PESANTREN DAN TRADISI KAJIAN LOGIKA (MANTIQ)



Cak Yo

Pengantar

Mengutip buku Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Dian Rakyat, 1997), "dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hossein Nasr, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa". Meskipun tidak dibatasi oleh periode, namun boleh dikatakan bahwa dunia pesantren mewarisi dan memelihara tradisi intelektual periode Salaf dan Khalaf. 

Istilah Salaf, menurut KBBI, berarti sesuatu atau orang terdahulu. Ibn Mandhûr dalam Lisân al-'Arab mengartikan bahwa kata Salaf mengacu pada kelompok yang bersatu di masa lalu (VI: 330).  Istilah ini digunakan untuk para ulama terdahulu yang saleh (salaf al-şâlih), yaitu para ulama yang hidup dalam tiga generasi muslim, yakni para sahabat, tabi'un dan tabi'ut tabi'in. Sedangkan istilah ulama Khalaf adalah ulama yang hidup setelah ketiga generasi di atas (sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in) (lihat Jonathan Brown, Islamic Studies: Salafism (Oxford University Press, 2009).

Sejak abad ke-4 dan ke-5 Hijriah (10 dan 11 Masehi), dunia pendidikan Islam telah memiliki lembaga pendidikan yang disebut kuttâb atau maktab untuk pendidikan dasar; dan madrasah untuk pendidikan lanjutan (lihat Makdisi, 1981). Sedangkan pesantren merupakan lembaga pendidikan yang khas Indonesia. Dalam istilah Nurcholish Madjid, pesantren "disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga "mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) (Nurcholish Madjid, 2019: 14). Disebut khas Indonesia antara lain karena dilihat dari asal-usul istilah "pesantren" dari kata santri di mana kata ini berasal dari kata "catrik" (Sansakerta atau Jawa) yang berarti murid padepokan atau murid mengaji. Kedua, pesantren juga mengintegrasikan Islsm dan budaya lokal seperti tercermin dalam istilah "pondok pesantren" di mana istilah pondok dari kata Arab fundûk yang berarti penginapan. Ketiga, secara historis, mengutip Nurcholish Madjid, "lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia." Istilah pondok pesantren mengandung elemen-elemen dasar di dalamnya, yaitu pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab kuning. 

Elemen pondok pesantren yang disebut terakhir di atas, kitab kuning, juga merupakan istilah yang khas pesantren di Indonesia. Kitab kuning dalam pendidikan Islam mengacu pada kumpulan kitab tradisional yang menjadi bahan ajar di pondok pesantren. Kitab-kitab ini mencakup berbagai disiplin ilmu agama Islam (dirãsah al-islâmîyah), seperti fiqh, aqidah, akhlaq, tata bahasa Arab (`ilmu nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, ilmu Al-Qur'an, hingga ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah). Disebut juga kitab gundul karena tidak memiliki tanda baca seperti harakat (fathah, kasrah, dhammah, dan sukun). Oleh karena itu, penguasaan tata bahasa Arab, khususnya nahwu dan sharf, sangat diperlukan untuk memahaminya.

Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Gading Publishing, 2012) mengatakan bahwa kitab kuning merupakan tradisi agung (great tradition) di Indonesia. Di pesantren inilah ditransmisikan Islam tradisional sabagaimana yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu.

Untuk dapat membaca kitab kuning diperlukan ilmu-ilmu alat atau ilmu bantu yang dalam tradisi keilmuan Islam mencakup berbagai cabang tata bahasa Arab klasik seperti nahwu (sintaksis), sharaf (infleksi), dan balaghah (retorika). Terdapat berbagai kitab teks yang membahas ilmu-ilmu ini, jumlah dan ragamnya sangat banyak, sehingga dapat membingungkan. Koleksi dan daftar buku-buku populer ini dapat dibandingkan dengan daftar yang dibuat oleh Van den Berg, serta daftar naskah tata bahasa Arab di perpustakaan Jakarta dan Leiden yang disusun oleh Drewes (1971). 

Bruinissen membuat daftar yang menunjukkan distribusi kitab-kitab populer yang dikaji di pessntren termasuk ilmu-ilmu alat seperti tata bahasa Arab, tajwid, dan logika dan disertakan pula tingkatan pendidikannya, seperti ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Santri biasanya memulai pembelajaran dengan mempelajari dasar-dasar ilmu sharaf, yang melibatkan hafalan tabel perubahan kata kerja dan kata benda. Salah satu teks awal yang sering digunakan adalah Bina' (Al-Bina' wa Al-Asas, karya Mulla Al-Danqari). Setelah menguasai teks ini, santri melanjutkan ke teks seperti Al-Izzi (Al-Tashrif li Al-Izzi, karya Izzuddin Ibrahim Al-Zanjani) atau Al-Maqshud (Al-Maqshud fi Al-Sharf, karya anonim yang sering dikaitkan dengan Abu Hanifah). 

Setelah memahami ilmu sharaf, santri kemudian mempelajari ilmu nahwu, dimulai dengan kitab dasar seperti Awamil (Al-Awamil Al-Mi'a, karya 'Abd Al-Qahir ibn Abd Al-Rahman Al-Jurjani, wafat 471 H), yang menjelaskan situasi-situasi yang memengaruhi harakat akhir kata benda dan kata kerja. Proses ini dilanjutkan dengan mempelajari kitab populer lainnya, seperti Jurumiyah (Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyah, karya Abu Abdullah Muhammad b. Daud Al-Shanhaji, wafat 723 H).

Beberapa kitab lain yang digunakan mencakup Mutammimah, Asymawi, dan Alfiyah di tingkat tsanawiyah dan aliyah; Qathrun Nada dan Awamil di tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah; serta Nahwu Wadih dan Qawaidul Lughat di tingkat tsanawiyah. Dalam ilmu balaghah, kitab seperti Jauharul Maknun dan Uqudul Juman menjadi rujukan utama di tingkat aliyah, sementara dalam ilmu tajwid, teks-teks seperti Tuhfatul Athfal dan Hidayatus Shiban digunakan di tingkat tsanawiyah. Untuk ilmu manthiq diajarkan untuk mendukung pemahaman fiqih. 

Kitab utama yang digunakan dalam kajian manyiq di pesantren adalah Sullam Al-Munauraq karya Al-Akhdhari, sering disertai syarah seperti Idhah Al-Mubham karya Ahmad Al-Damanhuri dan komentar oleh ulama Al-Azhar seperti Al-Mullawi. Juga dikenal adalah Isaghuji karya Atsir Al-Din Al-Abhari, sebuah teks dasar yang populer di pesantren, dengan beberapa syarah dan terjemahan, termasuk dalam bentuk bait Jawa oleh K.H. Bisri Mustofa (Bruinessen, 2012: 172).

Ilmu manthiq (logika)memiliki peran penting dalam menjaga pikiran dari kesalahan (fallacy) dan membuka tabir pemahaman yang mendalam. Sebagaimana diungkapkan dalam kitab Sullam al-Munawraq karya Syekh Abdurrahman bin Muhammad as-Shaghir al-Ahdhari, ilmu ini diibaratkan sebagai tata bahasa (nahwu) bagi pikiran. Kitab ini menegaskan bahwa ilmu manthiq dapat membimbing akal agar terhindar dari kekeliruan serta memberikan dasar-dasar pemahaman yang kokoh untuk menguasai berbagai aspek pengetahuan. Melalui nazam-nazam yang ringkas namun padat, Sullam al-Munawraq menjadi rujukan utama dalam pembelajaran ilmu logika, terutama di kalangan pesantren di Indonesia.

Sejarah Ilmu Mantiq

Ilmu mantiq, atau logika, pertama kali berkembang di Yunani dan dipelopori oleh Aristoteles, yang dikenal sebagai ikon rasionalitas. Ia memperkenalkan metode berpikir yang sistematis melalui premis-premis (mukaddimah) yang menghasilkan kesimpulan (natijah). Metode ini kemudian dikenal sebagai mantiq. Sekitar abad ke-2 M, bangsa Arab mulai mengadopsi ilmu ini dengan menerjemahkan konsep-konsep logika ke dalam bahasa Arab, meskipun pada awalnya hanya sebatas pada aspek bahasanya, seperti kalam dan talaffudz, tanpa mengaitkannya dengan pemahaman aslinya dari Yunani. 

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Khalifah Al-Ma’mun memprakarsai gerakan penerjemahan besar-besaran karya-karya pemikir Yunani, termasuk Aristoteles. Inspirasi ini berasal dari mimpi Al-Ma’mun yang bertemu Aristoteles, yang menyatakan bahwa akal adalah sumber kebenaran. Ia kemudian mengirim delegasi ke Roma untuk mempelajari ilmu-ilmu Yunani dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Salah satu klasifikasi ilmu yang dikembangkan pada masa itu adalah mantiq, sebagaimana dicatat oleh Al-Khawarizmi. 

Perkembangan ilmu mantiq semakin meluas ketika Madrasah Alexandria berpindah ke Syria. Saat itu, logika menjadi ilmu dasar yang digunakan dalam bidang-bidang seperti astronomi, kedokteran, dan kalam, khususnya pada abad IX hingga XI M. Para sarjana Islam, seperti Ibnu Sina, Abu Bakar al-Razi, dan Ibnu Rusyd, turut mengembangkan logika Aristoteles dengan mengintegrasikannya ke dalam ilmu kedokteran, farmasi, dan filsafat Islam. Al-Ghazali kemudian mengombinasikan ilmu mantiq dengan ilmu kalam untuk memperkuat argumen teologis. 

Menurut al-Qadli al-Sha'id al-Andalusi, penerjemah awal ilmu mantiq adalah Ibnu Muqaffa', yang menerjemahkan beberapa karya Aristoteles, seperti Categorias, Pario Hermenais, dan Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry. Hunain bin Ishaq juga memainkan peran penting dengan menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani, termasuk kitab Organon, ke dalam bahasa Arab. Al-Kindi melanjutkan upaya penerjemahan ini dengan menyertakan filsafat Yunani, yang mendapat dukungan dari Khalifah Al-Ma’mun. 

Ilmu mantiq kemudian memengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya, termasuk nahwu, dengan menyediakan metode logis untuk menyusun aturan gramatikal. Selama sekitar satu setengah abad, logika Aristoteles menjadi bagian penting dari budaya Arab. Namun, penolakan terhadap filsafat Yunani, termasuk logika, mulai muncul pada abad IV H oleh Imam al-Asy'ari, dan semakin menguat pada masa Al-Ghazali dengan karyanya Tahafut al-Falasifah. Meski demikian, akurasi logika dan kontribusinya terhadap ilmu matematika membuat logika tetap diterima dalam dunia Islam. Filsuf dan teolog muslim bahkan menggunakannya dalam diskusi metafisika dan ketuhanan, seperti yang diungkapkan oleh Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal.

Penolakan terhadap ilmu mantiq bermula ketika Khalifah Al-Mutawakkil memimpin kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 846 M/232 H. Penentangan ini semakin kuat di kalangan teolog Asy'ariyah, dengan Al-Ghazali (1059-1111 M) sebagai salah satu tokoh utamanya. Gerakan penolakan ini meluas dari wilayah timur hingga barat dunia Islam, di mana wilayah barat yang mayoritas bermadzhab Maliki lebih terpengaruh oleh doktrin anti-filsafat dan mantiq. Kecaman terhadap ilmu ini terus berlanjut hingga muncul Ibnu Rusyd, seorang pemikir besar Islam, yang melawan arus tersebut melalui karyanya Tahafut al-Tahafut.  

Pada abad ke-13 dan ke-14 M, perlawanan terhadap mantiq mencapai puncaknya. Setelah filsuf Muslim Sahruwardi dieksekusi pada akhir abad ke-12 M, tokoh-tokoh seperti Ibnu Shalah (1244 M) dan Ibnu Taimiyah (1328 M) menjadi penentang utama mantiq dan filsafat. Ibnu Taimiyah, dalam bukunya Majmu'ah Rasa'il al-Kubra, bahkan melabelkan Ibnu Sina sebagai kafir dan menyerukan boikot terhadap karya-karya filsafat dan logika. Penentangan ini kemudian dilanjutkan oleh ulama seperti Imam Al-Dzahabi pada abad ke-14 M, yang berusaha membendung pengaruh filsafat Yunani dengan tujuan menjaga kemurnian interpretasi Al-Qur'an dan Hadis.

Secara praktis, ilmu mantiq pertama kali masuk ke dunia Arab melalui jalur kedokteran. Puncak relasinya dengan ilmu Islam terjadi pada masa Al-Ghazali, yang mengintegrasikan mantiq ke dalam ilmu kalam, seperti terlihat dalam karyanya al-Iqtishad fi al-I'tiqad. Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali adalah sarjana Muslim pertama yang menggunakan logika secara signifikan dan menghubungkannya dengan berbagai ilmu Islam lainnya. Pada abad ke-10 M, mantiq mulai disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga metode logika Aristoteles berubah menjadi lebih Islami. Dialektika mantiq dengan ilmu Islam seperti nahwu, fiqh, dan ushul fiqh pun semakin terlihat, di mana nahwu dianggap sebagai "mantiknya bahasa" dan mantiq sebagai "bahasanya akal."

Setelah runtuhnya Baghdad pada abad ke-11 M, Andalusia menjadi pusat peradaban keilmuan Islam, termasuk dalam pengembangan mantiq. Pada masa ini, metode logika yang digunakan tidak lagi sepenuhnya mengikuti Aristoteles, melainkan lebih dipengaruhi oleh karya Ibnu Sina. Karya Ibnu Sina lebih diterima dibandingkan dengan karya Aristoteles, khususnya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Di sisi lain, Ikhwan al-Shafa, sebuah kelompok intelektual yang berbasis di Basrah (970-1030 M), turut mengembangkan logika dengan menggabungkan metode Aristoteles dan Neoplatonisme.

Perkembangan mantiq pada abad ke-12 hingga ke-13 M mulai membebaskan diri dari filsafat, berkat inovasi Al-Ghazali yang membawa mantiq ke ranah ilmu kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh, dan ilmu sosial. Al-Ghazali menegaskan bahwa logika adalah alat penting yang diperlukan dalam berbagai bidang ilmu, tidak hanya terbatas pada filsafat dan teologi. Bahkan, ia menganggap mempelajari mantiq sebagai kewajiban komunal (fardhu kifayah). Karya-karya Ibn Rusyd dan Fakhruddin al-Razi juga menjadi rujukan utama dalam kajian mantiq di kalangan sarjana Muslim.

Kitab Mantiq Sullam al-Munawraq

1. Cakupan Pembahasan

Kitab Sullam al-Munawraq karya Al-Akhdhari adalah salah satu teks utama dalam studi ilmu mantiq (logika) yang diajarkan di pesantren. Kitab ini membahas ilmu mantiq secara sistematis, dimulai dari definisi dan hukum mempelajarinya hingga aplikasi logika dalam kajian keilmuan, terutama dalam memahami teks-teks agama.

Mukadimah kitab ini menguraikan pentingnya ilmu mantiq sebagai alat untuk berpikir logis dan sistematis, serta hukum mempelajarinya yang dianggap fardhu kifayah dalam konteks memahami agama secara mendalam. Bagian awal menjelaskan definisi ilmu mantiq, hukum mempelajarinya, dan pembagian ilmu yang relevan, termasuk kaitannya dengan klasifikasi ilmu hadits dan penggunaan istilah teknis seperti qaul syarih dan hujjat.

Kitab ini juga mendalami konsep dasar seperti dilalah wadh'iyyah (makna berdasarkan penunjukan linguistik) dan pembagian lafadz, baik secara singular (mufrad) maupun majemuk (murakkab). Penjelasan tentang kulliyyah al-khamsah (kategori logis) memberikan fondasi untuk memahami relasi antara lafadz dan makna, seperti konsep genus (jenis), spesies (nau), perbedaan (fashl), serta sifat umum dan khusus ('aradh 'am dan khash).

Bagian utama kitab ini mengupas metode mendefinisikan (ta'rif), jenis-jenis definisi, dan syarat-syarat pembentukan definisi yang baik. Selanjutnya, pembahasan tentang qadhiyah (proposisi) mencakup klasifikasi, kuantor (sur), dan berbagai jenis proposisi, termasuk kontradiksi (tanaqudh) dan silogisme (qiyas), baik kategoris (iqtirani) maupun hipotesis (istitsna'i).

Kitab ini dilengkapi dengan pembahasan tentang kesalahan logika, metode analogi (tamsil), dan hujjah, memberikan panduan praktis dalam menyusun argumen yang valid. Dengan struktur yang komprehensif, Sullam al-Munawraq tidak hanya menjadi panduan studi logika, tetapi juga alat untuk memahami dalil-dalil agama secara lebih mendalam dan rasional.

2. Pengertian, Manfaat  dan Keistinewaan Ilmu Mantiq (Logika)

Ilmu mantiq, dikenal juga sebagai mi'yar al-'ulum (standar ilmu) atau ilmu mizan (ilmu pengukur), dinamakan demikian karena terkait dengan tiga makna utama: pemahaman menyeluruh (al-idrak al-kulliyah), kemampuan berpikir (al-quwwah al-‘aqilah), dan penyampaian pemahaman tersebut melalui lisan.

Secara istilah, ilmu mantiq didefinisikan sebagai: "Aturan-aturan yang dengan menjaganya, dapat melindungi akal dari kesalahan berpikir."

Manfaat ilmu ini antara lain melindungi akal dari kesalahan berpikir dan membantu membedakan antara argumen yang benar (shahih) dan keliru (fasid). Berasal dari Yunani, ilmu mantiq dirintis oleh Aristoteles dan berfokus pada tashawwur (konsepsi) dan tashdiq (penyandaran hukum). Pembahasannya meliputi definisi (mu’arrifat), silogisme (qiyas), dan aspek-aspek penalaran lainnya.

Ilmu ini dipandang istimewa karena bersifat universal, mencakup tashawwur dan tashdiq yang ada dalam setiap cabang ilmu. Pengarang kitab Sullam al-Munawraq menyamakan peran mantiq dalam menjaga akal dengan peran nahwu dalam menjaga lisan, bahkan mengibaratkan ilmu mantiq seperti tingginya langit karena nilai dan petunjuk yang dikandungnya. Karya ini diharapkan bermanfaat bagi pemula (mubtadi) dalam memahami dasar-dasar ilmu sebelum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Tingkatan pelajar dalam ilmu agama sendiri terbagi menjadi tiga: (1) Mubtadi – Belum mampu mengenali masalah dalam cabang ilmu; (2l Mutawasith – Mampu mengenali masalah tetapi belum dapat menghadirkan dalil; dan (3) Muntahi – Mampu menyelesaikan masalah dengan dalil-dalil yang kuat.

3. Hukum Mempelajari Ilmu Mantiq

Pendapat para ulama mengenai hukum mempelajari ilmu mantiq terbagi menjadi tiga. Pertama, Imam Ibn Shalah dan An-Nawawi mengharamkan mempelajari ilmu mantiq yang bercampur dengan filsafat, karena khawatir dapat mempengaruhi akidah seseorang dengan ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti yang terjadi pada kaum Mu’tazilah. Kedua, ada kelompok ulama, termasuk Al-Ghazali, yang menganggap mempelajari ilmu mantiq sebagai sunnah. Mereka berpendapat bahwa ilmu ini penting untuk membedakan antara ilmu yang benar dan yang keliru, meskipun tidak sampai dianggap fardhu kifayah karena penggunaannya tidak menjadi syarat utama dalam ilmu lainnya. 

Ketiga, menurut pandangan yang masyhur, mempelajari ilmu mantiq diperbolehkan bagi orang yang memiliki akal dan daya nalar sempurna serta rutin mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Orang-orang seperti ini dianggap mampu menjaga akidah mereka sehingga mempelajari ilmu yang mungkin terkontaminasi ajaran sesat tidak akan membahayakan keyakinan mereka.

Para ulama mengingatkan bahwa meskipun orang yang cerdas mungkin tidak mudah terpengaruh, resiko yang sama tetap ada bagi mereka yang tidak membiasakan diri mengamalkan ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, mereka melarang untuk mendalami kitab-kitab tauhid yang terkontaminasi dengan pemikiran filosofis, kecuali bagi mereka yang sudah mencapai tingkat pemahaman yang mendalam (mutabakhir). Contoh kitab mantiq yang tercemar ajaran filsafat adalah "Tawâli' al-Baydlâwî", sementara kitab mantiq yang masih murni, tanpa pengaruh filsafat, adalah "Mikhtashar al-Sanawbî" dan "al-Tanbîh"

4. Pembagian Ilmu

Dalam Sulam al-Munauraq dijelaskan bahwa ilmu dibagi menjadi dua kategori utama: ilmu qadim (ilmu Allah SWT) dan ilmu hadits (ilmu yang dimiliki oleh makhluk). Ilmu menurut ahli mantiq adalah kemampuan hati untuk memahami secara umum, meskipun pemahaman tersebut belum pasti atau sesuai dengan kenyataan. Ini mencakup dugaan, kebodohan berlapis, dan gambaran hukum yang tidak jelas atau khayalan. Pemahaman sempurna dalam hati disebut idrak, sementara pemahaman yang tidak sepenuhnya jelas disebut syu’ur (perasaan). Dalam perbedaan pendapat ulama, ahli ushul memandang ilmu sebagai keyakinan yang mantap sesuai dengan dalil dan kenyataan, sementara para ahli mantiq melihatnya sebagai gambaran yang tercatat dalam hati, baik berupa keyakinan, dugaan, atau kebodohan.

5. Konsep Penting Mantiq

Dalam ilmu hadits, terdapat dua kategori utama: tashawwur (konsepsi) dan tashdiq (legalitas). Tashawwur adalah pemahaman makna suatu perkara tanpa adanya penyandaran hukum, dan terbagi menjadi dua jenis: tashawwur nadhari (konsepsi yang dihasilkan dari analisis dan pemikiran) dan tashawwur dharuri (konsepsi yang dihasilkan tanpa analisis). Sementara itu, tashdiq adalah pemahaman yang terkait dengan adanya atau tidak adanya penyandaran hukum pada suatu perkara, terbagi menjadi tashdiq nadhari (legalitas yang diperoleh melalui pemikiran) dan tashdiq dharuri (legalitas yang muncul tanpa pemikiran).

Setelah memahami konsep-konsep ini, kita dapat menyimpulkan bahwa tashawwur secara alami didahulukan sebelum tashdiq, karena tidak mungkin suatu perkara dapat dihukum sebelum maknanya dipahami terlebih dahulu.

Kitab Sulam al-Munauraq diakhiri dengan Bab penutup di mana penyusun kitab menjelaskan bahwa bab ini menjadi penyempurna tujuan yang hendak dicapai melalui dasar-dasar manthiq yang terpuji.  Penyusun lalu memuji Tuhan yang Maha Penguasa, yang telah menyelesaikan apa yang ia inginkan dalam ilmu manthiq. Sebagai wujud kerendahan hati (tawadu) ia mengaku hanya seorang hamba yang lemah dan sangat membutuhkan rahmat-Nya, berharap agar Dia mengampuni dosa-dosanya dan membuka hatinya. Lalu ia memohon agar Allah membalas dengan anugerah surga yang tinggi, karena Allah adalah Pemberi Nikmat yang Maha Mulia. Ia jufa berharap  menjadi orang yang memudahkan bagi pemula dalam belajar, dan berusahalah untuk memperbaiki kesalahan dengan analisis yang tepat, serta tidak mengganti sesuatu hanya dengan pandangan sekilas. Menurutnya, banyak orang yang memalsukan ucapan yang benar karena pemahaman yang keliru.

Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin 'Amir Al-Akhdhari, penulis kitab ini, dikenal ahli dalam berbagai bidang ilmu, termasuk manthiq dan balaghah. Selain kitab ini, karya beliau yang terkenal adalah "Al-Jauhar al-Maknun Fi Tsalatsati Funun." Pengarang kitab ini menyampaikan bahwa ayahnya bermimpi dan memberi petunjuk mengenai kitab ini, serta memerintahkan agar umpan tersebut dimasukkan ke dalamnya untuk tujuan mencari berkah. Mubtadi' (pemula) merujuk pada seseorang yang baru mulai mempelajari ilmu, sedangkan muntahi adalah mereka yang telah mencapai tingkat akhir dalam ilmu, dan mutawasith adalah mereka yang telah menguasai dasar-dasar ilmu namun belum mencapai tingkat tinggi. Pengarang memberikan petunjuk tentang cara membenarkan kesalahan dalam kitabnya, yakni dengan menulis komentar seperti " la'alahu kadhâ" (kemungkinan begini) di pinggir kitab, dan menekankan pentingnya penggunaan kata yang sopan dan penuh penghormatan. Membenarkan kesalahan harus melalui analisis yang mendalam dan tidak boleh terburu-buru membuat kesimpulan yang dapat menyebabkan kesalahan berpikir.

Kesimpulan

Kajian logika atau mantiq di pesantren telah menjadi tradisi yang dipelajari terutama pada tingkat aliyah  sebagai llmu alat selain sharaf, nahwu, dan balaghah. Kitab Sulam al-Munawraq adalah sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin 'Amir Al-Akhdhari (918-983 H/1512-1585 M), seorang ulama terkemuka dari wilayah Akhdhar. Beliau dikenal sebagai ahli dalam berbagai cabang ilmu, termasuk manthiq (logika), balaghah (kesusastraan), dan bidang-bidang lainnya. Kitab ini membahas tentang ilmu manthiq, dengan penjelasan yang mendalam mengenai konsep-konsep dasar dalam logika dan analisis berpikir. Sulam al-Munawraq juga berfungsi sebagai panduan bagi para pemula dalam mempelajari ilmu manthiq dan memberikan tata cara dalam memperbaiki kesalahan dalam pemahaman ilmiah. Sebagai tambahan, kitab ini tidak hanya menyajikan ilmu, tetapi juga menyertakan petunjuk moral dan etika dalam menyampaikan ilmu, di antaranya dengan menulis catatan di pinggir kitab yang mengarahkan pembaca untuk berpikir dengan analitis dan tidak terburu-buru dalam menilai apalagi menyalahkan. Tidak terburu-buru menarik kesimpulan terhadap berbagai hal. Kitab ini memiliki nilai yang tinggi dalam tradisi intelektual Islam, terutama dalam bidang logika dan filsafat.

*Cak Yo, Kolam Renang Matador Cifest Cikarang, 19-01-2025

Komentar

  1. Mantap kanda Yo, teruslah berkarya jangan pernah berhenti. Kelak orang akan mengenalmu sebagai Intelektual Islam dari Indonesia.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam