Ulasan Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah Karya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari


Cak Yo'

Kitab Risâlah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ'ah (Demak: Maktabah Dâr al-Rahmah) yang ditulis oleh Hadratussyekh Hasyim Asy'ari, diterjemahkan Bahrudin Achmad (Pustaka Al-Muqsith, 2021) merupakan salah satu karya monumental dalam mempertahankan dan menjelaskan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah di Indonesia. Ditulis sebagai respons terhadap kemunculan gerakan modernisme Islam di Nusantara, kitab ini menunjukkan usaha signifikan untuk menegaskan kembali posisi dan prinsip-prinsip ajaran tradisional Islam di tengah berbagai aliran baru yang muncul pada awal abad ke-20.

Latar belakang penulisan kitab ini erat kaitannya dengan perkembangan gerakan modernis yang muncul di Indonesia, seperti Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1915), dan Persatuan Islam (1923). Menurut Andrée Feillard, gerakan-gerakan ini merupakan tantangan kedua setelah gerakan puritanisme di Sumatera Barat yang menimbulkan perpecahan antara kaum Paderi dan kaum sufi adat. Kiai Hasyim Asy'ari, dengan kepeduliannya terhadap ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah, berupaya menanggapi tantangan ini dengan cara intelektual.

Garis Besar Isi Kitab

Kitab ini terdiri dari sebelas bagian, yang mencakup sepuluh pasal dan satu khutbah pembuka. Pasal pertama membahas pemahaman tentang istilah 'sunnah' dan 'bid'ah' dari segi etimologi dan terminologi. Pasal kedua mengulas kondisi keagamaan di Jawa (Nusantara) sebelum dan sesudah tahun 1330 H, serta pertumbuhan berbagai aliran bid'ah. Pasal ketiga membahas perjuangan ulama salaf, makna istilah sawad al-a'dzam, dan pentingnya berpegang pada salah satu dari empat mazhab. Pasal keempat menjelaskan kewajiban taqlid bagi orang yang tidak berkompeten dalam ijtihad.

Selanjutnya, pasal kelima mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam belajar agama dan dari fitnah ahli bid'ah serta para pemuka agama yang menyesatkan. Pasal keenam membahas hadits-hadits tentang bid'ah dan situasi akhir zaman. Pasal ketujuh mengulas dosa orang yang mengajak kepada kesesatan atau memberi teladan buruk. Pasal kedelapan menjelaskan perpecahan umat Islam menjadi 37 golongan dan kelompok sesat, dengan penekanan pada Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai golongan yang selamat. Pasal kesembilan membahas tanda-tanda kiamat yang mendekat, dan pasal kesepuluh menguraikan hadits tentang kondisi orang mati yang dapat mendengar dan berkata-kata.

Melalui pembacaan kitab ini, beberapa poin penting dapat dipahami. Pertama, terdapat penegasan bahwa tuduhan bid'ah yang awalnya diarahkan oleh kaum modernis kepada ulama pesantren kini dibalik oleh ulama tradisional dan Nahdlatul Ulama. Kedua, Kiai Hasyim Asy'ari tetap mempertahankan dan membela metode bermazhab dalam beragama, yang sangat berbeda dari pendekatan modernis. Kiai Hasyim memilih bermazhab sebagai bentuk penghormatan terhadap metode ijtihad yang telah terbukti sahih dan diakui.

Dalam pasal pertama, Kiai Hasyim Asy'ari menukil pendapat Syekh Zarruq tentang penilaian bid'ah, yang harus dipertimbangkan dari segi dasar hukumnya, kaidah yang diterapkan oleh ulama salaf, dan berbagai kategori bid'ah. Kiai Hasyim menegaskan bahwa bid'ah mencakup perubahan keyakinan terhadap sesuatu yang sebelumnya bukan ibadah menjadi dianggap sebagai ibadah. Beliau membela tradisi-tradisi yang sering dikritik oleh kaum modernis, seperti penggunaan tasbih, melafalkan niat, dan tahlil, yang tidak melanggar dalil syar'i.

Kitab ini sangat berguna untuk memahami batasan antara ibadah dan tradisi, serta kedudukan ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam menghadapi berbagai tantangan dari aliran-aliran baru. Melalui karya ini, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari memberikan kontribusi penting dalam mempertahankan ajaran Islam tradisional di Nusantara, sambil menegaskan sikap dan prinsipnya terhadap perdebatan keagamaan pada masa itu.

Sekilas Biografi K.H. Hasyim Asy'ari

KH Hasyim Asy'ari lahir pada Selasa Kliwon, 24 Zulkaidah 1287 Hijriah, bertepatan dengan 14 Februari 1871 Masehi, di pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang. Ia adalah anak ketiga dari sebelas bersaudara, putra dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Dari jalur ayah, nasabnya bersambung hingga Maulana Ishak dan Imam Ja'tar Shadiq bin Muhammad Al-Bagir, sedangkan dari jalur ibu, ia memiliki keturunan dari Raja Majapahit, Brawijaya VI, yang juga dikenal sebagai Lembu Peteng. Jaka Tingkir, putra Raja Brawijaya VI, kemudian dikenal sebagai Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya pada tahun 1568 M.

Di usia 15 tahun, KH Hasyim Asy'ari memulai perjalanan belajar ke berbagai pesantren. Dia belajar di Pesantren Wonorejo di Jombang, Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, dan Pesantren Trenggilis di Surabaya. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Kademangan di Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Kholil bin Abdul Latif, sebelum akhirnya kembali ke Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan Kiai Ya'qub.

Pada usia 21 tahun, Hasyim Asy'ari menikah dengan Nafisah, puteri Kiai Ya'qub, pada tahun 1892 M. Setelah menikah, ia bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk mendalami ilmu agama, terutama hadis. Selama di Mekkah, Hasyim Asy'ari mengalami duka karena kehilangan istri dan anaknya yang lahir di sana. Ia kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya dan belajar dengan tekun dari para ulama besar. Keilmuan yang dimilikinya membuatnya dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minakabawi. Di Mekkah, ia juga mengajarkan banyak murid dari berbagai negara, termasuk Syekh Sa'dullah al-Maimani dari India dan Syekh Umar Hamdan dari Mekkah, serta murid-murid dari Indonesia seperti KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syansuri. Pada tahun 1899, Hasyim Asy'ari menikah dengan Khadijah, putri Kiai Romli, dan setelah itu kembali ke Indonesia.

Setelah kembali, pada tahun 1899, KH Hasyim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang. Pesantren ini dimulai dengan delapan santri dan berkembang pesat menjadi 28 santri dalam waktu tiga bulan. KH Hasyim Asy'ari kemudian menikah lagi dengan Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, dari Pesantren Sewulan, Madiun, dan dikaruniai sepuluh anak. Setelah Nafiqoh wafat pada akhir 1920-an, ia menikah dengan Nyai Masyruroh dan memiliki empat anak.

KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 16 Rajab 1344 Hijriah (31 Januari 1926 M). NU didirikan sebagai respons terhadap pertentangan paham antara paham pembaharuan dan paham bermadzhab, dengan tujuan memperkenalkan pendekatan yang lebih moderat dalam dunia Islam. NU memfasilitasi interaksi yang lebih baik antara umat Islam di Indonesia.

Di masa penjajahan, KH Hasyim Asy'ari memiliki pengaruh yang signifikan, sehingga Belanda dan Jepang menghormatinya. Beliau pernah menolak anugerah bintang jasa dari Belanda dan mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah, yang memicu perlawanan di berbagai daerah. Pada masa pendudukan Jepang, ia juga ditahan karena menolak penghormatan pagi ke arah Tokyo.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan resolusi jihad untuk melawan Belanda dan sekutunya. Resolusi ini memotivasi perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, termasuk pertempuran heroik di Surabaya pada 10 November 1945. KH Hasyim Asy'ari wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Kontribusi besarnya termasuk penyatuan dua kubu ulama dalam menentukan dasar Negara Indonesia, dengan menghapus tujuh kata pada Piagam Jakarta, sehingga menjaga persatuan NKRI. Pada 17 November 1964, KH Hasyim Asy'ari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

KH Hasyim Asy'ari menyusun sejumlah kitab penting, antara lain: 

1. Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah - Mengulas tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, dan penjelasan tentang sunnah serta bid'ah.
2. Al-Nuurul Mubiin - Membahas kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW.
3. Adab al-alim wal Muta'allim - Menjelaskan etika pengajar dan pelajar.
4. Al-Tibyan - Membahas larangan memutuskan tali silaturrahmi dan persahabatan.
5. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi- Menyajikan dasar pemikiran tentang NU.
6. Risalah fi Ta'kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A'immah al-Arba'ah - Mempertahankan mengikuti empat madzhab utama.
7. Mawaidz - Kitab yang pernah diterbitkan secara massal pada Kongres NU XI tahun 1935.
8. Arba'ina Haditsan - Mengumpulkan 40 hadits sebagai pedoman untuk warga NU.
9. Al-Tanbihat al-Wajibat- Menyajikan panduan mengenai peringatan maulidur rasul.

Karya-karya KH Hasyim Asy'ari mencerminkan dedikasinya terhadap pembelajaran agama dan kontribusinya dalam menjaga integritas ajaran Islam di Indonesia.

Amalan Orang Hidup untuk Orang Mati

K.H. Hasyim Asy'ari dalam pasal terakhir kitabnya, "Pasal tentang cerita orang-orang yang telah meninggal dunia dimana mereka tetap mampu diajak dialog, mereka tahu siapa yang memandikannya, siapa pula yang memikul dan mengkafani, juga siapa yang memasukkannya ke liang kubur, dan juga cerita-cerita tentang bagaimana orang yang telah wafat itu kembali menjalani kehidupan barunya setelah kembalinya ruh pada jasad"
membahas secara mendalam tentang posisi kaum Muslim yang menjalankan tradisi seperti mengirimkan bacaan Al-Quran, tahlil, dan amalan lainnya untuk orang yang telah meninggal. Dalam bagian ini, ia membantah pandangan yang menyatakan bahwa tradisi tersebut adalah bid'ah dan tidak memiliki dasar dalam agama. Ada anggapan bahwa orang yang telah wafat tidak dapat berhubungan dengan dunia ini dan segala amal yang dilakukan oleh orang hidup tidak bermanfaat bagi mereka. Namun, Hasyim Asy'ari mengajukan argumen berdasarkan hadits dan penjelasan tentang kehidupan setelah mati yang diterima oleh Ahlussunnah wal Jama'ah.

Dalam penjelasannya, Hasyim Asy'ari mengutip hadits-hadits sahih yang menunjukkan bahwa orang yang telah wafat masih memiliki kesadaran dan mampu mendengar serta merasakan apa yang terjadi di sekitar mereka. Salah satu hadits dari Imam Al-Bukhari menceritakan bahwa jenazah yang baru diletakkan di kubur masih dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarkan jenazah pulang. Hadits ini juga menjelaskan bahwa setelah orang meninggal, ia dapat melihat tempat tinggalnya di surga atau neraka, tergantung pada amalnya di dunia.

Hasyim Asy'ari juga mengutip hadits lain yang menceritakan bahwa jenazah orang yang shalih merasa nyaman dan berdoa agar perjalanan cepat, sedangkan jenazah orang yang tidak shalih merintih kesakitan. Hadits ini menunjukkan bahwa ada interaksi dan pengalaman yang dirasakan oleh orang yang telah wafat. Selain itu, ada riwayat yang menyebutkan bahwa orang yang telah meninggal tahu siapa yang memandikannya, mengkafani, dan menguburkannya.

Ia juga menjelaskan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah ibadah seperti shalat, puasa, atau bacaan Al-Quran yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang telah meninggal, sebagian besar ulama Ahlussunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa pahala dari amalan tersebut dapat sampai kepada si mayat. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil dari Al-Quran dan hadits, meskipun ada kelompok tertentu yang berbeda pendapat mengenai hal ini.

Hasyim Asy'ari mengutip firman Allah dan hadits Rasulullah yang menunjukkan bahwa amal baik yang dilakukan oleh orang hidup, seperti doa dan sedekah, dapat bermanfaat bagi orang yang telah meninggal. Ini termasuk dalam konteks umum dimana seorang hamba dapat memperoleh manfaat dari amal yang dilakukan oleh orang lain, terutama yang ditujukan khusus untuknya, seperti bacaan Al-Quran atau shalat yang diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal.

Kitab ini diakhiri dengan ungkapan penutup yang menekankan bahwa hanya Allah yang mengetahui kebenaran tentang semua perkara yang dibahas, dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali yang abadi. Hasyim Asy'ari juga memanjatkan doa dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh umat Islam hingga hari kiamat. Ini merupakan penegasan bahwa segala puji dan syukur hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.

Kesimpulan 

Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah karya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari adalah sebuah karya penting dalam mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah di Indonesia, terutama sebagai respons terhadap gerakan modernisme Islam pada awal abad ke-20. Kiai Hasyim Asy'ari, dalam kitab ini, menjelaskan berbagai prinsip ajaran tradisional Islam dan membantah berbagai tuduhan bid'ah dari gerakan modernis. 

Kitab ini terdiri dari sebelas bagian yang mencakup topik-topik penting seperti pengertian sunnah dan bid'ah, kondisi keagamaan sebelum dan sesudah tahun 1330 H, serta berbagai aspek ajaran salaf dan mazhab. Dalam pasal terakhir, Hasyim Asy'ari membahas amalan orang hidup untuk orang mati, menegaskan bahwa amalan tersebut memiliki nilai dan manfaat berdasarkan hadits dan penjelasan Ahlussunnah wal Jama'ah.

Secara keseluruhan, kitab ini berfungsi untuk menegaskan kembali posisi ajaran tradisional dalam menghadapi tantangan dari aliran-aliran baru dan modernis, serta meneguhkan prinsip-prinsip bermazhab dan tradisi Islam. Kiai Hasyim Asy'ari menunjukkan komitmennya dalam menjaga integritas ajaran Islam di Nusantara, memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman dan praktik agama di Indonesia.

*Cikarang, 05 September 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zakat dalam Kitab-kitab Fikih dan Tasawuf: Studi Komparatif-Interdisipliner

Ibn 'Arabî sebagai Mujtahid

Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern: Sedikit Ulasan Buku The Venture of Islam