Refleksi sebagai Dosen dan Untuk Para Dosen
Cak Yo*
Banyak kegiatan seminar atau simposium yang membahas kondisi dosen. Berbagai buku dan artikel cetak dan elektronik juga banyak yang membahas topik yang hingga kini masih menjadi problematika dunia pendidikan di negara kita. Bahkan undang-undang yang mengatur dosen sudah lama diterbitkan, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berbagai kebijakan tentang dosen silih berganti seiring pergantian pemerintah khususnya kementerian yang mengurus pendidikan, bahkan nama kementeriannya saja berganti dari periode ke periode.
Dari semua hal di atas, tak dipungkiri, bahwa kondisi dosen di Indonesia memang masih jauh dari ideal. Yang banyak menjadi sorotan dan dibahas hampir tidak habisnya, aspek kualitias atau mutu dan kesejahteraan dosen. Berbagai media memberitakan dan mengulas potret suram mutu dan kesejahteraan dosen. Mutu rendah terutama dalam kompetensi dan produktivitasTridharma penelitian dan pengabdian, serta masih rendanya kesejahteraan dosen baik di PTKIN maupun PTKIS di seluruh Indonesia.
Bagi kita, yang sudah menjatuhkan pilihan menjadi dosen, yang menggeluti profesi di perguruan tinggi, kondisi di atas, yang bagi sebagian orang mungkin memang sebuah kenyataan pahit dan memprihatinkan, hendaknya tidak melemahkan semangat untuk mendidik anak-anak bangsa. Tidak menyurutkan langkah untuk terjun dalam gelanggang profesi dosen. Kita mungkin harus menyadari bahwa kita hidup bukan di negara maju, kita hidup bukan di negara Jerman, Finlandia atau yang terdekat di Malaysia atau Singapura, di mana mutu dan kesejahteraan dosen jauh di atas kita, di mana komptensi dan kesejshteraan setingkan level direktur atau manajer di perusahaan. Di negara kita, pelawak yang menjadi anggota dewan terhormat, yang tidak menyandang titel akademik, yang mungkin kompetensinya jauh di atas rata-rata akademisi, digaji berpuluh-puluh kali lipat dari para dosen. Ini bukan semata persoalan lembaga pendidikan, namun ini persoalan ketimpangan kebijakan rezim, persoalan keberpihakan pemerintah kepada dosen. Persoalan yang selalu diangkat dalam berbagai kampanye pemilu, persoalan yang menjadi bahan pidato retoris para pejabat dari podium-podium dan panggung yang megah. Itu problematika umum dosen, kenyatasn dosen dari Sabang sampai Merauke. Problematika yang entah kapan tuntasnya.
Kondisi di atas adalah kenyataan. Namun, karena sifatnya yang umum itu, bukan pula solusi buat kita, para dosen untuk selalu mengeluh, untuk menyalahkan keadaan. Tidak untuk membuat lemah para dosen untuk maju, untuk berkarya, untuk memberikan yg terbaik kepada lembaga kita.
Lembaga pendidikan kita di Indonesia dgn berbagai keterbatasannya memanggil kita, para dosen untuk berkiprah, untuk mmberikan yang terbaik dari hidup kita buat memajukan lembaga, untuk mendidik generasi kita. Problem finansial dihadapi oleh hampir semua dosen di Indonesia. Tetapi dengan "panggilan jiwa" dosen sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi, diharapkan tdk menyurutkan langkah dan tidak membuat kehilangan daya untuk menjalankan tugas Tridharma dosen.
Bila berefleksi menghadapi problematika kehidupan dan menghadapi kenyataan hidup, akhirnya terkadang kita mesti bertanya tentang orientasi hidup kita sebagai manusia. Apa tujuan hidup kita ini? Sebagai dosen kita berefleksi, apakah menjadi dosen itu sudah sepenuh jiwa kita, apakah profesi dosen sudah menjadi pilihan utama sehingga kita memiliki kesadaran profesi yang mendarahdaging, bahkan menembus hingga ke tulang sumsum? Apakah gelora semangat sebagai dosen masih hidup dalam setiap diri kita? Sebaliknya, kita bertanya ke dalam diri, sebagai dosen, apakah menjadi dosen hanya separuh jiwa atau seperempat jiwa atah bahkan tanpa jiwa, apakah profesi ini hanya menjadi pilihan kedua, ketiga, dan seterusnya, apakah dosen hanya sebagai status, hanya sebagai kerja sampingan, apakah kesadaran sebagai dosen yang bertugas melaksanakan tridharma telah hilang dalam diri kita, apakah kondisi dosen telah membuat api semangat padam hanya tinggal abu dan asapnya saja, apakah jiwa-jiwa dosen telah mati menjadi sosok bagaikan tubuh tanpa jiwa?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas dapat disusul dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih real terkait tugas dosen. Apakah profesi dosen hanya mengajar saja, apakah meneliti, mengabdi dan berkarya harus menunggu gaji besar terlebih dahulu, apakah harus menunggu tersertifikasi, apakah semua kebutuhan hidup harus tercukupi terlebih dahulu?
Kenyataan pula, sepertinya banyak dosen yg tidak menunggu itu. Banyak dosen yg hidupnya dalam ketidakcukupan mereka meneliti, mengabdi dan berkarya. Banyak yang masih belum menerima sertifikasi, fasilitas dan tunjangan lain mereka punya dedikasi setidaknya dedikasi kepada profesinya. Mereka yang semata terpanggil jiwanya untuk maju, untuk mencapai karir akademik dan fungsional, bahkan hingga ke jenjang doktor dan guru besar. Banyak dosen yg karena panggilan jiwanya berusaha optimal dan maksimal membesarkan dan memajukan lembaga. Mereka yang memiliki niat dan tekad untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk lembaga. Mereka yang jiwa-jiwa hidupnya sebagai pendidik menyadari "apa yang sudah aku berikan kepada lembaga" dari perhatianku, dari kepedulianku, dari dedikasiku, dari loyalitasku bahkan dari hidupku.
Para dosen yang hebat, membangun lembaga mustahil hanya dilakukan sendiri, tidak mungkin hanya oleh pimpinan manajemen dan hanya oleh beberapa dosen. Mereka juga sama dlm keserbaterbatasan dan serbaketidakcukupan materi. Lembaga pendidikan yg maju, yang besar dibangun oleh semua sivitas akademika, kolaborasi seluruh stakeholder. Oleh semua jiwa-jiwa hidup pendidik, peneliti dan pengabdi. Ada masanya seperti Republik ini, berada pada masa perjuangan. Masa di mana para pejuang tanpa pamrih mengorbankan hidupnya untuk perjuangan. Mereka berkorban bahkan jiwa dan air mata. Semangat berkobar-kobar para pejuang hanya agar kelak Bumi Pertiwi merdeka. Pintu gerbang kemerdekaan terbuka, dan republik ini merdeka. Anak cucu para pejuang menikmati kemerdekaan. Para pejuang mendambakan Republik ini Merdeka 100% dan negeri ini menjadi negeri yang besar, hebat, maju, sejahtera, adil dan makmur. Apakah itu sudah tercapai? Tanda bahwa perjuangan tidak boleh berhenti. Demikisn pula lembaga pendidikan kita, butuh perjuangan bertahun-tahum untuk menjadi besar, maju? dan hebat. Dalam kondisi dan kenyataan yang ada, dalam keserbaterbatasan anak-anak kita menunggu perjuangan itu. Para mahasiswa menunggu dedikasi profesi kita: menjalsn tiga tugas utama (Tridharma): mengajar dan mendidik, meneliti, dan mengabdi. Sivitas akademika dan masyarakat menunggu kita. Mereka menunggu kiprah optimal para dosen hebat. Mereka yang terpanggil jiwanya untuk mendarmabaktikan hidupnya. Para dosen dengan jiwa yang hidup dan dengan api semangat berkobar untuk bersama membangun dan membesarkan lembaga kita. "Vita brevis", kata St. Augustinus dari Hipo, "Hidup ini singkat", dan itu harus bermakna. Wallahu 'alam.
*Cak Yo, 15/1/2025
Komentar
Posting Komentar