Puasa: Dari Niat sampai berbuka
Cak Yo
Kita sudah mengetahui rukun puasa itu ada niat dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan jima' ("al-niyatu wal imsaku 'anil akli wa syurbi wal jima'i..."). Niat hukumnya wajib sebagaimana sabda Nabi saw., "Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya dan semua urusan tergantung pada apa yang diniatkan". Niat adalah menyengaja sesuatu disertai dengan melakukannya dan tempatnya dalam hati dan mengucapkannya sunnah (al-niyatu qashdu al-sya'iin muqtarinan bifi'lihi wa mahaluha al-qalbu wa al-talaffudhu biha sunnatun) (Syekh al-'Alim al-Fadlil Salim bin Samir al-Hadlrami, Matan Safinah al-Naja, Tarjamah Sunda, Tasikmalaya, t.th., 4)
Niat puasa yang biasa diucapkan berbunyi, "Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardhis syahri ramadhani hadzihi sanati lillahi ta'ala", lalu di dalam hati, "Niat saya puasa pada hari esok di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala."
Yang paling utama dari niat adalah keikhlasan dalam melakukan ibadah puasa semata untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sesuatu yang lain, misal niat untuk melangsingkan tubuh atau lainnya. Karena niat ini hukumnya wajib, maka bila puasa tidak disertai dengan niat puasanya batal. Bila kita salat tarawih berjamaah, niat puasa biasanya dibacakan secara berjama'ah dipimpin oleh imam tarawih atau oleh bilal setelah shalat tarawih selesai. Niat dilakukan setiap malam atau sebelum terbit fajar atau sebelum azan subuh. Namun, ada pendapat ulama yang mengatakan boleh sekali niat untuk satu bulan penuh karena dikhawatirkan lupa. Walaupun sesungguhnya niat itu bersifat individual, yang penting keikhlasannya dalam hati, kapanpun melakukan niat sebelum ibadah puasa dijalankan.
Apabila niat puasa itu hukumnya wajib (menurut kitab-kitab fiqih), orang yang akan berpuasa dianjurkan bersantap sahur. Jadi sahur hukumnya sunnah, menurut fikih. Kata Nabi, sebaiknya sahur itu diakhirkan, jangan terlalu malam, kira-kira lima belas menit sebelum imsak. Imsak, artinya menahan, semacam tanda atau peringatan untuk siap-siap berhenti dari makan, minum dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Jadi imsak itu semacam lampu kuning, masih boleh makan dan minum, tapi harus siap-siap pula berhenti karena pertanda lampu merah, yaitu azan subuh akan segera tiba yang menjadi batas berhentinya makan dan minum. Melewati batas berarti batal puasanya.
Al-Qur'an menjelaskan ada tiga hal yang dapat membatalkan ibadah puasa, yakni makan, minum, dan berhubungan suami-istri sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah: 187, "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf di mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Walaupun Al-Qur'an hanya menyebutkan tiga hal yang membatalkan puasa sebagaimana disebutkan di atas, ada hal-hal lain hal yang dapat membatalkan puasa sebagaimana terdapat di dalam hadits Nabi saw. Demikian pula kitab-kitab fiqih menambahkannya, walaupun hanya bersifat furu'iyah saja. Bila kembali ke pokok batal puasa itu ada tiga, yaitu makan, minum, dan berhubungan dengan suami istri. Kitab-kitab fiqih menjelaskan, yang membatalkan puasa itu termasuk muntah dengan sengaja, memasukan benda ke dalam lubang kuping, mata, hidung, mulut, dubur (lubang belakang) dan qubul (lubang depan). Berdasarkan pendapat ini, hendaknya kita berhati-hati agar memelihara setiap lubang anggota tubuh kita jangan sampai kemasukan benda secara sengaja sehingga membuat puasa menjadi batal (untuk rincian batal puasa ada 10 hal lihat Imam Abi Suja', Tarjamah Sunda 'ala Matan Ghayah wa Taqrib, 43).
Perilaku berhati-hati ini dalam fiqih disebut ikhtiyat. Bagimana apabila tidak disengaja, misalnya lupa? Lupa itu tidak membatalkan puasa. Misalnya sedang puasa kita makan atau minum, itu tidak membuat puasa kita batal. Maka begitu ingat, berhenti saja makan atau minumnya segera bersihkan mulut dan lanjutkan kembali puasanya.
Penjelasan tentang batal puasa seperti makan dan minum merupakan penjelasan dari segi lahiriah puasa. Adapun para ahli tasawuf memberikan penjelasan tentang batal puasa dari segi batiniahnya. Dalam pandangan para ahli tasawuf, puasa itu bukan saja menahan diri dari makan, minum dan berhubungan dengan suami-istri (aspek lahiriah), tetapi hendaknya juga menahan diri dari akhlak-akhlak tercela (akhlaqul madzmumah) atau sifat-sifat yang membinasakan (muhlikat) seperti berbohong, marah, sombong, riya, mengumpat atau mengguncing, dan sebagainya. Bagi mereka, jenis puasa itu ada puasa takhalli, tahalli, dan tajalli. Puasa takhalli adalah proses penyucian dari sifat-sifat tercela; puasa tahalli merupakan proses menghias diri dengan sifat-sifat terpuji; dan puasa tajalli menghadirkan Tuhan dalam hati yang suci. Ini paralel trilogi (tiga tingkatan) agama: islam, iman, dan ihsan atau syariat, tariqat, dan hakikat. Atau paralel juga dengan tingkatan puasa dalam istilah al-Ghazali: puasa umum, khusus, dan khususil khusus. Paralel dengan jenis puasa fisik, puasa inderawi (memelihara pancaindera), dan puasa hati.
Al-Ghazali mempertanyakan jenis puasa umum, yang sekedar tidak makan dan minum, sementara tidak menahan diri dari sifat-sifat tercela, misalnya berbohong. Menurutnya, berbohong, lebih membatalkan puasa daripada makan dan minum. Sebab bila makan minum hanya dapat membatalkan puasa dari segi lahiriah, dan bahayanya juga bersifat lahiriah, maka berbohong dapat merusak rohani dan mengotori hati. Bila makan dan minum tidak diperbolehkan pada waktu berpuasa, sedangkan berbohong tidak diperbolehkan sepanjang waktu. Kebanyakan orang berpuasa hanya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari aspek lahiriah saja seperti makan dan minum, sedangkan aspek batiniahnya tidak diperhatikan. Rasulullah Saw. memberikan peringatan tentang ini dalam dalam sabdanya, "Sekian banyak orang yang puas tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya melainkan sekedar lapar dan haus".
Puasa yang hanya menahan dari makan dan minum itu disebut sebagai puasa orang awam. Adapun mereka yang juga memelihara pancainderanya dari perbuatan buruk disebut puasa khusus. Level tertinggi adalah puasa khususil khusus, mereka yang berpuasa secara lahiriah dan batiniah. Puasa tingkat ketiga inilah, dalam perspektif Sufi, yang akan mendapatkan balasan langsung dari Allah sebagaimana dalam sabda Nabi saw., “Berpuasalah untuk-Ku, niscaya aku yang akan membalasnya". Dan sabdanya lagi, "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan disertai dengan keimanan dan kehati-hatian, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu".
Berpuasa tingkat ketiga ini pula yang akan membuat hamba Tuhan kembali kepada kesucian ("id al-fitri"), yaitu mereka yang puasa takhalli, tahalli, dan tajalli atau puasa lahiriah, inderawi, dan hati atau puasa syariat, taruqat dan hakikat sekaligus. Dikatakan sekaligus agar tidak dipahami bahwa yang dimaksud puasa hati itu cukup niat dalam hati seperti ada sebagian orang yang mengklaim boleh meninggalkan syariat dan tariqat, apabila sudah mencapai hakikat. Pasahal ketiganya integral atau saling melengkapi (komplementer).
Puasa itu sendiri punya tujuan yang luhur, yaitu agar manusia menjadi orang-orang takwa yang merupakan predikat tertinggi bagi seorang mu'min. Tentu saja predikat ini tak dapat diraih hanya dengan puasa lahiriah saja. Itu terlalu mudah. Predikat takwa itu tentu harus diperoleh dengan penuh perjuangan, dengan segala daya dan upaya. Tak mungkin dengan cara-cara yang biasa-biasa saja. Dan barangkali sedikit orang yang mencapai derajat takwa karena sedikit pula orang yang berpuasa secara istimewa (khususil khusus). Seperti sebuah piramida, bawahnya lebar, tengahnya sedikit berkurang lebarnya, dan makin ke atas makin kecil. Artinya di level bawah, kebanyakan puasa umum, di tengahnya puasa khusus, dan makin ke atas makin kecil, yaitu mereka yang puasa secara istimiwa makin sedikit. Karena itu, barangkali, sedikit pula orang yang mencapai tujuan puasa, yaitu takwa.
Mari kita renungkan firman Allah. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Q.s al-Baqarah [2]:183). Dan orang yang bertakwa ini orang yang dekat dengan Allah, yang memiliki hubungan kedekatan (intimate) dengan Allah. Ayat tentang kedekatan hamba dan Allah ini diselipkan di antara ayat-ayat tentang puasa menunjukan bahwa ada relasi yang kuat antara puasa dengan pencapaian keintiman dengan Allah, dengan manifestasi atau kehadiran Allah dalam hati mu'min. Allah berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku dekat, aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran" (Q.s. Al-Baqarah [2]:186).
Apabila memperhatikan tingkatan puasa di atas dan tujuan yang hendak diraih dari puasa, yaitu takwa, sungguh puasa perlu perjuangan lahir dan batin. Bagi banyak orang, puasa lahiriah saja berat, apatah lagi puasa yang disertai batiniah. Mencapai maqam kedekatan hamba dan Tuhannya dengan mengerjakan ibadah termasuk puasa bukan sesuatu yang mudah. Maka dari itu hendaknya kita senantiasa memohon antara lain agar diperbagus atau diperindah ibadah kita kepada-Nya (wahusni ibadatika). Memohon agar diberikan petunjuk yang benar (hidayah) dalam ibadah kita secara lahiriah, dibantu panca indera kita untuk menahan dari sifat-sifat tercela ('inayah), dan disucikan hati kita (wilayah) sehingga dapat merasakan manisnya kedekatan hubungan cinta dengan Allah (mahabbah).
Setelah kita menjalankan ibadah puasa mulai terbit fajar hingga matahari terbenam (azan magrib), kita berbuka puasa yang diawali dengan doa yang dalam doa itu semua hal yang kita lakukan dipersembah-kan untuk dan atas nama Allah, "Allahumma laka shumtu wabika amantu wa'ala rizkika afthartu birahmatika ya arhamarahimin (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman dan atas rizki-Mu aku berbuka dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".
Dengan berbuka puasa, maka selesailah puasa kita untuk satu hari dan akan dilanjutkan pada hari-hari berikutnya sampai akhir Ramadhan. Puasa lahiriah memang dibatasi oleh waktu. Dalam sehari, puasa sampai magrib; dalam sebulan puasa (Ramadhan) sampai hari terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan puasa batiniah tidak ada akhirnya atau setiap saat bahkan ketika kita tidak sedang berpuasa lahiriah. Puasa batiniah, menyucikan hati, tidak dibatasi oleh waktu. Ini dilakukan sepanjang waktu dan setiap saat. Itulah yang dikatakan Penghulu Para Wali (Sulțân al-Awliyâ') al-Shaykh 'Abd al-Qâdir al-Jaylanî dalam kitabnya Sirr al-Asrâr. Berkata Syekh 'Abdul Qadir Jailani:
"Puasa yang diwajibkan agama adalah menjauhkan diri dari makan, minum, dan hubungan seks mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Itu puasa lahir. Puasa batin adalah menjaga semua indra dan pikiran dari segala yang diharamkan. Dengan kata lain, puasa batin adalah meninggalkan ketidakselarasan, baik lahir maupun batin. Sedikit saja niat buruk hinggap di hatimu, puasamu rusak. Jika puasa lahir dibatasi oleh waktu, puasa batin dijalani selama-lamanya, selama hidup di dunia hingga kehidupan di akhirat. Itulah puasa sejati."
Lalu Syekh berkata:
"Kalangan ahli ilmu lahir mengatakan bahwa kegembiraan pertama orang yang berpuasa adalah ketika mereka makan setelah seharian berpuasa, dan arti kegembiraan "ketika melihat" adalah ketika orang yang berpuasa melihat hilal (bulan sabit) yang menandai akhir puasa dan datangnya hari raya. Sementara orang yang memahami makna batin mengatakan bahwa makna kegembiraan saat berbuka adalah kegembiraan orang yang berpuasa ketika ia masuk surga dan merasakan kenikmatannya, dan makna kegembiraan melihat adalah ketika orang yang beriman melihat hakikat Allah dengan mata hatinya."
Bab tentang puasa ia pungkas dengan perkataannya:
"Puasa yang paling baik adalah puasa hakikat, yaitu mencegah hati dari menyembah selain Allah. Caranya adalah dengan membutakan mata hati dari segala yang ada, bahkan di alam hakikat di luar dunia ini sehingga yang tersisa hanyalah cinta kepada Allah. Sebab, meski Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk manusia, Dia menciptakan manusia untuk diri-Nya sendiri. Dia berfirman, "Manusia adalah hakikat-Ku dan Aku adalah hakikatnya." Hakikat itu adalah cahaya dari cahaya Ilahi. Ia merupakan pusat hati, yang diciptakan dari materi terhalus. Ia adalah jiwa yang mengetahui semua rahasia hakikat; ia adalah hubungan hakiki antara makhluk dan Penciptanya. Hakikat itu tidak mencintai dan tidak membutuhkan apa pun selain Allah.
Tak ada yang pantas diharapkan, tak ada tujuan lain, dan tak ada kekasih di dunia ini dan di akhirat, kecuali Allah. Puasa ruhani batal jika cinta kepada selain Allah, meski sebesar atom, memasuki hati. Jika itu terj adi, kita harus memulainya lagi, membangkitkan tekad dan niat untuk kembali kepada cinta-Nya di dunia ini dan di akhirat. Sebab, Allah berfirman, “Puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.” Wallâhu yahdis sabîl.
*Cak Yo, 27 Sha'bân (Sya'ban) 1446 H.
Komentar
Posting Komentar