Perlawanan terhadap Hegemoni Budaya Barat dalam Musik Dangdut: Rhoma Irama dalam Diskursus Pop Dunia
Cak Yo
Prawacana
Meskipun ada pepatah orang Jerman, "Das Beste liegt nie hinter uns, sondern vor uns." (Yang terbaik tidak pernah berada di belakang, melainkan di depan) dan "Erzhle nicht, wie du warst, sondern zeige, wie du jetzt bist" (Jangan pernah bercerita bagaimana kau dahulu, tapi tunjukkan bagaimana kau sekarang), namun masa yang sudah ada di belakang kita atau masa lalu, sering menyimpan kenangan. Dan tidak ada salahnya juga bercerita masa lalu, terutama apabila sedikit banyak memberikan warna bagi masa depan. Bagaimana keadaan sekarang terkadang dipengaruhi oleh masa lalu; dan saya pun tidak akan menunjukkan bagaimana saya sekarang. Karena itu, di awal tulisan ini, saya akan sedikit bercerita tentang masa lalu, masa yang tentu menyimpan kenangan.
Perjalanan pulang kampung pertama kali bersama istri dan mertuaku, 18 tahun lalu, adalah pengalaman yang tak terlupakan. Kami menumpangi Suzuki Carry yang penuh sesak dengan lebih dari sepuluh orang. Aku duduk di sebelah bapak mertua yang mengemudi, sementara istriku, ibu mertua, adik-adik iparku, dan sebagian keluarga mertua lainnya memenuhi bagian belakang mobil. Waktu itu, aku belum bisa menyetir mobil, dan rasanya aku malu bahkan berasa panas dingin duduk di samping bapak mertua yang kelelahan menyetir sepanjang perjalanan. Yang paling sulit menahan rasa kantuk. Jangan sampai tidur, masa Bapak Mertua capek-capek menyetir, sementara menantunya enak-enak tidur, pikirku. Belakangan, setelah aku bisa menyetir dan punya kendaraan sendiri, bila ada acara keluarga, aku yang menjadi sopir dan Bapak Mertua duduk di sampingku. Bahagia sekali rasanya.
Kami meninggalkan jalan raya perkotaan dan memasuki jalan ke arah kampungku, jalur datar, berkelok-kelok, naik-turun, silih berganti. Hampir sepanjang jalan, pesawahan yang terhampar dan lebih sering bertingkat seperti teras sering, kebun-kebun dengan berbagai tanaman palawija, hutan kecil yang dipenuhi berbagai jenis pohon, terutama pohon bambu yang rimbun menambah suasana perjalanan yang sejuk dengan pemandangan yang indah menjadi pelipur rasa lelah.
Sepanjang perjalanan, musik dangdut dari kaset pita mengalun hampir tanpa henti. Bapak mertua (almarhum) adalah seorang ustadz, tetapi kegemarannya pada lagu-lagu Bang Haji Rhoma Irama tak terbantahkan. Beberapa lagu legendaris bergantian diputar, mengiringi perjalanan kami yang panjang. Awalnya, aku tidak begitu menyukai dangdut, tetapi lama-kelamaan, irama dan lirik khas Bang Haji Oma mulai akrab di telingaku.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya kami tiba di kampung halamanku yang berada jauh di pelosok desa. Perjalanan ini bukan hanya menjadi pengalaman pertama pulang kampung bersama istriku dan mertua sekeluarga, tetapi juga awal dari kegemaranku pada lagu-lagu Rhoma Irama. Kini, setiap kali aku menyetir mobil sendiri, lagu-lagu Bang Haji sering menemani perjalananku, membawa kembali kenangan perjalanan pertama itu.
Lagu-lagu dangdut Bang Haji Oma yang mulai akrab aku dengar menambah perbendaharaan lagu-lagu legendaris yang sering aku nikmati dan yang lebih dahulu aku sukai. Lagu-lagu dari Broeri Marantika (w. 2000) seperti "Jangan Ada Dusta Diantara Kita", "Hati Yang Terluka", "Angin Malam", dan "Widuri"; lagu Cianjuran, degung Sunda, pop Sunda dari musisi legendaris Hendarso dan Dul Sumbang; lalu lagu-lagu legendaris Barat John Lenon (w. 1980) terutama "Imagine", dan tentu saja dari Scorpions seperti "Always Somewhere", "Wind Of Change" dan "Still Loving You". Sejak itu saya juga menyukai lagu-lagu Rhoma Irama seperti "Begadang", "Darah Muda", "Judi", "Gali Lobang Tutup Lobang", "Bujangan", "Syahdu", "Mirasantika", dan lagu-lagu Oma lainnya yang bertema rohani.
Kajian Akademik tentang Musik Dangdut dan Rhoma Irama
Dalam belantara musik Indonesia, Rhoma Irama memang fenomenal. Karena kontribusi dan pengaruhnya yang luar biasa dalam perkembangan musik di Indonesia, khususnya musik dangdut, maka julukan "Si Raja Dangdut" sangat layak disandangnya. Dengan perpaduan unsur Melayu, India, dan rock, ia membawa dangdut ke tingkat yang lebih modern dan diterima luas oleh masyarakat. Lagu-lagunya tidak hanya menghibur, tetapi juga mengandung pesan moral, sosial, dan keagamaan. Itulah yang membuat populeritas dan pengaruhnya terus bertahan selama puluhan tahun dalam industri musik dan menjadikannya ikon dangdut yang tak tergantikan.
Populeritas dan pengaruh musisi dangdut dengan nama asli Raden Oma Irama (lahir 1946) itu melampaui Indonesia hingga menarik perhatian musisi dan akademisi Barat. Di Amerika Serikat grup musik Dangdut "Cowboys" turut mempopulerkan musik dangdut khususnya lagu-lagu Oma. Beberapa akademisi menjadikannya objek kajian terutama dalam kajian etnomusikologi dan budaya populer. Studi akademis berbobot ditemukan dalam buku Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music (Oxford University Press, 3010 oleh Andrew Weintraub dan Global Pop: World Music, World Markets (Routledge, 1997) okeh Timothy D. Taylor, yang menyoroti peran dangdut dalam dinamika musik dunia. Taylor menganalisis bagaimaba musik dari berbagai negara, termasuk dangdut, berinteraksi dengan pasar musik dunia. Buku ini menjadi referensi penting dalam studi musik global dan menjadi rujukan di berbagai universitas di dunia Barat. Selain itu, Taylor juga menulis buku The Sound of Capitalism: Advertising, Music, and the Conguest of Culture (University of Chicago Press, 2012) yang membahas bagaimana musik, termasuk genre seperti dangdut, digunakan dalam periklanan dan bagaimana hal ini mempengaruhi budaya populer. Karya-karya akademisi Barat seperti karya Andrew Weintraub dan Timothy D. Taylor yang diterbitkan oleh penerbit dan universitas terkemuka dan bereputasi dunia (Oxford, Routledge, dan Chicago) itu mencerminkan bahwa lagu-lagu Rhoma Irama dan musik dangdut secara umum memiliki pengaruh dan kontribusi signifikan dalam lanskap musik global.
Selain bukunya di atas, Andrew N. Weintraub, yang sepertinya jatuh hati pada musik dangdut, ia juga menulis artikel ilmiah, "The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java, Indonesia" yang diterbitkan dalam Asian Music, Volume 44, Number 2. Summer/Fall 2013, pp. 160-194 (Article), dipublikasikan oleh University of Texas Press. Artikel ini mempelajari konsep sebuah genre dan kontra-genre melalui penelaahan pada sifat dan praktek bermusik dangdut koplo dan kaitannya dengan dangdut sebagai pendahulunya. Dangdut koplo (atau Kopio) adalah sebuah bentuk musik dangdut daerah yang berasal dari Jawa Timur. Bentuk dangdut daerah memperlihatkan tingkat kreatifitas artistik yang memadukan bahasa daerah, elemen musik, dan/atau pelaksanaan pertunjukannya.
Dalam artikelnya ini Weintraub juga membahas Rhoma Irama. Menurutnya, Pada tanggal 4 Maret 2012, dalam konferensi nasional ketiga Persatuan Musisi Melayu Indonesia (PAMMI), bintang dangdut sekaligus ketua PAMMI, Rhoma Irama, menggunakan hukum genre untuk membedakan antara dangdut dan koplo, sebuah aliran musik tandingan dari Jawa Timur bahwa dangdut berbeda dengan koplo sehingga tidak bisa disebut dangdut koplo. Namun, bagi sebagian besar peserta konferensi, koplo bukanlah aliran musik yang terpisah dari dangdut, melainkan perlakuan atau gaya musik dangdut (yang memadukan aliran musik lain termasuk rock, pop, dan lagu-lagu Jawa daerah). Weintraub juga menjelaskan bahwa dangdut akarnya berasal dari orkes Melayu, "musik grup musik Melayu," yang sangat dipengaruhi oleh musik film India dan musik populer Timur Tengah pada tahun 1950-an dan 1960-an. Pada awal tahun 1970-an, Rhoma Irama, yang dikenal sebagai "raja dangdut," membawa gaya suara dan penampilan musik rock Amerika dan Inggris ke dalam dangdut.
Pada bagian selanjutnya dari artikelnya, Weintraub menjelaskan bahwa dangdut pada dasarnya adalah musik vokal yang dinyanyikan oleh laki-laki dan perempuan yang diiringi oleh sekelompok musisi laki-laki. Iringan standar terdiri dari dua gitar listrik (ritme dan lead), bass listrik, dua drum tangan kecil di atas dudukan (gendang), suling bambu yang ditiup samping (suling), dan keyboard elektronik. Gendang dan suling menandai ansambel tersebut.
Penelitian lainnya ditulis oleh William H. Frederick berjudul "Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture" (Ohio University, 1982). Artikel ini membahas dangdut sebagai gaya musik populer di Indonesia, dengan fokus pada peran Rhoma Irama dalam membentuk dan mempopulerkannya. Meskipun awalnya dianggap sebagai musik kelas bawah, dangdut berhasil menciptakan bintang besar seperti Rhoma Irama dan memiliki dampak luas di media, sastra, serta perdebatan budaya. Artikel ini juga menyoroti bagaimana musik ini berkembang dari pengaruh keroncong dan orkes Melayu, serta bagaimana ia beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia.
Musik dangdut dan musisinya, khususnya Rhoma Irama, memang mengundang antusiasme para peneliti. Selain yang sudah disebutkan di atas, penelitian tentang itu masih banyak lagi dalam berbagai perspektif. Dapat disebutkan secara ringkas antara lain "Rough Guide to World Music" (2000), diterbitkan oleh Rough Guides, dan volume lanjutannya menganalisis musik global, termasuk karya Rhoma Irama; "The Music of Indonesia" serta "Excursions in World Music" (2004) mengeksplorasi tradisi musik di berbagai budaya; "Popular Musics of the Non-Western World and Asia/Indonesia" (1988); "In Worlds of Music" (2002) menyoroti perkembangan musik populer di luar dunia Barat; dan "The Virgin Directory of World Music" (1991), yang diterbitkan oleh Virgin Books, menyajikan referensi musisi dan genre dunia.
Di Indonesia, penelitian tentang Rhoma Irama telah dilakukan dalam berbagai disiplin ilmu, mencerminkan pengaruhnya dalam musik, dakwah, dan sosial-politik. Saefudin (2025) meneliti nilai-nilai pendidikan Islam dalam lirik-lirik lagu dangdut Rhoma Irama menggunakan pendekatan hermeneutika- semiotika dalam disertasinya berjudul "Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Lirik-Lirik Lagu Dangdut Rhoma Irama (Suatu Pendekatan Hermeunetika-Semiotika)". M. Romandhon (2015) dalam skripsinya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menganalisis nilai-nilai keislaman dalam lagu-lagu album Rhoma Irama melalui penelitian berjudul "Nilai-Nilai Keislaman dalam Lagu-Lagu Album 'Sahabat' Rhoma Irama". Khotibul Umam dan Septina Alrianingrum (2016) dari Universitas Negeri Surabaya meneliti peran musik dangdut Rhoma Irama sebagai media kritik politik pada masa Orde Baru dalam artikel jurnal berjudul "Musik Dangdut Rhoma Irama sebagai Media Kritik Politik pada Orde Baru Tahun 1977-1983". Sutrisno Sugiyono (2013) dalam skripsinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan analisis wacana mengenai konsep berbakti kepada ibu dalam lagu Rhoma Irama melalui penelitian berjudul "Analisis Wacana Berbakti kepada Ibu dalam Lagu 'Keramat' Karya Rhoma Irama". Sementara itu, Ika Sartika, Jaeni B. Wastap, dan Retno Dwimarwati (2023) dari Sekolah Vokasi IPB University dan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung meneliti representasi Rhoma Irama dalam film Satria Bergitar melalui pendekatan naratologi, sinematik, dan mise-en-scène dalam penelitian berjudul "Representasi Raja Dangdut Rhoma Irama dalam Film 'Satria Bergitar'".
Dangdut sebagai Perlawanan dan Identitas: Rhoma Irama dalam Dalam Wacana Musik Dunia
Di antara banyaknya kajian tentang musik dangdut dan Rhoma Irama seperti disebutkan di atas, buku Timothy D. Taylor, Global Pop: World Music, World Markets (London and New York, Routledge, 2014) adalah yang paling menarik perhatian saya.
Timothy D. Taylor membahas musisi yang disebutnya bintang pop Jawa Rhoma Irama pada Bab 3 bukunya dengan judul "Strategies of Resistence" ("Strategi Perlawanan"). Dalam bab ini ia membahas gagasan dan praktik perlawanan dan cara-cara yang digunakan oleh negara-negara jajahan dan bekas jajahan untuk menghadirkan sudut pandang alternatif terhadap negara-negara metropolitan barat. Musisi seperti Ladysmith Black Mambarn dari Afrika Selatan, dan bintang pop Jawa Rhoma Irama menggunakan berbagai suara dan teknik dari musik-musik populer Amerika Utara dan Inggris untuk membuat musik mereka sendiri, mengangkat diri mereka keluar dari kemiskinan, dan memerangi infiltrasi ide-ide barat yang mereka pandang sebagai ancaman untuk merusak budaya dan praktik mereka sendiri.
Taylor menjelaskan konsep dan praktik perlawanan, serta bagaimana negara-negara jajahan dan pasca-kolonial menyajikan perspektif alternatif terhadap dominasi negara-negara metropolitan Barat. Musisi seperti Ladysmith Black Mambazo dari Afrika Selatan dan ikon pop Jawa, Rhoma Irama, mengadopsi elemen musik populer dari Amerika Utara dan Inggris untuk menciptakan gaya mereka sendiri, mengangkat diri mereka dari kemiskinan, dan melawan infiltrasi ide-ide Barat yang mereka anggap berpotensi merusak budaya serta tradisi mereka. Contoh lainnya adalah Djur Djura, seorang perempuan Berber dari Aljazair, yang meninggalkan apa yang ia anggap sebagai ketidakadilan patriarki Muslim dan beralih ke feminisme metropolitan Paris pada tahun 1970-an. Sementara itu, Bab 4 mengeksplorasi peran musisi perempuan Barat dalam lanskap produksi musik global.
Menurut Taylor, Rhoma Irama, seorang musisi populer Indonesia yang menjadi contoh bagaimana musisi non-Barat mengadaptasi musik Barat dalam berbagai bentuk perlawanan yang kompleks. Taylor mengutip William Frederick, yang telah mengikuti karier Omaselama bertahun-tahun, menulis bahwa di awal kariernya, Oma beralih dari pop dan rock Barat ke musik Melayu—genre musik populer di Indonesia yang dipengaruhi oleh unsur Barat, Arab, dan India. Namun, Oma masih merasa belum puas dengan gaya musik ini.
Oma kemudian membayangkan gaya musik baru dengan kriteria berikut: harus populer bagi masyarakat Indonesia dari berbagai kelas dan latar belakang; harus modern; harus membawa pesan yang dapat dipahami oleh generasi muda di mana saja; dan tidak boleh terlalu erat kaitannya dengan gaya musik Barat. Kembali mengutip Frederick, tujuan Oma Irama adalah menciptakan "suara Indonesia yang tidak salah lagi, atau setidaknya 'Timur'," bukan sekadar meniru gaya Melayu-Deli yang sudah ada dengan sentuhan Arab dan India.
Gaya musik baru yang diciptakan Irama diberi nama dangdut, yang diambil secara onomatopoetis dari suara ketukannya: dentuman drum rendah pada ketukan keempat, diikuti oleh pukulan drum tinggi pada ketukan pertama berikutnya—"dang-dut." Irama memasarkan dirinya sebagai bintang rock ala Barat, bahkan mengubah namanya; "Rhoma Irama" berarti "Bapak Irama."
Rhoma menjadi bintang besar di Jawa, membintangi banyak film yang menampilkan dirinya serta musiknya. Film-film tersebut sering kali mengangkat kisah "dari miskin menjadi kaya," yang mencerminkan perjalanan hidup Irama sendiri.
Taylor membuat lagu yang menarik, yaitu Qur'an dan Koran ("Qur'an and Newspaper"). Menurut pengakuan Taylor memulai proyek penelitiannya, lagu tersebut tampaknya telah menjadi karya kanonik dalam musik dunia, terutama setelah dimasukkan dalam koleksi Smithsonian. Liriknya (hanya dalam bahasa Inggris) juga diterbitkan dalam World Music: The Rough Guide, menjadikannya salah satu dari sedikit lagu yang mendapatkan sorotan lebih luas.
Secara lengkap lirik lagu Qur'an dan Koran itu saya kutipkan di sini, yang juga dikutip lengkap oleh Taylor dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Hei!
Dari masa ke masa, manusia (manusia)
Berkembang peradabannya
Hingga di mana-mana manusia (manusia)
Merubah wajah dunia
Gedung-gedung tinggi mencakar langit (hoya-hoya)
Nyaris menghiasi berbagai neg'ri
Bahkan teknologi di masa kini (hoya-hoya)
Sudah mencapai kawasan samawi
Tapi sayang-disayang, manusia (manusia)
Lupa diri, tinggi hati
Lebih dan melebihi tingginya (tingginya)
Pencakar langitnya tadi, yeah!
Sejalan dengan roda pembangunan
Manusia makin penuh kesibukan
Sehingga yang wajib pun terabaikan
Salat lima waktu menyembah Tuhan
Karena dimabuk oleh kemajuan
Masa komputer dijadikan Tuhan (yang bener aje)
Kalau bicara tentang dunia (dunia)
Aduhai, pandai sekali
Tapi kalau bicara agama (agama)
Mereka jadi alergi
Membaca koran jadi kebutuhan (hoya-hoya)
Sedang Al-Qur'an cuma perhiasan
Bahasa Inggris sangat digalakkan (hoya-hoya)
Bahasa Arab katanya kampungan (nggak salah tuh?)
Buat apa berjaya di dunia (di dunia)
Kalau akhirat celaka?
Marilah kita capai bahagia (bahagia)
Di alam fana dan baka
-Rhoma Irama, "Qur'an dan Koran" (Best Live Vol. 3). Dikutip dari KapanLagi.com, 16-2- 2025.
Taylor menjelasksn bahwa dilihat dari liriknya saja, "Qur'an dan Koran" tampaknya merupakan lagu tentang pengaruh negatif barat, tetapi cara Irama menyampaikan pesan ini bersifat instruktif. Sama seperti dia memasarkan dirinya seperti bintang rock Barat sambil pada saat yang sama mengkritik barat, Irama menggunakan musik dan kata-kata barat untuk membantunya melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, ia menggunakan bentuk-bentuk Barat dan bentuk-bentuk lain untuk membuat pernyataan yang menentang Barat. Salah satu contoh dari liriknya adalah penggunaan kata "alergi" ("Tetapi bicaralah kepada mereka tentang agama/Dan tiba-tiba mereka alergi"). AL Becker mengatakan bahwa ini adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris tetapi digunakan di sini dengan cara untuk membantu Irama mengecam budaya Barat. Lanjut Taylor, lirik dan musiknya tampaknya berpusat dengan jelas pada biner hegemoni/perlawanan; ini adalah lagu tentang Islam versus Barat. Menurut Taylor, Rhoma Irama, yang nenek moyangnya adalah korban kolonialisme Eropa, menggunakan identitas dan agama lokalnya. Agama lokal utama di Jawa adalah Islam, meskipun biasanya bukan merek yang lebih agresif yang diadvokasi oleh Rhoma Irama. Menurut penilaian Taylor, ternyata Rhoma Irama tidak begitu menentang tanah yang jauh dengan masa lalu kolonialis melainkan mempromosikan pandangan tertentu tentang tanah airnya. Taylor mengutip Becker yang mengatakan bahwa sentimen anti-Barat kaum muda Muslim yang diwakili oleh Rhoma Irama di sini bukan disebabkan oleh sikap anti-kolonial, melainkan lebih disebabkan oleh pengalaman pemahaman mereka sendiri tentang Barat. Lebih jauh, Becker mengatakan bahwa perasaan anti-Barat yang ada di Jawa cenderung diarahkan bukan ke Barat, melainkan ke Hong Kong, pelabuhan masuk dan keluar bagi banyak budaya Barat di Asia Tenggara. Kritik yang diberikan Rhoma terhadap Barat tidak terlalu banyak terhadap Barat sebagai geografi atau sebagai bekas penjajah, melainkan terhadap salah satu aspek ideologi borjuis Barat yang paling dihargai: kemajuan. Namun, seperti yang diingatkan Rhoma kepada kita, kemajuan menuju apa? la memperingatkan bahwa atribut-atribut modernitas tidaklah begitu bermanfaat, khususnya ketika atribut-atribut itu dipaksakan pada budaya-budaya yang tidak memperkenalkannya.
Taylor lalu mengkritik Rhoma bahwa musik vokalnya sendiri tidak banyak memiliki pengaruh pada musik populer Barat, tetapi gitar, ritme, dan 4/4 yang jelas memiliki pengaruh. Namun, suara pop Barat telah menjadi sangat internasional, sehingga Rhoma sendiri mungkin tidak akan mengakui adanya pengaruh Barat.
Menurut analisis Taylor, meskipun sebagian besar dari "Qur'an dan Koran" terdiri dari gaya musik yang dipinjam (dari musik populer Barat, musik film India, musik Timur Tengah), hal itu memberikan petunjuk musikal mengenai perbedaan Rhoma. Gaya vokalnya lebih banyak berutang pada gaya bernyanyi musik Indonesia yang cair daripada musik populer Amerika Utara dan Inggris, dan hanya ditangkap secara kasar dalam notasi yang digunakan dalam transkripsi. Lagu "Qur'an dan Koran" sekali lagi membantu menerangi masalah yang terkandung dalam hegemoni/perlawanan sederhana atau polarisasi penjajah/yang dijajah. Penerapan model ini secara sederhana akan menyatakan bahwa pengg idiom Barat oleh Rhoma itu bersifat oposisional dan tidak ada yang lain, atau, sebaliknya, bahwa penggunaan suara pop Barat oleh Irama menunjukkan sejauh mana ia telah dibaratkan.
Taylor mengakui bahwa musik dan lagu dangdut Rhoma lebih kompleks: Irama tidak hanya meminjam suara musik pop Barat tetapi juga musik film India. Membangun apropriasi seperti yang selalu tertanam dalam kritik terhadap budaya yang diapropriasi tidak akan pernah menjadi keseluruhan cerita. Rhoma juga menggunakan beberapa instrumen dari Timur Tengah sebagai cara menandai solidaritas dengan Muslim lainnya. Musik dapat memuat suara-suara yang berbeda dan kritik serta afiliasi yang berbeda dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh bentuk budaya lain. Rhoma meminjam dari barat untuk membantunya dalam perjuangan mendapatkan pengakuan atas aliran Islamnya di negaranya sendiri serta memprotes westernisasi.
Pada bagian akhir pembahasannya tentang Rhoma Irama, Taylor menganalisis dua bait terakhir lagu "Qur'an dan Koran".
Membaca koran jadi kebutuhan (hoya-hoya)
Sedang Al-Qur'an cuma perhiasan
Bahasa Inggris sangat digalakkan (hoya-hoya)
Bahasa Arab katanya kampungan (nggak salah tuh?)
Buat apa berjaya di dunia (di dunia)
Kalau akhirat celaka?
Marilah kita capai bahagia (bahagia)
Di alam fana dan baka
Menurut analisis Taylor, lagu "Qur'an dan Koran" memiliki struktur formal yang berbeda dari bentuk AABA yang umum dalam musik populer Barat. Alih-alih mengikuti pola tersebut, lagu ini menggunakan struktur ABA, di mana bagian A terdiri dari pola yang lebih kecil berbentuk aba. Pola ini menciptakan efek teleskopik, di mana satu bagian lagu mengandung struktur internal yang mencerminkan keseluruhan bentuk lagu. Meskipun berbeda dari standar pop Barat, lagu ini tetap mempertahankan beberapa elemen umum, seperti bagian instrumental yang muncul setelah bait kedua, yang sering ditemukan dalam banyak lagu populer. Hal ini menunjukkan bahwa "Qur'an dan Koran" menggabungkan inovasi struktural dengan ciri khas musik populer, menciptakan pengalaman musikal yang unik dan dinamis.
Lebih lanjut, menurut Taylor, bagian instrumental muncul setelah bait kedua, seperti dalam banyak musik populer Barat. Bait keempat menawarkan materi musik baru. Semua musik baru ini muncul di bait keempat, yang dua baris lebih panjang daripada bait sebelumnya dalam lagu tersebut. Dengan kata lain, sementara perilaku formal musik populer Barat akan membuat orang mengharapkan materi musik baru di beberapa titik di tengah karya, materi ini diringkas menjadi satu bait, yang dengan sendirinya diperluas. Jadi sementara "Qur'an dan Koran" mungkin terdengar Barat dalam banyak hal, dan sementara Irama menampilkan dirinya sebagai bintang rock Barat, petunjuk formal dan musik lainnya dengan jelas menunjukkan estetika yang berbeda dalam karya tersebut.
Taylor ingin menekankan bahwa meskipun Rhoma Irama terlihat mengkritik Barat, sebenarnya ia lebih banyak berbicara tentang masalah lokal dengan pendekatan musik yang juga khas Indonesia. Kritiknya tidak hanya ditujukan kepada Barat, tetapi juga terhadap pengaruh lain, seperti Hong Kong yang dianggap sebagai jalur masuk budaya Barat ke Indonesia. Selain itu, Rhoma Irama juga menyebarkan versi Islam yang lebih sesuai dengan konteks lokal. Menganggap kritiknya hanya sebagai kritik terhadap Barat adalah pandangan yang terlalu berpusat pada perspektif Eropa-Amerika. Faktanya, ada berbagai bentuk perlawanan dan dominasi budaya yang terjadi dalam berbagai lapisan, tidak hanya antara Timur dan Barat.
Saya ingin sedikit memberikan penilaian terhadap Buku Global Pop: World Music, World Markets karya Timothy D. Taylor ini. Bagi saya, buku ini adalah kajian yang komprehensif tentang dinamika musik dunia dalam konteks globalisasi, kolonialisme, dan identitas budaya. Salah satu kekuatan utama buku ini adalah analisis mendalamnya tentang bagaimana musisi dari negara-negara pascakolonial—termasuk Rhoma Irama—memanfaatkan musik populer untuk menegosiasikan identitas dan perlawanan terhadap dominasi budaya Barat. Taylor tidak hanya melihat musik sebagai produk hiburan tetapi juga sebagai ruang politik dan ekonomi, di mana musisi harus menavigasi antara eksploitasi pasar global dan upaya mempertahankan otentisitas budaya mereka. Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan studi budaya, ekonomi politik, dan musikologi membuat buku ini relevan bagi berbagai bidang kajian.
Namun, meskipun analisisnya kaya, buku ini masih memiliki beberapa keterbatasan. Taylor juga hanya fokus pada lagu "Qur'an dan Koran". Selain itu, adalah kecenderungan untuk menafsirkan perlawanan budaya dalam kerangka biner antara Barat dan non-Barat, yang terkadang menyederhanakan kompleksitas interaksi budaya lokal dengan pengaruh global. Dalam kasus Rhoma Irama, misalnya, Taylor kurang mendalami aspek internal politik dan sosial di Indonesia yang turut membentuk posisi dan strategi musiknya. Selain itu, perspektif Taylor yang berasal dari kajian budaya Barat mungkin kurang menangkap sepenuhnya nuansa dan makna lokal dari dangdut sebagai ekspresi sosial dan spiritual di Indonesia. Meski demikian, buku ini tetap menjadi kontribusi penting dalam kajian musik dunia dan globalisasi budaya.
Sebelum menyimpulkan tulisan ini, saya juga ingin mengutip bait-bait lagu Rhoma Irama yang berjudul, "Firman Tuhan":
.......
Sesungguhnya...
Perilaku kehidupan manusia penuh dengan kerugian
Kecuali...
Orang-orang yang beriman dan selalu mengerjakan kebajikan
Mana pikiran yang masih sehat
Hidup yang rugi tak selamat dunia akhirat
Mana budaya kita yang asli
Kepribadian yang hakiki jangan dicemari
Mana agama dan keyakinan
Firman Tuhan janganlah sampai disalahgunakan
......
Punya agama punya aturan
Para sarjana para ilmuwan
Lebih sempurna dengan firman Tuhan
Firman Tuhan harus dimuliakan
Firman Tuhan jangan dipermainkan
Firman Tuhan jadikanlah pedoman
Firman Tuhan sumber keselamatan
Renungkan, resapkan, amalkan
Pasti peroleh kedamaian
.....
Lagu di atas tidak menjadi fokus kajian Taylor padahal lagu ini mengandung nilai universal tentang kebaikan, moralitas, dan spiritualitas. Rhoma menekankan pentingnya iman, kebajikan, serta ilmu yang selaras dengan nilai luhur. Selain itu, lagu ini mengajarkan bahwa menjalani hidup dengan moral yang baik akan membawa kedamaian dan keselamatan, baik di dunia maupun akhirat. Tetapi Taylor mungkin tidak keliru, karena lagu yang ia pilih sesuai fokus kajiannya: lagu Rhoma Irama yang diidentifikasi mengandung perlawanan terhadap budaya Barat, meskipun Rhoma tidak sepenuhnya tidak terbaratkan. Dan ia memadukan identitas agama dan lokal dalam musik dan lagu-lagunya: Dangdut.
Kesimpulan
Rhoma Irama, sebagai ikon musik dangdut Indonesia, memiliki dinamika serupa dengan yang dibahas dalam konsep "Pop Dunia." Menurut kajian Taylor, seperti Djura dan musisi lainnya yang menavigasi antara identitas lokal dan global, Rhoma Irama juga menggabungkan unsur musik lokal (dangdut dengan akar Melayu, India, dan Arab) dengan pengaruh global (rock, pop, dan orkestra). Ia tidak hanya menggunakan musik sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana dakwah dan kritik sosial, mengedepankan nilai-nilai Islam dan realitas sosial Indonesia.
Seperti yang dijelaskan dalam konsep "interpenetrasi universalisasi partikularisme dan partikularisasi universalisme" oleh Roland Robertson, Rhoma Irama berhasil menyebarkan identitas lokal dalam konteks global tanpa kehilangan akarnya. Ia tetap mempertahankan karakter Islam dan budaya Indonesia dalam musiknya, namun juga menggunakan teknologi modern dan strategi produksi musik global untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dengan demikian, ia tidak hanya menjadi bagian dari industri musik global, tetapi juga menegaskan identitasnya sebagai musisi yang membawa pesan lokal ke ranah internasional.
Dalam konteks perlawanan budaya dan hegemoni, Rhoma Irama juga menunjukkan bagaimana musik dapat menjadi alat perlawanan terhadap pengaruh budaya Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Mirip dengan cara Djura menolak esensialisme rasial namun tidak sepenuhnya merangkul estetika hibriditas, Rhoma Irama juga tidak sekadar meniru musik Barat, melainkan menyerap elemen-elemen tertentu untuk memperkuat pesan dan daya tarik musiknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dinamika musik global, identitas lokal tidak selalu tersisih, melainkan dapat dinegosiasikan ulang untuk menciptakan bentuk ekspresi yang lebih kompleks dan bermakna.
*Pinggir Kolam, Cikarang, 16 Februari 2025
Komentar
Posting Komentar