Perihal Etika, dari Etika Klasik hingga Moralitas dalam Alquran: Studi Tafsir Surah al-Hujurat
Cak Yo
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" -Q.s. al-Hujurat/49: 12
"Andai Alquran diturunkan hanya satu surah, maka surah al-Hujurat sudah cukup. Andai dari satu surah al-Hujurat hanya dibutuhkan satu ayat buat pergaulan hidup yang rukun, damai, dan bersaudara, maka cukup ayat ke-12" -Cak Yo
Pengantar
Cukup berat juga saya menulis tentang etika, tentang moralitas, adab atau perilaku. Mengapa? Karena, barangkali, mengutip Syekh Yûsûf al-Qardawî dalam Fatwa-fatwa Kontempornya, 'Allah Swt. menutupi dosa-dosa saya sehingga sebagian manusia menganggap diri saya baik' (Yûsûf al-Qardawî, Fatãwâ Mu'âsirah, Dâr al-Qalam lil-Nashr wa-al-Tawzî', 2001).
Etika, seperti sudah kita ketahui, bukan sekedar teori atau etika normatif, namun juga, etika terapan. Etika jenis kedua inilah yang lebih berat daripada etika jenis pertama. Etika terapan atau dalam istilah tradisi intelektual Islam lebih pada perbuatan nyata (‘amali) ketimbang teori (nazari). Karenanya, dalam filsafat, etika merupakan salah satu dari filsafat praktis (practical philosophy, falsafah ‘amali), yaitu cabang filsafat yang membahas aspek-aspek praktis kehidupan manusia, daripada konsep-konsep abstrak atau teoretis (theoretical philosophy, falsafah nazari) [lihat al-Ghazali, Mīzān al-'Amal (Dar al-Mashriq, 1964)]; lihat juga Murtada Mutahhari, Understanding Islamic Sciences (Saqi Book, 2002)].
Etika merupakan kajian tentang prinsip moral yang membimbing tindakan manusia agar mencapai keutamaan atau budi luhur atau kebajikan (virtue). Aristoteles mengakui pentingnya tindakan berbudi luhur dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, urgensi etika terletak pada keseimbangan antara kewajiban dan tujuan moral, yang bersama-sama membentuk pemahaman kita tentang kehidupan yang baik dan tindakan yang benar (lihat Sir W. David Ross, Foundations of Ethics, London, Glasgow, New York, dll.: Oxford University Press, 1936).
Dalam tradisi intelektual Islam, etika dikaji dalam ilmu etika Islam (‘ilm al-akhlaq) yang dalam kajian klasik dipelajari sebagai disiplin tersendiri yang membahas sifat baik dan buruk dalam diri manusia serta tindakan yang menyertainya, dengan tujuan membentuk pribadi yang cenderung melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Dalam Islam, etika memiliki dua makna utama: pertama, sebagai bagian dari filsafat etika yang membahas pertanyaan mendasar tentang moralitas; kedua, sebagai cara untuk membentuk sifat dan karakter manusia menuju kesempurnaan spiritual. Oleh karena itu, etika Islam mencakup etika filosofis, teoretis, dan praktis [lihat Rasoul Imani Khoshkhu, Introduction to Islamic Sciences (ABWA Publishing and Printing Center, n.d.)].
Di dunia Barat, Arsitoteles (w. 322 SM) dianggap sebagai orang pertama yang melahirkan ilmu etika. Dalam bukunya tentang pembagian ilmu, On Categories, ia membagi ilmu menjadi tiga: (i) teoritis, (ii) praktis, dan (iii) produktif. Ilmu pengetahuan teoritis mencari pengetahuan demi dirinya sendiri; ilmu pengetahuan praktis berkenaan dengan perilaku dan kebaikan dalam tindakan, baik secara individu maupun sosial; dan ilmu pengetahuan produktif bertujuan untuk menciptakan objek yang indah atau berguna. Kategori kedua, ilmu pengetahuan praktis tentang perilaku adalah etika [Lihat Aristotle. Categories and De Interpretatione. Translated with notes by J. L. Ackrill, Clarendon Press, 1963; lihat juga Christopher Shields, "Aristotle", The Stanford Encyclopedia of Philosophy, edited by Edward N. Zalta, Winter 2016 Edition]
Menurut Aristoteles, salah satu pertanyaan utama dalam etika adalah bagaimana menjalani kehidupan yang baik (Vogt, 2017 dan Hollenbach, 2002). Etika sendiri, yang juga disebut filsafat moral, merupakan studi tentang fenomena moral dan prinsip-prinsip yang mengatur evaluasi moral atas perilaku serta sifat karakter individu (Norman, 2005 dan Nagel, 2006). Dalam perkembangannya, etika terbagi menjadi tiga cabang utama, yaitu etika normatif, etika terapan, dan metaetika (Pritchard, 2015 dan Jackson et al., 2021). Etika normatif meneliti prinsip-prinsip moral yang mendasari tindakan benar dan salah (Kagan, 1998), sementara etika terapan berfokus pada penerapan prinsip-prinsip moral dalam kehidupan nyata, seperti bioetika dan etika bisnis (Gustafson, 2020). Dengan demikian, etika menjadi landasan penting dalam menentukan bagaimana seseorang seharusnya hidup dan bertindak dalam berbagai aspek kehidupan (Crisp, 2011). Dalam setiap disiplin, etika berfungsi sebagai panduan untuk menghadapi tantangan moral yang muncul akibat perkembangan teknologi, ekonomi, dan sosial, sehingga membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih bertanggung jawab dan adil (Kagan, 1998).
Dalam buku Ethics: A Very Short Introduction karya Simon Blackburn (2001) dibahas konsep-konsep dasar etika, termasuk peran nilai moral dalam kehidupan manusia serta berbagai pendekatan filsafat moral. Blackburn menguraikan bagaimana etika tidak hanya menjadi ranah filsafat, tetapi juga berakar dalam berbagai tradisi dan agama, yang masing-masing memiliki prinsip moral tersendiri. Misalnya, dalam tradisi Kristen, etika sering dikaitkan dengan ajaran kasih dan kewajiban moral kepada sesama. Sementara itu, dalam Islam, etika didasarkan pada prinsip keadilan ('adl) dan kebaikan (ihsan), sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis. Tradisi Buddhisme menekankan pada konsep karuna (belas kasih) dan sila (moralitas) sebagai pedoman utama dalam bertindak. Dengan membandingkan berbagai perspektif ini, Blackburn menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan doktrinal, semua sistem etika berupaya menjawab pertanyaan fundamental tentang bagaimana manusia seharusnya hidup secara benar dan bermoral (Blackburn, 2001).
Banyak buku, yang masing-masing menawarkan perspektif unik tentang etika, moralitas dan kehidupan manusia. Nicomachean Ethics karya Aristoteles, yang diterjemahkan oleh Robert C. Bartlett dan Susan D. Collins (University of Chicago Press, 2011) adalah buku yang menekankan bahwa kebahagiaan adalah tujuan tertinggi manusia dan bahwa kebajikan moral diperoleh melalui tindakan berulang dan kebiasaan. Aristoteles juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam bertindak demi mencapai kehidupan yang baik. Selain itu, ada The Theory of Moral Sentiments karya Adam Smith (J. Beatty & C. Jackson, 1777) menjelaskan bagaimana manusia secara alami menilai tindakan dan karakter, melalui konsep simpati dan emosi moral. Smith menyoroti bagaimana interaksi sosial membentuk perasaan moral individu. Kemudian, ada The Metaphysical Elements of Ethics karya Immanuel Kant (Start Publishing LLC, 2014), yang membahas dasar-dasar moralitas berdasarkan prinsip rasional yang mutlak. Kant menegaskan bahwa tindakan moral harus berlandaskan pada kewajiban dan prinsip universal, bukan sekadar konsekuensi atau emosi.
Dalam karya lainnya, The Metaphysics of Morals, terjemahan ke bahasa Inggris oleh Mary J. Gregor (Cambridge University Press, 1991), Immanuel Kant lebih lanjut membahas bagaimana hukum moral mengatur perilaku manusia berdasarkan rasionalitas. Tidak ketinggalan, pemikiran etika pragmatis William James dalam Pragmatism (1907) menekankan bahwa kebenaran moral harus diuji melalui konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata. Bagi James, filsafat moral tidak hanya tentang teori abstrak, tetapi juga harus berkontribusi pada kehidupan manusia secara konkret. Buku-buku ini, dengan beragam pendekatannya, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana manusia memahami dan menerapkan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Etika dan Moralitas dalam Alquran
Dari kalangan Muslim juga banyak ditulis kitab-kitab tentang etika atau akhlak. Bukan hanya dalam artian moralitas lahiriah, tetapi juga penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Kitāb Tahdhīb al-Akhlāq wa-Tathīr al-A‘rāq (Kairo: al-Matba‘ah al-Husaynīyah, 1329 H), adalah karya klasik dalam filsafat etika Islam yang ditulis oleh Ibn Miskawayh (w. 1030 M). Kitab ini membahas bagaimana manusia dapat membentuk karakter yang baik melalui pendidikan moral dan disiplin diri. Dengan pendekatan yang menggabungkan pemikiran Yunani dan Islam, Ibn Miskawayh dalam kitab ini menjelaskan bagaimana kebajikan dapat dikembangkan melalui kebiasaan dan latihan moral yang terus-menerus. Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan hawa nafsu dalam mencapai kehidupan yang harmonis dan bahagia.
Lalu ada kitab al-Akhlaq al-Nasiri karya Nasir al-Din al-Tusi, diterbitkan oleh Al-Ma'arif pada tahun 1966, menguraikan prinsip-prinsip etika dan bagaimana manusia seharusnya berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, Mizan al-'Amal (Dar al-Ma'arif, 1986) karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 1111) menekankan keseimbangan amal perbuatan dan pentingnya niat yang ikhlas dalam setiap tindakan. Imam al-Ghazali juga menulis kitab monumentalnya Ihya’ Ulum al-Din yang telah diterbitkan oleh berbagai penerbit sejak sekitar tahun 500 H (1100 M) membahas prinsip-prinsip penyucian jiwa dan menjadi salah satu kitab paling terkenal dalam kajian tasawuf dan akhlak. Masih karya al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah (Beirut: Dar al Minhaj, 2004), memberikan pedoman tentang pentingnya adab dalam beramal dan beribadah. Dalam ranah filsafat akhlak yang lebih mendalam, Tadhkirat al-Sa'adah karya ahli falsafah Iran Mulla Sadra membahas konsep kebahagiaan sejati yang dapat dicapai melalui pengembangan akhlak yang mulia.
Dari semua buku dan kitab yang disebutkan di atas, baik yang ditulis oleh para filsuf dan sarjana Barat, maupun oleh para sarjana Muslim, apabila dibandingkan dengan ajaran moral atau akhlak dalam Alqur’an jelas bahwa Alquran tidak ada bandingannya. Banyak buku yang membahas etika atau moralitas dalam Alquran. Muhammad Abd Allah Draz dalam The Moral World of the Qur’a, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Danielle Robinson & Rebecca Masterton (London & New York: I.B. Tauris, 2008) mengkaji teori etika dalam hukum Islam dengan mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas moralitas. Buku ini bertujuan menunjukkan bagaimana Alqur'an, baik secara teoritis maupun praktis, memberikan kode moral yang diikuti oleh umat Islam. Analisisnya mencakup sikap Alqur'an terhadap kewajiban dan tanggung jawab, psikologi moral seperti motivasi dan niat, serta etika sosial dalam konteks hukum dan masyarakat. Selain itu, penulis mengeksplorasi moralitas individu, keluarga, serta masyarakat sipil.
Sementara itu, dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur'an yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1959 dengan judul The Structure of the Ethical Terms in the Koran (2002) Toshihiko Izutsu menganalisis prinsip dasar etika Islam dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ia menegaskan bahwa Tuhan, menurut Al-Qur'an, bersifat etis dan bertindak secara etis terhadap manusia, yang menuntut pengabdian serta kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Izutsu menggunakan pendekatan etnolinguistik untuk mengkaji makna konsep-konsep etika dalam Alqur'an, menunjukkan bagaimana Islam muncul sebagai reformasi keagamaan besar pada abad ke-7. Dalam transisi ini, norma-norma suku yang telah lama berlaku berubah dan disesuaikan dengan sistem nilai Islam yang baru.
Alqur'an menjadi pedoman etika yang menyatukan hukum dan moral, menjadikannya bukan hanya tanggung jawab pribadi tetapi juga sosial, selalu terkait dengan keimanan kepada Allah. Pandangan etika Islam berlandaskan tauhid, peran manusia sebagai khalifah, kebebasan berkehendak, keadilan, kasih sayang, serta kehidupan akhirat. Pandangan etika dalam Alqur'an merupakan bagian dari perspektif Islam yang menekankan dimensi moral. Alqur'an berfungsi sebagai petunjuk (huda) bagi umat manusia sekaligus sebagai pembeda (furqan) antara perilaku yang baik dan buruk.
Akhlak menjadi perhatian utama para ahli tafsir karena Al-Qur'an menekankan pentingnya moralitas dalam kehidupan manusia. Banyak mufasir yang mengaitkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan prinsip-prinsip etika untuk membimbing umat Islam dalam bersikap dan berperilaku. Tafsir al-Mizan karya Allama Thabathabai, menunjukkan bagaimana Al-Qur'an memberikan pedoman moral yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama, dan lingkungan. Selain itu, tafsir seperti Tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshari dan Tafsir Ruh al-Ma'ani karya al-Alusi juga menyoroti aspek moral dari ayat-ayat Al-Qur'an dengan pendekatan kebahasaan dan tasawuf. Tafsir al-Jassas karya Abu Bakar al-Jassas juga memberikan perspektif hukum yang berkaitan dengan etika dalam Islam.
Kajian tafsir akhlak yang lebih dalam dilakukan oleh para Sufi dengan tafsir Sufinya. Ignaz Goldziher, seorang orientalis terkenal, membahas tafsir sufi dalam karyanya Die Richtungen der islamischen Koranauslegung (Leiden: Brill, 1920), yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Arabi berjudul Madhāhib al-Tafsīr al-Islāmī (Da>r al-Iqra’, 1983). Dalam analisisnya, Goldziher menggolongkan tafsir sufi sebagai salah satu mazhab utama dalam penafsiran Alqur'an. Menurut Goldziher, tafsir sufi memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari tafsir lainnya, seperti pendekatan esoteris (batiniah), penekanan pada pengalaman mistik, serta penggunaan simbolisme dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Ia menilai bahwa para sufi sering kali menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara alegoris, menekankan makna-makna spiritual yang lebih dalam dibanding makna tekstual atau hukum. Beberapa tokoh yang ia sebutkan dalam kajiannya termasuk Al-Tustari, Al-Qushayri, dan Ibn Arabi, yang masing-masing memiliki metode tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an melalui pendekatan tasawuf.
Tafsir Surah al-Hujurat tentang Moralitas
Banyak kitab tafsir yang menafsirkan seluruh surat atau ayat dalam Al-Qur'an secara lengkap, seperti Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Qurtubi, dan Tafsir Ibn Kathir. Namun, ada juga tafsir yang secara khusus membahas satu surah tertentu, biasanya karena surah tersebut memiliki kandungan tematik yang mendalam atau relevansi khusus dalam kajian tertentu. Salah satu contoh tafsir yang berfokus pada satu surah adalah tafsir tentang Surah Al-Hujurat. Surah ini merupakan salah satu surah dalam Al-Qur’an yang banyak mengundang perhatian karena mengandung ajaran penting tentang etika sosial dan hubungan antar sesama. Surah ini dimulai dengan perintah untuk beradab terhadap Rasulullah Saw. termasuk larangan meninggikan suara di hadapannya serta kewajiban menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, surah ini juga menekankan pentingnya tabayyun atau verifikasi informasi sebelum mempercayai dan menyebarkan berita, guna menghindari fitnah dan kesalahpahaman. Dalam konteks hubungan sosial, Surah Al-Hujurat mengajarkan pentingnya ukhuwah Islamiyah dengan mendorong perdamaian jika terjadi konflik di antara kaum muslimin. Larangan-larangan seperti mencela, mengolok-olok, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, dan ghibah juga ditegaskan dalam surah ini, menunjukkan betapa Islam mengutamakan keharmonisan dalam bermasyarakat. Puncaknya, Allah menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari ras, suku, atau status sosialnya, melainkan dari ketakwaannya kepada Allah. Pesan-pesan dalam Surah Al-Hujurat sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta masyarakat yang beradab dan penuh kedamaian.
Beberapa sarjana menyusun tafsir al-Hujurat seperti Tafseer Soorah al-Hujurat (International Islamic Publishing House (IIPH) di Riyadh, Arab Saudi, 2006) yang ditulis oleh Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, seorang cendekiawan Muslim terkemuka. Buku ini membahas secara mendalam Surat al-Hujurat dalam Al-Qur’an, dengan menyoroti pesan-pesan moral dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Dengan pendekatan yang sistematis, Dr. Bilal Philips menjelaskan ayat-ayat dalam surat ini berdasarkan konteks historis dan nilai-nilai Islam, serta bagaimana penerapannya dalam kehidupan modern. Buku ini juga menggunakan metode tafsir yang mudah dipahami, sehingga cocok bagi pembaca dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang baru mulai mendalami studi tafsir Al-Qur'an.
Sebagai salah satu karya tafsir kontemporer yang berfokus pada satu surat dalam Alqur'an, Tafseer Soorah al-Hujurat memberikan wawasan mendalam mengenai etika sosial Islam, pentingnya menjaga persatuan umat, serta bagaimana Muslim seharusnya berinteraksi satu sama lain berdasarkan ajaran ilahi.
Surat Al-Hujurat berfokus pada adab dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam interaksi antara individu dan pemimpinnya. Surah ini diwahyukan pada 9 H, ketika banyak delegasi dari berbagai daerah datang ke Madinah untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Islam (Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an – English Translation of the Meanings and Commentary King Fahd Holy Qur’an Printing Complex, 1975)
Tafsir Alquran Surah al-Hujurat dalam Bahasa Arab antara lain al-Tashil li Ta'wil al-Tanzil: Surah Al-Hujurat fi Su'al wa Jawab, sebuah karya yang ditulis oleh Mustafâ bin al-Adawî. Kitab ini ini diterbitkan oleh Dar Majid Asiri, Jeddah, pada edisi pertamanya tahun 1421 H / 2000 M. Kitab ini menyajikan tafsir Surat Al-Hujurat dalam format tanya jawab, yang memudahkan pembaca dalam memahami makna dan kandungan ayat-ayatnya. Pendekatan ini membantu pembaca, baik pemula maupun yang sudah memiliki pemahaman mendalam, untuk lebih mudah menangkap pesan-pesan moral, sosial, dan spiritual yang terkandung dalam surah tersebut.
Menurut penulis kitab tafsir ini, Surat Al-Hujurat sendiri menekankan adab dalam interaksi sosial, baik antara sesama Muslim maupun terhadap pemimpin. Melalui format tanya jawab, buku ini memberikan penjelasan yang sistematis dan terstruktur, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami konsep-konsep utama yang dibahas dalam surah ini.
Beberapa jilid dari tafsir ini telah terbit penulis telah menempuh metode yang sesuai dengan pendekatan umum para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menafsirkan Kitab Allah Swt. Penafsirannya juga diakui oleh penulisnya berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. yang sahih, serta riwayat-riwayat sahih dari para sahabat, tabi’in, dan ulama setelah mereka.
Menurut al-Adawî, Surat Al-Hujurat mengandung banyak ilmu yang berharga, termasuk petunjuk dalam memperbaiki akidah, akhlak, muamalah, serta ilmu yang menuntun pada penyucian jiwa dan penguatan iman. Ia telah merangkumnya dalam bentuk tanya jawab agar makna-makna tersebut lebih mudah dipahami dan tertanam dalam benak pembaca.
Ia menjelaskan beberapa point tentang etika yang ada dalam Surah al-Hujurat. Pertama, etika menghadapi berita bohong yang dibawa oleh orang fasik. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak mencelakai suatu kaum karena ketidaktahuan, yang akhirnya membuat kamu menyesal atas apa yang telah kamu lakukan. Sampai di sini, 'Sebagai karunia dan rahmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.'" (QS. Al-Hujurat: 6).
Ayat ini turun terkait dengan peristiwa Al-Harits bin Dhirar Al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu yang memungut zakat dari kaumnya. Rasulullah saw mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat tersebut, namun Al-Walid kembali melaporkan bahwa Al-Harits menolak membayar zakat dan bahkan berniat membunuhnya. Setelah melakukan verifikasi, ternyata Al-Harits tidak melakukan hal tersebut, dan ayat Al-Hujurat: 6 pun turun untuk mengingatkan umat Islam agar tidak terburu-buru menerima berita tanpa verifikasi.
Ayat ini diwahyukan mengenai seorang Muslim, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim masih dapat dikategorikan sebagai fasik (pelaku dosa). Dalil lain yang menguatkan adalah firman Allah Swt., "Telah dilupakan nama kemaksiatan setelah iman." (QS. Al-Hujurat: 11). Seorang Muslim tetaplah seorang Muslim meskipun dia melakukan dosa besar, sebagaimana dikatakan dalam sebuah pepatah: "Adalah buruk jika seorang Muslim disebut pendosa setelah ia beriman."
Selain itu, dalam hadits Rasulullah disebutkan: "Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, sedangkan memeranginya adalah kekufuran." (HR. Bukhari & Muslim). Hadits ini menunjukkan perbedaan antara kefasikan dan kekufuran. Dalil lainnya adalah firman Allah SWT: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik namun tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali cambukan dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur: 4)
Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang dapat disebut fasik tanpa harus menjadi kafir. Namun, ada juga teks-teks yang menggunakan kata fisq (fasik) dalam arti kekufuran, seperti dalam firman Allah SWT mengenai kaum Fir’aun: "Maka dia (Fir'aun) menganggap remeh kaumnya, lalu mereka pun menaatinya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik." (QS. Az-Zukhruf: 54). Kemudian dalam ayat lain dijelaskan konsekuensi dari kefasikan mereka: "Pada hari Kiamat, masukkanlah kaum Fir’aun ke dalam azab yang paling berat." (QS. Ghafir: 46). Demikian pula dalam firman Allah SWT: "Dan bagi orang-orang yang fasik, maka tempat berlindung mereka adalah neraka. Setiap kali mereka ingin keluar darinya, mereka akan dikembalikan kepadanya." (QS. As-Sajdah: 20)
Diketahui bahwa kekekalan di neraka hanya berlaku bagi orang-orang kafir. Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa konteks, kefasikan bisa berarti kekufuran, tetapi dalam banyak kasus lain, kefasikan adalah dosa yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun demikian, Alquran menghukum orang fasik bahwa kesaksian seorang fasik dapat diterima. Allah SWT berfirman: "Dan janganlah sekali-kali kamu menerima kesaksian mereka; mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur: 4). Banyak ulama yang berpendapat bahwa orang fasik tidak dapat dijadikan saksi, karena kefasikannya mencerminkan ketidakterpercayaannya.
Berita yang datang dari seseorang bisa jadi bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dan didukung dengan bukti-bukti, atau bisa saja orang yang menyampaikan berita tersebut memiliki permusuhan dengan pihak tertentu. Bisa juga orang yang saleh terburu-buru dalam menerima dan menyebarkan berita. Oleh karena itu, kita harus melakukan verifikasi dan meminta hujjah serta bukti lebih banyak lagi. Bisa jadi orang yang saleh itu sendiri lalai dalam menyampaikan berita, atau ia mendapatkannya dari orang yang terpercaya, atau bisa juga berita tersebut disampaikan dengan cara yang memutarbalikkan makna atau merugikan penyampaian.
Beberapa bukti tentang hal ini ditemukan dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang mengisahkan sebuah kejadian ketika Rasulullah saw melakukan shalat zuhur dua rakaat. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri dan bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah shalatmu tadi qasar atau engkau lupa?" Rasulullah saw menjawab: "Apa yang dikatakan Dzul Yadayn?" Dalam riwayat lain disebutkan: "Apakah Dzul Yadayn jujur?" Rasulullah saw ingin memastikan kebenaran pernyataan Dzul Yadayn sebelum mengambil keputusan. Beliau menanyakan kepada sahabat-sahabatnya apakah apa yang dikatakan Dzul Yadayn itu benar, dan mereka menjawab: "Benar." Bahkan ketika berita datang dari orang yang dianggap saleh, kita tetap perlu melakukan verifikasi. Rasulullah saw sendiri menunjukkan pentingnya verifikasi dalam beberapa kejadian yang mencerminkan hal tersebut:
Ketika Rasulullah Saw. lupa jumlah rakaat dalam shalat, beliau meminta konfirmasi tentang kebenaran apa yang disampaikan oleh Dzul Yadayn, sehingga beliau tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut tanpa pemeriksaan. Lalu kasus Abu Musa Al-Asy'ari. Ketika Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menyebutkan sebuah nasihat dari Rasulullah saw mengenai meminta izin, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu meminta bukti untuk memastikan kesahihan nasihat tersebut. Rasulullah Saw. juga memverifikasi berita yang berkembang di kalangan kaum Anshar terkait Perang Hunain sebelum memberikan keputusan atau tindakan lebih lanjut.
Dengan demikian, ayat Al-Hujurat: 6 menegaskan pentingnya verifikasi berita, bahkan jika berita tersebut datang dari orang yang dianggap saleh. Kesaksian orang fasik harus diperiksa, terutama jika berhubungan dengan tuduhan yang merugikan. Fisq (kedurhakaan) dan kufr (kekufuran) adalah dua hal yang berbeda dalam Islam. Setiap tindakan atau keputusan yang melibatkan orang lain harus didasarkan pada verifikasi yang cermat agar tidak menyesal di kemudian hari.
Kedua, Surah al-Hujurat juga menjelaskan beberapa prinsip penting dalam berkomunikasi, seperti menyebutkan orang yang dituju beserta kelebihan dan keutamaannya. Selain itu, terdapat larangan mendahulukan pendapat dan hawa nafsu terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, yang diperjelas dengan posisi para sahabat setelah turunnya ayat pertama serta keutamaan Tsabit bin Qais bin Shammas.
Ketiga, dibahas kewajiban menghormati Rasulullah Saw., memujinya, dan mengajak manusia untuk mengikuti perintahnya. Juga berbagai bentuk larangan seperti mengejek orang lain, memanggil dengan julukan yang tidak disukai, dan berprasangka buruk.
Dalam ayat 11, Allah melarang kaum mukmin untuk saling mengejek, mencela, dan memanggil dengan julukan yang buruk. Sering kali, orang yang direndahkan justru lebih baik di sisi Allah. Oleh karena itu, perilaku seperti ini termasuk kezaliman jika seseorang tidak segera bertobat. Selain itu, ayat 12 memperingatkan agar kaum mukmin menjauhi prasangka buruk, karena sebagian prasangka adalah dosa. Islam juga melarang memata-matai dan menggunjing orang lain, yang diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri—sebuah tindakan yang sangat menjijikkan dan terlarang. Allah pun mengingatkan bahwa pintu tobat selalu terbuka bagi mereka yang ingin kembali kepada-Nya.
Pada ayat 13, Allah menjelaskan bahwa seluruh manusia berasal dari satu keturunan, yakni Adam dan Hawa, dan keberagaman suku serta bangsa diciptakan agar manusia saling mengenal, bukan untuk saling merendahkan. Kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak diukur dari latar belakangnya, melainkan dari ketakwaannya. Ayat 14 menyoroti pentingnya keimanan yang tulus. Islam tidak hanya sebatas pengakuan di lisan, tetapi harus disertai keyakinan dalam hati dan amal yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian, dalam ayat 15, Allah menegaskan bahwa orang-orang beriman adalah mereka yang memiliki keyakinan teguh, tidak ragu-ragu, dan siap berjuang dengan harta serta jiwa mereka di jalan-Nya. Keimanan sejati bukan hanya sekadar ucapan, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata. Ayat 16-17 mengingatkan bahwa tidak ada yang bisa mengajari Allah tentang agama, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Keislaman seseorang bukanlah jasa yang bisa dibanggakan, melainkan nikmat dari Allah yang harus disyukuri. Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari bahwa hidayah adalah anugerah, dan mereka harus menjaga serta mengamalkannya dengan penuh ketulusan.
Kesimpulan
Etika bukan hanya sekadar kajian teoretis tetapi juga sebuah panduan praktis dalam kehidupan manusia. Dari pemikiran Aristoteles hingga konsep etika dalam Islam, terdapat kesamaan dalam upaya memahami dan menerapkan prinsip moral dalam kehidupan sehari-hari. Etika normatif membahas prinsip-prinsip moral secara abstrak, sedangkan etika terapan berperan dalam menghadapi dilema kehidupan nyata.
Dalam Islam, etika (‘ilm al-akhlaq) memiliki makna mendalam yang mencakup penyucian jiwa dan pembentukan karakter berdasarkan prinsip tauhid dan keadilan. Al-Qur'an menjadi sumber utama etika Islam, membentuk moralitas individu dan sosial yang berlandaskan iman kepada Allah. Baik dalam filsafat klasik maupun Islam, etika berfungsi sebagai panduan moral dalam kehidupan. Islam menekankan akhlak berbasis tauhid dan keadilan, sebagaimana diajarkan dalam Alqur'an dan pemikiran ulama seperti Al-Ghazali dan Ibn Miskawayh. Dengan memahami etika, manusia dapat menjalani kehidupan yang lebih adil, harmonis, dan bermakna.
Berbagai kitab tafsir, seperti Tafseer Soorah al-Hujurat karya Dr. Bilal Philips dan al-Tashil li Ta'wil al-Tanzil karya Abu Abdullah Rawan bin Al-Tadawi, membahas surah ini dengan pendekatan yang sistematis dan mudah dipahami. Surah Al-Hujurat menekankan adab sosial untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, seperti klarifikasi atas suatu berita (tabayyun), larangan mencela, berprasangka buruk, dan mencari-ccari kesalahan orang lain.
Nilai-nilai etika dalam al-Hujurat ini tetap relevan di era modern, terutama dalam menghadapi berita bohong dan konflik sosial, sehingga membentuk individu dan komunitas yang lebih beradab dan beriman. Surah Al-Hujurat juga mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari ras atau status sosial, melainkan dari ketakwaannya kepada Allah.
*Cikarang, 14 Februari 2025
Komentar
Posting Komentar