yang juga bisa ditemukan dalam realitas masyarakat Indonesia. Dengan semakin banyaknya orang yang beralih profesi atau mencoba wirausaha, novel ini menawarkan refleksi mendalam tentang bagaimana individu menghadapi tantangan tersebut, baik dari segi psikologis maupun sosial.
Dengan demikian, Fi Sabil al-Jubn tidak hanya relevan sebagai karya sastra dunia tetapi juga memiliki nilai bagi pembaca Indonesia dalam memahami dilema kehidupan modern. Melalui kisah sederhana tentang seorang pria yang terjebak dalam bisnis keju, Willem Elsschot berhasil menggambarkan kegelisahan manusia yang universal—sebuah tema yang tetap relevan di mana pun, termasuk di Indonesia. Jika suatu saat novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia dapat menjadi bahan bacaan yang berharga, baik bagi mereka yang mencari hiburan maupun mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan sistem ekonomi yang mengikat kehidupan mereka.
Kesimpulan
Novel Fi Sabil al-Jubn adalah novel karya Willem Elsschot yang diterjemahkan dari bahasa Flemish ke dalam bahasa Arab, menjadi novel Flemish pertama yang diterjemahkan ke bahasa tersebut. Terjemahan yang diterbitkan oleh Sphinx Agency pada tahun 2018 tetap mempertahankan humor tragis dari karya aslinya, dengan tambahan pengantar penerjemah dan catatan untuk memperkaya pemahaman pembaca terhadap konteks budaya dan sosial novel ini.
Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Frans Laarmans, seorang pegawai rendahan yang terjebak dalam ilusi kesuksesan ketika mencoba peruntungan dalam bisnis keju. Dengan harapan meningkatkan status sosialnya, Laarmans meninggalkan pekerjaan tetapnya dan terjun ke dunia perdagangan tanpa pengalaman yang cukup. Namun, ia segera menyadari bahwa dirinya tidak memiliki keterampilan bisnis, dan alih-alih meraih kesuksesan, ia justru mengalami keterasingan, kegagalan, dan kekecewaan. Novel ini menggambarkan absurditas kehidupan modern, di mana seseorang lebih terobsesi dengan citra sosial daripada substansi keberhasilan yang sesungguhnya.
Tema keterasingan dan absurditas dalam Fi Sabil al-Jubn memiliki kesamaan dengan beberapa karya sastra dunia. Dalam sastra Eropa, misalnya, The Metamorphosis karya Franz Kafka menampilkan tokoh Gregor Samsa yang mengalami keterasingan dalam keluarga dan masyarakat setelah berubah menjadi serangga, yang mencerminkan alienasi individu dalam sistem sosial yang menekan. Sementara itu, Bouvard et Pécuchet karya Gustave Flaubert mengisahkan dua tokoh yang terobsesi dengan pengetahuan tetapi gagal memahami dunia nyata, mirip dengan Laarmans yang gagal dalam bisnis karena terlalu sibuk dengan status sosialnya.
Dalam sastra Amerika, novel Death of a Salesman karya Arthur Miller mengangkat tema kegagalan dan ilusi kesuksesan dalam kapitalisme, mirip dengan perjalanan Laarmans yang akhirnya menyadari bahwa ia tidak cocok dalam dunia bisnis. Dari perspektif sastra Rusia, Notes from Underground karya Fyodor Dostoevsky juga menyoroti tokoh yang merasa terasing dari masyarakat dan mempertanyakan eksistensinya, yang selaras dengan pengalaman Laarmans dalam menghadapi dunia yang penuh ilusi dan tekanan sosial.
Dalam tradisi sastra Arab, Al-Saqr karya Tawfiq al-Hakim dan Al-Ayyam karya Taha Hussein menggambarkan pergulatan individu dalam masyarakat yang menekan, terutama dalam konteks perubahan sosial dan pencarian identitas. Seperti dalam Kaas, novel-novel ini juga mengeksplorasi tema keterasingan dan ketidakcocokan individu dengan lingkungan sekitarnya.
Sementara itu, dalam sastra Indonesia, novel-novel seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari juga mengangkat isu keterasingan individu dalam lingkungan sosialnya. Minke dalam Bumi Manusia menghadapi keterasingan sebagai pribumi yang berpendidikan di tengah kolonialisme, sementara Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk berjuang menghadapi identitas dan ekspektasi sosial yang mengekang.
Dengan membandingkan Fi Sabil al-Jubn dengan berbagai novel dari tradisi sastra yang berbeda, terlihat bahwa tema keterasingan, ilusi kesuksesan, dan absurditas kehidupan modern bersifat universal. Novel ini tidak hanya menjadi kritik terhadap kapitalisme dan masyarakat borjuis, tetapi juga sebuah cerminan dari pergulatan individu dalam menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan eksistensial di berbagai konteks budaya.
Novel Fi Sabil al-Jubn (Kaas) karya Willem Elsschot memiliki relevansi yang kuat bagi pembaca Indonesia, terutama dalam konteks kritik sosial, refleksi kehidupan, dan dinamika ekonomi. Melalui kisah Frans Laarmans, Elsschot menyoroti ketidakpastian hidup, tekanan sosial, serta tantangan dalam dunia bisnis dan kapitalisme—tema-tema yang juga dialami oleh masyarakat Indonesia. Dengan gaya satir dan humor tragis, novel ini tidak hanya menghibur tetapi juga memberikan wawasan kritis tentang kehidupan modern. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karya ini dapat menjadi tambahan berharga dalam khazanah sastra terjemahan dan menawarkan refleksi mendalam bagi pembaca tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan sistem ekonomi yang terus berubah.
Referensi
Achdiat K. Mihardja. (1949). Atheis. Balai Pustaka.
Ahmad Tohari. (1982). Ronggeng Dukuh Paruk. Pustaka Jaya.
Al Aswany, A. (2004). The Yacoubian Building. American University in Cairo Press.
Anwar, C. (1949). Aku. Dalam Deru Campur Debu. Pustaka Rakyat.
Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Éditions Galilée.
Bulgakov, M. (2000). The Master and Margarita. Penguin Classics.
Camus, A. (1942). Le mythe de Sisyphe. Gallimard.
Chekhov, A. (1991). The Cherry Orchard. Dover Thrift Editions.
Chekhov, A. (2002). The Lady with the Dog. Penguin Classics.
Chudori, L. S. (2012). Pulang. Kepustakaan Populer Gramedia.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An Introduction. Verso.
Elsschot, W. (2018). Fi Sabil al-Jubn (A. Al-Laithi, Trans.). Sphinx Agency.
Flaubert, G. (1881). Bouvard et Pécuchet. Charpentier et Cie.
Gogol, N. (1992). The Overcoat. Dover Publications.
Gogol, N. (1996). Dead Souls. Vintage Classics.
Hamka. (1938). Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Bulan Bintang.
Hussein, T. (1929). Al-Ayyam. Dar al-Ma'arif.
Kafka, F. (1925). The Trial. Die Schmiede.
Lubis, M. (1975). Harimau! Harimau!. Pustaka Jaya.
Lukács, G. (1963). The Meaning of Contemporary Realism. Merlin Press.
Melville, H. (1851). Moby-Dick. Harper & Brothers.
Mahfouz, N. (2001). The Cairo Trilogy. Everyman’s Library.
Pane, A. (1940). Belenggu. Balai Pustaka.
Rusli, M. (1922). Siti Nurbaya. Balai Pustaka.
Salih, T. (1969). Season of Migration to the North. Heinemann.
Sartre, J.-P. (1938). Nausea. Gallimard.
Sartre, J.-P. (1943). L'Être et le néant. Gallimard.
Tolstoy, L. (2003). Anna Karenina. Penguin Classics.
Tolstoy, L. (2010). War and Peace. Oxford University Press.
Toer, P. A. (1980). Bumi Manusia. Hasta Mitra.
Toer, P. A. (1981). Anak Semua Bangsa. Hasta Mitra.
Toer, P. A. (1985). Jejak Langkah. Hasta Mitra.
Toer, P. A. (1988). Rumah Kaca. Hasta Mitra.
Weber, M. (1978). Economy and Society. University of California Press.
al-Hakim, T. (1960). Al-Saqr. Dar al-Ma'arif.
*Pagaulan-Cikarang, malam Ramadan ke-30 1446 H /29 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar