Hikmah Hidup Berdampingan dalam Pemikiran Islam: Diskursus Sufisme, Tariqah, dan Kewalian di Forum Internasional




Cak Yo

Pada tanggal 17 Februari 2020, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi tuan rumah seminar internasional bertajuk “Wisdom of Coexistence in the Islamic Thought: Graduate Seminar on Sufism”. Acara ini merupakan inisiatif akademik antara Kyoto University-Jepang dan UIN Jakarta, yang bertujuan untuk mempererat kerja sama akademik di bidang kajian Islam. Seminar ini mengangkat tema besar mengenai Sufisme, Tariqa, dan Penghormatan terhadap Wali dan dihadiri oleh akademisi ternama dari kedua institusi, menjadikannya salah satu agenda akademik yang bergengsi.

Waktu itu saya mendapatkan kehormatan menjadi salah satu pembicara mewakili mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam sesi kedua, saya mempresentasikan makalah berjudul “Ibn ‘Arabi on Relation of Shari’a and Haqiqa”, yang membahas hubungan antara syariat sebagai hukum lahiriah (eksoterik) dan hakikat sebagai dimensi batiniah (esoteris) atau dimensi spiritual dalam Islam. Dengan merujuk pada pemikiran Ibn ‘Arabi, saya mengupas bagaimana harmoni antara dimensi-dimensi ini membentuk inti dari spiritualitas Islam. Presentasi saya  mengaitkan konsep-konsep klasik  dengan konteks modern, dan menjadikan hal itu relevan untuk tantangan keislaman masa kini.

Seminar ini dibuka dengan sambutan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis dilanjutkan pidato pengantar bernas dari Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Jamhari Makruf. Setelah itu dilanjutkan dengan dua pidato utama yang memberikan landasan kuat bagi diskusi berikutnya. Pidato pertama disampaikan oleh TONAGA Yasushi dari Kyoto University, yang membahas “Wisdom of Coexistence according to Sufism”, sebuah eksplorasi mendalam tentang nilai-nilai koeksistensi dalam tradisi Sufisme. Pidato kedua dibawakan oleh Oman Fathurahman, guru besar bidang filologi UIN Syarif Hidayatullah, yang mengangkat topik menarik tentang “Female Indonesian Sufis: Shattariyah Murids in the 18th and 19th Centuries in Java”. Makalah Prof. Oman menyoroti kontribusi perempuan dalam tradisi Sufi di Indonesia.

Dalam sesi pertama yang dipandu oleh Futatsuyama Tatsuro, diskusi dimulai dengan presentasi Tanahashi Yukari dari Kyoto University tentang pemikiran teologis Muḥammad ibn Sulaymān al-Jazūlī. Selanjutnya, Arif Zamhari dari UIN Syarif Hidayatullah memaparkan inovasi tradisi Sufi di Indonesia melalui kajian Urban Majlis Zikir dan Salawat. Sesi ini ditutup oleh Bambang Irawan dari UIN Syarif Hidayatullah, yang membahas kaitan antara Tasawuf and Radicalism, memberikan perspektif baru terhadap tantangan radikalisme.

Sesi kedua, dipandu oleh Agus Rifa’ dengan saya sebagai pembicara pertama yang membahas pemikiran Ibn ‘Arabi. Setelah itu, Matsuda Kazunori dari Kyoto University membahas Sana’ullah Amritsari and his Urdu Process, yang menyoroti karya intelektual dalam bahasa Urdu. Sesi ini ditutup oleh M. Nida dari UIN Syarif Hidayatullah, yang menyajikan kajian historis tentang Kyai Hasan Maolani: Tarekat and Colonialism.

Kegiatan International Seminar ini diorganisir oleh beberapa lembaga terkemuka, termasuk Kenan Rifai Center for Sufi Studies (KR), Center for Islamic Area Studies (KIAS), Graduate School of Asian African Area Studies (ASAFAS), Center for Southeast Asian Studies Kyoto University, dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan dukungan penuh dari kedua institusi, seminar ini tidak hanya menjadi ajang diskusi intelektual, tetapi juga langkah awal untuk memperkuat hubungan akademik antara Kyoto University dan UIN Jakarta.

Bagi saya, seminar ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan akademik saya. Sebagai mahasiswa Program Doktoral di UIN Jakarta, waktu itu, saya tidak hanya mewakili almamater, tetapi juga mendapat pengalaman berharga untuk memperkaya diskursus internasional di bidang kajian Islam. Pengalaman bertemu dan berdiskusi dengan para akademisi ternama dari berbagai latar belakang meneguhkan niat saya untuk mendedikasikan hidup mengembangkan kajian-kajian Islam (Islamic Studies).  

Berikut ini saya sajikan makalah yang saya presentasikan dalam kegiatan di atas yang saya terjemahkan dan saya rangkum dalam bahasa Indonesia dengan judul:

Harmonisasi Syariah dan Haqiqah dalam Pemikiran Ibn 'Arabî

Pendahuluan

Syariah dan haqiqah merupakan dua aspek penting dalam ajaran Islam yang sering diperdebatkan dalam tradisi intelektual Islam. Syariah merujuk pada aspek eksoteris atau hukum lahiriah yang mengatur tindakan manusia, sementara haqiqah berfokus pada aspek esoteris atau kebenaran batiniah yang menjadi inti spiritualitas. Relasi antara keduanya kerap menjadi bahan perdebatan di antara fuqaha (ahli hukum) dan sufi (mistikus). Ibn 'Arabi, seorang tokoh sufi terkemuka, menawarkan pandangan integratif yang unik tentang bagaimana syariah dan haqiqah tidak hanya saling melengkapi tetapi juga saling menyempurnakan.

Perdebatan Teori

Relasi antara syariah dan haqiqah telah menjadi tema perdebatan yang kompleks dalam tradisi Islam. Salah satu pandangan yang sering muncul adalah teori kontradiksi, yang menyatakan bahwa syariah dan haqiqah bertentangan satu sama lain. Pendekatan ini diwakili oleh Ibn Hazm al-Andalusi, seorang ahli hukum dari mazhab Zahiri. Ia menegaskan bahwa kebenaran agama hanya dapat ditemukan dalam teks-teks lahiriah Al-Qur’an dan Hadis, tanpa perlu menggali makna-makna batiniah yang sering diasosiasikan dengan haqiqah. Dalam pandangan ini, pendekatan esoteris dianggap tidak relevan dan bahkan berpotensi menyimpang dari ajaran Islam. Perspektif ini sering diadopsi oleh mereka yang lebih fokus pada aspek hukum dan legalistik dalam agama, sehingga meminimalkan pentingnya dimensi spiritual yang lebih mendalam.  

Sebaliknya, teori integrasi menekankan bahwa syariah dan haqiqah adalah dua dimensi yang tidak terpisahkan. Pandangan ini diajukan oleh tokoh-tokoh seperti al-Ghazâlî, Shah Walî Allâh al-Dihlawî, dan Ahmad Sirhindî. al-Ghazâlî, dalam magnum opus-nya Ihyâ’ 'Ulûm al-Dîn, menggambarkan syariah sebagai kerangka lahiriah yang membimbing manusia untuk mencapai haqiqah melalui tarekat atau jalan spiritual. Ia menegaskan bahwa seseorang tidak dapat mengabaikan syariah meskipun telah mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi. Shah Wali Allah al-Dihlawi memperluas konsep ini dengan menyatakan bahwa syariah memberikan aturan praktis yang sesuai dengan naluri manusia, sementara haqiqah memberikan makna batiniah dari aturan tersebut. Pandangan integratif ini memperlihatkan bagaimana hukum Islam dan spiritualitas dapat saling melengkapi, menciptakan keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah.  

Teori lain yang menarik adalah teori komplementaritas, yang berpendapat bahwa syariah dan haqiqah adalah dua aspek yang saling melengkapi tetapi tetap memiliki ruang eksklusif masing-masing. Rene Guenon dan Fritjof Schuon adalah dua pemikir modern yang mendukung pandangan ini. Dalam pemikiran mereka, syariah adalah cangkang atau kulit luar yang menjaga inti, sementara haqiqah adalah inti itu sendiri. Guenon, misalnya, menggunakan simbol lingkaran untuk menggambarkan relasi ini: syariah berada di pinggiran lingkaran, tarekat sebagai jalan menuju pusat, dan haqiqah adalah pusat lingkaran itu sendiri. Pandangan ini menegaskan bahwa syariah harus dihormati sebagai jalur awal, tetapi haqiqah adalah tujuan akhir dari perjalanan spiritual. Dengan demikian, teori ini memandang kedua aspek ini sebagai bagian dari struktur yang lebih besar, di mana keduanya tidak hanya diperlukan tetapi juga saling melengkapi dalam perjalanan menuju kebenaran hakiki.  

Ketiga teori ini mencerminkan keberagaman pemikiran dalam Islam mengenai bagaimana dimensi hukum dan spiritualitas berinteraksi. Masing-masing teori membawa nilai dan penekanan yang berbeda, tetapi semuanya menggarisbawahi pentingnya hubungan antara syariah dan haqiqah dalam membentuk pandangan dunia Islam yang holistik.

Pemikiran Ibn 'Arabi tentang Relasi Syariah dan Haqiqah

Ibn 'Arabi, seorang sufi besar yang dikenal sebagai Shaykh al-Akbar, memberikan perspektif yang mendalam dan komprehensif tentang relasi antara syariah dan haqiqah. Dalam karyanya Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam, Ibn 'Arabi memandang syariah sebagai dimensi lahiriah ajaran Islam yang berfungsi sebagai jalur menuju haqiqah, yang merupakan dimensi esoteris atau batiniah dari realitas spiritual. Bagi Ibn 'Arabi, syariah adalah kerangka yang menjaga kehidupan seorang Muslim tetap terarah dan selaras dengan kehendak ilahi. Namun, syariah tidak hanya dimaknai secara tekstual atau formal; ia juga mencerminkan prinsip-prinsip ilahiah yang mendasari eksistensi.

Dalam pandangan Ibn 'Arabi, syariah, tarekat, dan haqiqah merupakan tiga tingkatan perjalanan spiritual. Syariah adalah langkah awal yang memberikan pedoman perilaku berdasarkan hukum-hukum Allah. Melalui tarekat, seorang Muslim mulai menggali makna-makna batiniah dari syariah dan menjalani kehidupan yang didasarkan pada hubungan spiritual yang mendalam dengan Allah. Pada akhirnya, perjalanan ini mengarah kepada haqiqah, yaitu kebenaran tertinggi yang hanya dapat dicapai melalui pengalaman mistik dan penyaksian langsung terhadap realitas ilahi. Ibn 'Arabi menjelaskan bahwa tanpa syariah, perjalanan spiritual menuju haqiqah akan kehilangan arah, dan tanpa haqiqah, syariah akan kehilangan kedalaman maknanya.

Ibn 'Arabi juga menyatakan bahwa syariah dan haqiqah saling mendukung, seperti dua sisi dari satu koin. Ia mengkritik mereka yang meninggalkan syariah dengan alasan telah mencapai haqiqah, karena baginya, syariah adalah cerminan dari haqiqah itu sendiri. Dalam salah satu penjelasannya, ia menggambarkan syariah sebagai "cangkang" yang melindungi "inti," yaitu haqiqah. Namun, cangkang ini tidak hanya melindungi tetapi juga memberikan akses ke inti bagi mereka yang mampu memahaminya. Dengan kata lain, syariah adalah medium untuk mengungkapkan haqiqah, dan haqiqah adalah esensi yang memberi makna pada syariah.

Selain itu, Ibn 'Arabi menekankan konsep tawhid (keesaan Allah) sebagai dasar dari hubungan ini. Syariah dan haqiqah tidak terpisah, tetapi merupakan manifestasi dari kesatuan ilahi yang sama. Syariah berfungsi sebagai panduan lahiriah untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan haqiqah adalah penyaksian batiniah terhadap hakikat Allah yang satu. Dalam konteks ini, tarekat menjadi jalur penting yang menghubungkan keduanya, memungkinkan seorang Muslim untuk mentransformasi kepatuhan formal terhadap syariah menjadi pengalaman spiritual yang mendalam.

Dengan pendekatan ini, Ibn 'Arabi mengatasi ketegangan antara fuqaha (ahli hukum) yang cenderung berfokus pada aspek lahiriah syariah dan sufi yang lebih menekankan dimensi batiniah haqiqah. Ia menegaskan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan, karena merupakan bagian dari perjalanan yang sama menuju Allah. Pemikirannya tidak hanya memberikan landasan teologis untuk menyatukan dua pandangan ini tetapi juga memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang seimbang antara hukum lahiriah dan kesadaran batiniah. Pandangan Ibn 'Arabi tetap relevan hingga kini, menawarkan wawasan yang mendalam tentang bagaimana memahami Islam sebagai agama yang mencakup dimensi hukum dan spiritualitas secara harmonis.

Analisis

Pemikiran Ibn 'Arabi tentang relasi antara syariah dan haqiqah memberikan perspektif yang holistik dalam memahami ajaran Islam. Ia tidak hanya menawarkan pendekatan yang mendamaikan ketegangan antara dimensi eksoterik (zahir) dan esoterik (batin) dalam Islam, tetapi juga menyediakan kerangka filosofis dan spiritual yang mengintegrasikan keduanya. Analisis terhadap gagasan ini menunjukkan bahwa Ibn 'Arabi memperkenalkan model yang tidak dikotomis, melainkan integratif, yang relevan untuk mengatasi perpecahan dalam tradisi Islam antara ahli hukum (fuqaha) dan mistikus (sufi).

Ibn 'Arabi memandang syariah sebagai jalan yang diperlukan untuk menjaga keteraturan dan moralitas dalam kehidupan manusia. Dengan mematuhi syariah, seseorang memastikan bahwa perilaku lahiriahnya sesuai dengan kehendak Allah. Namun, Ibn 'Arabi menegaskan bahwa syariah saja tidak cukup untuk mencapai kedalaman spiritual. Ia memperkenalkan tarekat sebagai tahap transisi, yang memungkinkan seorang Muslim menggali makna-makna batiniah di balik hukum-hukum lahiriah. Dalam pandangan ini, tarekat adalah jembatan yang menghubungkan syariah dengan haqiqah. Sebagai contoh, Ibn 'Arabi menggambarkan salat tidak hanya sebagai ritual yang harus dilaksanakan sesuai aturan syariah, tetapi juga sebagai medium spiritual untuk menyaksikan kehadiran Allah (tajalli).

Analisis mendalam terhadap pandangan ini menunjukkan bahwa Ibn 'Arabi mengkritik pendekatan yang terlalu tekstual dan rigid terhadap syariah. Bagi Ibn 'Arabi, syariah bukan sekadar aturan legalistik, melainkan ekspresi lahiriah dari realitas ilahi yang lebih dalam. Dengan kata lain, setiap hukum syariah mengandung makna simbolis yang dapat membuka jalan menuju pemahaman haqiqah. Sebagai contoh, ritual wudhu tidak hanya dimaksudkan untuk membersihkan tubuh, tetapi juga untuk memurnikan jiwa dari kotoran spiritual. Pemahaman ini menuntut seseorang untuk tidak hanya mengikuti aturan syariah secara mekanis, tetapi juga untuk merenungkan makna-makna batiniah di baliknya.

Dalam konteks ini, pandangan Ibn 'Arabi menawarkan solusi untuk mengatasi dikotomi yang sering terjadi antara tradisi eksoterik yang mengutamakan aturan hukum dan tradisi esoterik yang lebih menekankan pengalaman spiritual. Ibn 'Arabi mengingatkan bahwa syariah tanpa haqiqah akan menjadi kering dan kehilangan spiritualitas, sedangkan haqiqah tanpa syariah akan kehilangan arah dan dapat berujung pada penyimpangan. Dengan menyatukan kedua aspek ini, Ibn 'Arabi menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengintegrasikan dimensi lahiriah dan batiniah secara harmonis.

Lebih jauh, Ibn 'Arabi menggunakan konsep metafisik untuk menjelaskan hubungan ini. Ia menggambarkan syariah sebagai "cangkang" yang melindungi "inti" (haqiqah). Namun, cangkang ini bukan sekadar pembungkus; ia juga menjadi sarana untuk mencapai inti. Dalam pandangan Ibn 'Arabi, seseorang tidak dapat langsung mencapai haqiqah tanpa melalui syariah. Perjalanan spiritual harus dimulai dengan kepatuhan terhadap syariah, kemudian melalui proses penyucian jiwa (takhalli), pengisian diri dengan sifat-sifat ilahi (tahalli), hingga akhirnya mencapai tahap penyaksian langsung terhadap kebenaran ilahi (tajalli). Model ini menunjukkan bahwa perjalanan spiritual dalam Islam bersifat bertahap dan terstruktur, dengan syariah sebagai fondasi yang tidak dapat diabaikan.

Pandangan Ibn 'Arabi juga sangat relevan dalam konteks modern, di mana umat Islam sering dihadapkan pada dualisme antara tradisi hukum yang rigid dan kecenderungan mistisisme yang tidak terarah. Dengan menekankan bahwa syariah dan haqiqah adalah dua sisi dari satu kebenaran, Ibn 'Arabi menawarkan pendekatan yang dapat menyatukan kedua dimensi ini. Misalnya, ia mengkritik mereka yang mengklaim telah mencapai maqam spiritual tinggi sehingga tidak lagi terikat oleh hukum syariah. Bagi Ibn 'Arabi, klaim semacam ini adalah kesalahan fundamental, karena syariah adalah manifestasi lahiriah dari haqiqah. Dengan kata lain, semakin tinggi maqam spiritual seseorang, semakin besar pula kepatuhannya terhadap syariah, karena ia menyadari bahwa hukum-hukum Allah adalah refleksi dari kehendak-Nya yang mutlak.

Selain itu, pendekatan Ibn 'Arabi juga dapat menjadi inspirasi untuk dialog lintas tradisi dalam Islam. Ketegangan antara kaum tradisionalis yang berfokus pada hukum lahiriah dan kaum spiritualis yang lebih menekankan mistisisme sering kali memecah belah umat. Ibn 'Arabi, dengan pendekatannya yang inklusif, menunjukkan bahwa keduanya dapat saling melengkapi. Syariah memberikan kerangka etis dan sosial untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat, sedangkan haqiqah menawarkan dimensi transendental yang membawa individu kepada hubungan yang lebih mendalam dengan Allah.

Ibn 'Arabi memberikan solusi holistik untuk memahami Islam sebagai agama yang mengintegrasikan hukum dan spiritualitas. Pandangannya tidak hanya menjelaskan hubungan antara syariah dan haqiqah, tetapi juga memberikan landasan teologis untuk menyatukan perbedaan antara berbagai tradisi dalam Islam. Dalam dunia yang semakin kompleks, pendekatan Ibn 'Arabi dapat menjadi model untuk menjalani kehidupan yang seimbang antara kepatuhan terhadap hukum Allah dan pencarian makna spiritual yang mendalam.

Relasi antara syariah dan haqiqah yang diajukan oleh Ibn 'Arabi telah menjadi inspirasi dan bahan diskusi di berbagai era, baik oleh ulama klasik, modern, maupun kontemporer. Pemikiran Ibn 'Arabi yang bersifat integratif memengaruhi pandangan ulama dalam menjembatani dimensi hukum lahiriah dan spiritualitas batiniah dalam Islam. Analisis ini berupaya meninjau bagaimana para ulama dari berbagai periode memahami dan mengembangkan gagasan tersebut.

Ulama klasik seperti Al-Ghazali dan Shah Wali Allah al-Dihlawi memiliki pandangan yang selaras dengan pemikiran Ibn 'Arabi. Al-Ghazali, melalui Ihya’ Ulum al-Din, menegaskan pentingnya memadukan aspek zahir (syariah) dan batin (haqiqah) dalam Islam. Ia menyatakan bahwa syariah adalah pijakan awal yang wajib dijalankan setiap Muslim, sedangkan haqiqah adalah puncak spiritualitas yang hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa (tazkiyah). Dalam kerangka ini, tarekat menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya. Pemikiran ini serupa dengan gagasan Ibn 'Arabi tentang pentingnya tarekat sebagai jalan menuju haqiqah tanpa mengabaikan syariah.

Shah Wali Allah al-Dihlawi, dalam karya-karyanya seperti Hujjatullah al-Balighah, juga memperluas konsep integrasi ini. Ia menekankan bahwa syariah memberikan kerangka hukum yang universal dan rasional, sementara haqiqah menawarkan kedalaman spiritual yang menyingkap makna-makna batiniah dari syariah. Dalam pandangan al-Dihlawi, syariah dan haqiqah tidak hanya saling melengkapi, tetapi juga mencerminkan kehendak ilahi yang menyatukan dimensi lahiriah dan batiniah manusia. Gagasan ini sangat dipengaruhi oleh Ibn 'Arabi, yang memandang keduanya sebagai ekspresi dari satu realitas ilahi.

Di era modern, pemikiran Ibn 'Arabi tentang relasi syariah dan haqiqah banyak diterjemahkan ke dalam kerangka filosofis dan teologis yang lebih sistematis. Rene Guenon, seorang pemikir tradisionalis Barat yang memeluk Islam, menggunakan simbolisme lingkaran untuk menjelaskan hubungan ini. Ia menggambarkan syariah sebagai lingkaran luar, tarekat sebagai jalan menuju pusat, dan haqiqah sebagai inti dari lingkaran tersebut. Dalam pandangan Guenon, syariah adalah kerangka yang melindungi perjalanan spiritual, sementara tarekat adalah metode yang membawa seseorang menuju kesatuan dengan Allah melalui haqiqah. Perspektif ini mencerminkan pengaruh mendalam dari metafisika Ibn 'Arabi.

Fritjof Schuon, seorang penerus pemikiran Guenon, juga menekankan pentingnya integrasi syariah dan haqiqah. Ia berpendapat bahwa syariah memberikan bentuk lahiriah yang diperlukan untuk menjaga esensi batiniah Islam, yaitu haqiqah. Schuon menambahkan bahwa esoterisme (haqiqah) tidak dapat dilepaskan dari eksoterisme (syariah), karena keduanya adalah ekspresi dari realitas yang sama. Pendekatan ini menunjukkan relevansi pandangan Ibn 'Arabi dalam menjembatani tradisi hukum dan spiritualitas di era modern.

Hingga kini, pemikiran Ibn 'Arabi tetap menjadi rujukan penting dalam diskursus Islam, terutama dalam menjawab tantangan modernitas yang sering kali memisahkan hukum agama dan spiritualitas. Seyyed Hossein Nasr, seorang sarjana Islam kontemporer, menegaskan bahwa pemikiran Ibn 'Arabi memberikan solusi atas krisis spiritual di dunia modern. Dalam pandangannya, syariah adalah landasan yang membentuk pola hidup Muslim, sementara haqiqah adalah puncak pencapaian spiritual yang mendekatkan manusia kepada Allah. Nasr menyatakan bahwa dualisme antara hukum dan spiritualitas hanya dapat diatasi dengan memahami Islam melalui kerangka integratif yang diajukan oleh Ibn 'Arabi.

Menurut hemat saya pemikiran Ibn 'Arabi tentang integrasi syariah dan haqiqah dapat diterapkan dalam konteks keberagaman masyarakat Muslim kontemporer. Pandangan Ibn 'Arabi tentang kesatuan syariah dan haqiqah relevan untuk mendukung harmoni sosial dan dialog lintas agama dan tradisi dalam Islam. Dengan menjadikan syariah sebagai fondasi hukum dan haqiqah sebagai landasan spiritual, umat Islam dapat mencapai kehidupan yang seimbang antara kepatuhan terhadap hukum Allah dan pencapaian makna transendental.

Dengan demikian, pemikiran Ibn 'Arabi tentang relasi syariah dan haqiqah adalah kontribusi yang universal dan lintas zaman. Pandangannya menawarkan kerangka yang holistik untuk memahami Islam sebagai agama yang menyatukan hukum dan spiritualitas. Ulama klasik menegaskan pentingnya integrasi ini untuk menjaga keseimbangan antara dimensi zahir dan batin. Para pemikir modern seperti Guenon dan Schuon mengadaptasi gagasan Ibn 'Arabi dalam konteks filsafat dan metafisika. Sementara itu, ulama kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr dan Ammar Fauzi menggunakan pemikiran ini untuk menjawab tantangan modernitas dan pluralitas. Melalui pendekatannya yang integratif, Ibn 'Arabi telah memberikan dasar yang kokoh untuk memadukan hukum lahiriah dan pengalaman spiritual dalam Islam, yang tetap relevan hingga hari ini.

Kesimpulan

Relasi antara syariah dan haqiqah merupakan inti dari diskursus Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad. Ibn 'Arabi, dengan pendekatan integratifnya, menunjukkan bahwa keduanya bukanlah entitas yang bertentangan tetapi merupakan dua sisi dari satu realitas yang sama. Syariah adalah jalur untuk memulai perjalanan spiritual, sementara haqiqah adalah realitas tertinggi yang dicapai melalui penyempurnaan spiritual. Pandangan ini tidak hanya menyelesaikan perdebatan klasik tetapi juga memberikan kerangka bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang seimbang antara hukum lahiriah dan kedalaman spiritual.

Cikarang, 25-12-2024

*Penulis adalah Akademisi STEBI Global Mulia







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam