Sejarah Jawa dan Warisan Monumentalnya
Cak Yo
Sejak lama, saya tertarik kepada sejarah. Ketertarikan ini membawa saya menjelajahi berbagai buku yang ditulis oleh para sejarawan. Sejarah didefinisikan oleh para sejarawan, seperti oleh Heredotus, sejarawan Yunani kuno abad ke-5 SM, dalam bukunya The Histories (Penguin Classics, 1996), sebagai upaya merekam berbagai peristiwa agar tidak terlupakan. R.G. Collingwood, dalam The Idea of History (Oxford University Press, 1946), menyatakan bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lalu berdasarkan bukti. Sejarawan Barat termashur Arnold J. Toynbee, dalam A Study of History (Oxford University Press, 1934-1961), memandang sejarah sebagai studi tentang peradaban dalam merespon tantangan.
Sejarawan Muslim Ibn Khaldun, dalam karya monumentalnya, Muqaddimah, terjemahan Inggris oleh Franz Rosenthal (Princeton University Press, 1967), mendefinisikan sejarah sebagai catatan atau ilmu tentang peradaban ('ulûm al-umrãn). Edward H. Carr, dalam What Is History? (Penguin Books, 1961), melihat sejarah sebagai dialog antara masa lalu dan masa kini. Dari berbagai definisi ini menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan peristiwa, tetapi juga analisis tentang bagaimana dan mengapa peristiwa terjadi.
Sejumlah ahli sejarah juga telah menulis mengenai pentingnya sejarah dan manfaatnya bagi manusia. Arnold J. Toynbee dalam A Study of History mengatakan bahwa sejarah membantu kita memahami bagaimana peradaban bangkit dan runtuh, sehingga dapat mengambil pelajaran untuk menghindari kejatuhan serupa di masa depan.
Edward H. Carr, dalam What Is History?, menjelaskan bahwa sejarah membantu kita memahami pola peristiwa yang berulang serta bagaimana keputusan masa lalu membentuk dunia saat ini. Sementara itu, Marc Bloch dalam The Historian’s Craft (Manchester University Press, 1949) melihat sejarah sebagai laboratorium pengalaman manusia, memungkinkan kita memahami perkembangan masyarakat, konflik, dan penyelesaiannya.
Yuval Noah Harari dalam Sapiens: A Brief History of Humankind (Harvill Secker, 2011), menjelaskan bahwa sejarah membentuk mitos, ideologi, dan struktur sosial yang mengatur kehidupan manusia, memungkinkan kita untuk berpikir lebih kritis terhadap dunia di sekitar kita. Selain itu, Indonesianis Benedict Anderson dalam Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Verso Books, 1981) mengungkap bahwa sejarah berperan dalam membentuk identitas nasional dan kebangsaan, memperkuat rasa kebersamaan dalam suatu masyarakat. Dengan membaca sejarah, kita tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang masa lalu, tetapi juga melatih berpikir kritis, memahami perubahan sosial, serta mengambil keputusan yang lebih bijak dalam membangun masa depan.
Salah satu dari perbendaharaan sejarah yang saya sukai adalah sejarah Jawa. Banyak buku tentang ini yang sudah ditulis. Buku besar karya Thomas Stanford Raffles, The History of Java (London: Black, Parbury, and Allen, 1817) mendokumentasikan sejarah, budaya, dan masyarakat Jawa berdasarkan pengamatan Raffles selama menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811–1816). Selain itu, sejarawan M. C. Ricklefs telah menulis beberapa buku penting, seperti A Short History of Java (Cambridge University Press, 2008), yang memberikan gambaran ringkas sejarah Jawa dari zaman kuno hingga modern, serta Modern Java: A History from the Early Nineteenth Century to the Present (Cambridge University Press, 2020), yang membahas perkembangan sosial-politik dan ekonomi Jawa sejak abad ke-19.
Buku Islamic States in Java 1500–1700 (Martinus Nijhoff, 1976), oleh H.J. de Graaf menguraikan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Sementara itu, Peter Carey dalam The British in Java, 1811–1816: A Javanese Account (Oxford University Press, 1992) menyajikan perspektif Jawa tentang pendudukan Inggris di Jawa. Kajian budaya Jawa juga dieksplorasi oleh B. J. Terwiel dalam Javanese Culture and the Meanings of Locality (KITLV Press, 2014).
Buku lainnya tentang Jawa yang merupakan warisan kuno orang Jawa adalah Babad Tanah Jawi. Buku ini adalah karya sastra sejarah Jawa yang mengisahkan asal-usul para penguasa Jawa, dari Aji Saka hingga Kesultanan Mataram. Edisi awal buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda oleh J.J. Meinsma (1874), dengan judul Babad Tanah Djawi in proza: Javaansche geschiedenis. Namun, edisi terkenalnya yang disunting oleh W.L. Olthof (Balai Pustaka, 1941), menjadi sumber historiografi tradisional dan menjadi rujukan penting dalam memahami sejarah dan budaya Jawa. Buku Babad Tanah Jawi memadukan mitologi, legenda, dan sejarah.
Buku-buku tentang sejarah Jawa itu membuka pemahaman tentang bagaimana sejarah, budaya, politik, dan agama di Jawa dari masa ke masa. Membaca buku-buku sejarah Jawa, bagi saya, sebagai cara untuk memahami warisan leluhur dan bagaimana nilai-nilai masa lalu masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa hingga kini.
Banyaknya karya tentang sejarah Jawa menunjukan bahwa sejarah Jawa telah menjadi subjek kajian berbagai sejarawan, yang menghasilkan banyak buku dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan Bahasa Indonesia. Kali ini buku yang saya baca, sebuah buku klasik, tentang warisan monumental Jawa. Buku karya J.F. Scheltema, Monumental Java (London: MacMillan and Co., 1912) sangat menarik perhatian saya. Karena itu, saya akan mendeskripsikan buku ini dari halaman-halaman dalam beberapa bagian buku ini.
Warisan Monumental Jawa: Dari Batu Tulis Bogor sampai Candi Borobudur
Buku Monumental Java oleh J.F. Scheltema terbagi ke dalam beberapa bab yang membahas sejarah dan kebudayaan Jawa melalui peninggalan monumental. Bab I menyoroti hubungan antara negara, rakyat, dan karya besar yang mereka hasilkan, memperlihatkan bagaimana kekuasaan politik dan sosial memengaruhi pembangunan warisan budaya. Bab II berfungsi sebagai pengantar menuju pembahasan mendalam tentang berbagai wilayah di Pulau Jawa.
Bab III mengulas situs-situs bersejarah di Jawa Barat, yang mencerminkan jejak peradaban kuno seperti Tarumanagara dan Pajajaran. Bab IV secara khusus membahas Prambanan, kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, dengan tinjauan arsitektural dan makna simboliknya.
Melanjutkan eksplorasi, Bab V menelusuri berbagai peninggalan sejarah lain di Jawa Tengah, seperti Dieng dan candi-candi bercorak Hindu-Buddha lainnya. Bab VI kemudian berfokus pada Jawa Timur, menampilkan warisan budaya dari era kerajaan-kerajaan besar seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Dalam Bab VII, perhatian diarahkan pada pengaruh ajaran Buddha di Jawa, baik dari segi arsitektur maupun nilai-nilai spiritual yang berkembang di masyarakatnya.
Masuk ke bagian yang lebih mendalam, Bab VIII mengajak pembaca untuk memahami Borobudur dari berbagai pendekatan historis dan budaya, sebelum dalam Bab IX dibahas lebih lanjut mengenai struktur fisik dan relief-relief yang menghiasi candi tersebut. Akhirnya, Bab X menggali jiwa Borobudur, mengungkap filosofi dan makna spiritual yang terkandung dalam monumen ini. Buku ini kemudian ditutup dengan bibliografi, glosarium, dan indeks sebagai pelengkap bagi pembaca yang ingin menelusuri lebih lanjut tentang peradaban Jawa.
Buku dengan ketebalan 412 halaman ini sangat kaya dengan bibliografi yang menjadi rujukan penulisnya, J.F. Scheltema. Publikasi dari lembaga-lembaga terpelajar seperti Royal Institute of the Dutch East Indies, Royal Geographical Society of the Netherlands, Batavian Society of Arts and Sciences, merupakan gudang pengetahuan yang kaya akan pengetahuan tentang Hindia Belanda, banyak monograf terpenting yang dikandungnya, tersedia dalam bentuk buku atau pamflet. Belum lagi pengetahuan spesifik yang diperoleh dari sumber-sumber seperti Laporan resmi Komisi Arkeologi Jawa dan Madura, Buletin Museum Kolonial di Haarlem, dan lain-lain, dari terbitan berkala seperti Het Tijdschrift voor Binnenlandsch Bestuur, Het Indisch Militair Tijdschrift, dan lain-lain. Hasil pengamatan berbobot terhadap berbagai aspek pemerintahan Belanda di Kepulauan Melayu dapat ditemukan seperti dalam De Gids, De Tijdspiegel dan De Indische Gids yang memuat Het Tijd-schrift voor Nederlandsch Indie, yang didirikan oleh W. R. Baron van Hoevell.
Encyclopaedie van Nederlandsch Indie merupakan gudang informasi umum yang sangat berguna, meskipun penemuan-penemuan baru dan teori-teori lama bermunculan sejak kemunculannya, semakin menegaskan pentingnya buku ini. Adapun Daghregister Kastil Batavia, Neder-landsch Indisch Plakaatboek (1602-1811), menawarkan materi yang hampir tak ada habisnya untuk sejarah Jawa dan pulau-pulau lainnya pada masa Perusahaan Hindia Timur Belanda. Juga Repertorium J. C. Hooykaas (1595-1816), dilanjutkan oleh A. Hartmann hingga tahun 1893, dan oleh W. J. P. J. Schalker dan W. C. Muller hingga tahun 1910, memberikan indeks yang sangat baik mengenai kesusastraan kolonial Belanda.
Selain itu, Proeve eener Geographische Bibliographie van Nederlandsch Oost-Indie karya C. M. Kan (1865-1880) dan Bibliotheca Neerlando, karya Martinus Nijhoff Indica (1893), juga menjadi rujukan penulis. Juga karya-karya lain yang ia rujuk yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka, memberikan uraian lebih jauh, sesuai dengan jalur penyelidikan masing-masing, berkenaan dengan berbagai hal yang dibahas atau disinggung dalam buku Monumental Java ini.
Dalam "Pengantar", penulis mengakui bahwa buku Monumental Java ditulis dengan penuh kesadaran akan keterbatasannya, dan penulis merasa perlu mengungkapkan permohonan maaf, bukan kepada pembaca, melainkan kepada dirinya sendiri. Sebab, dalam menulis karya ini, ia lebih mengikuti keinginan pribadinya untuk mengenang kembali pengalaman yang menyenangkan di tengah kesibukan pekerjaannya, daripada berusaha menyusun suatu kajian akademik yang sistematis. Buku ini, pada dasarnya, merupakan hasil dari kesenangan pribadi penulisnya dalam menjelajahi monumen-monumen bersejarah di Jawa. Apa yang ia sajikan dalam buku ini sebagai refleksi pribadi penulis yang dihasilkan dari momen-momen menyendiri yang penuh kenangan.
Penulis buku mengatakan bahwa ia tidak berharap karyanya akan diterima dengan baik oleh kalangan tertentu yang gemar menerapkan standar akademik yang ketat dan membentuk lingkaran eksklusif pengagum sesama mereka. Ia sadar bahwa ada kalangan yang hanya mengakui kecerdasan dan wawasan di antara diri mereka sendiri dan teman-teman mereka, sehingga kritik dari mereka pasti akan datang. Untuk itu, sebelum mereka menyusun daftar panjang kekurangan dalam buku ini, penulis dengan jujur mengakui bahwa karyanya jauh dari kesempurnaan dan tidak dimaksudkan sebagai studi ilmiah yang mendalam.
Menurut penulis, buku yang menguraikan karya-karya monumental Jawa ini tidak berusaha menjadi katalog lengkap dari seluruh candi Hindu dan Buddha di Jawa yang masih tersisa. Ia tidak menyediakan pengukuran teknis, data statistik, atau rincian arsitektur yang terperinci—sesuatu yang bagi penulis justru terasa membosankan seperti statistik Hindia Belanda. Penulis juga tidak bermaksud menyusun risalah akademik yang komprehensif tentang seni dan arsitektur Jawa kuno. Juga, buku ini bukan panduan wisata yang bertujuan membantu pengunjung dalam menjelajahi pulau itu. Penulis menolak gagasan bahwa karyanya hanya menambah deretan "oleh-oleh" intelektual yang biasa dibawa pulang oleh wisatawan, yang sering kali diproduksi dengan standar rendah dan hanya mengejar pengakuan.
Sebaliknya, buku ini adalah kumpulan refleksi pribadi dari ingatan penulis tentang masa-masa yang ia habiskan di Jawa antara tahun 1874 hingga 1903, ketika ia menganggap pulau ini sebagai rumahnya. Melalui tulisan ini, ia ingin menghidupkan kembali pengalaman berjalan-jalan di berbagai sudut pulau yang indah, meninggalkan jalur-jalur utama yang sudah padat dan memilih untuk menjelajahi jalan-jalan kecil yang jarang dilalui, di mana ketenangan dan keindahan sejati dapat ditemukan.
Dalam menulis buku ini, penulis tidak sekadar ingin menyajikan deskripsi sejarah atau arkeologi yang kaku. Ia lebih tertarik pada bagaimana monumen-monumen tersebut berhubungan dengan lanskap alam dan peradaban Jawa, serta bagaimana mereka dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas. Meskipun demikian, ia tidak berusaha untuk menyusun narasi akademik yang mengikuti aturan konvensional. Ia bahkan mengakui bahwa dalam proses kreatifnya, ia lebih banyak mengikuti naluri dan kesenangan pribadi daripada mematuhi kaidah akademik yang ketat.
Dalam perjalanan penulisannya, ia sering kali merasa terbantu oleh sosok Ganesa, dewa kebijaksanaan yang dikenal sebagai pendamping mereka yang tengah berusaha menciptakan sesuatu. Dengan bimbingan Ganesa, ia membiarkan dirinya menikmati proses ini, termasuk dalam pemilihan ilustrasi yang mendampingi teks. Ia menolak untuk terlalu memikirkan kritik atau kesempurnaan dalam penyajian gambar-gambar ini, sebab ia percaya bahwa terlalu banyak pertimbangan justru akan menghambat kreativitas.
Namun, di balik kenikmatan dalam mengenang dan menulis, penulis juga mengakui harus menghadapi kenyataan pahit tentang kondisi pelestarian monumen di Jawa. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa banyak peninggalan bersejarah ini dibiarkan dalam keadaan yang memprihatinkan, akibat kelalaian pihak kolonial Belanda. Pemerintah kolonial tidak memiliki perhatian yang cukup terhadap peninggalan-peninggalan ini, sebab dalam pandangan mereka, barang antik yang tidak dapat dijual tidak memiliki nilai ekonomis. Bahkan, sering kali terjadi tindakan perusakan dan penjarahan terhadap monumen-monumen tersebut, baik oleh individu yang tidak bertanggung jawab maupun oleh kebijakan kolonial yang abai terhadap warisan budaya.
Beberapa tokoh seperti Junghuhn dan Rouffaer, ditegaskan oleh penulis, telah bersuara lantang menentang ketidakpedulian ini, tetapi usaha mereka sering kali tidak mendapat dukungan yang memadai. Akhirnya, baru pada tahun 1901, Pemerintah Belanda membentuk Komisi Arkeologi di bawah pimpinan Dr. J. L. A. Brandes, yang setelah wafat pada tahun 1905, digantikan oleh Dr. N. J. Krom. Namun, perjuangan mereka menghadapi birokrasi kolonial yang lamban dan penuh kepentingan tidaklah mudah. Upaya pelestarian sering kali tertunda karena pemerintah lebih mengutamakan keuntungan ekonomi daripada perlindungan terhadap warisan budaya.
Banyak monumen yang dibiarkan hancur, patung-patung dicuri oleh kolektor yang tidak bermoral, dan batu-batu berharga digunakan untuk pembangunan rumah pribadi, pabrik, jembatan, dan bendungan. Laporan-laporan resmi tentang pelestarian sering kali tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Sementara dokumen-dokumen tersebut tampak memberikan gambaran bahwa upaya pelestarian sedang berlangsung, kenyataannya banyak candi dan situs bersejarah yang masih terbengkalai dan terus mengalami kerusakan.
Ilustrasi dalam buku ini, memberikan gambaran tentang keindahan reruntuhan candi yang dibahas. Sebagian besar ilustrasi ini berasal dari foto-foto yang diambil oleh Dinas Arkeologi Hindia Belanda, serta dari berbagai fotografer seperti Tuan Charles, Van Es, dan Nieuwenhuis di Batavia, serta mendiang Cephas Sr. di Yogyakarta. Foto-foto ini membantu menunjukkan proses restorasi yang dilakukan pada beberapa candi, seperti Candi Pawon, Mendut, dan Borobudur.
Dalam menyusun bagian sejarah buku ini, penulis berusaha untuk menyeleksi teori-teori yang paling masuk akal, meskipun ia sadar bahwa pendekatannya ini bisa saja mendapat kritik dari para akademisi. Ia juga menyadari bahwa sistem transliterasi yang digunakannya mungkin tidak disukai oleh sebagian orang, tetapi ia merasa bahwa sistem ini adalah yang paling cocok untuk menyajikan istilah-istilah dalam bahasa Jawa dan Melayu dengan lebih baik.
Bagi J.F. Scheltema, buku ini bukan sekadar dokumentasi sejarah dan arkeologi, tetapi juga sebuah upaya untuk mengabadikan kenangan akan tempat yang pernah ia anggap sebagai rumah. Seperti sebuah mimpi indah yang kini hanya tinggal kenangan, penulisnya berharap pembaca juga dapat merasakan kehangatan dan pesona Jawa melalui halaman-halaman buku ini.
Batu Tulis: Monumen Tertua di Jawa Barat
Batu Tulis, yang berarti "batu bertulis," adalah sebuah prasasti yang terletak di dekat Bogor. Prasasti ini dibuat untuk memperingati pencapaian seorang penguasa bernama Parabu Raja Purana, atau yang lebih dikenal sebagai Ratu Dewata. Ia disebut sebagai pendiri Pakuan dan memegang gelar sebagai maharaja ratu aji dari Pakuan Pajajaran. Kerajaan ini menjadi pusat kebudayaan dan tradisi yang diwariskan oleh masyarakat Hindu di Jawa Barat. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pajajaran berawal dari pemukiman para pangeran petualang dari Tumapel di Jawa Timur. Setelah kehancuran Tumapel dan kejayaan Majapahit, Pajajaran berkembang menjadi kekuatan dominan di sisi barat Jawa. Namun, kerajaan ini akhirnya mengalami nasib serupa dengan pendahulunya—runtuh akibat ekspansi Islam.
Penaklukan wilayah pegunungan Priangan oleh para pemukim dari timur berlangsung perlahan. Bahkan setelah tunduk pada kekuatan yang lebih besar, penduduk asli tampaknya tetap memiliki pengaruh dalam pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam pantun Sunda, yang menyebutkan dua kelompok pemimpin yang terpisah: raja Pakuan sebagai penguasa utama dan menak Pajajaran sebagai golongan bangsawan. Dari sekitar abad ke-12 hingga awal abad ke-16, Pajajaran tetap menjadi kekuatan politik yang signifikan. Kerajaan ini mampu mengerahkan pasukan hingga seratus ribu prajurit. Raja-rajanya juga memiliki kendali penuh atas wilayah-wilayah yang mereka taklukkan. Sebagai contoh, seorang raja Pajajaran pernah memberikan kekuasaan atas Jayakarta (kemudian dikenal sebagai Yacatra) kepada saudaranya Kalayalang, sementara saudaranya yang lain, Barudin, diberikan kendali atas Banten. Kedua kerajaan ini kelak memainkan peran besar dalam jatuhnya Pajajaran. Kini, hampir tidak ada peninggalan nyata dari Pajajaran selain beberapa kisah dalam babad dan sedikit sisa-sisa arkeologis. Namun, komunitas Baduy di Banten Selatan sering dianggap sebagai keturunan langsung dari para pelarian Pajajaran yang menghindari Islamisasi.
Ketika Sunan Gunung Jati (Noor ad-Din Ibrahim bin Maulana Israïl) berhasil menanamkan Islam di Cirebon, ia mulai melakukan ekspansi militer untuk menyebarkan ajarannya ke seluruh Jawa Barat. Target pertamanya adalah Banten, yang pada saat itu memiliki posisi strategis bagi perdagangan Muslim karena jalur pelayaran melalui Selat Sunda. Pangeran Siwa dari Banten berusaha mempertahankan wilayahnya dengan mengadu domba pedagang Muslim dan Portugis. Namun, strategi ini tidak berhasil. Putra Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin, akhirnya mengalahkan Pangeran Siwa dan menyebarkan Islam di Banten dan Lampung. Sementara itu, putra Sunan Gunung Jati yang lain berhasil merebut Sunda Kalapa, meskipun Portugis telah mendirikan benteng di sana untuk mendukung sekutu mereka di Banten.
Pada tahun 1526, Maulana Hasanuddin memimpin pasukan Muslim untuk menyerang Pajajaran yang dipimpin oleh putra Raja Siliwangi. Pasukan Pajajaran mengalami kekalahan, ibu kota mereka jatuh, dan Islam menyebar dengan cepat. Strategi ini mirip dengan yang dilakukan oleh Raden Patah di Demak. Seiring waktu, Banten dan Cirebon menjadi bagian dari kerajaan Islam di pesisir utara Jawa, yang tunduk kepada Demak. Setelah runtuhnya Demak, dominasi politik beralih ke Mataram di bawah Senapati, mantan bupati yang ambisius. Dari sinilah Mataram Islam mulai berkembang sebagai kekuatan baru di Jawa.
Sementara itu, Cirebon yang pernah menjadi pusat kekuasaan Islam di Jawa Barat perlahan kehilangan pengaruhnya. Kota ini didirikan di atas bukit dekat laut dan menjadi pusat spiritual Islam di wilayah tersebut. Astana Gunung Jati, kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati, masih dihormati hingga kini meskipun telah mengalami banyak kerusakan. Keberadaan Kitab Papakam, yang dipengaruhi oleh hukum Hindu, menunjukkan bahwa unsur-unsur hukum pra-Islam masih bertahan hingga abad ke-18, bahkan setelah hukum Islam diadopsi secara resmi. Tiga teras terendah kompleks pemakaman diperuntukkan bagi keturunan Sunan Gunung Jati dan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Cirebon. Sementara itu, jalan menuju puncak kompleks hanya diperbolehkan bagi peziarah Muslim. Di puncaknya, terletak makam Sunan Gunung Jati, yang dianggap sebagai tempat paling suci di kawasan tersebut.
Dalam konteks arsitektur, pengaruh budaya Cina di Cirebon tidak dapat diabaikan. Hal ini terlihat jelas di daerah-daerah yang memiliki komunitas Cina yang signifikan. Para pengrajin, pemahat, dan pelukis dari Cina didatangkan ke Jawa dengan biaya besar. Klenteng-klenteng di sekitar Cirebon, termasuk yang berdekatan dengan tempat penyimpanan kereta Sunan Gunung Jati, menunjukkan pengaruh arsitektur khas Cina. Selain itu, budaya Cina juga membawa konsep desain lanskap dan gua buatan. Salah satu contoh terkenal adalah kompleks Sunyaragi di dekat Tegal. Tempat ini merupakan labirin batu yang digunakan oleh Sultan Sepuh sebagai tempat peristirahatan. Kompleks ini bahkan memiliki gua buatan dengan air terjun yang dapat menutup dirinya sendiri, menciptakan privasi bagi penggunanya.
Konon, Gubernur Jenderal Daendels pernah mencoba memasuki kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati dengan paksa. Namun, ia terpaksa mundur dengan tergesa-gesa setelah mengalami kejadian yang tidak terduga. Kisah ini, meskipun mungkin bersifat legenda, menunjukkan betapa sakralnya kompleks ini bagi masyarakat setempat.
Dieng: Negeri Ajaib di Punggung Jawa
Dataran tinggi Dieng adalah tempat di mana lima keresidenan di Jawa—Samarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen, dan Kadu—bertemu, diapit oleh dua lautan. Terletak di antara rangkaian gunung berapi yang membentuk tulang punggung Pulau Jawa, Dieng bukan sekadar hamparan tanah tinggi biasa. Dalam sejarah geologisnya, Dieng diyakini sebagai kawah besar yang pertama kali muncul ke permukaan dan akan tetap bertahan paling lama sebelum akhirnya tenggelam dalam kehancuran terakhir pulau ini. Alam, dengan segala misterinya, memberikan pesona khas di tempat ini. Namanya sendiri, yang dalam bahasa Jawa berasal dari "adi aëng" atau "sangat indah," mencerminkan keagungan pemandangan yang ditawarkan.
Candi-candi di Dieng termasuk yang tertua dan paling menawan di Jawa, meskipun mungkin bukan yang terbesar. Ada berbagai teori mengenai asal-usul permukiman Hindu yang membangun kompleks ini. Sebagian menduga bahwa peradaban awalnya berasal dari Priangan, sementara bukti lain menunjukkan kemungkinan kedatangan langsung dari India Selatan. Temuan prasasti Venggi mendukung dugaan tersebut, memperlihatkan jejak sejarah yang kaya. Salah satu prasasti yang ditemukan dan diteliti lebih lanjut di Batavia pada tahun 1885 mencatat angka tahun 731 Saka (809 M). Ini menunjukkan bahwa pada saat Dinasti Abbasiyah berkembang di Baghdad dan Umayyah berkuasa di Cordova, peradaban Dieng telah mencapai puncaknya. Namun, bagaimana masyarakatnya bangkit, berkembang, dan akhirnya runtuh tetap menjadi misteri. Selama berabad-abad, Dieng hanya dikenal dalam legenda sebagai tempat angker yang dihuni oleh makhluk-makhluk gaib.
Sejak sekitar tahun 1800, wilayah ini mulai dihuni kembali. Seiring waktu, jumlah desa bertambah dan ukuran permukiman pun berkembang. Hewan liar yang dulunya mendominasi kawasan ini perlahan menghilang, meskipun harimau masih sesekali muncul, menyerang ternak penduduk. Hutan-hutan yang dulunya lebat kini telah lenyap, dan berbagai upaya reboisasi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Namun, tanah vulkaniknya yang subur menghasilkan panen yang melimpah, terutama kubis, bawang, dan tembakau. Produk-produk ini menjadi komoditas utama dalam perdagangan lokal, dengan perantara Tionghoa membeli hasil panen dari petani untuk dijual ke pedagang di Pekalongan dan kota-kota lainnya. Batoor, salah satu desa terbesar dan paling makmur di daerah ini, menjadi pusat perdagangan, tempat para pelancong yang datang dari berbagai penjuru singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke jantung Dieng.
Dieng bukan hanya tentang keindahan alamnya, tetapi juga tentang jejak sejarah dan mitologi yang menghiasi tanahnya. Candi-candi yang berdiri di sini, meskipun telah banyak mengalami kerusakan akibat usia dan alam, tetap menjadi saksi bisu dari masa kejayaan yang telah lama berlalu. Keberadaan arca-arca dan relief yang masih tersisa memberikan gambaran bagaimana masyarakatnya memuja dewa-dewa Hindu, terutama Siwa, Wisnu, dan Brahma. Dalam berbagai ornamen dan arca yang ditemukan, Siwa tampak mendominasi, baik sebagai guru maupun sebagai penguasa keagungan kosmik. Wisnu hadir dalam berbagai wujud avatarnya, sementara Brahma, meskipun tidak sepopuler dua dewa lainnya, tetap dihormati dengan keberadaan patung-patungnya yang dulu menghiasi candi.
Seiring waktu, kisah Dieng terus berkembang, dari legenda hingga realitas sejarah yang dapat ditelusuri melalui peninggalan arkeologis. Tempat ini pernah menjadi pusat spiritual dan intelektual, kemudian terlupakan, lalu ditemukan kembali sebagai kawasan pertanian dan wisata. Dieng hari ini mungkin tidak lagi menjadi pusat ritual Hindu seperti dahulu, tetapi atmosfer mistisnya masih terasa. Kabut yang kerap menyelimuti dataran tinggi ini seakan menyimpan rahasia masa lalu, mengingatkan bahwa di balik keheningan dan kesejukan yang menyelimuti, terdapat jejak peradaban yang pernah berjaya dan kini menjadi bagian dari sejarah Jawa yang monumental.
Jawa Tengah: Pusat Kebudayaan dan Tradisi yang Bertahan
Selama lebih dari empat abad, dari sekitar tahun 940 hingga masa kejayaan Majapahit, terdapat sebuah peristiwa besar yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Pada masa itu, peradaban Hindu yang mengalami kemunduran berusaha mencari perlindungan lebih jauh ke wilayah timur. Namun, sepanjang sejarahnya, Jawa Tengah—terutama wilayah yang kini kita kenal sebagai kerajaan-kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta—telah menjadi pusat utama kehidupan di pulau ini.
Di wilayah ini, masyarakat Jawa yang otentik tetap bertahan dan menjaga nilai-nilai tradisional yang mereka warisi. Mereka adalah kelompok yang dianggap mendapat berkah dari langit, tetap teguh dalam mempertahankan warisan budaya mereka meskipun keadaan dunia terus berubah. Kejayaan, kekuasaan, bahkan kebebasan dapat saja memudar, tetapi tradisi yang mereka jaga serta lanskap pegunungan dan lembah subur tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Orang Jawa menjalani kehidupan yang begitu erat dengan adat dan formalitas, sesuatu yang kerap sulit dipahami oleh orang luar, terutama mereka yang berasal dari dunia Barat. Pola pikir orang Jawa menyimpan kekuatan tersembunyi, hasil dari perjalanan panjang peradaban mereka yang unik. Walaupun sulit bagi orang luar untuk memahami cara kerja pikiran mereka, hasil kreativitas dan seni yang mereka hasilkan tetap mengundang kekaguman.
Seni dan kerajinan yang berkembang di Jawa Tengah memiliki karakteristik yang sangat khas. Warisan kreatif mereka masih dapat kita lihat dalam berbagai bentuk seni, seperti tembikar, ukiran kayu, perhiasan emas, pembuatan senjata, hingga seni membatik yang diwariskan secara turun-temurun. Selain itu, sisa-sisa arsitektur megah dari masa lalu juga menjadi bukti kejayaan peradaban ini.
Sejarawan seni James Fergusson pernah mengatakan bahwa tidak ada bagian dalam sejarah seni di Timur yang penuh dengan anomali atau begitu mengguncang pemahaman konvensional seperti sejarah arsitektur Jawa. Pulau ini adalah satu-satunya wilayah di mana pengaruh Hindu benar-benar mendominasi, menggantikan kebudayaan asli yang telah ada sebelumnya. Namun, yang mengejutkan, migrasi budaya ini tidak datang dari pantai terdekat di India, melainkan dari pantai baratnya.
Salah satu bukti awal dari aktivitas seni di Jawa Tengah adalah lingga yang didirikan di Kadu pada tahun 732 Masehi, sebagai simbol pemujaan kepada Siwa. Periode gemilang seni arsitektur Jawa Tengah, yang sering disebut oleh G. P. Rouffaer sebagai "periode klasik arsitektur Jawa Tengah," dimulai dengan pembangunan berbagai candi besar, seperti Candi Buddha Kalasan atau Kali Bening. Selain itu, prasasti peninggalan Raja Sanjaya yang ditulis dalam aksara Venggi, serta peninggalan arsitektur Hindu di Candi Suku dan Candi Cheto, menunjukkan adanya kecenderungan pemujaan terhadap Wisnu di masa lampau.
Dalam dunia seni tekstil, membatik merupakan salah satu teknik pewarnaan kain yang unik. Prosesnya dilakukan dengan cara mencelupkan kain ke dalam larutan pewarna berulang kali, sambil melindungi bagian tertentu menggunakan campuran lilin lebah dan resin. Teknik ini berkembang sebagai salah satu ekspresi seni yang khas dari masyarakat Jawa.
Jawa Timur: Pusat Kreativitas yang Dinamis
Setelah periode keemasan seni di Jawa Tengah berakhir secara tiba-tiba pada sekitar tahun 928 M, pusat kebudayaan berpindah ke Jawa Timur. Wilayah ini kemudian memasuki era perkembangan seni yang begitu pesat, yang berlangsung selama lebih dari enam abad, hingga runtuhnya Majapahit.
Jika dibandingkan dengan candi-candi besar dari masa kejayaan Jawa Tengah, arsitektur Jawa Timur mungkin tidak semegah pendahulunya. Namun, perbedaannya terletak pada keberagaman bentuk dan gaya yang dihasilkan. Sejumlah besar prasasti yang ditemukan sejak abad ke-10 hingga abad ke-15 memberikan wawasan tentang perkembangan arsitektur di daerah ini. Mayoritas peninggalan ini tersebar di sepanjang Sungai Brantas, terutama di wilayah Pasuruan, Kediri, dan Surabaya.
Pada masa-masa selanjutnya, pengaruh Hindu di Jawa Timur semakin berkembang. Namun, ekspansinya tidak lagi dipicu oleh semangat keagamaan yang berkobar sebagaimana di masa awal. Sebaliknya, pengaruh ini mulai beradaptasi dengan kondisi lokal, termasuk faktor iklim, kebiasaan masyarakat, serta keunikan budaya setempat.
Periode perkembangan seni dan arsitektur di Jawa Timur dapat ditelusuri berdasarkan sebaran prasasti. Beberapa yang tertua berasal dari wilayah Madiun, Kediri, Surabaya, dan Pasuruan pada sekitar tahun 890 hingga 1140 Masehi. Kemudian, terdapat peninggalan dari Kediri yang berasal dari tahun 1120 hingga 1460, serta dari Surabaya yang berkembang dari tahun 1270 hingga 1490.
Pada masa pemerintahan Ken Arok dan dinasti Majapahit, seni arsitektur di Jawa Timur mencapai puncaknya. Meskipun tidak dapat menandingi kemegahan Borobudur atau Prambanan, keindahan arsitektur di wilayah ini tetap memancarkan daya tarik tersendiri. Kekurangan dalam aspek simetri dan struktur monumental digantikan oleh dekorasi yang sangat kaya dan penuh fantasi.
Para arsitek di era Majapahit berusaha mencapai kesempurnaan dalam detail ornamen mereka, suatu pendekatan yang dikritik oleh John Ruskin sebagai kelemahan utama dalam seni Renaisans pada tahap awalnya. Dalam proses ini, para seniman lebih fokus pada kehalusan teknik daripada mempertahankan jiwa dari seni itu sendiri. Namun demikian, meskipun menunjukkan tanda-tanda kemunduran, hasil karya dari periode ini tetap memiliki nilai artistik yang tinggi dan tidak kehilangan esensinya.
Perubahan dalam motif dekoratif juga cukup signifikan. Jika di Jawa Tengah ornamen spiral banyak digunakan sebagai elemen struktural, di Jawa Timur pola ini mengalami perubahan dan hanya menjadi hiasan di bagian-bagian kecil, seperti bingkai jendela candi Panataran. Demikian pula, kepala kala tetap bertahan, tetapi makara berubah menjadi bentuk yang menyerupai nyala api. Di beberapa candi seperti Jago dan Toompang, elemen-elemen dekoratif ini bahkan mengalami transformasi yang lebih drastis.
Mengenai pengaruh agama, ada dugaan bahwa pergeseran dari Jawa Tengah ke Jawa Timur terjadi sebagai dampak dari berkembangnya agama Buddha di pusat pulau. Di Jawa Timur, kecenderungan pemujaan terhadap Siwa terlihat lebih dominan, terutama pada masa Majapahit. Namun, masih perlu dibuktikan apakah Majapahit benar-benar mempertahankan tradisi Siwa dalam bentuk yang murni, ataukah justru mengadopsi unsur-unsur lain, termasuk dari ajaran Wisnu dan Buddha.
Faktanya, terdapat banyak indikasi bahwa Majapahit juga memiliki unsur-unsur sinkretisme, mirip dengan yang terjadi di Prambanan dan Mendut. Pada masa pemerintahan Mataram Kuno, agama Buddha tampaknya telah memengaruhi masyarakat di wilayah timur. Meskipun tidak ada candi di Jawa Timur yang secara khusus didedikasikan untuk Buddha seperti Borobudur, Mendut, atau Sewu, pengaruh doktrin Buddha masih dapat ditemukan, misalnya di Kediri, Surabaya Selatan, dan Pasuruan Utara.
Seorang pengelana Tiongkok, Hiuen Tsiang, yang berkelana di India pada abad ke-7, pernah mencatat bahwa di Jawa, agama Hindu dan Buddha berkembang berdampingan secara harmonis. Para raja Majapahit pun tampaknya mengikuti pola ini, dengan tidak secara eksklusif mengikat diri pada satu kepercayaan tertentu, melainkan menyesuaikan dengan kebutuhan politik dan sosial pada zamannya. Dalam berbagai kitab hukum dan karya sastra dari periode ini, terdapat banyak referensi yang menunjukkan adanya toleransi antara para pendeta Siwa dan biksu Buddha.
Dengan demikian, meskipun mengalami banyak perubahan sepanjang sejarahnya, kebudayaan Jawa tetap menunjukkan kesinambungan yang luar biasa, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Setiap wilayah memiliki karakteristiknya sendiri, tetapi keduanya tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan besar Nusantara.
Pada bagian selanjutnya, penulis buku ini, J.F. Scheltema, membahas tentang perkembangan arsitektur dan spiritualitas di Jawa, khususnya pada periode Hindu-Buddha. Salah satu contohnya adalah transisi arsitektur Jawa Timur yang ditandai dengan metode konstruksi dan detail bangunan, sebagaimana yang terlihat di Candi Panataran. Selain itu, Candi Singosari, yang dibangun pada tahun 1278 sebagai makam Kertanegara, raja terakhir Tumapel, mencerminkan gaya arsitektur yang mencerminkan pengaruh Siwa-Buddha.
Candi Singosari sendiri memiliki sejarah yang tragis. Setelah kematian Kertanegara oleh Jaya Katong dari Daha, candi ini menjadi saksi penjarahan dan perusakan oleh penduduk sekitar yang tidak peduli dengan nilai sejarahnya. Meski demikian, beberapa peninggalan seperti arca Nandi, kereta matahari, serta patung Ganesa dan seorang wanita suci Buddha masih tersisa, menegaskan karakter keagamaan campuran candi ini. Dalam catatan sejarah Jawa, disebutkan bahwa Kertanegara dimakamkan di Singosari pada tahun 1295 dalam penyamaran sebagai Siwa-Buddha, yang menunjukkan bagaimana agama Hindu dan Buddha saling berbaur dalam kepercayaan masyarakat Jawa saat itu.
Selain itu, terdapat legenda tentang lorong bawah tanah yang menghubungkan Singosari dengan Polaman, tempat pengorbanan pada zaman Hindu, serta Mondoroko, yang memiliki patung-patung dewi dan relief yang mengingatkan pada kepercayaan Siwa dan Durga. Pada tahun 1904, ditemukan sebuah prasasti di kolam dekat Singosari yang mengonfirmasi bahwa Gajah Mada, atas nama Raja Wisnuwardhana, mendirikan candi-makam pada tahun 1351 untuk mengenang pendeta-pendeta Siwa dan Buddha.
Pada bagian lain, buku ini juga membahas tentang Candi Borobudur, yang dalam sejarahnya tidak pernah benar-benar dilupakan oleh masyarakat setempat, meskipun sempat tersembunyi di bawah tanah. Catatan dalam Babad Tanah Jawa menunjukkan bahwa tempat ini telah menjadi bagian dari sejarah dan spiritualitas Jawa jauh sebelum ditemukan kembali oleh Cornelius. Pada abad ke-18, Borobudur menjadi tempat perlindungan bagi Ki Mas Dana, seorang pemberontak yang akhirnya ditangkap dan dihukum dengan cara yang sangat kejam.
Buku ini juga mengkritik bagaimana kepercayaan dan sistem politik di Jawa berinteraksi dengan kolonialisme. Dalam perspektif penulis, doktrin agama yang menekan kehidupan sadar manusia sebagai sesuatu yang harus dihancurkan bertentangan dengan realitas budaya Jawa yang penuh kehidupan. Agama-agama besar, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen, sering kali diperalat oleh penguasa untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka, alih-alih menjadi pedoman spiritual yang murni.
Borobudur, dalam konteks ini, bukan sekadar monumen mati dari peradaban yang hilang, tetapi simbol kebenaran universal yang melampaui batas agama dan sejarah. Keindahan dan maknanya masih terasa dalam kehidupan masyarakat Jawa, yang tetap mempertahankan hubungan spiritualnya dengan alam dan kosmos. Dalam pandangan penulis, Borobudur bukan hanya peninggalan masa lalu, tetapi juga refleksi harapan dan kebangkitan spiritual yang dapat membawa pencerahan bagi masa depan Jawa.
Kesimpulan
Buku Monumental Java karya J.F. Scheltema, mengulas perkembangan arsitektur dan spiritualitas Jawa dari zaman Hindu-Buddha hingga interaksinya dengan kolonialisme dan modernitas. Candi-candi seperti candi-candi di Dieng, Prambanan, Singosari dan Borobudur menjadi simbol bagaimana agama dan politik saling berkelindan dalam sejarah Jawa.
Di satu sisi, Singosari menunjukkan bagaimana kepercayaan Siwa-Buddha berkembang di bawah pemerintahan Kertanegara, tetapi juga mengalami penjarahan akibat kurangnya kesadaran akan nilai sejarahnya. Di sisi lain, Borobudur menggambarkan percampuran antara spiritualitas dan perjuangan politik, yang tercermin dalam pemberontakan Ki Mas Dana serta bagaimana candi ini tetap memiliki makna bagi masyarakat lokal.
Penulis juga mengkritik bagaimana agama sering kali dimanipulasi oleh penguasa untuk kepentingan politik, baik oleh raja-raja Jawa maupun kolonialisme Barat. Namun, harapan tetap ada dalam keindahan dan makna yang terkandung dalam Borobudur. Candi ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga simbol pencerahan spiritual yang masih relevan dalam kehidupan masyarakat Jawa saat ini. Dengan demikian, buku ini tidak hanya membahas arsitektur dan sejarah, tetapi juga menyajikan refleksi mendalam tentang hubungan antara spiritualitas, kekuasaan, dan identitas budaya di Jawa.
*Cak Yo, 27 Februari 2025
Komentar
Posting Komentar