Cermin Jiwa: Menyelami Pesan Abadi Ibn ‘Atā’ Allah al-Iskandarī
Cak Yo Ada sebuah jam yang berdetak lambat di sudut kepala kita. Ia tidak menggantung di dinding, tidak pula bisa ditanya pukul berapa. Ia hanya berbisik: hidup sedang berlangsung, dan setiap detik adalah pintu yang ditutup dari belakang. Orang-orang sibuk menghitung laba-rugi, tetapi jarang sadar bahwa yang paling pasti sedang dicuri dari mereka adalah waktu. Di jalan raya, sebuah bus kota mengangkut puluhan tubuh yang sama-sama asing. Mereka duduk berdekatan, tetapi di kepala masing-masing berputar kesepian yang tak bisa dibagikan. Kita menyangka modernitas memberi kita teman: ribuan nama di gawai, ratusan pesan dalam seminggu. Namun, semakin banyak wajah yang kita lihat, semakin sulit kita menemukan tatapan yang benar-benar melihat. Kota ini seperti panggung sandiwara yang tidak pernah selesai. Semua orang bermain peran, dari seragam tukang parkir hingga jas pejabat. Tapi setiap malam, di depan cermin, topeng itu tak lagi melekat, dan wajah yang asli justru terasa paling a...