Matahari Terbit di Atas Pohon Beringin: Muhammdiyah dalam Kajian Profesor Jepang
Cak Yo'
Nahdatul Ulama (NU) memiliki peneliti asing yang terkenal dan paling menonjol, yaitu Martin van Bruinessen, Professor Emeritus of Islamic Studies, Utrecht University, Belanda dengan beberapa karyanya tentang NU, Pesantren, dan Tarekat seperti NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Lkis, 1994) dan Kitab kuning, pesantren, dan tarekat (Mizan, 1995). Di sisi lain, Muhammadiyah memiliki Mitsuo Nakamura, profesor asal Jepang yang mempelajari Muhammadiyah. Nakamura adalah Profesor Emeritus Antropologi di Universitas Chiba, Jepang, dan menyelesaikan disertasi doktoralnya di Cornell University pada tahun 1976.
Buku: "The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, c.1910-2010" (LSEAS, Institute of Southeast Asian Studies Singapore, 2012) oleh Mitsuo Nakamura adalah sebuah kajian mendalam tentang gerakan Muhammadiyah di Kotagede, sebuah kota di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia, dari sekitar tahun 1910 hingga 2010.
Nakamura mengungkapkan bahwa buku ini merupakan revisi dari disertasinya yang didasarkan pada penelitian lapangan di Kotagede dan penelitian arsip di Belanda. Selama periode sembilan belas bulan, dari Oktober 1970 hingga April 1972, Nakamura menjalankan kerja lapangan yang mendalam, di mana dia mengumpulkan data dan wawasan tentang Muhammadiyah, salah satu gerakan Islam terkemuka di Jawa. Penelitiannya berlanjut dengan studi arsip yang berlangsung dua setengah bulan di Belanda pada tahun 1972.
Dalam bukunya itu, Nakamura berusaha untuk mengeksplorasi sejarah dan etnografi Muhammadiyah, serta menggambarkan bagaimana pandangannya tentang Islam di Jawa telah berubah melalui pengalaman lapangan. Awalnya, Nakamura memiliki pandangan bahwa Islam di Jawa adalah agama yang melemah dan terpecah, terhambat dalam hal ekonomi, konservatif dalam ideologi, dan tidak dinamis dalam budaya. Namun, setelah terjun langsung ke dalam masyarakat Muslim di Jawa, ia menyadari bahwa Islam di kawasan ini tidaklah punah, melainkan merupakan kekuatan hidup yang terus berkembang, memberi pedoman etika dan inspirasi estetika. Muhammadiyah, dalam pandangan Nakamura, adalah bagian dari proses berkelanjutan Islamisasi di Jawa, yang menunjukkan bahwa Islam mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat Jawa, bukan hanya segmen tertentu.
Nakamura menegaskan bahwa meskipun banyak perkembangan yang telah terjadi di Kotagede sejak penelitian lapangan awalnya dan adanya sejumlah karya akademis baru tentang Islam di Jawa, ia memilih untuk tidak mengubah buku ini secara substansial dari bentuk disertasi aslinya. Ia ingin mempertahankan etnografi yang sama dari penelitian awalnya dan berencana untuk menulis monograf baru yang akan mencakup periode setelah penelitian lapangan serta membahas dimensi teoritis baru yang muncul.
Buku ini dapat dilihat sebagai sebuah kesaksian terhadap perubahan pandangan Nakamura mengenai Islam di Jawa, dan bertujuan untuk memberikan kontribusi empiris untuk pertanyaan-pertanyaan penting tentang keberadaan dan daya tahan Islam di kawasan tersebut. Dengan menekankan pada Muhammadiyah sebagai bagian integral dari proses Islamisasi yang lebih luas di Jawa, Nakamura menawarkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika sosial dan keagamaan yang membentuk masyarakat Muslim di Jawa Tengah.
Dalam pengantar edisi kedua buku ini, Merle C. Ricklefs, Profesor Emeritus di The Australian National University, menyoroti pentingnya edisi pertama buku ini yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press pada tahun 1983. Edisi pertama buku ini merupakan adaptasi dari tesis Ph.D. Mitsuo Nakamura dalam bidang antropologi yang diserahkan di Cornell University. Tesis tersebut banyak dipengaruhi oleh karya Clifford Geertz yang terkenal, The Religion of Java, yang merupakan hasil penelitian lapangan di Jawa Timur pada tahun 1953-54 dan dipublikasikan pada tahun 1960.
Perbedaan signifikan antara penelitian Geertz dan Nakamura terletak pada lokasi dan konteksnya. Geertz bekerja di Pare, Jawa Timur, yang relatif baru dihuni dan kurang memiliki tradisi kerajaan. Sementara Nakamura melakukan penelitian di Kotagede, sebuah kawasan di pinggir Yogyakarta yang merupakan situs makam dinasti Mataram, dengan tradisi keagamaan dan politik yang lebih kuat. Penelitian Nakamura dilakukan pada awal masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, berbeda dengan periode awal pasca-Revolusi Indonesia yang diliput oleh Geertz. Konteks yang berbeda ini mempengaruhi perspektif dan temuan mengenai kehidupan keagamaan dan budaya masyarakat Jawa.
Meskipun karya Nakamura mungkin tidak memiliki pengaruh teoritis dan kekuatan institusional sebesar karya Geertz, penelitian ini tetap sangat penting. Karya Nakamura dianggap mendalam, penuh empati, dan memberikan tantangan terhadap berbagai stereotip serta asumsi yang ada. Sayangnya, karena terbatasnya distribusi, buku Nakamura tidak tersebar luas sebagaimana karya Geertz, meskipun memiliki pengaruh yang signifikan di kalangan para ahli.
Dalam edisi terbaru buku ini, Nakamura mengeksplorasi perubahan signifikan yang telah terjadi sejak penelitian awalnya. Data yang dikutip oleh B.J. Boland menunjukkan bahwa pada tahun 1960-an, tingkat pelaksanaan ibadah di Jawa sangat rendah, dengan hanya sedikit orang yang melakukan salat, membayar zakat, atau menjalankan puasa. Namun, survei dari tahun 2006-2010 menunjukkan perubahan dramatis, dengan sekitar 90 persen responden mengaku menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa selama Ramadan. Meskipun angka ini mungkin tidak sepenuhnya akurat, itu menunjukkan pergeseran besar dalam praktik keagamaan masyarakat Jawa, yang kini lebih terbuka terhadap pandangan agama dalam survei sosial.
Perubahan ini juga terlihat dalam jumlah jamaah haji dari daerah Jawa. Pada tahun 1950-1958, jumlah calon jamaah haji sangat rendah dibandingkan dengan era kolonial satu abad sebelumnya. Namun, pada dekade awal abad ke-21, jumlah pendaftar haji mencapai ratusan ribu orang, dengan antrean yang memakan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kuota.
Edisi baru buku The Crescent Arises over the Banyan Tree mencerminkan transformasi ini. Buku ini menunjukkan bagaimana gerakan Modernis Muhammadiyah telah berkembang pesat pada awal tahun 1970-an, terutama didorong oleh kebijakan pemerintah Soeharto yang menggunakan agama sebagai alat kontrol sosial dan anti-komunis. Seiring waktu, simbol-simbol spiritual lama seperti pohon beringin menjadi semakin terpinggirkan oleh pengaruh agama yang kuat. Misalnya, meskipun pohon beringin di Kotagede telah tumbang, pertunjukan seni gaya lama masih ada namun lebih banyak beragam. Nakamura juga mencatat peningkatan signifikan jumlah masjid di Kotagede, dari dua pada tahun 1970-an menjadi lima puluh satu pada tahun 2010, mencerminkan tren serupa di seluruh Jawa dan Indonesia.
Secara keseluruhan, edisi terbaru ini adalah kontribusi ilmiah yang penting, menampilkan perubahan mendalam dalam masyarakat Jawa dan melanjutkan pemahaman tentang dinamika agama dan budaya di Indonesia.
Sedangkan dalam pengantar edisi kedua buku yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, "Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringi: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah Di Kotagede Sekitar 1910-2010" (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017) ini, Mitsuo Nakamura memberikan penjelasan mendalam mengenai studi mengenai perkembangan gerakan Muhammadiyah di Kotagede, sebuah kota kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Buku ini mengkaji perjalanan Muhammadiyah dari awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam modernis yang didirikan pada tahun 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, merayakan ulang tahunnya yang seratus pada tahun 2010.
Kyai Haji Ahmad Dahlan, setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1890 dan terpengaruh oleh pemikiran Islam modernis seperti Jamaladdin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, memutuskan untuk memodernisasi praktik Islam di Jawa. Ia menganggap bahwa keterbelakangan umat Islam di bawah pemerintahan kolonial Belanda disebabkan oleh pencampuran ajaran Islam dengan kepercayaan lokal. Dengan itu, Dahlan mendorong pemurnian ajaran Islam melalui ijtihad, penggunaan bahasa lokal dalam dakwah, serta pendirian sekolah-sekolah modern yang mengajarkan agama dan ilmu sekuler secara bersamaan. Muhammadiyah juga menggalakkan filantropi Islam melalui zakat, qurban, infak, dan wakaf untuk membangun lembaga pendidikan dan sosial.
Selama lebih dari satu abad, Muhammadiyah berkembang pesat menjadi organisasi sosial dan pendidikan Islam terbesar kedua di Indonesia, setelah Nahdlatul Ulama (NU). Dengan sekitar 30 juta anggota, Muhammadiyah mengelola lebih dari 10.000 sekolah dan 900 lembaga kesejahteraan sosial di seluruh Indonesia.
Bagian pertama dari buku ini adalah reproduksi hampir identik dari karya Nakamura sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 1983, yang membahas perkembangan Muhammadiyah di Kotagede hingga tahun 1972. Buku ini menggunakan pendekatan historis dan etnografis, dengan data yang dikumpulkan dari penelitian lapangan di Kotagede antara 1970 dan 1972, serta arsip di Belanda. Penelitian ini awalnya diajukan sebagai disertasi Ph.D. di Universitas Cornell pada tahun 1976.
Buku ini menggambarkan bagaimana Muhammadiyah telah mengubah praktik keagamaan di Kotagede dari sinkretisme Jawa yang kental ke reformisme Islam. Kota Kotagede, yang memiliki sejarah keislaman sejak akhir abad ke-16 sebagai ibu kota pertama Kerajaan Mataram, menjadi kasus yang menarik dalam memahami transformasi keagamaan masyarakat Jawa tradisional.
Nakamura menilai bahwa pernyataan awalnya mengenai "Islam ortodoks versi reformis" di Jawa cukup berani, terutama sebelum terjadinya Revolusi Islam Iran dan dominasi pandangan sekularisasi di kalangan sarjana Barat. Penelitian Nakamura menunjukkan bahwa modernisasi tidak selalu membawa sekularisasi, melainkan juga bisa mendorong reformasi agama. Nakamura menilai pandangan Clifford Geertz dan Benedict Anderson mengenai budaya Jawa dan kekuasaan sebagai terlalu sederhana, mengingat pengaruh Islam yang mendalam di Jawa.
Sejak pertama kali meneliti Kotagede, Nakamura mencatat bahwa buku ini memiliki nilai sejarah sebagai dokumentasi kontemporer Muhammadiyah pada awal tahun 1970-an. Dengan banyaknya permintaan untuk buku tersebut dan adanya kesalahan dalam edisi sebelumnya, Nakamura memutuskan untuk menerbitkan ulang dengan revisi kecil, serta menambahkan dokumentasi dan catatan baru.
Bagian kedua buku ini, "Meninjau Kembali Kotagede, 1972-2010," merupakan laporan baru yang ditulis untuk publikasi saat ini. Laporan ini didasarkan pada penelitian lapangan yang dilakukan antara Desember 2007 dan Februari 2008, serta kunjungan tambahan hingga Juli-Agustus 2010. Buku ini mengamati perkembangan Muhammadiyah pasca-Reformasi, termasuk peningkatan jumlah masjid di Kotagede, yang dari dua masjid pada tahun 1970 meningkat menjadi lima puluh satu pada tahun 2010.
Namun, tantangan bagi Muhammadiyah tidak sederhana. Sejak tahun 1980-an, muncul kritik internal mengenai ketidakmampuan Muhammadiyah dalam meneruskan nilai-nilai keagamaan kepada generasi muda dan menanggapi perubahan sosial. Perubahan sosial besar seperti urbanisasi, kedatangan pendatang baru, dan globalisasi menambah kompleksitas bagi Muhammadiyah.
Pasca-Reformasi, situasi sosial dan politik di Kotagede menjadi semakin kompleks, dengan munculnya kebebasan politik dan pertumbuhan elemen sosial budaya yang sebelumnya dianggap antagonis terhadap Muhammadiyah. Dominasinya di ranah publik berkurang, dan kejawen serta budaya Jawa tradisional kembali muncul. Selain itu, kemiskinan dan persaingan dari lembaga pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial menjadi tantangan besar bagi Muhammadiyah.
Secara keseluruhan, buku ini memberikan gambaran mendalam mengenai perkembangan Muhammadiyah di Kotagede, tantangan yang dihadapinya, dan relevansi sosial dan teoretisnya dalam konteks Indonesia modern. Nakamura mengajak pembaca untuk memahami kompleksitas perubahan yang dihadapi Muhammadiyah dan peran pentingnya dalam membentuk masa depan masyarakat Indonesia. Buku ini merupakan kontribusi signifikan bagi studi sosial Islam dan menawarkan wawasan berharga mengenai dinamika sosial di Indonesia.
Dalam kata pengantar yang ditulis oleh Mukti Ali untuk buku "Bulan Sabit Tiba di Atas Pohon Beringin: Kajian Gerakan Muhammadiyah di Kota Jawa Tengah" karya Dr. Mitsuo Nakamura, terungkap bahwa buku ini adalah disertasi yang diserahkan di Cornell University pada tahun 1976. Penelitian ini memfokuskan pada Kotagede di Yogyakarta, mencakup periode dari tahun 1900 hingga 1970 dengan pendekatan historis dan etnologis.
Kotagede dipilih sebagai lokasi studi karena keberagaman dan paradoks yang terkait dengan perkembangan Muhammadiyah di sana. Salah satu paradoks utama adalah dukungan signifikan terhadap Muhammadiyah di tengah masyarakat yang sebelumnya terpengaruh oleh kepercayaan lokal dan adat yang heterodoks. Kedua, ada kehadiran pedagang dan perajin kaya di Kotagede sebelum tahun 1900, yang tampaknya bertentangan dengan anggapan bahwa kelas sosial berdasarkan perdagangan bertentangan dengan filosofi sosial Jawa yang tradisional.
Paradoks ketiga terkait dengan fakta bahwa pedagang dan perajin Kotagede bukanlah santri sebelum Muhammadiyah masuk, yang bertentangan dengan pandangan bahwa Islam dan perdagangan saling terkait erat. Selain itu, ada proses pertumbuhan kewirausahaan dan reformasi Islam di Kotagede yang saling mempengaruhi, meski hal ini terhambat oleh peristiwa pasca-Perang Dunia II.
Dr. Nakamura berargumen bahwa pandangan Barat mengenai Islam modern di Indonesia seringkali tidak akurat. Ia menilai bahwa Muhammadiyah, sebagai gerakan reformis, berasal dari transformasi internal Islam tradisional Jawa dan memberikan dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa Islam reformis kehilangan kekuatan politik, Nakamura menunjukkan bahwa Islam di Indonesia tetap kuat secara politik dan relevan dalam konteks sosial yang berubah.
Nakamura menilai Muhammadiyah sebagai gerakan yang tampaknya doktrinal dari luar tetapi sebenarnya sangat terbuka dan adaptif. Organisasi ini terlihat mengesankan dalam hal struktur, namun sebenarnya mengutamakan pengabdian pribadi dan toleransi. Dalam pandangannya, Muhammadiyah mencerminkan keutamaan tradisi Jawa sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam universal.
Kesimpulan
Buku edisi kedua oleh Mitsuo Nakamura menawarkan tinjauan mendalam terhadap perkembangan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta, dari awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Edisi kedua ini melanjutkan kajian dari buku sebelumnya dengan memperbarui informasi hingga tahun 2010. Muhammadiyah, yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1912, telah mengalami transformasi signifikan dalam praktik keagamaan di Kotagede, menggeser sinkretisme Jawa ke arah reformisme Islam.
Nakamura menilai bahwa modernisasi di Kotagede tidak selalu disertai dengan sekularisasi; sebaliknya, ia dapat mendorong reformasi agama yang mendalam. Buku ini mengoreksi pandangan Barat yang mungkin menyederhanakan hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa, mengungkapkan bahwa Muhammadiyah berperan penting dalam membentuk dinamika sosial dan religius di daerah tersebut.
Bagian baru dari buku ini menggambarkan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah setelah Reformasi, termasuk perubahan sosial, urbanisasi, dan persaingan dari lembaga pemerintah serta kebangkitan budaya Jawa tradisional. Meskipun Muhammadiyah tetap relevan dalam konteks sosial dan politik Indonesia, tantangan ini menunjukkan kompleksitas yang harus dihadapi dalam melanjutkan nilai-nilai keagamaannya.
Secara keseluruhan, buku ini memberikan wawasan yang berharga mengenai peran Muhammadiyah dalam perkembangan sosial dan religius di Kotagede dan Indonesia secara lebih luas. Nakamura menyajikan analisis yang mendalam tentang transformasi agama dan sosial yang mempengaruhi Muhammadiyah, menjadikannya kontribusi penting bagi studi sosial Islam dan pemahaman dinamika masyarakat Indonesia modern.
*Cikarang, 06 September 2024
Komentar
Posting Komentar